Top Ad unit 728 × 90

Terbaru

recent

RINGKASAN KONSEP FIQH AL-HADITS

Oleh  A. Chozin Nasuha[1] 
            Fiqh al-Hadits secara etimologis adalah ‘memahami matan hafits’. Sedang menurut istilah, Fiqh al-hadits ialah konsep pengamalan hadits Nabi, dengan merespon perkembangan masyarakat, untuk memilah mana amalan Raslullah yang harus diamalkan (tasyri’), dan mana amalan Rasulullah yang bisa tidak diamalkan (irsyad)
          Gagasan itu disampaikan oleh al-Dahlawi (w. 1762 M) dalam kitabnya, Hujjat Allah al-Balighah. Kitab itu membagi hadits Nabi menjadi dua, yaitu hadits tasyri’ dan hadits irsyad. Hadits tasyri’ adalah semua tuntunan Rasulullah yang bernilai syariat, yang semua isinya harus dilaksanakan oleh kaum muslimin. Dalam kaitan ini, Allah berfirman “Wamaa aataakum al-Rasuulu fakhudzuuhu wamaa nahaakum ‘anhu fantahuu” (Al-Hasyr ayat 7) (Semua hal yang didatangkan kepadamu oleh Rasulullah, maka ambillah (peganglah) itu dan semua yang dicegahkan kepadamu, maka jauhilah (hindarkanlah). Contoh hadits tasyri’ menurut al-Dahlawi antara lain info tentang akhirat, alam malakut, dan tentang syariat yang berkaitan dengan ibadah, dan peningkatan kwalitas ibadah itu sendiri. Semua itu didatangkan melalui wahyu.  
            Sedangkan hadits irsyad ialah amalah Rasulullah selaku manusia yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Rasulullah bersabda: Innamaa Ana basyarun. Idzaa amartukum bisyaiin min diinikum fakhudzuu bih, Waidzaa amartukum bisyaiin min rakyii fainnamaa Ana basyarun. (Sesungguhnya, saya ini manusia. Jika saya memerintahkan sesuatu kepadamu tentang agama, maka ambillah itu. Jika saya memerintahkan sesuatu itu muncul dari pikiranku (sosial), maka saya adalah manusia. Dengan hadits ini, muhaddits memahami bahwa Rasulullah suatu ketika menjalankan norma kerasulan (nubuwwah) dan suatu ketika Rasulullah menjalankan kehidupan sosial biasa.
          Tasyri’ dan irsyad bukan konsep dikotomi atas makna hadits, tetapi merupakan pembidangan isi hadits yang luas. Artinya, di antara tasyri’ dan irsyad itu ada konsep lagi yang dapat dinilai tasyri’ dan irsyad sekali gus. Suatu contoh, Rasulullah pergi ke pasar dengan memakai jubah putih misalnya. Hadits ini dapat dinilai tasyri’ dari segi menutup aurat, dan dinilai irsyad dari segi model pakaian yang dipakai oleh Rasulullah tadi. Hadits-hadits model ini banyak sekali, sehingga seorang muhaddits dalam memahami hadits Nabi, memerlukan pengetahuan tentang norma syari’at, dan sekaligus memahami model-model kehidupan  masyarakat.
           Pemilihan konsep fiqh al-hadits untuk menentukan masalah, apakah sebuah hadits itu tasyri’ atau irsyad, atau masuk dalam gabungan tasyri dan irsyad, itu ijtihadiyah. Karena itu sering terjadi perbedaan konsep antara beberapa ulama dalam menentukan maksud hadits Rasulullah Saw. Perbedaan itu terjadi sejak zaman shahabat Nabi sampai sekarang. Pemikiran (ijtihad) Umar, Ali, dan Ibn Mas’ud, misalnya, bisa berbeda dengan pemikran (ijtihad) Ibn Umar, Aisyah, Zaid ibn Tsabit, dan Ubay ibn Ka’ab dalam berbagai masalah. Kasus yang menyolok tentang penilaian tasyri’ atau irsyad adalah amalan Rasulullah tentang pembagian ghanimah yang biasa dibagikan kepada sahabat Nabi yang ikut berperang. Hadits ini oleh Abu Bakar dinilai tasyri’, sehingga setiap ada ghanimah selalu dibagikan kepada sahabat Nabi yang berperang. Tetapi Umar ibn al-Khattab berpendapat, bahwa amalan Rasulullah tentang pembagian ghanimah tadi irsyad. Karena itu ketika kaum muslimin mengalahkan Persia di Qadisiyah, semua ghanimah tidak dibagikan kepada sahabat Nabi yang perang, tetapi diserahkan kepada negara untuk perkembangan Islam yang lebih luas. Waktu itu, ijtihad Umar ditentang oleh banyak sahabat Nabi, antara lain Bilal ibn Abi Rabah. Tetapi setelah pembahasan itu dimusyawa-rahkan, akhirnya ijtihad Umar dibenarkan, bahwa hadits semacam itu irsyad, dan dapat dilaksanakan atas dasar konteks kemasyarakatan yang berkembang.
           Kasus yang pemecahannya ijtihad, itu berlaku sepanjang zaman, termasuk  zaman sekarang. Kitab Kuning pernah mencatat tentang perbedaan pendapat antara ahl al-hadits dan ahl al-rakyi dalam menentukan masalah fiqhiyah. Perbedaan itu muncul karena perbedaan paradigma, perbedaan argumentasi, perbedaan uruf, perbedaan situasi dan kondisi, perbedaan kemaslahatan umum, dan sebagainya. Semua perbedaan itu dalam pemahaman (penafsiran) dan bukan berbeda dalam menerima eksistensi hadits.
           Semua amalan dan tindakan Rasulullah Saw. itu terpuji dan tidak ada yang salah. Lebih dari itu, banyak sekali amalan Rasulullah yang harus diikuti, yang oleh al-Quran disebut uswah hasanah. Tetapi ilmuan hadits mengetahui bahwa secara keilmuan, amalan Rasulullah itu dapat dipilah menjadi empat macam. Yaitu amalan kebudayaan, amalan sosial kemasyarakatan, amalan peribadatan, dan amalan keyakinan (akidah).
            1). Amalan Rasulullah yang bersifat kebudayaan itu menurut Fiqh al-Hadits masuk hadits irsyad, yaitu amalan Rasulullah yang dapat dipergunakan oleh kaum muslimin atau ditinggalkan. Contohnya seperti makanan Rasulullah, tempat kediaman Rasulullah, kendaraan Rasulullah, peralatan perang Rasulullah, kesenian Rasulullah, model pakaian Rasulullah dan sebagainya, yang tidak ada kaitannya dengan syari’at. Meskipun begitu, jika dalam kebudayaan itu ada nilai syari’at yang diterapkan, seperti menggunakan pakaian untuk menutup aurat, mencari makanan untuk menguatkan ibadah dan sebagainya, maka  kebudayaan seperti itu bisa masuk dalam irsyad yang bernilai syariat.
            2). Amalan Rasulullah Saw. di Madinah yang bersifat sosial kemasyarakatan itu banyak sekali, antara lain tentang pergaulannya dengan non muslim (Yahudi, Nasrani dan Munafiqun), melestarikan jual beli, model politik (Mu’ahad Madinah), metoda belajar-mengajar, pernikahan dan semacamnya. Model-model soaial yang pernah dilakukan oleh Rasulullah semacam itu, apakah masuk dalam rana tasyri atau irsyad?. Di sini kaum muslimin berbeda pendapat (ihktilaf). Di antara mereka ada yang menilai tasyri yang harus dilaksanakan oleh sesama muslim saja, dan ada yang menilai bahwa itu irsyad, yang dapat dilaksanakan sesama non muslim juga. Untuk itu, ada dua kelompok yang berbeda pandangan. Kelompok pertama yang berfikir idealis totalistik yang memiliki pemikiran harus: ‘Kembali kepada Quran-Hadits’ berpendapat; bahwa semua amalan Rasulullah Saw. dalam bentuk apa pun, termasuk bentuk kebudayaan dan sosial kemasyarakatan itu bernilai tasyri’. Karena itu semua amalan Rasulullah harus diikuti oleh semua kaum muslimin. Orang yang meninggalkannya bisa disebut tidak mengikuti sunnah Rasulullah, dan suatu saat bisa disebut “inkar al-sunnah”. Sedangkan pemikiran kedua yang berfikir reformasi sosial pragmatis berpendapat bahwa amalan Rasulullah Saw. yang bersifat kemasyarakatan itu kebanyakan irsyad alias profan. Karena itu kaum muslimin tidak selamanya harus mengikuti semua amalan Rasulullah, tetapi ada beberapa amalan Rasulullah yang dapat ditinggalkan, seperti tentang kendaraan, atau cara belajar dan semacamnya. Pemikiran ini tidak bisa disebut inkar al-sunnah terhadap orang yang tidak melaksanakannya. Demikian karena yang ditinggalkan itu amalan Rasulullah yang bersifat basyariyah dan bukan amalan yang bersifat nubuwwah atau risalah.
            3). Amalan Rasulullah yang bersifat ibadah. Ibadah di sini ada dua macam, yaitu (a) ibadah yang pelaksanaannya diatur oleh Rasulullah dan dilembagakan, seperti shalat, puasa, haji, dan semacamnya. (b) ibadah yang cara pelaksanaannya tidak diatur dan tidak dilembagakan oleh Rasulullah. Ibadah model ini banyak sekali, sebagaimana dianjurkan oleh beberapa ayat al-Quran. Bentuknya antara lain seperti membaca shalawat kepada Rasulullah Saw (Surat al-Ahzab ayat 56), atau seperti memperbanyak zikir kepada Allah (Surat al-Dzariyat ayat 55) atau seperti mencari ilmu (Surat al-Alaq ayat 1-5) dan lain-lain. Ibadah model ini di dalamnya ada tasyri, dan ada irsyad.  Membaca shalawat kepada Rasulullah dari segi bacaan yang maktsur itu bernilai tasyri’, sedangkan teknis membaca shalawat bernilai irsyad. Karena itu kaum muslimin membaca shalawat dapat dilaksanakan dengan duduk dulu kemudian berdiri, seperti orang yang melantungkan Barzanji, atau melagukan Burdah, dan lain-lain. Begitu juga zikir kepada Allah yang bacaannya kalimat maktsurah termasuk tasbih, tahmid, tahlil, dan membaca al-Quran, itu dinilai tasyri’ sedangkan cara membacanya itu dinilai irsyad. Karena itu kaum muslimin bisa membacakan kalimah thayyibah dengan model thariqat, atau tahlil. Begitu pula mencari ilmu itu dinilai tasyri’ terutama mencari ilmu yang fardlu ‘ain. Sedangkan cara mencarinya dapat dinilai irsyad. Karena itu kaum muslimin bisa mencari ilmu dengan ngaji biasa, dengan sekolah atau mencari ilmu dengan kuliah dan lain sebagainya. 
          4). Amalah Rasulullah yang berbentuk aqidah, yaitu amalan yang sudah dirumuskan oleh umat Islam dalam bentuk ‘Rukun Iman’. Yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat Allah, iman kepada rasul-rasul Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada hari Qiyamat, dan iman kepada Qadla dan Qadar. Dalam soal ini berarti semua umat Islam itu mengikuti amalan Rasulullah, karena semuanya memegang dasar-dasar rukun iman tadi. Dengan kata lain, semua kaum muslimin yang mengakui pada rukun iman tadi oleh Fiqh al-Hadits disebut mengamalkan tasyri’. Sedang munculnya aliran-aliran dalam Islam, seperti Ahl al-Sunnah, Syi’ah, Mu’tazilah, Khawaruj (Ibadliyah), itu semua kelembagaannya dapat dimasukkan ke dalam cakupan irsyad. Meskipun begitu, ada juga orang yang berpendapat bahwa kelembagaan semacam itu masuk tasyri’dan irsyad sekaligus. Amalan model ini tidak dapat diuraikan di sini, karena harus membahas masalah teologi yang luas sekali.  
            Uraian di atas menyatakan bahwa pengolahan Fiqh al-Hadits itu ijtihadiyah, dan bentuknya bervariasi. Paling tidak ada dua model manhaj yang perlu dipegunakan untuk menerapkan ijtihadnya, yaitu (1) manhaj lughawi, yaitu memahami matan hadits secara tektualis (dan hermeunitis) dengan pendekatan yuridis dan atau filosofis. Manhaj ini menghimpun beberapa dalil penunjang untuk menentukan segi-segi mana makna hadits yang tergolong tasyri’ dan mana pemahaman hadits yang tergolong irsyad. (2) Manhaj yang  mengkontekstualisasikan makna hadits kepada perkembangan masyarakat. Manhaj ini dapat menggunakan kerangka berfikir historis, dan atau antrpologis. Kerangka berfikir historis seperti pembagian ghanimah yang dilakukan oleh ijtihad Umar ibn al-Khattab, berbeda dengan ijtihad pembagian ghanimah yang dilakukan Rasulullah dan sahabat Abu Bakar. Perbedaan ijtihad itu, antara lain karena perbedaan waktu. Sedangkan pendekatan antropologis, antara lain memahami fiqh al-hadits dengan memperhatikan perkembangan masyarakat dan lokasi kegiatannya. Pendekatan ini memungkinkan terjadinya ijtihad bervaiasi dalam fiqh al-hadits, karena perbedaan kultur masyarakat dan kegiatannya tadi. Karena itu konsep tasyri’ dan irsyad untuk masyarakat Saudi Arabia bisa berbeda dengan masyarakat di Indonesia atau di tempat lain. Pendekatan ini disajikan oleh Ibn al-Qayyim bahwa hukum hasil ijtihad itu dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon)  
                




RINGKASAN KONSEP FIQH AL-HADITS Reviewed by Chozin Nasuha on 08.40 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by Chozin Nasuha Official Web © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by Sweetheme

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.