Top Ad unit 728 × 90

Terbaru

recent

Mencari Model Pengembangan Ilmu Ushul Fiqh

  A.    Pembukaan.
         Fiqh Syafi’i yang diproduksi melalui ushul fiqh, sampai sekarang menggunakan tiga pendekatan, yang oleh al-Jabiri disebut deduktif-bayani, induktif-burhani, dan spekulatif-irfani. Semua pendekatan ditekankan pada realitas teks, dan tidak melihat realitas sosial. Ushul fiqh yang dipelajari dan dianalisa dalam tulisan ini, akan melihat  konsep kitab al-Burhan karya al-Juwaini (w. 478 H-1085 M) atau al-Mustashfa karya al-Ghazali (w. 505 H-1111 M), dikaitkan dengan model pengamalan mayarakat terhadap fiqh/ushul fiqh di suatu daerah (kawasan). Dua buah kitab itu belum pernah diajarkan di Indonesia, maka secara keilmuan, isi dua kitab itu perlu diabstraksikan di sini. Meskipun begitu, dapat diceritakan bahwa isi dua kitab itu mengulas ushul fiqh bermazhab al-Syafi’i, dan dari segi lain dua kitab itu dapat dibuka untuk kepentingan penelitian ini.
            Kajian ini mencoba ingin mengungkap kebenaran realitas sebagai tanggapan terhadap isi kitab ushul fiqh Syafi’iyah tadi, yang disusun secara deduktif. Realitas teks dan sejarahnya tetap dikembangkan untuk memahami makna yang relevan, di samping untuk mengembangkan rasionalitas teks itu sendiri. Langkah ini menggu-nakan pendekatan hermenutis, yang dibantu dengan analisa ilmu sosial dan humaniora.
          Untuk itu pengembangan ushul fiqh ini diperlukan pendekatan “multi disiplin” yaitu keilmuan klasik dan keilmuan modern. Keilmuan klasik dapat dipergunakan untuk mengungkap makna teks yang ada dalam dua kitab itu, dan keilmuan modern dipergunakan untuk mengungkap realitas sosial. Kedua ilmu itu tidak saling mendominasi dalam memecahkan ushul fiqh, tetapi saling membutuhkan pendekatan post-positifisme dan post-tradisionalisme. Kesadaran ini disebut pendekatan ‘transformatif’ yaitu kesadaran atas masalah sosial secara memadai dengan tujuan yang jelas untuk mengungkapkan keadilan, kesejahteraan dan keselamatan dunia-akhirat, sejalan dengan missi keagamaan yang ada pada dua kitab itu. Berangkat dari konsep itu pengembangan ushul fiqh dapat menimbulkan kesadaran baru atas ungkapan teks ushul fiqh yang sejalan dengan realitas sosial.
B.     Gambaran empirik.
 Realitas sosial dapat dirumuskan pada hipotesis yang mengidentifikasikan sifat-sifat atau ciri-ciri yang membuktikan adanya sesuatu berupa benda, keadaan, peristiwa, dan atau kejadian/proses. Identifikasi itu harus menghasilkan sifat-sifat atau ciri-ciri yang bersifat khas, sehingga  mampu membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain. Realitas Indonesia adalah negara yang terdiri dari laut dan ribuan pulau yang berjajar dari Sabang sampai Merauke, dan dari Talaud sampai pulau Rote/Ndao. Negara ini dihuni oleh berbagai etnis, suku, bangsa, dan agama. Secara geografis negara ini ditulis dalam buku Ensiklopedia Indosenia Jilid 3 dan secara konsepsi kenegaraan ditulis dalam buku-buku Hukum dan Tata Negara Indonesia.
          Dari gambaran itu, ilmuan dapat meneliti kegiatan pendukuk (af’al al-mukallafin) yang dikaitkan pada masalah fiqhiyah yang ditulis oleh dua kitab itu, baik soal ibadat atau muamalat. Gambaran hasil penelitian dari sebuah kabupaten misalnya, itu disebut realitas. Karena setiap penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan itu berbeda-beda, baik dari segi waktu, lokasi atau permasalahan yang diteliti, maka realitas sosial pun berbeda pula.
           Secara keilmuan, gambaran realitas ini dapat dipelajari dengan metoda kwalitatif fenomenologis-interpretatif, Ciri-cirinya adalah mempelajari lingkungan alamiah seperti definisi situasi, makna yang dikonstruksi secara sosial, atau interpretasi atas kejadian, atau tentang lembaga sosial, dan sebagainya. Kalau metoda itu tidak dapat dilaksanakan, maka dapat memakai metoda interpretasi simbolik, yaitu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia (af’al al-mukallafin).    
          Gambaran realitas itu oleh falsafat ilmu disebut “ontologi” .Kalau permasalahan itu diselesaikan, dan hukum fiqhiyah dipecahkan dengan salah satu teori dari dua ushul fiqh tadi maka uraian itu disebut “epistemologi”. Kemudian nilai-nilai makna yang didapatkan dari pemecahan itu disebut “aksiologi”.
C.    Pemecahan masalah.
         Untuk memecahkan permasalahan itu, dapat diselesaikan antara lain dengan tiga langkah, yaitu paradigma awal, metodologi, dan pendekatan atau kerangka berfikir untuk mencari paradigma baru (kesimpulan).
           Ad.1. Paradigma dapat disebut sebagai seperangkat keyakinan mendasar, semacam pandangan dunia yang berfungsi untuk menuntun tindakan manusia, baik kehidupan sehari-hari maupun karya ilmiah. Paradigma membatasi sekaligus memperluas objek, di samping sebagai pengarah pada perumusan permasalahan, dengan cara-cara peme-cahanya. Paradigma terkadang tersusun dari beberapa paradigma yang lebih kecil, yang dalam tempat lain disebut ‘perspektif’. Contohnya, paradigma Ushul fiqh terdiri atas paradigma atau perspektif al-Quran sebagai dalil, paradigma al-Sunnah sebagai dalil, paradigma al-ijma’ sebagai dalil dan sebagainya. Kalau dalil-dalil itu disebut perspektif, berarti dalil-dalil al-Quran, al-hadits, al-ijma’ dan sebagainya itu disebut unsur dari sebuah paradigma ushul fiqh. Gambaran paradigma ushul fiqh di sini adalah kitab al-Burhan karya al-Juwaini atau kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali, sebagaimana tersebut di atas. Kedua kitab itu dibuat sebagai paradigma awal yang dikaitkan pada realitas sosial untuk menyusun paradigma baru..
           Salah satu dua kitab itu, jika dikaitkan pada realitas di Indonesia dengan renungan filosofis (maqashid al-syari’ah) dan dengan penelitian realitas (af’al al-mukallafin) di kapupaten tertentu misalnya, maka akan muncul asumsi dasar. Asumsi ini bisa dijadikan sebagai sebuah unsur untuk menyusun paradigma baru. Asumsi ini dipelajari dengan argumentasi ilmiah yang mengaitkan paradigma awal dengan hasil penelitian di daerah, sehingga muncul asumsi sebagai berikut; “Sejalan atau tidak sejalan antara konsep dari kitab itu dengan kehidupan realitas”. Dari asumssi itu akan muncul patokan-patokan baru yang dalam ilmu sosial disebut ‘nilai’. Dari nilai itu akan ditemukan predikat “baik atau tidak baik”. Predikat baik adalah penilaian cocok atau tidak cocok antara konsep kitab itu dengan kehidupan realitas di lapangan yang diteliti. Semua gambarannya disertai dengan ulasan yang cukup. Sedangkan penilaian tidak baik bisa terjadi, antara lain karena penglola pengembangan ushul fiqh tadi terlalu subjektif, atau prosedur penelitian  tidak metodologis.
            Dari uraian itu masalah yang perlu dipecahkan, adalah: “Ushul fiqh model apa yang paling tepat untuk diterapkan di sebuah kabupaten atau di sebuah kawasan di Indonesia yang diteliti”. Penelusuran itu untuk melihat berkembang atau tidak berkembangnya salah satu dari ushul fiqh tadi, atau untuk melihat model pelaksanaan konsep fiqhiyah yang diamalkan oleh masyarakat di suatu kawasan, yang tidak ditulis dalam dua kitab itu. Misalnya konsep keagamaan empirik yang tidak dikonsep oleh dua kitab itu, tetapi masyarakat setempat justru mengamalkan. Penelitian semacam itu menarik bagi ilmuan yang percaya pada pemikiran al-Dahlawi yang menyajikan konsep tentang “Nasionalisasi Pemahaman Agama”. Konsep ini diikutip oleh Prof. Dr. Hasbi al-Shiddiqi sehingga memunculkan istilah  ‘fiqh Indonesia’ atau gagasan Gus Dur tentang ‘Islam pribumi’. Di samping itu hasil penelitian tadi dapat dipergunakan untuk memunculkan sebuah gagasan baru, bahwa model ushul fiqh dapat dikembangkan di kabupaten itu.    
          Ad. 2 Metodologi dapat disebut sebagai alat untuk menggali pengertian dalam ilmu pengetahuan. Hubungannya dengan penelitan, peran yang penting adalah falsafatnya yang kemudian dijabarkan ke dalam cara yang bersifat praktis sebagai metoda.
           Metodologi penelitian mengenal penglolaan deduktif dan induktif, dan keduanya dapat dipergunakan sebagai pengumpul data. Kalau konsep kedua ushul fiqh dikaitkan pada realitas kehidupan di suatu kawasan, maka pengumpulan data disebut deduktif (istinbath). Kalau realitas itu dikaitkan pada rincian konsep yang ada dalam dua kitab itu maka pengumpulan data disebut induktif (istiqra). Setelah semua data penelitian itu terkumpul, baik dengan deduktif atau dengan induktif, maka ilmuan (peneliti) perlu menurunkan analisa.
         Melihat realitas empirik, muncul hipotesa, bahwa: satu teori dari dua ilmu ushul fiqh tadi tidak berkembang di kabupaten itu, atau dengan istilah lain, tidak diamalkan oleh kaum muslimin. Dari sini muncul asumsi dasar bahwa apakah isi dua kitab ushul fiqh itu tidak sejalan dengan kehidupan realitas (af’al al-mukallafin) di kabupaten itu. Secara teori, isi dua kitab ushul fiqh tadi dan amalan (af’al al-mukallafin) di kabupaten itu sama-sama mazhab Syafi’i. Melihat keadaan seperti itu, peneliti dapat menurunkan analisa tentang perbedaan antara konsep dua kitab itu dengan amalan fiqhiyah realitas tadi. Terjadinya tidak singkron antara konsep dua kitab dengan amalan realitas itu, antara lain karena (1) perbedaan konsep fiqhiyah. (2) ketidak fahaman realitas terhadap isi dua kitab itu. (3) perbedaan kecenderungan antara isi kitab dengan pengamal fiqh realitas. (4) perbedaan cara pandang antara rasionalistis yang ada pada konsep dua kitab itu, dengan realitas keagamaan masyarakat secara empirik (5) Masyarakat tenang dan puas dengan mengamalkan model sebuah ‘mazhab’ yang berkembang bersama realitas tadi. (6) perbedaan kemampuan dasar antara konsep ushul fiqh yang disusun ratusan tahun lalu dengan kecenderungan realitas umat yang berkembang sekarang. (7) Tuntunan dan pemikiran umat tadi sudah tenteram dengan kepuasan fiqh realitas. Gambaran fiqh realitas seperti itu perlu dirumuskan oleh peneliti sendiri, dikaitkan dengan isi dua kitab itu..   
         Hasil analisa yang merelasikan antar variabel, antar unsur, antar isi dari kitab itu dengan hasil penelitian di suatu kabupaten, itu disebut kesimpulan, atau disebut pendapat, dan bisa juga disebut teori. Dengan kata lain, teori adalah pernyataan mengenai hakikat sesuatu (gejala yang diteliti) atau mengenai hubungan antarvariabel atau antar-gejala yang diteliti yang sudah terbukti kebenarannya. Begitu itu jika validitas penelitian tercapai dengan baik, dengan berbagai model analisa yang mendekati kesempurnaan. Jika analisa tidak mencapai teori seperti itu, maka hasil penelitian tidak sempurna. Begitu itu bisa terjadi, mungkin karena data yang dianalisa mengandung kesalahan yang mendasar, atau cara menganalisa salah arah, dan atau analisa itu sendiri kurang mendalam.  
               Ad. 3  Pendekatan dalam penelitian dua kitab ushul fiqh di atas jika dikaitkan dengan af’al al-mukallafin di suatu kawasan, Cik Hasan Bisri melihat dari dua segi, yaitu dari segi teks dan dari segi konteks.Teks dua kitab itu dapat dipelajari dengan pendekatan filosofis, atau yuridis, atau teologis dan atau logis. Sedangkan konteksnya, dua kitab itu dapat dipelajari dengan pendekatan historis, atau antropologis, atau sosiologis, dan atau gabungan.
          Kalau pendekatan itu dikembangkan lagi maka studi teks dari dua kitab itu dapat dipelajari juga dengan pendekatan kwalitatif-interpretatif, hermeneutika, verstehen, dialektika, dan komperatif. Begitu juga studi konteks dapat dianalisa dengan pendekatan psochologis, strukturalis, atau postrukturalis bahkan dengan ilmu tertentu seperti ekonomis, paidogogis, dan lain-lain.  
          Pendekatan adalah cara menggauli objek dengan menganalisa, sehingga isi kitab dapat diungkap secara jelas. Dalam istilah populer, pendekatan sejajar dengan istilah penghampiran, perspektif, titik-pijakan, atau kaca mata. Pendekatan adalah sudut pandang yang paling relevan dan sesuai dengan tujuan penelitian. Karena itu, penelitian tidak dibedakan oleh teori dan oleh metoda, melainkan dibedakan oleh paradigma, pendekatan, dan metodologi.
         D. Penutup.
          Studi sebuah paradigma seperti kitab al-Burhan atau al-Mustashfa, itu salah satu perangkat yang dapat dipergunakan untuk mempelajari dan menjelaskan model fiqhiyah dengan melihat af’al al-mukallafin di suatu kawasan. Setelah dilakukan dengan metoda yang tepat, di situ akan muncul sebuah konsep berupa asumsi dasar, atau suatu nilai, atau juga suatu model bermazhab dalam kawasan yang diteliti. Wallahu a’lam bi al-shawaab.


Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.-
Mencari Model Pengembangan Ilmu Ushul Fiqh Reviewed by Chozin Nasuha on 00.16 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by Chozin Nasuha Official Web © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by Sweetheme

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.