Kerangka Dasar Fiqh al-Hadits
A. Pembukaan
Al-Quran menganjurkan, agar
umat Islam mengikuti sunnah Rasulullah Saw. (uswah hasanah). Tetapi
secara empirik, banyak teks hadits atau informasi sunnah Rasulullah yang
dalam perkembangannya ditinggalkan oleh pencinta hadits itu sendiri, terutama tentang
informasi yang berkaitan dengan masalah sosial. Dalam diskusi ini, ada dua
masalah yang akan dibicarakan, yaitu (1) Perbedaan antara hadits dan ilmu
hadits, (2). Pemilahan penerapan matan hadits, apakah itu masuk dalam bidang
ibadah atau dalam bidang sosilal.
Hadits
Nabi (teks) adalah semua informasi yang disandarkan kepada Rasulullah Saw. atau
kepada shahabat Nabi dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau pengakuan, dan
atau sifat-sifat yang ada pada diri Rasulullah Saw. Dalam tempat lain, Hadits
Nabi adalah semua catatan yang keluar dari Rasulullah (selain al-Qur’an) dalam
bentuk kata-kata, atau perbuatan, atau pengakuan, dan atau sifat-sifat
kemanusiaan yang ada pada diri Rasulullah Saw. Semua teks hadits itu baku , statis, diam, dan
tidak perlu dirubah.
Sedangkan Ilmu Hadits ialah
seperangkat kaidah yang mengatur tentang isi dan struktur hadits, dikaitkan
dengan model perkembangan ilmu. Pengolahan ilmu isi (teks) hadits disebut Ilmu
Hadits Riwayah, dan pengolahan struktur hadits disebut Ilmu Hadits
Dirayah. Dua bidang ilmu itu bergerak terus, dan pemikiranya juga dapat
berkembang sesuai kebutuhan. Begitu itu dilakukan untuk menformatisasikan isi
hadits Nabi kepada lapisan umat, dan kepada perkembangan masyarakat. Dengan
kata lain, Ilmu Hadits Nabi berbeda dengan teks Hadits Nabi itu sendiri. Dengan
kata lain, ilmu hadits riwayah adalah
(syarah) atau interpretasi atas
teks yang menggali isinya baik dari segi isi teks itu sendiri, atau dari
segi konteksnya, sebagaaimana sudah diuraikan dalam artikel “Model Pengembangan
Ilmu Hadits”. Salah satu alat yang dipergunakan untuk mengolah matan hadits,
adalah sebuah karangan yang biasa disebut “Fiqh al-Hadits”
B. Konsep Fiqh al-Hadits
Dalam pembahasan syarah dan ilmu hadits,
jarang sekali ilmuan atau dosen ilmu hadits yang menurunkan konsep keilmuan
(teori) ‘Fiqh al-Hadits’. Ilmu ini disajikan oleh al-Dahlawi (w.1176 H-1762
M) dalam kitabnya, Hujjat Allah al-Balighah. Bentuk ilmu ini mengkonstruksikan
sebuah isi hadits, apakah itu masuk dalam dataran tasyri’ atau masuk dataran
irsyad.
Keilmuan model ini tidak banyak
diuraikan oleh penulis Ulum al-Hadits,
termasuk oleh Dr. Muhammad ‘Ájjaj al-Khathib sendiri, yang kitabnya dicetak
tahun 1409 H/1989 M. Teori ini dikutip oleh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dalam
kitabnya, Qawa’id al-Tahdits. Itu pun kitab tadi tidak menurunkan
definisi, baik lughatan atau istilahan. Kitab ini hanya mengutip
tulisan al-Dahlawi tentang definisi hadits tasyri’ dan definisi hadits
irsyad. Itu pun tidak dijelaskan apakah dua konsep itu dikotomi atau
pembidangan. Untuk itu, tulisan ini akan membantu perkembangan teori itu lebih
lanjut..
Fiqh al-Hadits secara bahasa adalah
‘memahami matan hadits’. Sedangkan secara konsepsi, Fiqh al-Hadits ialah
konsep pemikiran yang merespon tuntutan perkembangan zaman dan masyarakat,
sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. Berangkat dari konsep ini, seorang muhaddits
sudah memiliki bekal pengetahuan untuk memecahkan permasalahan sunnah
Rasulullah yang akan diterapkan pada berbagai aspek kehidupan. Maka untuk
keperluan itu, muhaddits sekarang perlu memahami Fiqh al-Hadits
dengan harapan, mereka mampu mendudukkan posisi sebuah hadits, apakah itu bernilai
tasyri’ atau irsyad. Tasyri’ ialah tuntunan Rasulullah yang bernilai ibadah
yang harus dilaksanakan oleh kaum
muslimin sesuai isinya. Sedangkan irsyad ialah teks atau informasi sebuah
fenomena sosial yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. yang tidak ada kaitannya
dengan perintah atau larangan yang harus dilakukan, atau ditinggalkan oleh umat.
Dalam konsep lain, al-Dahlawi menyajikan pemahaman
terhadap hadits Nabi, bahwa itu dapat dipilah menjadi dua bidang hadits, yaitu
hadits tasyri’ dan hadits irsyad, sebagaimana tersebut di atas.
Menurut al-Dahlawi, Hadits tasyri adalah semua tuntunan Rarulullah Saw.
yang berkaitan dengan syariat Islam. Dalam kaitan ini, Allah berfirman “Wamaa
aatakum al-Rasuulu fakhudzuuhu wamaa nahaakum ‘anhu fantahuu” (Semua hal
yang didatangkan kepadamu oleh Rasulullah, maka ambillah/peganglah, dan semua
hal yang dicegahkan kepadamu, maka hindarkanlah). Menurut al-Dahlawi, contoh
hadits tasyri’ adalah seperti konsep akhirat, dan keajaiban alam malakut. Masuk
dalam hadits tasyri’ juga tentang syari’at Islam yang berkaitan dengan
ibadah, dan peningkatan kwalitas ibadah itu sendiri. Semua itu didasarkan pada
wahyu dan sebagian didasarkan pada ijtihad Rasulullah Saw.
Sedangkan hadits irsyad adalah amalan
Rasulullah selaku manusia, yang berkaitan dengan masalah sosial. Rasulullah
bersabda : Innamaa Ana basyarun. Idzaa amartukum bi-syaiin min diinikum,
fakhudzuu bih. Waidzaa amartukum bi-syaiin min ra’yii, fainna-maa Ana basyarun.
(Sesunguhnya, saya ini manusia. Jika saya memerintahkan sesuatu kepadamu
tentang agama, maka ambillah itu. Jika saya memerintah kamu tentang sesuatu
yang muncul dari pikiranku (sosial), maka saya adalah manusia. Dengan hadits
ini kita faham bahwa Rasulullah Saw. suatu ketika menerapkan kerasulan
(kenabian), dan suatu ketika beliau menjalankan kehidupan sosial seperti
manusia biasa. Menurut al-Dahlawi, contoh hadits irsyad adalah seperti hadits:
Antum a’lamu biumuuri duniakum. (Kamu lebih paham tentang urusan
duniamu). Termasuk dalam hadits irsyad adalah tradisi kedaerahan,
interaksi sosial, dan semua bentuk budaya yang berkaitan dengan politik,
ekonomi, teknologi, kominikasi dan sebagainya.
Tasyri dan Irsyad bukan merupakan konsep
dikotomi atau pemilahan hadits menjadi tasyri’dan irsyad saja, tetapi konsep
itu merupakan pembidangan yang luas sekali, karena di antara tasyri’dan irsyad,
banyak sekali amalan Rasulullah yang dapat dipisah menjadi tasyri’dan irsyad
sekaligus. Artinya: Di tengah-tengah antara dua konsep itu Fiqh al-Hadits menyimpan
bagian-bagian yang baru bisa dilihat oleh ahli hadits yang berfikir. Contohnya
seperti Raslullah Saw. pergi ke pasar dengan memakai jubah putih. Apakah amalan
Rasulullah itu tasyri’ atau irsyad? Dari segi menutup aurat,
Rasulullah Saw. itu menjalankan tasyri’, tetapi dari segi bentuk pakaian, Rasulullah Saw. menjalankan
hadits irsyad, dan bayak lagi model-model hadits yang perlu dirumuskan
seperti itu.
Pemilihan konsep Fiqh al-Hadits untuk
menentukan apakah hadits itu tasyri’atau irsyad itu ijtihadiyah
dan tidak ada kepastian yang qath’i. Atas dasar itu setiap ilmuan
memiliki konsep yang satu sama lain berbeda. Keadaan seperti itu terjadi sejak
zaman shahabat Nabi sampai masa yang tidak terbatas. Umar ibn al-Khattab, Ali ibn Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud adalah
tokoh-tokoh besar yang memiliki konsep yang sangat berbeda dengan konsep Ibn
Umar, Aisyah, Ubay ibn Ka’ab dan Zaid ibn Tsabit, dalam menentukan paradigma Fiqh
al-Hadits. Perbedaan yang menyolok adalah sebuah amalan shahabat Umar (fiqh
Umar) yang berbeda dengan fiqh Rasulullah Saw. Perbedaan fiqh tadi disaksikan
oleh para sahabat yang banyak sekali. Masalahnya muncul pertanyaan: Apakah semua
amalan Rasulullah Saw. itu masuk tasyri’ semua, atau ada yang masuk irsyad.
Jawaban soal ini dirumuskan oleh Fiqh al-Hadits yang secara keilmuan
belum banyak konsep yang dirumuskan oleh dosen-dosen hadits di berbagai kawasan.
Suatu contoh, Rasulullah Saw. jika memenangkan suatu peperangan, beliau selalu
membagikan harta pampasannya (ghanimah atau fai’) kepada para prajurit
yang ikut berperang. Hadits tadi oleh Abu Bakar dan shahabat lainya dinilai
tasyri’. Karena itu setiap pampasan perang harus dilaksanakan seperti
amalan Rasulullah tadi. Akan tetapi, ketika terjadi kemenangan perang Qadisiyah
di Irak, Umar ibn al-Khattab selaku Khalifah tidak membagikan ghanimahnya
kepada prajurit yang ikut perang. Karena itu, tindakan Umar banyak diprotes
oleh para sahabat senior antara lain Bilal ibn Abi Rabah. Tetapi ijtihad
shahabat Umar (fiqh Umar) tetap memiliki konsep yang berbeda dengan amalan
Rasulullah dan shahabat Abu Bakar. Fiqh Umar berpendapat bahwa pembagian harta
peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah itu irsyad dan bukan tasyri’.
Karena itu pembagian ghanimah seperti Rasulullah Saw. dapat dirubah
sesuai perkembangan zaman. Atas dasar itu, ketika terjadi kemenangan sahabat Nabi
atas Irak tadi, Umar ibn al-Khattab tidak membagikan ghanimah (sawad al-Iraq)
kepada para prajurit yang ikut berperang, tetapi diserahkan kepada negara untuk
perkembangan Islam yang lebih luas. Ijtihad Umar ini ditentang oleh mayoritas
sahabat, seperti tersebut di atas. Setelah diskusi yang panjang, Umar bersama
Ali dapat menyajikan argumentasi yang cemerlang, dengan diiringi pembacaan ayat
ke 7 Surat al-Hasyr, akhirnya ijtihad Umar yang menganggap bahwaa fiqh
Rasulullah itu ijtihadiyah, yang dimasukan ke dalam hadits irsyad, akhirnya disepakati
oleh para sahabat, sehingga tindakan Umar tadi menjadi ijma’ shahabat..
C. Paradigma Fiqh al-Hadits
Sudah disebutkan di atas bahwa
penilaian tehadap matan hadits bahwa itu tasyri’ atau irsyad
adalah ijtihadiyah. Karena bersifat ijtihadi, maka konsepnya berbeda antara
satu kelompok ulama dengan kelompok yang lain, sebagaimana terjadi pada masa
Umar tersebut. Perdebatan semacam itu terjadi juga pada masa perkembangan konsep
keagamaan antara ahli hadits dan ahli rakyu, sebagaimana ditulis oleh Kitab
Kuning. Kedua konsep tasyri’dan irsyad yang dimunculkan oleh kedua aliran yang
saling berbeda itu tidak bisa dibenarkan salah satu, atau disalahkan yang lain.
Kedua konsep itu sama-sama hasil ijtihad yang diperlukan untuk mengolah Fiqh
al-Hadits sampai sekarang. Bentuknya satu, yaitu kontekstualisasi penerapan
matan hadits agar sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. Perbedaan itu
bisa muncul karena perbedaan paradigma, perbedaan argumentasi, perbedaan ‘uruf,
perbedaan situasi, perbedaan kemaslahatan dan lain sebagainya, sebagaimana sudah
dilakukan oleh imam-imam mujtahid di berbagai daerah. Bahkan kaum muslimin di Indonesia
misalnya, bisa terjadi perbedaan pendapat (konsep) antara kelompok yang
berfikir idealis totalistik dengan kelompok yang berfikir reformasi
sosial pragmatis. Kelompok yang kedua ini berpendapat bahwa, konsep tasyri’
dan irsyad bagi sebuah hadits Nabi, yang diterapkan pada zaman Abbasiyah
itu berbeda dengan konsep zaman kita sekarang. Begitu pula tentang konsep tasyri’
dan irsyad yang diterapkan pada masyarakat Saudi Arabia
misalnya, dapat berbeda dengan konsep tasyri’ dan irsyad yang
diterapkan pada masyarakat Indonsia atau lainnya, dan begitulah seterusnya.
Konsep yang dicetuskan oleh pemikiran semacam itu, pasti menimbulkan pro dan
kontra di kalangan pembaca.
Berangkat dari studi teks (matan)
hadits, harus disadari bahwa hadits itu memiliki bidang kajian yang berbeda-beda,
paling tidak berkaitan dengan tiga bidang, yaitu akidah, ibadah, dan sosial kemasyarakatan.
Semua itu mempunyai model teori yang satu sama lain berbeda untuk mengolah Fiqh
al-Hadits. Pada awalnya, semua muhaddits melakukan analisa normatif
lebih dahulu dengan penilaian apakah hadits itu shahih, atau dla’if
dan sebagainya. Dalam kaitan ini, al-Dahlawi dalam kitabnya, al-Hujjah
al-Balighah menulis bahwa tuntunan syariat untuk umat itu terbagi menjadu
dua model (1) tuntunan yang datangnya konkret dan jelas, dan ini terjadi baik
liwat informasi yang mutawatir atau tidak mutawatir. Info yang
mutawatir ada yang datang dengan teksnya seperti al-Quran, dan sebagian kecil
teks hadits, dan ada yang mutawatir maknawi, seperti aturan tentang thaharah,
shalat, zakat, hajji, jual-beli, pernikahan dan lain-lain. Ada juga tuntunan yang datang dengan tidak
mutawatir, tetapi shahih, hasan, dan sebagainya. Tuntunan model ini banyak
ditentukan konkretisasinya melalui ijma’, atau istihsan dan lain-lain. (2)
tuntunan yang datang signifikansinya saja, baik melalui amalan shahabat Nabi,
atau tabi’in dan atau berdasarkan paradigma (Ushul Fiqh) yang disusun
oleh para ulama.
Berangkat dari konsep di atas, muhaddits
dapat berfikir deduktif untuk membuat gambaran penilaian, apakah hadits
yang dihadapi itu masuk tasyri’ atau masuk irsyad. Setelah itu, muhaddits
sendiri bergerak kesana-kemari untuk mencari dalil penguat yang menunjang teori
yang dipelajari. Hasil pekerjaan itu baru mendapatkan hepotesa, atau paradigma
awal dan belum bisa dianggap sebagai teori Fiqh al-Hadits, karena belum
dikaitkan pada kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, semua pemikiran di atas
baru masuk dalam dataran paradigma.
Paradigma dalam tulisan ini adalah
cara pandang ilmuan tentang sisi strategis yang paling menentukan nilai dalam (Fiqh
al-Hadits) apakah hadits yang sedang dihadapi itu masuk tasyri’ atau
masuk irsyad. Paradigma selain berhubungan erat dengan beberapa aliran
dalam Islam, seperti Ahl al-Sunnah, Syiáh, Mu’tazilah, dan lain-lain, ada juga
konsep paradigmatis yang dapat diterapkan untuk mengolah Fiqh al-Hadits.
Kalau itu dikaitkan pada teori ilmu, maka paradigma Fiqh al-Hadits dapat
dibagi menjadi tiga macam. Yaitu paradigma konvensional, paradigma perspektif
komunikasi, dan paradigma teknologi komunikasi.
Paradigma teori konvesional adalah
pemikiran sekelompok ahli hadits mutaakhirin yang kitabnya setiap saat
dipelajari dan dikembangkan oleh ulama berikutnya. Paradigma ini secara skiptis
menganggap bahwa masalah fiqhiyah (ijtihadiyah) merupakan daulat dari
paradigma ini. Dalam fiqh klasik, pemikiran itu dikembangkan oleh Ibn al-Shalah
(w. 641 H.-1243 M) dan Al-Nawawi (w.676 H-1277 M) yang berfikir tekstualis
sentris, sehingga keduanya mengharamkan berfikir manthiqi alias rasionalistis
yang dicocokan dengan realitas (muthabiq al-waqi’). Paradigma semacam
itu pernah dikembangkan oleh masyarakat NU sebelum Gus Dur, yang menganjurkan
agar tarjih fiqihnya NU adalah didasarkan pada masalah fiqhiyah yang
sudah disepakati oleh al-Nawawi dan al-Rafi’iy (w.625 H- 1227 M) (al-syaikhan).
Kalau itu tidak ditemukan, maka fiqh al-Nawawi didahulukan untuk diamalkan, baru
mengutip fiqh al-Rafi’iy dan begitulah seterusnya. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, masyarakat NU terutama setelah Munas Alim Ulama di Lampung
(1992) menambah paradigma baru yang berkaitan dengan metoda berfikir fiqhiyah, sehingga
model-model paradigma menjadi kaya. Paradigma semacam itu dapat dijadikan
sebagai paradigma untuk Fiqh al-Hadits dalam menentukan konsep tasyri’
dan irsyad.
Paradigma perspektif komunikasi
adalah konsep yang berpendapat bahwa masyarakat dan ilmu pengetahuan itu
berkembang terus Perkembangan satu
bidang ilmu tidak bisa dipisahkan dengan bidang lainnya, karena semua berjalan
secara gradual. Dalam perkembangan
sosial tidak dapat dipisahkan antara politik, ekonomi, sosial, budaya,
agama, dan sebagainya, karena fenomena
sosial berkembang secara bersama-sama dalam segi kehidupan masyarakat. Atas
dasar itu, Fiqh al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai ilmu untuk menentukan
tasyri’ atau irsyad adalah bukan merupakan sebuah teori harga
mati, tetapi harus berkembang sesuai kebutuhan ilmu. Pemikiran semacam itu
dituntun oleh Shahabat Umar ibn al-Khattab ketika mengatur pembagian sawad
al-Iraq yang sangat berbeda dengan model pembagian ghanimah yang dilakukan
oleh Rasulullah Saw. dan Abu Bakar al-Shiddiq, sebagaimana sudah
diuraikan di atas. Amalan Shahabat Umar ini, kemudian dibuat teori oleh Ibn
al-Qayyim (w. 751 H-1350 M) yang mengatakan bahwa :“Hukum itu berubah karena
perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan”. Di sini terdapat tujuh
konsep (konstruk), yakni perubahan, hukum, waktu, tempat, keadaan, niat, dan
kebiasaan. Hukum sebagai akibat, sedangkan yang lainnya adalah sebagai
sebab (illat). Paradigma ini dapat diterapkan pada Fiqh al-Hadits untuk
menentukan isi teks hadits, apakah isi itu masuk dataran tasyri’ atau irsyad,
atau dari satu segi tasyri’ dan dari segi lain, irsyad.
Salah satu model paradigma yang dapat
diterapkan pada Fiqh al-Hadits lagi adalah memasukkan media komunikasi dalam
menentukan mana dataran hadits yang masuk tasyri’dan mana yang masuk irsyad.
Pemilahan semacam itu memerlukan dasar-dasar ilmu sosial dan ilmu budaya. Secara
teori aktifitas komunikasi terdiri atas tiga hal, yaitu manuisa, media, dan
aktifitasnya. Secara empirik, media komunikasi berkembang dengan sangat pesat, dan
merupakan dialektika dalam kebutuhan manusia dalam konteks komunikasi ini.
Sejarah telah membuktikan bahwa Imam Abu Hanifah di Kufah, Imam Malik di
Madinah, Imam al-Syafi’iy di Kairo, dan Imam Ahmad di Baghdad, itu semua memanfaatkan
media yang ada dari daerahnya masing-masing. Karena itu, ijtihadnya pun
berbeda-beda. Lebih dari itu, Imam al-Syafi’iy sendiri yang pernah memanfaatkan
dua model masyarakat (Baghdad dan Kairo) maka hasil ijtihadnya pun berbeda pula
dengan istilah qaul qadim dan qaul jadid. Allahumma, seandainya
imam-imam mujtahid itu hidup sekarang, maka mungkin akan memanfaatkan media yang
berkembang sekarang. Lebih dari itu diduga akan terjadi perubahan dan
perkembangan pada imam-imam tadi dalam menentukan tasyri’ dan irsyad yang
ada pada matan hadits. Tiga model paradigma di atas, dapat membuat aliran
pengembangan bagi dosen-dosen ilmu hadits yang melatar belakangi sebuah teori
dalam Fiqh al-Hadits.
D. Struktur Teori
Fiqh al-Hadits adalah ilmu yang paling canggih
dan terluas cakupannya di antara ilmu-ilmu yang ada dalam Ilmu Hadits Dirayah.
Studi Fiqh al-Hadits selain mempelajari isi teks secara interpretatif (hermeneutis)
juga perlu mempelajari konteks keilmuan yang melibatkan dasar-dasar ilmu
sosial. Semua ilmuan mengakui bahwa perkembangan ilmu sosial pesat sekali melebihi
ilmu-ilmu yang lain. Karena itu studi Fiqh al-Hadits lebih luas dan lebih
kompleks dari pada mempelajari ilmu lain, seperti Jarah-Ta’dil misalnya.
Studi Jarah-Ta’dil yang biasa dilakukan oleh dosen-dosen ilmu hadits
adalah hanya mengutak-atik bobot perawi hadits yang norma dan aturannya sudah
ditulis oleh ulama zaman dulu dan sudah dikumpulkan dalam beberapa kitab,
seperti Al-Jarh wa al-Ta’dil karya Ibn Abi Hatim, atau semacam al-Ishabah,
karya Ibn Hajar al-‘Asqallani, atau semacam Mizan al-I’tidal karya
al-Dzahabi dan lain sebagainya. Lebih dari itu, studi Fiqh al-Hadits
lebih manfaat dan lebih ilmiah dari pada studi tentang takhrij yang
bentuknya seperti model keterampilan yang bobot ilmiahnya kecil sekali.
Untuk menyusun teori yang ada dalam
Fiqh al-Hadits, idealnya adalah muhaddits memperhatikan hasil
penelitian ilmu-ilmu sosial, karena teori tasyri’ dan irsyad yang
ilmiah adalah selalu diangkat dari ilmu sosial. Melihat hasil perkembangan ilmu
sosial seperti komunikasi, fenomenologi dan lain-lain bisa disebut berubah setiap
saat, dan penelitiannya selalu menemukan teori baru, maka teori tasyri’ dan
irsyad yang ada dalam Fiqh al-Hadits pun sebaiknya berkembang
sesuai perkembangan teori yang didapatkan melalui penelitian itu. Demikian
kalau ilmu hadits dianggap sebagai ilmu, dan bukan dianggap sebagai doktrin
keagamaan.
Tasyri’dan irsyad sebagaimana
sudah didefinisikan di atas adalah teori yang ada dalam Fiqh al-Hadits.
Dari segi lain, sudah diuraikan juga bahwa matan hadits dapat dikelompokkan menjadi
hadits akidah, hadits ibadah dan hadits sosial kemasyarakatan. Begitu rumitnya
lalu lintas teori yang ada dalam Fiqh al-Hadits, maka perlu disusun
strukturnya lebih dahulu, di samping penerapan paradigma yang sudah dirinci di
atas. Dalam kaitan ini, struktur teori dapat dikelompokkan menjadi tiga
tingkat, grand theory, middle theory, dan application tteory. Dari
struktur ini kemudian menghasilkan konseptualisasi dan metodologi.
Grand theory adalah teori-teori makro
yang mendasari berbagai teori yag ada di bawahnya. Contohnya seperti tentang
teori ibadah, teori muamalah atau teori lainnya.. Disebut grand theory
karena sampai saat ini teori-teori itu menjadi dasar lahirnya teori-teori lain
dalam berbagai level, sementara disebut makro karena teori-teori ini berada di
level teori yang makro, ia berbicara tentang struktur dan tidak berbicara
tentang fenomena-fenomena secara mikro. Sementara teori yang disebut middle
theory adalah teori yang berada pada level mezo, yaitu level menengah, yang
fokus kajiannya makro dan mikro. Teori strukturalisasi sering disebut aplikasi
teori, karena teori ini berada di level mikro dan siap diaplikasikan dalam
konseptualisasi. Kalau tiga teori (makro, mezo, dan mikro) itu diterapkan pada tradisi
keilmuan, maka konsep ibadah adalah masuk dalam teori makro,. sedang teori
mezonya adalah mencakup teori shalat, puasa, zakat, dan hajji misalnya. Kemudian
kalau konsep shalat itu, diaplikasikan pada level yang lebih bawah, maka
bentuknya adalah shalat fardlu, shalat sunnah, shalat rawatib, shalat janazah
dan sebagainya. Semua teori yang ada pada nama-nama shalat itu disebut teori
mikro. Kalau yag dinilai makro itu teori muamalat misalnya, maka teori mezonya
adalah jual-beli, industri, atau jasa. Kalau mezo itu diaplikasikan pada teori
mikronya, maka terbentuklah teori jual beli padi, jual beli sayur-mayur, atau
jual-beli buah-buahan, dan sebagainya.
Kunci kendali dalam memilih teori Fiqh
al-Hadits, selain memahami konteks formal dan material, muhaddits
juga dituntut memahami konteks sejarah dan konteks sosial saat teori itu
dilahirkan (diciptakan). Sehingga apabila teori itu dipergunakan, maka
muhaddits dapat memahami struktur masing-masing teori itu. Suatu contoh tentang
struktur teori ibadah haji misalnya, maka dalam strukturnya, yang biasa disebut
grand theory, adalah konsep ‘ibadah’. Sedang amalan Rasulullah Saw. adalah
middle theory, dan amalan para shahabat yang memahami amalan Rasulullah
tadi, disebut aplication theory. Sudah menjadi kebiasaan, bahwa setiap
penerapan aplikasi teori itu selalu bervariasi. Karena itu amalan shahabat Nabi
dalam menjalankan ibadah hajji bersama Rasulullah tadi berbeda satu sama lain.
Aplikasi itulah yang oleh Rasulullah disambut dengan kata-kata “if’ál walaa
haraj” (Lakukanlah dan itu tidak salah). Dalam studi Fiqh al-Hadits,
teori mana yang akan dipergunakan untuk menerapkan norma tasyri’ atau
irsyad, seorang muhaddits di samping berangkat dari sebuah paradigma, juga
memilih struktur teori yang sudah disebutkan di atas.
Pemilihan paradigma berpengaruh pada
teori yang dipergunakan, terutama grand theory. Pemilihan grand theory
akan menentukan middle theory yang akan dipergunakan, maka akan memasuki
aplication theory, jika itu dipergunakan maka akan mempengaruhi
konseptualisasi. Konseptualisasi dalam Fiqh al-Hadits akan mempengaruhi
jenis metoda maupun pendekatan, yang dipergunakan oleh muhaddits. Pada
akhirnya, metoda berfikir menghasilkan teori yang paling lemah, yaitu statemen
imbangan antara fenomena satu dengan fenomena lainnya. Proposisi apabila
dikembangkan dan dikaji berulang-ulang maka akan menjadi konsep. Konsep yang
telah diuji dan diterima akan menjadi variabel, kemudian akan menjadi
ilmu bahkan menjadi disiplin ilmu. Dalam Kitab Kuning, teori yang diproses
seperti itu, sering disebut fiqh. Jika itu disistematisasikan, maka bisa
menjadi Ilmu Fiqh.
E. P e n u t u p
Uraian tentang Fiqh al-Hadits di
atas baru bersifat abstraksi yang sangat singkat dan sederhana. Konsep Fiqh
ql-Hadits dikaitkan dengan penentuan konsep tasyri’ atau irsyad
adalah baik jika muhaddits memahami teori-teori ilmu sosial dan ilmu
budaya, dan menerapkannya pada paradigma Fiqh al-Hadits. Ilmu sosial-budaya
merupakan induk mempelajari tingkah laku manusia seperti antropologi, politik,
ekonomi, hukum, agama, budaya, komunikasi dan lain-lain. Semua itu dapat
dipergunakan untuk menentukan paradigma dalam mengelola sebuah teks hadits,
dari segi pengamalan tasyri’ atau irsyad tadi. Untuk menentukan itu,
makalah ini baru menurunkan gambaran yang belum jelas, karena muhaddits sendiri
belum mendapatkan gambaran, apakah paradigma itu diangkat dari pemikiran
objektif atau subjektuf. Dari segi lain, penelitian masyarakat dengan ilmu
sosial itu sendiri apakah kwalitatif atau kwantitatif, atau dapat dipergunakan
semua, dan bagaimana penerapan hasil penelitian itu untuk membuat pengolahan Fiqh
al-Hadits.
Konsep Fiqh al-Hadits diduga dapat
menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagian tokoh
modernis yang mengklaim bahwa dirinya kembali kepada Quran-Hadits, tidak setuju
penerapan konsep ini untuk diamalkan, karena di dalam uraiannya banyak sekali isi
materi hadits Nabi yang bisa disimpan untuk tidak diamalkan. Begitu juga sebagian
kelompok inkar al-sunnah tidak setuju pada Fiqh al-Hadits
diterapkan untuk kemasyarakatan, karena pada hakikatnya, penerapan tasyri’
melalui konsep ini, pada hakikatnya adalah pemikiran manuisiawi. Lepas dari
pemikiran semacam itu, Fiqh al-Hadits adalah sebuah gagasan keilmuan
yang ada dalam dataran Ilmu Hadits Dirayah.
Wallaahu a’lam bi al-shawaab.
(Penulis adalah Guru Besar Ilmu
al-Quran, Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon).
Kerangka Dasar Fiqh al-Hadits
Reviewed by Chozin Nasuha
on
08.41
Rating:
Tidak ada komentar: