RINGKASAN KONSEP FIQH AL-HADITS
Oleh
A. Chozin Nasuha[1]
Fiqh al-Hadits secara etimologis adalah
‘memahami matan hafits’. Sedang menurut istilah, Fiqh al-hadits ialah konsep pengamalan
hadits Nabi, dengan merespon perkembangan masyarakat, untuk memilah mana amalan
Raslullah yang harus diamalkan (tasyri’), dan mana amalan Rasulullah
yang bisa tidak diamalkan (irsyad)
Gagasan itu
disampaikan oleh al-Dahlawi (w. 1762 M) dalam kitabnya, Hujjat Allah
al-Balighah. Kitab itu membagi hadits Nabi menjadi dua, yaitu hadits tasyri’
dan hadits irsyad. Hadits tasyri’ adalah semua tuntunan
Rasulullah yang bernilai syariat, yang semua isinya harus dilaksanakan oleh
kaum muslimin. Dalam kaitan ini, Allah berfirman “Wamaa aataakum al-Rasuulu
fakhudzuuhu wamaa nahaakum ‘anhu fantahuu” (Al-Hasyr ayat 7) (Semua hal
yang didatangkan kepadamu oleh Rasulullah, maka ambillah (peganglah) itu dan
semua yang dicegahkan kepadamu, maka jauhilah (hindarkanlah). Contoh hadits
tasyri’ menurut al-Dahlawi antara lain info tentang akhirat, alam malakut, dan tentang
syariat yang berkaitan dengan ibadah, dan peningkatan kwalitas ibadah
itu sendiri. Semua itu didatangkan melalui wahyu.
Sedangkan
hadits irsyad ialah amalah Rasulullah selaku manusia yang berkaitan
dengan masalah-masalah sosial. Rasulullah bersabda: Innamaa Ana basyarun.
Idzaa amartukum bisyaiin min diinikum fakhudzuu bih, Waidzaa amartukum bisyaiin
min rakyii fainnamaa Ana basyarun. (Sesungguhnya, saya ini manusia. Jika
saya memerintahkan sesuatu kepadamu tentang agama, maka ambillah itu.
Jika saya memerintahkan sesuatu itu muncul dari pikiranku (sosial), maka saya
adalah manusia. Dengan hadits ini, muhaddits memahami bahwa Rasulullah
suatu ketika menjalankan norma kerasulan (nubuwwah) dan suatu ketika Rasulullah
menjalankan kehidupan sosial biasa.
Tasyri’ dan irsyad bukan konsep dikotomi atas makna hadits, tetapi merupakan
pembidangan isi hadits yang luas. Artinya, di antara tasyri’ dan irsyad
itu ada konsep lagi yang dapat dinilai tasyri’ dan irsyad sekali
gus. Suatu contoh, Rasulullah pergi ke pasar dengan memakai jubah putih
misalnya. Hadits ini dapat dinilai tasyri’ dari segi menutup aurat, dan
dinilai irsyad dari segi model pakaian yang dipakai oleh Rasulullah
tadi. Hadits-hadits model ini banyak sekali, sehingga seorang muhaddits
dalam memahami hadits Nabi, memerlukan pengetahuan tentang norma syari’at,
dan sekaligus memahami model-model kehidupan masyarakat.
Pemilihan konsep fiqh al-hadits untuk menentukan masalah, apakah sebuah
hadits itu tasyri’ atau irsyad, atau masuk dalam gabungan tasyri
dan irsyad, itu ijtihadiyah. Karena itu sering terjadi perbedaan
konsep antara beberapa ulama dalam menentukan maksud hadits Rasulullah Saw.
Perbedaan itu terjadi sejak zaman shahabat Nabi sampai sekarang. Pemikiran (ijtihad)
Umar, Ali, dan Ibn Mas’ud, misalnya, bisa berbeda dengan pemikran (ijtihad)
Ibn Umar, Aisyah, Zaid ibn Tsabit, dan Ubay ibn Ka’ab dalam berbagai masalah.
Kasus yang menyolok tentang penilaian tasyri’ atau irsyad adalah amalan
Rasulullah tentang pembagian ghanimah yang biasa dibagikan kepada
sahabat Nabi yang ikut berperang. Hadits ini oleh Abu Bakar dinilai tasyri’,
sehingga setiap ada ghanimah selalu dibagikan kepada sahabat Nabi yang berperang.
Tetapi Umar ibn al-Khattab berpendapat, bahwa amalan Rasulullah tentang
pembagian ghanimah tadi irsyad. Karena itu ketika kaum muslimin
mengalahkan Persia di Qadisiyah, semua ghanimah tidak dibagikan kepada
sahabat Nabi yang perang, tetapi diserahkan kepada negara untuk perkembangan
Islam yang lebih luas. Waktu itu, ijtihad Umar ditentang oleh banyak
sahabat Nabi, antara lain Bilal ibn Abi Rabah. Tetapi setelah pembahasan itu
dimusyawa-rahkan, akhirnya ijtihad Umar dibenarkan, bahwa hadits semacam
itu irsyad, dan dapat dilaksanakan atas dasar konteks kemasyarakatan
yang berkembang.
Kasus yang pemecahannya ijtihad, itu berlaku sepanjang zaman,
termasuk zaman sekarang. Kitab Kuning pernah
mencatat tentang perbedaan pendapat antara ahl al-hadits dan ahl
al-rakyi dalam menentukan masalah fiqhiyah. Perbedaan itu muncul karena
perbedaan paradigma, perbedaan argumentasi, perbedaan uruf, perbedaan situasi
dan kondisi, perbedaan kemaslahatan umum, dan sebagainya. Semua perbedaan itu dalam
pemahaman (penafsiran) dan bukan berbeda dalam menerima eksistensi hadits.
Semua amalan dan tindakan Rasulullah Saw. itu terpuji dan tidak ada yang
salah. Lebih dari itu, banyak sekali amalan Rasulullah yang harus diikuti, yang
oleh al-Quran disebut uswah hasanah. Tetapi ilmuan hadits mengetahui
bahwa secara keilmuan, amalan Rasulullah itu dapat dipilah menjadi empat macam.
Yaitu amalan kebudayaan, amalan sosial kemasyarakatan, amalan peribadatan, dan
amalan keyakinan (akidah).
1).
Amalan Rasulullah yang bersifat kebudayaan itu menurut Fiqh al-Hadits masuk
hadits irsyad, yaitu amalan Rasulullah yang dapat dipergunakan oleh kaum
muslimin atau ditinggalkan. Contohnya seperti makanan Rasulullah, tempat
kediaman Rasulullah, kendaraan Rasulullah, peralatan perang Rasulullah, kesenian
Rasulullah, model pakaian Rasulullah dan sebagainya, yang tidak ada kaitannya
dengan syari’at. Meskipun begitu, jika dalam kebudayaan itu ada nilai syari’at
yang diterapkan, seperti menggunakan pakaian untuk menutup aurat, mencari makanan
untuk menguatkan ibadah dan sebagainya, maka kebudayaan seperti itu bisa masuk dalam
irsyad yang bernilai syariat.
2).
Amalan Rasulullah Saw. di Madinah yang bersifat sosial kemasyarakatan itu banyak
sekali, antara lain tentang pergaulannya dengan non muslim (Yahudi, Nasrani dan
Munafiqun), melestarikan jual beli, model politik (Mu’ahad Madinah),
metoda belajar-mengajar, pernikahan dan semacamnya. Model-model soaial yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah semacam itu, apakah masuk dalam rana tasyri atau
irsyad?. Di sini kaum muslimin berbeda pendapat (ihktilaf). Di
antara mereka ada yang menilai tasyri yang harus dilaksanakan oleh sesama
muslim saja, dan ada yang menilai bahwa itu irsyad, yang dapat
dilaksanakan sesama non muslim juga. Untuk itu, ada dua kelompok yang berbeda
pandangan. Kelompok pertama yang berfikir idealis totalistik yang
memiliki pemikiran harus: ‘Kembali kepada Quran-Hadits’ berpendapat; bahwa
semua amalan Rasulullah Saw. dalam bentuk apa pun, termasuk bentuk kebudayaan
dan sosial kemasyarakatan itu bernilai tasyri’. Karena itu semua amalan Rasulullah
harus diikuti oleh semua kaum muslimin. Orang yang meninggalkannya bisa disebut
tidak mengikuti sunnah Rasulullah, dan suatu saat bisa disebut “inkar
al-sunnah”. Sedangkan pemikiran kedua yang berfikir reformasi sosial
pragmatis berpendapat bahwa amalan Rasulullah Saw. yang bersifat
kemasyarakatan itu kebanyakan irsyad alias profan. Karena itu kaum
muslimin tidak selamanya harus mengikuti semua amalan Rasulullah, tetapi ada
beberapa amalan Rasulullah yang dapat ditinggalkan, seperti tentang kendaraan,
atau cara belajar dan semacamnya. Pemikiran ini tidak bisa disebut inkar
al-sunnah terhadap orang yang tidak melaksanakannya. Demikian karena yang
ditinggalkan itu amalan Rasulullah yang bersifat basyariyah dan bukan
amalan yang bersifat nubuwwah atau risalah.
3). Amalan Rasulullah yang bersifat
ibadah. Ibadah di sini ada dua macam, yaitu (a) ibadah yang pelaksanaannya diatur
oleh Rasulullah dan dilembagakan, seperti shalat, puasa, haji, dan semacamnya. (b)
ibadah yang cara pelaksanaannya tidak diatur dan tidak dilembagakan oleh Rasulullah.
Ibadah model ini banyak sekali, sebagaimana dianjurkan oleh beberapa ayat
al-Quran. Bentuknya antara lain seperti membaca shalawat kepada Rasulullah
Saw (Surat al-Ahzab ayat 56), atau seperti memperbanyak zikir
kepada Allah (Surat al-Dzariyat ayat 55) atau seperti mencari ilmu (Surat
al-Alaq ayat 1-5) dan lain-lain. Ibadah model ini di dalamnya ada tasyri,
dan ada irsyad. Membaca shalawat
kepada Rasulullah dari segi bacaan yang maktsur itu bernilai tasyri’,
sedangkan teknis membaca shalawat bernilai irsyad. Karena itu
kaum muslimin membaca shalawat dapat dilaksanakan dengan duduk dulu kemudian
berdiri, seperti orang yang melantungkan Barzanji, atau melagukan Burdah,
dan lain-lain. Begitu juga zikir kepada Allah yang bacaannya kalimat maktsurah
termasuk tasbih, tahmid, tahlil, dan membaca al-Quran, itu dinilai tasyri’
sedangkan cara membacanya itu dinilai irsyad. Karena itu kaum muslimin bisa
membacakan kalimah thayyibah dengan model thariqat, atau tahlil.
Begitu pula mencari ilmu itu dinilai tasyri’ terutama mencari ilmu
yang fardlu ‘ain. Sedangkan cara mencarinya dapat dinilai irsyad.
Karena itu kaum muslimin bisa mencari ilmu dengan ngaji biasa, dengan sekolah
atau mencari ilmu dengan kuliah dan lain sebagainya.
4). Amalah Rasulullah yang berbentuk
aqidah, yaitu amalan yang sudah dirumuskan oleh umat Islam dalam bentuk ‘Rukun
Iman’. Yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat Allah, iman kepada
rasul-rasul Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada hari Qiyamat, dan
iman kepada Qadla dan Qadar. Dalam soal ini berarti semua umat Islam itu
mengikuti amalan Rasulullah, karena semuanya memegang dasar-dasar rukun iman
tadi. Dengan kata lain, semua kaum muslimin yang mengakui pada rukun iman tadi oleh
Fiqh al-Hadits disebut
mengamalkan tasyri’. Sedang munculnya aliran-aliran dalam Islam,
seperti Ahl al-Sunnah, Syi’ah, Mu’tazilah, Khawaruj (Ibadliyah), itu semua kelembagaannya
dapat dimasukkan ke dalam cakupan irsyad. Meskipun begitu, ada juga orang
yang berpendapat bahwa kelembagaan semacam itu masuk tasyri’dan irsyad
sekaligus. Amalan model ini tidak dapat diuraikan di sini, karena harus
membahas masalah teologi yang luas sekali.
Uraian di atas menyatakan bahwa pengolahan Fiqh
al-Hadits itu ijtihadiyah, dan bentuknya bervariasi. Paling tidak
ada dua model manhaj yang perlu dipegunakan untuk menerapkan ijtihadnya,
yaitu (1) manhaj lughawi, yaitu memahami matan hadits secara
tektualis (dan hermeunitis) dengan pendekatan yuridis dan atau filosofis. Manhaj
ini menghimpun beberapa dalil penunjang untuk menentukan segi-segi mana makna hadits
yang tergolong tasyri’ dan mana pemahaman hadits yang tergolong
irsyad. (2) Manhaj yang mengkontekstualisasikan makna hadits kepada
perkembangan masyarakat. Manhaj ini dapat menggunakan kerangka berfikir historis,
dan atau antrpologis. Kerangka berfikir historis seperti pembagian ghanimah yang
dilakukan oleh ijtihad Umar ibn al-Khattab, berbeda dengan ijtihad pembagian ghanimah
yang dilakukan Rasulullah dan sahabat Abu Bakar. Perbedaan ijtihad itu, antara
lain karena perbedaan waktu. Sedangkan pendekatan antropologis, antara lain
memahami fiqh al-hadits dengan memperhatikan perkembangan masyarakat dan lokasi
kegiatannya. Pendekatan ini memungkinkan terjadinya ijtihad bervaiasi dalam fiqh
al-hadits, karena perbedaan kultur masyarakat dan kegiatannya tadi. Karena
itu konsep tasyri’ dan irsyad untuk masyarakat Saudi Arabia bisa
berbeda dengan masyarakat di Indonesia atau di tempat lain. Pendekatan ini
disajikan oleh Ibn al-Qayyim bahwa hukum hasil ijtihad itu dapat berubah karena
perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan. Wallahu a’lam bi
al-shawab.
(Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh
Nurjati Cirebon)
RINGKASAN KONSEP FIQH AL-HADITS
Reviewed by Chozin Nasuha
on
08.40
Rating:
Tidak ada komentar: