Mengenal Takhrij Hadits Nabi
Pembukaan
Penelitian Hadits
Nabi Saw. yang penulis sajikan di atas, telah menulis kata-kata ‘takhrij
al-sanad’. Tetapi dalam tulisan itu kata takhrij tidak diuraikan isi
atau modelnya. Awalnya penulis berharap agar ‘Model Penelitian Hadits’ ditulis
oleh Konsentrasi Studi Hadits S2 UIN Bandung, atau oleh perguruan tinggi lain.
Tetapi kurikulum yang disusun oleh konsentrasi ini hanya menyajikan kata takhrij
banyak sekali. Jurusan (konsentrasi) ini seperti menekankan mahasiswa agar terampil
dalam mengelola takhrij. Mereka tidak menyajikan ‘Penelitian Hadits’ sama
sekali. Melihat keadaan itu penulis menyajikan model ‘Penelitian Hadits Nabi’
sebagaimana sudah disajikan dalam tempat lain. Konsep ini hanya menyajikan
model takhrij yang lebih luas dari pada takhrij pada umumnya. Maksud
intinya berharap agar posisi hadits Nabi dapat diketahui dari berbagai segi, baik dari segi teks atau dari segi konteks. Dalam
tulisan itu kata-kata takhrij disebutkan cuma satu kali, yaitu ketika mengolah
sanad hadits. “Thuruq Takhrij Hadits Rasul Allah Saw” yang ditulis oleh
Abdul Mahdi ibn Abdulqadir, adalah kitab yang banyak dikutip oleh beberapa
penulis, termasuk tulisan ini. Tampaknya, kitab ini oleh Konsentrasi
Hadits dianggap ‘sudah membawa penelitian hadits’. Padahal penelitan hadits
berbeda dengan takhrij hadits. Melihat perbedaan seperti itu semua pemerhati
ilmu hadits diharapkan mediskusikan tulisan penulis, berjudul; “Penelitian
Hadits Nabi Saw”.
Devinisi takhrij
Takhrij
menurut bahasa ialah mengeluarkan sesuatu. Sedang menurut istilah, takhrij
ialah mengaitkan hadits Nabi kepada ulama yang meriwayatkan, dengan penilaian
konsep pengamalannya, serta hadits itu ditulis dalam kitabnya. Dalam tempat
lain, pembawa takhrij ialah tokoh pemerhati sebuah kitab hadits yang model
penyajian matan-matannya sama seperti periwayatan hadits Muslim misalnya,
tetapi sanadnya suatu tempat ditulis sama, dan dalam tempat lain sanad itu ditulis
berbeda. Takhrij model ini dilakukan oleh Abu Awanah. Dengan kata lain, Abu
Awanah adalah tokoh yang mentakhrij hadits Muslim dan dibuatnya sebagai ukuran
untuk mentakhrij semua hadits yang ia pelajari. Pengulangan tulisan kitab
hadits dengan takhrij seperti itu, bukan hanya memakai ukuran hadits Muslim
saja, tetapi kitab-kitab hadits lainya juga dapat dijadikan ukuran untuk mentakhrij,
seperti kitab-kitab al-Jawami’, al-Sunan atau al-Masanid. Dengan demikian
takhrij dan mustakhrij adalah dua kata yang memiliki objek yang sama, yaitu
perkataan penulis sebuah kitab hadits dengan memakai sanad tersendiri, sambil diberi
penilaian.
Dalam
tempat lain, takhrij dapat dipelajari melalui (1) mengulang beberapa matan hadits
dengan menyajikan berbagai sanadnya yang banyak dan berbeda-beda, sehingga
penulis mendapatkan satu sanad, atau satu matan hadits yang dinilai lebih
mantap. (2) menyajikan beberapa sanad yang berlain-lain terhadap satu matan hadits,
untuk menguatkan hadits tadi, atau untuk menambah beberapa kata terhadap matan
hadits. (3) takhrij bisa diulang lagi untuk mempelajari beberapa matan hadits
yang sudah ditulis oleh kitab-kitab hadits tertentu.
Melakukan takhrij tidak hanya pada sanad yang ada pada kitab-kitab
hadits saja, tetapi takhrij juga bisa dilakukan pada hadits-hadits yang ada
dalam kitab fiqh, seperti takhrij atas kitab Nashb al-Rayah fi Takhriji Ahadits
al-Hidayah oleh al-Zaila’i. Al-Talkhish al-Khabir fi Takhrij Ahadits
al-Rafi’i al-Kabir karya Ibn Hajar. Ada juga takhrij atas kitab tafsir
al-Quran, seperti Al-Fath al-Samawi bi Takhrij Ahadits al-Baidlawi ditulis
oleh al-Munawi. Al-Kaaf al-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf oleh Ibn
Hajar. Ada juga takhrij terhadap kitab karangan tentang bahasa, seperti kitab Falaq
al-Ishbah fi Takhrij Ahadits al-Shihah oleh al-Sayuthi. Ada juga takhrij
hadits yang ada pada kitab tasawuf seperti Al-Mughni ‘an Hamli al-Asfar fi
al-Akhbar fi Takhrij ma fi al-Ihya min al-Akhbar karya Al-Iraqi,dan banyak
lagi beberapa takhrij al-hadits yang matan haditsnya ditulis dalam kitab-kitab
tertentu.
Tujuan takhrij adalah untuk mengetahui sumber-sumber hadits dan
mengetahui profil perawi hadits dari segi diterima atau ditolaknya perawi itu oleh
ulama hadits.
Kegunaannya banyak sekali antara lain untuk: (1); mengetahui datangnya
sumber-sumber periwayatan hadits. (2); menghimpun perawi hadits, apakah itu
dari satu kitab saja atau dari beberapa kitab. (3); mengetahui tingkah laku
sanad hadits dari beberapa informasi yang berbeda-beda (4); mengetahui status
hadits yang dinilai shahih oleh satu perawi dan oleh rawi lain dinilai dlaif.
(5); mengangkat hadits dlaif menjadi hasan atau shahih li
ghairihi, atas dasar adanya beberapa rawi hadits yang saling menguatkan. (6);
mengetahui penilaian ahli hadits terhadap rawi, apakah dia masuk tokoh mutasyaddin,
atau mutawassithin, atau tokoh mutasahilin. (7); mengetahui perawi
hadits yang tidak dipergunakan (muhmal), tetapi dalam tempat lain, ada
periwayatan yang isinya mendekati periwayatan muhmal tadi, maka haditsnya
dapat dipakai sebagai penyeimbang. (8); menentukan pernyataan yang samar dalam
hadits, baik dalam sanad atau dalam matan, seperti hadits ini diceritakan oleh
seorang lelaki, atau oleh si Fulan, atau hadits ini diriwayatkan oleh seorang sahabat
lelaki dari Rasulullah Saw. (9); menghilangkan nilai tadlis yang memakai
riwayat ‘an-‘an, terkadang rantaian sanad itu terputus satu rawi (munqathi’)
atau terputus dua perawi berjajar (mu’dlal). (10); menghilangkan rasa keragu-raguan
percampur adukkan perawi mukhtalith (perawi hadits yang waktu muda dlabith,
setelah tua dlabith bercampur lupa). Dengan takhrij itu, muhaddits tahu
apakah perawi itu ketika masih dlabith atau setalah dlabith itu bercampur
lupa. (11); terkadang perawi hadits disebutkan dengan kuniyah atau laqab
atau nisbat, dan dalam tempat lain predikat itu tidak disebutkan. Maka dengan
takhrij penulis hadits dapat mengetahui nama perawi itu sebenarnya. (12); mengetahui
tambahan seorang perawi terhadap matan hadits, hingga ketahuan makna hadits
yang disertai alasan hukum, dan matan hadits yang disebut tanpa disertai alasan
hukum. (13); mengetahui terkadang matan hadits itu ada kata-kata yang gharib,
dan terkadang semua kata itu tidak ada yang gharib. (14); menghilangkan penilaian
syadz terhadap satu hadits, karena dengan takhrij itu beberapa hadits
dapat dianalisa. (15); dapat menjelaskan matan hadits yang dinilai mudraj. (16);
dapat menjelaskan apakah huruf dalam matan hadits itu kurang atau sengaja
diringkas. (17); dapat membuka keragu-raguan perawi hadits atau perawi itu sedang
lupa. (18); dapat memberikan penilaian apakah perawi itu menggunakan riwayat
dengan makna hadits atau dengan teks asli. (19); menjelaskan waktu dan tempat
kejadian, karena penulis hadits dapat menghimpun beberapa riwayat. (20);
menjelaskan tokoh-tokoh hadits, suatu saat riwayat itu datang dari satu tokoh
dan suatu saat datang dari beberapa tokoh. (21); mengetahui kesalahan naskah
hadits, terkadang kesalahan itu dalam sanad, dan terkadang kesalahan itu dalam teks
matan. Demikian pembahasan tentang takhrij, yang intinya mempelajari
permasalahan sanad, suatu ketika ada pada matan, dan suatu ketika ada pada perawi
hadits dan suatu ketika ada pada keduanya.
Takhrij secara metodologis dapat mengelola beberapa macam. (1); takhrij mengelola
matan-matan hadits yang ada dalam kitab-kitab yang menyajikan hadits. (2); takhrij
mengelola perawi hadits dengan mengulas geografi mereka serta penilaian shahih
atau dlaifnya perawi itu. (3); takhrij mengelola beberapa kalimat hadits yang
dinilai gharib, yang ada dalam kitab-kitab hadits. (4); takhrij mengelola
hadits-hadits yang berbicara tentang sejarah yang ada dalam kitab-kitab
sejarah. (5); takhrij mempelajari tempat dan budaya, di mana kitab itu ditulis.
(6); takhrij mengolah nama-nama penulis kitab hadits.
Objek Kajian Takhrij
Takhrij dapat
dikelompokkan menjadi bebeapa bidang kajian, yaitu (1); mempelajari takhrij hadits yang ada dalam kitab-kitab yang
disajikan secara abjadi (2); mentakhrij hadits dengan mempelajari isi lafazh
hadits, baik itu ditulis dalam satu kitab, atau hanya ditulis dalam artikel
tertentu. (3); takhrij dengan mempelajari perawi hadits yang nilainya lebih
tinggi (sahabat atau tabi’in) dari pada perawi berikutnya. (4); mempelajari hadits-hadits
Nabi yang disajikan dengan memakai tema tertentu (5); mempelajari bentuk dan
macam-macam hadits Nabi yang ditulis dalam berbagai tema atau dalam berbagai
judul dalam sebuah karangan.
Ad. (1). Takhrij mempelajari nilai hadits
yang ada dalam kitab-kitab yang disajikan secara abjadi. Penyajian hadits model
ini mudah untuk mencari matan, tetapi susah untuk menguraikan satu masalah yang
diuraikan oleh beberapa matan hadits. Penyajian hadits model ini banyak juga,
antara lain karya al-Sayuthi.
Al-Sayuthi (w. 911 H.) menulis kitab hadits bernama Jam’u al-Jawami’
atau Al-Jami’ al-Kabir. Kitab ini menghimpun hadits-hadits qauliyah
dan hadits-hadits fi’liyah, kemu-dian hadits-hadits quliyah
dipilih dan diringkas untuk dihimpun menjadi satu kitab yang kemudian diberi
nama al-Jami’ al-Shaghir. Al-Sayuthi menyusun kitab ini dikutip dari tiga
puluh kitab hadits, baik dari ulama yang sangat poluler seperti al-Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi, al-Nasa’i, dan lain-lain, atau ulama lapisan
kedua seperti tiga kitab al-Thabrani, dua kitab al-Baihaqi, dan semacamnya,
atau kitab itu dikutip dari kitab yang kurang populer seperti kutipan dari kitab
al-Uqaili yang menghimpun hadits-hadits dlaif. Bedasarkan kutipan seperti itu,
maka kitab al-Jami’ al-Shaghir adalah kitab yang menghimpun
hadits-hadits shahih, hasan, dan dlaif.
Dalam keadaan seperti itu, banyak ulama yang berhasil menyusun syarah al-Jami’
al-Shaghir baik syarah itu diberi judul atau tidak diberi judul. Syarah
yang diberi judul antara lain karya Muhammad ibn al-Alqami (w. 929 H)
dengan judul al-Kaukab al-Munir Syarh al-Jami’ al-Shaghir. Abu al-Abbas Ahmad
ibn Muhammad al-Mabtul menyusun syarah dengan judul al-Istidrak al-Nadlir‘ala
al-Jami’al-Shaghir. Muhammad Abdul-Rauf al-Munawi menyusun syarah dengan
judul Faidl al-Qadir syarh al-Jami’ al-Shaghir. Sedang syarah al-Jami’
al-Shaghir yang tidak diberi judul antara lain karya Ali al-Qari (muqimin)
Makkah, Ali ibn Nuruddin ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Azizi, dan karya Muhammad
ibn Ismail al-Amir al-Yamani.
Kesepakatan kitab-kitab di atas itu sama, yaitu pertama, kita memilih
mana hadits fi’liyah dan mana hadits qauliyah. Kalau itu hadits fi’liyah,
kita harus mengamati siapa shahabat yang menceritakan hadits itu. Kalau yang
meriwayatkan hadits itu salah satu dari shahabat sepuluh yang dijanjikan
sebagai ahli sorga, maka hadits fi’liyah itulah yang diamalkan. Kalau
perawi itu bukan dari sepuluh shahabat besar tadi, maka kita mencari hadits
lain untuk penunjang pemakaiannya. Kemudian pemakaian itu disusul hadits fi’liyah
yang diriwayatkan oleh shahabat yang menggunakan kinayah, dan diikuti oleh
shahabat perempuan. Kalau hadits fi’liyah itu mursal, maka pemakaiannya
dikembalikan kepada nilai-nilai yang diatur oleh Ulum al-Hadits.
Untuk melengkapi pemahaman hadits al-Jami’ al-Shaghir, ada juga
kitab Al-Jami’ al-Azhar min Hadits al-Nabiy al-Anwar. Kitab ini ditulis
oleh Abdurrauf ibn Ali al-Haddad al-Munawi (w. 1031 H). Selain kitab itu, tokoh
ini juga menulis kitab Faidl al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir sebagaimana
sudah dikenal di atas. Kitab ini dinilai kitab syarah al-Jami’ al-Shaghair
yang paling banyak dibaca oleh para ulama.
Selain kitab-kitab di atas, Abdurrahim ibn Anbar al-Thahthawi (w. 1365
H) menulis kitab berjudul Hidayat al-Baari ila Tartib Ahadits al-Bukhari.
Kitab ini dikutip dari kitab Shahih al-Bukhari, tetapi semua matan haditsnya
ditulis ulang dengan disajikan memakai abjad. Dia mengamati bahwa banyak orang
yang ingin mencari satu matan hadits dari Shahih al-Bukhari tapi agak susah dan
kadang-kadang lama. Dengan ringkasan ini, sanad hadits tidak dicantumkan
kecuali nama shahabat Nabi. Kemudian hadits-hadits yang ditulis berulang (mukarrar),
cuma ditulis satu kali, kemudian semua hadits disajikan urut dengan memakai
huruf abjad. Karya ini hampir sama dengan kitab Al-Tajrid al-Sharih
Li-ahadits al-Jami’ al-Shahih, karya Abul Abbas Ahmad ibn ahmad al-Syaraji
al-Zubaidi (w. 893 H). Kitab-kitab hadits yang disajikan dengan model seperti
ini banyak sekali, tetapi tidak dapat disajikan di sini. Kitab-kitab itu
menyajikan kemudahan mencari matan hadits dan umumnya menyajikan konsep takhrij
yang bervariasi.
Ad. (2). Takhrij hadits dilakukan dengan mencari kata-kata sasaran inti
yang ada dalam sebuah hadits, baik kata-kata itu isim atau fiil dan bukan
bentuk huruf. Kalau kata inti itu ditemukan, maka takhrij hadits dapat dilakukan
dengan mencari siapa perawinya dan dalam kitab apa hadits itu ditulis. Takhrij
tidak berhenti sampai di sini, tetapi mencari pemahaman haditsnya. Contoh:
Rasulullah Saw. Nahaa ’an tha’aam al-mutabariyin an yu’kala. (Rasulullah
malarang makanan para perusak untuk dimakan). Kata mutabari bisa dinilai
kata inti yang diolah (ditakhrij), dan ada yang menilainya gharib karena kata
itu hanya disebutkan dua kali dalam sembilan kitab-kitab hadits besar.
Keistimewaan takhrij model ini adalah (a) cepat sampai pada takhrij yang
dituju. (b) penulis takhrij mudah mendapatkan teks hadits, yang ditulis dalam
kitab-kitab tertentu (c) mengetahui sebagian materi dari sebuah hadits, berarti
kitab hadits itu sudah ketahuan. Meskipun begitu takhrij menggunakan model ini
juga ada kelemahan, antara lain karena (a) hadits itu tidak menyebutkan
shahabat Nabi selaku perawi, (b) takhrij yang hanya menggunakan satu kata, tidak
bisa dinilai tepat karena bisa juga terjadi, ada hadits lain yang satu masalah
tetapi tidak menyebutkan kata itu dalam matannya.
Takhrij model ini bisa dilakukan dengan menggunakan kitab “Al-Mu’jam
al-Mufahras li-alfazh al-Hadits al-Nabawi”. Kitab ini ditulis oleh
tokoh-tokoh orientalis, yaitu A.J. Wensink, Johan Peter Marl Mensing, Wim
Raven, J.J. Wiktam, dan J.Brugman Karya itu dikuatkan oleh tulisan Muhammad
Fuad Abdul Baqi.
Kitab kamus hadits ini dikutip dari sembilan kitab-kitab hadits besar,
dan setiap kutipan hadits diberi kode huruf hijaiyah tertentu. Gambarannya; Shahih
al-Bukhari (kh), Shahih Muslim (m), Sunan Abu Dawud (d), Sunan al-Tirmidzi (t),
Sunan al-Nasai (n), Sunan Ibn Majah (jh), Sunan al-Darimi (dy), Muwaththa’
Malik (th), dan Musnad Ahmad (hm). Kode kode seperti itu dibuat untuk mencari
hadits yang ditakhrij,ditulis dalam kitab apa, dan dalam bab apa, melalui kode
itu. Setelah matan hadits itu ditemukan dalam kitab m, d, n, dan dy misalnya, maka
hadits itu bisa ditakhrij dengan mempelajari matan dan atau sanadnya, sampai
diketahui shahih atau dlaifnya hadits itu. Demikian model takhrij yang
dipelajari melalui kitab Mu’jam al Mufhras.
Ad. (3)
Takhrij melalui perawi hadits yang tertinggi, yaitu shahabat Nabi bagi hadits
musnad, atau tabi’in bagi hadits mursal. Penglola takhrij model ini, pertama
dia mengutip beberapa hadits Nabi yang diriwayatkan oleh seorang shahabat atau
tabi’in tadi. Kemudian dia menelusuri (mentakhrij) setiap sanad yang ada pada
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh shahabat atau tabi’in itu tadi, sampai nilai
hadits itu ketahuan, (shahih, hasan, atau dlaif) bahkan ketahuan juga bahwa hadits
itu tertulis dalam kitab tertentu. Tetapi kalau perawi tertinggi itu tidak
ketahuan, maka takhrij hadits dilakukan dengan memakai metoda yang lain.
Kitab yang membahas tentang metoda ini ada dua model, yaitu kitab-kitab al-Athraf
dan kitab-kitab al-Masanid. Model al-Athraf adalah sekumpulan beberapa
kitab hadits yang setiap satu dari kitab-kitab itu meyajikan shahabat Nabi yang
ada pada matan hadits. Matan itu bisa terjadi hanya menyajikan satu sisi
masalah saja, atau semua masalah itu disajikan dalam matan itu. Sedang al-Masanid
ialah kitab yang menyajikan hanya sebagian sanad hadits yang ada pada satu
matan, dan atau sanad itu disajikan secara lengkap.
Kitab-kitab yang membahas tentang Athraf antara lain; Tuhfat
alAsyraf bi Ma’rifat al-Athraf karya Yusuf ibn Abdurahman ibn Yusuf al-Qadla’i
al-Mizzi (w. 742 H), Al-Nukat al-Zhiraf ‘ala al-Athraf karya Ibn Hajat
al-Asqallani ( w. 852 H ), Dzakhair al-Mawarits ‘ala Mawadli’
al-Hadits karya Abdulghani ibn Ismail al-Nabulsi al-Hanafi al-Dimasyqi (w.
1143 H).
Sedang model al-Masanid antara lain disajikan oleh Ahmad ibn
Hanbal (w. 241 H) dalam kitabnya, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Kitab
ini populer sekali dan banyak dipelajari oleh ulama-ulama ahli hadits. Takhrij
melalui dua model kitab ini tidak diuraikan di sini, karena terlalu panjang.
Sementara kitab Thuruq Takhrij Hadits Rasul Allah Saw, itu sendiri sudah
banayk beredar dan isinya mudah dipelajari.
Ad.
(4) Takhrij untuk membina hadits yang
disajikan dalam tema tertentu. Takhrij model ini awalnya melihat judul-judul
atau tema-tema tertentu yang isinya menghimpun beberapa macam hadits. Terkadang
ada satu hadits yang ditulis dalam beberapa tema, seperti hadits; Bunia al-Islam
‘ala khamsin..Hadits ini ada yang menulis dalam tema al-Islam, atau al-Tauhid,
atau al-Shalat, atau al-Zakat, atau al-Shiyam, dan atau al-Hajji. Maka untuk mentakhrij
sebuah hadits dilihat dulu dalam tema apa, dan hadits apa yang dikutipnya.
Untuk takhrij ini bisa dilihat satu hadits dikaitkan dengan hadits lain yang
ada dalam tema yang sama, baik perkaitan itu dari segi matan hadits atau dari
segi perawi.
Takhrij terhadap hadits-hadits Nabi yang
dihimpun dalam sebuah kitab yang diberi tema itu ada dua model, yaitu (a) kumpulan
hadits-hadits Nabi yang bernilai tema umum, antara lain kitab “Kanz
al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al” karya Ali ibn Abdul Malik ibn
Fauzi al-Hindi. Kitab ini kemudian
diringkas menjadi “Muntakhab Kanz al-Ummal” yang isinya tentang masalah
fiqhiyah yang dikutip dari kitab di atas. (b) kumpulan hadits-hadits Nabi yang
isinya membahas tentang masalah khusus, antara lain kitab “Miftah Kunuz al-Sunnah”
karya oriantalis Inggeris A.J. Wensink dan orientalis lain. Kitab ini diterjemahkan
menjadi bahasa Arab oleh Fuad Abdul-Baqi, dan diedarkan di Kairo tahun 1932. Kitab
ini menunjukkan adanya pembahasan tema-tema tertentu tentang sunnah dan siirah
nabawiyah, perkembangan perjuangan kaum muslimin, dan tokoh-tokoh besar yang
diceritakan oleh sebelas kitab hadits, yaitu al-kutub al-sittah, Sunan
al-Darimi, Muwaththa Malik, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad
al-Thayalisi, dan Musnad Zaid ibn Ali ibn Husain ibn Ali ibn Abi
Thalib. Kemudian ditambah kitab al-Thabaqat al-Kubra karya Muhammad ibn
Sa’d, (w.230 H), Sirah ibn Hisyam (w.218 H), dan Al-Maghazi karya
Muhammad ibn Umar al-Waqidi (w. 207 H). Jadi ada empat belas kitab yang dikutip
untuk menyusun kitab ini, antara lain:
(1) Kitab Al-Mughmi ‘an Haml al-Asfar
fi al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya min al-Akhbar ditulis oleh Abdurahim
ibn Husain ibn Abdurahman al-Iraqi (w. 806 H) Kitab ini mentakhrij
hadits-hadits Nabi yang ditulis dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din karya
al-Ghazali. Kitab ini banyak mengutip hadits-hadits Nabi, tetapi tidak
dicantumkan ahli hadits yang menceritakan, dan tidak menjelaskan posisi hadits itu
apakah shahih, hasan, atau dlaif, dan atau maudlu’ misalnya.
(2) Kitab Nashb al-Rayah Li Takhrij
Ahadits al-Hidayah karya
Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad ibn Ayyub ibn Musa al-Hanafi al-Zaila’i. Kitab
ini menyajikan beberapa hadits Nabi dengan dikelompokkan menjadi bab-bab fiqh.
(3) Kitab Al-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah (Ringkasan dari kitab Nashb al-Rayah) tersebut
tadi. Selain kitab-kitab tersebut, banyak lagi judul-judul kitab yang model takhrijnya
disajikan seperti kitab-kitab tersebut di atas.
(5) Takhrij untuk membina hadits-hadits Nabi yang membahas tentang tarhib
dan targhib. Antara lain (a) Kitab Al-Targhib wa al-Tarhib min
al-Hadits al-Syarif karya Abdul Azhim ibn Abdul Qawi al-Mundziri. (b) Kitab
al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair karya Ahmad ibn Ahmad Ibn Hajar al-Haitami.
(6) Takhrij untuk membina hadits-hadits Nabi yang ada dalam Tafsir
al-Quran. Antara lain (a) Kitab-kitab tafsir bi-al-ma’tsur seperti Tafsir
Sufyan al-Tsauri, Tafsir Ibn Abi Hatim al-Razi, Tafsir abd-al-Razaq al-Shan’ani,
dan Tafsir Ibn Jarir. Selain kitab itu, menarik juga mentakhrij hadits-hadits
Nabi yang ada dalam al-Durr al-Mantsur Fi al-Tafsir bi al-Maktsur
karya al-Sayuthi, Fath al-Qadir karya Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Tafsir
al-Quran al-Azhim karya Ibn Katsir, Al-Kaaf al-Syaf fi Takhrij Ahadits
al-Kasysyaf karya Ibn Hajar al-Asqallani, dan lain-lain.
(7) Kitab-kitab yang mengutip hadits Nabi yang membahas tentang sirah
Nabawiyah dan al-syamail. (a) Kifayah al-Thalib al-Labib fi
Khashaish al-Habib karya al-Sayuthi. (b) Manahil al-Shafa fi Takhrij
Ahadits al-Syifa karya al-Sayuthi. (c) Kitab Siirah Rasulillah Saw karya
Ibn Katsir.
Ad. (5) Takhrij yang mempelajari satu matan
hadits yang bernilai khusus yang ada pada kitab-kitab yang menghimpun
nilai-nilai model hadits tertentu. Kitab-kitab itu ada yang menghimpun hadits-hadits
qudsi ada yang menghimpun hadits-hadits masyhur, dan atau
kumpulan hadits-hadits mursal dan kitab yang menghimpun hadits-hadits maudlu’.
Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan nilai tertentu banyak sekali
antara lain (a) Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya
al-Sayuthi. Kitab ini menghimpun hadits-hadits yang mutawatir saja.
(b) Al-Ittihaf al-Saniyah fi al-Ahadits al-Qudsiyah, karya Muhammad ibn
Mahmud ibn Shalih Al-Thur bazuni. Kitab ini hanya menghimpun hadits-hadits
qudsi. (c) Al-Maqashid al-Hasanah Fi Bayani Katsir min al-Ahadits
al-Musytahiraha ‘ala al-Alsinah karya al-Sakhawi. (d) Kitab al-Marasil karya Abu Dawud pemilik kitab Sunan Abu Dawud.
(e) Kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits maudlu’ antara laian : Kitab
al-Maudlu’at karya Ibn al-Jauzi. Al-Amal al-Mutana-hiyah fi
al-Ahadits al-Wahiyah karya Ibn al-Jauzi. Al-Manar al-Munif fi al-Sahih
wa al-Dla’if karya Ibn Qayim al-Jauziyah. Al-Laali al-Mashnu’ah fi
al-Ahadits al-Maudlu’ah karya al-Sayuthi.
Penutup.
Kitab Thuruq
Takhrij Hadits Rasulillah Saw. tulisan ulama Al-Azhar ini ilmiah, tetapi disajikan
seperti uraian Majlis Ta’lim. Kitab-kitab Kuning banyak dikutip dan mengajak pembaca
untuk mentakhrij hadits-hadits Nabi yang ada di dalamnya. Studi semacam itu
bagus sekali bagi mahasiswa Konsentrasi Studi Hadits yang mempelajari teks matan
hadits. Sementara mereka yang ingin
mempelajari konteks isi hadits Nabi diperlukan mempelajari Penelitian Hadits
Nabi Saw. (Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon).-
Mengenal Takhrij Hadits Nabi
Reviewed by Chozin Nasuha
on
20.53
Rating:
Tidak ada komentar: