Top Ad unit 728 × 90

Terbaru

recent

Tafsir Al-Qur'an dan Ilmu Tafsir

     

  1. Pembukaan
          Ada tiga kajian yang memiliki definisi dan uraian yang satu sama lain berbeda, tetapi penerapannya selalu bersamaan, yaitu mufassir, tafsir al-Quran, dan ilmu tafsir. Pembahasan tiga konsep itu akan diuraikan satu sama lain sehingga pemisahan daerah sasarannya dapat dijelaskan. Konsep yang belum banyak diuraikan oleh para penulis adalah ‘Ilmu Tafsir’. Di satu pihak, ilmu tafsir meyangkut semua permasalahan proses penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran, di pihak lain ilmu tafsir dibicarakan dalam dataran metodologi. Tafsir al-Quran karya ilmuan sejak dulu, oleh ahli ilmu agama disebut sebagai ilmu. Karena itu, setiap mufasir adalah ilmuan. Tetapi akhir-akhir ini, ada pemikiran lain bahwa ilmu tafsir secara ontologis berbeda dengan istilah penafsiran (interpretasi) terhadap ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian uraian ini akan mencoba memilah konsep satu sama lain, sehingga tidak terjadi berbenturan, termasuk dengan penelitian al-Quran. Secara keilmuan, ilmu tafsir berkaitan dengan tafsir al-Quran itu sendiri, meskipun secara kajian, ilmu ini akan berbicara dengan teori, metoda, dan teknis yang semua itu bersentuhan dengan ilmu-ilmu (Ulum) al-Quran bahkan dengan ilmu sosial dan budaya.
          Kitab dan buku yang membahas tentang tafsir al-Quran dan tokoh tafsir al-Quran (mufassir) sudah banyak, tetapi buku yang membahas tentang ilmu tafsir dan penelitian al-Quran sangat sedikit. Meskipun begitu, banyak juga sarjana yang oleh lembaganya ditugaskan mengajar tafsir al-Quran, atau Ulum al-Quran, sehingga sarjana itu disebut ahli tafsir (mufasir). Dengan kata lain, belum ada pembidangan antara sarjana ilmu tafsir, dengan sarjana lain yang ditugaskan mengajar tafsir al-Quran. Tulisan ini akan memilahkan konsep mufassir, tafsir al-Quran dan ilmu tafsir.

  1. Tokoh-tokoh Tafsir al-Quran (mufassir)
               Biografi ulama tafsir al-Quran, sudah banyak ditulis oleh ulama mutaqaddimin dan ulama mutaakhirin. Salah satu kitab yang populer dan beredar sekarang adalah kitab Thabaqat al-Mufassirin karya al-Sayuthi (w.911 H-1505 M). dan Thabaqat al-Mufassirin karya Muhamad ibn Ali al-Dawudi. Dua ktab itu menyajikan biografi ulama tafsir dari masa ke masa. Selain dua kitab itu muncul beberapa ulama sekarang menulis kitab, antara lain Al-Tafsir wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain al-Dzahabi, dan kitab Al-Tafsir wa Rijaluh karya Muhammad al-Fadlil ibn Asyur. Dua kitab ini menyajikan beberapa tokoh tafsir dari segi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran. Tetapi uraian itu, dianggap singkat karena belum mengungkap berbagai aspek pemikiran mufasir secara komprehensip.
               Sekarang banyak tulisan tentang pemikiran tokoh yang dikaitkan dengan tafsir al-Quran seperti Sufyan al-Tsauri Waatsaruhu fi al-Tafsir, oleh Hasyim al-Masyhadani, Al- Razi min khilali tafsirih oleh Abdul-Aziz Majdzub, Al-Zamakhsyari Lughawiyan wa Mufasiran oleh. Muhsin Abdul Hamid, Al-Qurthubi wa Manhajuhu fi al-Tafsir karya Qubaysi Mahmud Zalath, Thaba-thabaii wa manhajuhu fi Tafsir al-Mizan, karya Ali al-Ausi, Muhammad Abduh wa Manhajuhu fi al-Tafsir oleh Abdulghaffar Abdurahim., dan banyak lagi tokoh mufassir yang dipelajari pemikirannya diawali dari penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran.
                 Tafsir al-Quran lahir karena tiga unsur, yaitu mufasir, ayat-ayat al-Quran, dan hermeneutika penafsiran. Tetapi dari tiga unsur itu, mufassirlah yang paling dominan. Dalam kaitan ini perlu ditata pemahaman sekaligus penggunaan paradigma, metodologi, dan kerangka berfikir. Sebenarnya, tafsir al-Quran adalah termasuk kelompok ideografis yang memperoleh penafsiran dengan cara pemahaman (bukan pembuktian) yang oleh mufasir dipecahkan melalui metoda kwalitatif interpretatif, sesuai dengan tujuan penafsiran.
           Pada dasarnya, tidak ada persyaratan khusus bagi mufasir, karena al-Quran adalah kitab terbuka yang bisa dipelajari oleh setiap orang, termasuk oleh orientalis. Kalau dalam kitab tertentu ada persyaratan mufasir harus memiliki ilmu A,B,C, dan sebagainya, itu adalah pemikiran seseorang yang belum tentu dapat diterima oleh para ilmuam lainnya. Meskipun begitu, mufasir tetap memerlukan bahan penafsiran yang cukup seperti penggunaan teori, metoda, konsep, dan berbagai tuntutan ilmiah, agar mufasir masuk kelompok intelektual, akademisi, dan lama kelamaan dia masuk dalam mufassir profesional.
          Kesadaran yang muncul pertama adalah tanggung jawab mufasir mengembangkan tafsir al-Quran. Dengan kata lain, kemajuan tafsir al-Quran itu merupakan keterlibatan aktifitas profesuinalisme para mufasir. Untuk itu ada faktor yang berpengaruh untuk mendorong seseorang menjadi mufasir, antara lain (a) kesadaran mufasir itu sendiri seperti tersebut tadi (b) perasaan ingin tahu untuk bergumul dengan ayat-ayat al-Quran, (c) memenuhi tugas tertentu, seperti tuntutan tesis, disertasi, dan atau informal dari birokrasi. Tetapi dari ketiga faktor tadi, yang terpenting adalah niat yang lahir dari mufasir itu sendiri, baik untuk keilmuan ansih atau untuk melayani masyarakat. Niat mufasir biasanya muncul karena banyak membaca buku-kitab atau banyak diskusi, atau mengamati berbagai masalah yang menarik untuk dikembangkan melalui tafsir al-Quran. Meskipun begitu, mufasir harus sadar bahwa apa yang ditulis oleh dirinya itu sudah ditulis oleh mufasir lain yang sudah mendahului, baik ulama mutaqaddimin, atau mutaakhkhirin, dengan berbagai metoda dan gagasan yang sudah dituangkan dalam Kitab Kuning.
               Munculnya kode etik pada ilmuan (mufasir) adalah kesadaran bahwa tafsir al-Quran sudah berkembang sejak zaman Rasulullah Saw, dan shahabatnya, yang diteruskan oleh para tabi’in, dan ulama berikutnya. Maka penafsiran yang dihasilkan oleh mufasir sekarang sangat sedikit, dan uraian yang banyak adalah mengambil kutipan dari mufasir sebelumnya. Karena itu, mufasir perlu menghargai pemikiran mufasir terdahulu (al-salaf al-shalih), meskipun mereka tidak menuntut hak cipta dan sebagainya. Karena itu mufasir sekarang harus mempertimbangkan seperangkat norma yang biasa disebut kode etik, seperti kejujuran, objektifitas, taat asas, dan berbagai nilai positif lainnya.
            Dalam tafsir al-Quran banyak uraian dan pendapat mufasir yang sama, atau berbeda pendapat dengan mufasir sebelumnya, atau bahasa Kitab Kuning dibahasakan dengan bahasa sekarang, atau semacam diskusi dan sebagainya, itu hal biasa dalam tulis menulis ilmiah. Maka sebagai pelaksanaan kode etik, mufasir dalam mengutip uraian orang lain, hendaknya mencantumkan kutipan itu dari mana dan siapa tokoh yang dikutip dan sebagainya.
             Sikap ilmiah bagi seorang mufasir adalah aktifitas, kreatifitas, dan objektifitas, terutama dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang didasarkan pada metoda kwalitatif interpretatif. Pemakaian metoda ini melalui pemahaman, kemampuan, dan ketajaman analisa, baik dalam perancangan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran, atau dalam menarik simpulan. Meskipun begitu, mufasir harus bersifat objektif, dan bukan subjektif murni, seperti tafsir untuk kepentingan organisasi tertentu dan sebagainya. Kemampuan mufasir adalah menurunkan pemikiran dalam menggali dan menganalisis penafsiran ayat al-Quran, terutama bagi mufasir yang menggunakan manhaj ‘aqli dan manhaj waqi’i.
          Untuk itu, sumber kepekaan teoritika (mufasir) menurut Strauss antara lain a) menjelajah literatur  b) pengalaman dalam bidang profesi yang ditekuni. c) pengalaman pribadi, dan d) pengalaman penulis dalam proses menganalisa. Dari segi lain Habermas menambahkan bahwa ilmuan harus memiliki sikap teoritik, tidak berkepentingan secara pribadi, sekaligus menciptakan jarak antara subjektifitas kehidupan, dengan objektifitas perkembangan ilmu.
           Mufassir harus menyadari bahwa dalam dunia ilmu, tidak ada tafsir al-Quran yang lengkap uraiannya dari berbagai segi. Dalam ilmu Ushul al-Tafsir, ayat-ayat al-Quran dikelompokkan menjadi tiga bidang kajian, 1) ayat-ayat metafisik-normatif yaitu ayat-ayat tentang ketuhanan, kenabian, malaikat, jin, syetan, kiamat, dan akhirat.. 2) ayat-ayat sosiohistoris seperti tentang hukum, kemasyarakatan, sejarah, politik, dan ekonomi. 3) ayat-ayat alam fisik seperti ayat-ayat yang menyentuh tentang astronomi, giologi, biologi, kimia dan fisika. Untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang banyak dan bervariasi itu, tidak ada mufassir yang dapat menafsirkan secara lengkap dan tuntas. Melihat hal itu, bukan berarti setiap mufasir diam, tetapi banyak ulama yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran, sesuai kemampuan dan keahlian yang dimiliki. Ahli hadits dan ahli sejarah menafsirkan ayat al-Quran dengan ilmu yang dimiliki seperti al-Thabari dalam tafsirnya, Jami’ al-Bayan. Ulama ahli sastra menafsirkan al-Quran dengan sastranya, seperti Tafsir al-Kasysyaf oleh al-Zamakhsyari. Ulama ahli kalam dan falsafat, menafsirkan al-Quran dengan ilmu itu seperti al-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib. Ulama yang cenderung fiqh, menafsirkan al-Quran dengan ilmu itu, seperti al-Qurthbi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Quran. Ulama ahli kisah menafsirkan ayat al-Quran dengan kisah-kisah yang ada (israiliyat) seperti al-Khazin dalam Lubbab al-Ta’wil, dan banyak lagi ulama yang menulis al-Quran didasarkan pada ilmu yang dimiliki.
           Selain itu, banyak ulama yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran didasarkan pada metoda atau pendekatan yang dimiliki, seperti al-Jahizh menafsirkan beberapa ayat al-Quran tentang api dalam kitabnya al-Hayawan, dengan pendekatan helenis. Muhammad Abduh menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan pendekatan ilmu sosial (adabi-ijtima’i). Sayyid  Quthub menafsirkan ayat-ayat al-Quran dalam tafsir Fii Zhilal al-Quran dengan model manhaj tazdawwuqi, yang oleh ilmu sosial disebut ‘emosi keagamaan’. Thanthawi Jauhari menafsirkan ayat al-Quran dalam kitabnya, Al-Jawahir dengan menggunakan ilmu eksakt sebagai bahan penafsiran, dan begitulah seterusnya. Alhasil apa pun ilmu yang dimiliki oleh seorang ilmuan dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran.

C. Tafsir al-Quran.    .   
            Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan atau uraian. Sedangkan menurut istilah; Tafsir al-Quran ialah ilmu yang membahas tentang ayat al-Quran dari segi pemahaman akan maksud atau signifikansi yang dikehendaki oleh Allah, sesuai dengan kemampuan manusiawi. Dalam tempat lain ada uraian, bahwa: Tafsir al-Quran ialah ilmu yang membahas tentang kitab Allah (al-Quran) dari segi turunnya, sandaran (kasus yang melatarbelakangi turunnya), penyampaian kata-kata dan semua makna yang bertalian dengan kata-kata itu, dan yang bertalian dengan hukum-hukum (uraian normatif). Selain kata  tafsir ada juga konsep tentang ta’wil ayat al-Quran.
             Ta’wil menurut bahasa adalah penjelasan, ungkapan, dan interpretasi. Sedangkan menurut istilah; ta’wil al-Quran sama seperti konsep tafsir. Tetapi kebanyakan ulama membedakan antara konsep ta’wil dan konsep tafsir. Tafsir menjelaskan sasaran lebih jelas dan konkret, sedang ta’wil lebih abstrak dan menyajikan ungkapan pada beberapa alternatif. Selain dua pendapat tadi banyak lagi pendapat ulama yang mengungkap istilah antara tafsir dan ta’wil. Pada masa sekarang, banyak penggunaan istilah ‘hermeneutika’ yang dalam kerjanya sama dengan istilah tafsir dan ta’wil.
          Munculnya tafsir al-Quran didorong oleh perkembangan pemikiran dan memprak-tekkannya secara filosofis, intelektual, dan estetis. Begitu itu adalah tafsir al-Quran yang disusun oleh ulama, dan bukan oleh Rasulullah Saw., karena tafsir Rasulullah didasarkan pada wahyu pada umumnya, dan sebagian lagi memakai ijtihad. Semua tafsir al-Quran mengimplikasikan makna dengan cara dan metoda tertentu, seperti naqli, rakyi, isyari, dan sebagainya. Salah satu faktor yang mendorong munculnya tafsir al-Quran adalah ketidak fahaman atau perbedaan sudut pandang antar ulama terhadap makna yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran..
          Secara historis tafsir al-Quran yang pertama adalah penjelasan Rasulullah Saw. yang disampaikan kepada para sahabat Nabi, baik dalam bentuk kata-kata atau dalam bentuk tindakan (uswah hasanah). Kemudian penafsiran diteruskan oleh Khalifah Rasyidin dan para sahabat Nabi, diteruskan oleh tabi’in dan begitulah seterusnya, sampai tidak henti-hentinya ayat-ayat al-Quran ditafsirkan sampai sekarang.
        Secara keilmuan, tafsir al-Quran perlu dikembangkan terus sesuai perkembangan masalah sepanjang zaman, yang tidak pernah behenti. Permasalahan ditentukan atas dasar pertimbangan masyarakat pengguna tafsir al-Quran. Tafsir partisipatoris misalnya lebih banyak memanfaatkan akal sehat (commonsense) dari pada pemakaian teori ansih. Suatu contoh Tafsir al-Thabari dengan teori maktsur, atau Muhamad Abduh dengan teori aqli, tetapi hakikatnya mereka berdua lebih banyak menurunkan pemikiran kritis, dari pada teori yang mereka canangkan.Tafsir al-Quran yang ideal adalah tafsir yang menggunakan kajian sosial-budaya dengan teori partisipatoris. Konsep semacam ini, oleh penulis ini disebut tafsir waqi’i.
         Sebagai karya ilmiah, tafsir al-Quran menjadi indikator perkembangan keagamaan dan keilmuan kaum muslimin. Perkembangan ini maju sekali jika itu ditunjang dengan penelitian al-Quran. Secara keilmuan, tidak ada tafsir al-Quran yang lepas dari pada tafsir yang sudah ada, seperti sudah diuraikan di atas. Maka hasil penelitian pun hanya memberikan tambahan sedikit tentang masalah yang diperlukan saat itu. Tafsir al-Quran selalu mengutip ulasan dari tafsir yang sudah ada, hanya diberi tambahan seperlunya. Tafsir al-Quran yang ideal. bukan penafsiran yang mengulas segala sesuatu, tetapi hanya mengulas hubungan penafsiran yang sudah ada, dengan penafsiran yang belum diketahui. Hasil dari penghubungan semacam itulah tafsir al-Quran yang diperlukan.Tulisan tentang penelitian al-Quran isinya menyajikan tentang mempelajari teks, dikaitkan dengan konteksnya.
          Dalam kitab Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manhajuhum; Al-Sayyid Mauhammad Ali Abazi menulis, bahwa tafsir al-Quran tidak bisa diketahui jumlahnya secara pasti, karena tafsir al-Quran yang ditulis dengan bahasa Arab saja sudah ribuan kitab. Dia mengelompokkan 244 tafsir al-Quran menjadi 17 pendekatan, seperti maktsur, ilmi, fiqhi, adabi, falsafi, haraki, hadai, israili, dan lain sebagainya. Dia  mengulas 121 kitab tafsir al-Quran yang diangkat dari kitab Thabaqat al-Mufassirin karya al-Sayuthi, Thabaqat al-Mufassirin karya al-Dawudi, dan Thabaqat al-Mufassirin karya Ahmad ibn Muhammad al-Adnawi. Dalam kitab-kitab itu dia hanya menyaajikan penulis kitab, dan diberi abstraksi singkat tentang isi kitab itu. Dia berhasil mengurutkan 116 kitab tafsir al-Quran Ahli Sunnah, Mu’tazilah, Syi’ah Itsna Asyariah, Zaidiyah, dan Ibadliyah. yang dicetak dan beredar di masyarakat. Meskipun begitu pengurutan ini tidak dimulai dari tafsir al-Quran karya Ibn Abbas dan muridnya di Makkah, tafsir Ubay ibn Ka’ab dan muridnya di Madinah, atau tafsir Ibn Mas’ud  dan tafsir murid-muridnya di Irak, dan sebagainya.
           Tafsir al-Quran yang disajikan pertama oleh Abazi adalah Tafsir al-Quran karya Ibn Hammam al-Shan’ani (w. 211 H.-826 M) dan diakhiri dengan kitab Al-Jadid fi Tafsir al-Quran karya Muhammad ibn Habib al-Sabzuary (w.1402 H-1982 M).dari ulama Syi’ah Itsna Astariyah. Sedangkan tafsir al-Quran yang ditulis akhir oleh Ahl al-Sunnah, adalah Tafsir al-Wasith Li al-Quran al-Karim dalam 15 jilid, karya Syaikh al-Azhar, Muhamad al-Sayyid Thanthawi (w.1432./H-2010 M). Penulis yakin, bahwa insya Allah masih banyak tafsir al-Quran yang sedang ditulis oleh para ulama, dengan bahasa Arab.
               
D. Ilmu Tasir al-Quran
            Al-Quran yang pertama kali turun adalah ayat satu sampai lima Surat al-‘Alaq. Secara singkat, ayat ini memerintahkan manusia agar membaca alam dengan nama Allah, dan Allah sendiri mengajarkan ilmu kepada manusia. Dengan demikian, berarti ilmu adalah ciptaan Allah yang diberikan kepada manusia, baik dengan cara berfikir (akal) atau liwat panca indera dengan melihat fenomena alam. Dalam tempat lain, Allah sendiri sudah mengajarkan ilmu kepada manusia pertama (Adam) sebagaimana diuraikan dalam Surat al-Baqarah ayat 30–33. Dengan demikian, ilmu pada dasarnya sudah diturunkan sejak manusia diciptakan.  Lebih dari itu, ayat-ayat al-Quran sendiri banyak menyebutkan kata-kata ilmu dalam berbagai shighat, ditambah dengan kata-kata yafqahun, ya’qilun, yatafaqqahun, dan sebagainya, yang semua itu berkaitan dengan ilmu.
          Kalau ilmu itu dikaitkan pada tafsir al-Quran, maka Rasulullah adalah tokoh pertama yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran, baik dalam bentuk pengamalan atau dalam  bentuk perkataan. Kemudian tafsir al-Quran diteruskan oleh para sahabat Nabi dan oleh para tabi’in awal. Tetapi tafsir al-Quran baru bersifat pemahaman tekstualis dan belum banyak penafsiran interpretatif. 
          Setelah para sahabat Nabi dan kaum muslimin tersebar ke berbagai kawasan dunia, dan bergumul dengan tokoh mawali, dan ilmuan yang memiliki peradaban maju termasuk falsafat, dan kreatifitas lainnya, penafsiran al-Quran mulai berkembang. Dalam sejarah perkembangan tafsir al-Quran, Shahabat Ibn Mas’ud (w. 32 H-652 M) adalah mufasir yang bergumul dengan kebudayaan berfikir yang berbeda dengan budaya Makkah-Madinah waktu itu. Kemudian diteruskan oleh pemikiran tabi’in dan tabi’it-tabi’in, sampai muncul aliran tafsir rakyu dalam bidang keagamaan. Tokoh pertama yang menstruktukan pemikiran ke dalam ilmu agama adalah Ibn al-Muqaffa’ (w. 109 H- 727 M) pencipta ilmu Manthiq, yang mengambil bahan helenis (falsafat Yunani). Kemudian disusul oleh sastrawan Arab terbesar, Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w. 162 H-778 M) disusul lagi oleh koleha dan muridnya yang mengembangkan ilmu nahwu seperti al-Sibawaih (w 154 H-770 M) dan al-Ashmu’i (w. 213 H-828 M). Ilmu ini keudian banyak dimanfaatkan oleh mufasir al-Quran.
           Pada tahun 80 H. di Madinah, lahir Washil ibn Atha’ (w. 131 H- 748 M) pemikir Mu’tazilah yang menggunakan akal untuk menyusun akidah Islamiyah. Pemikiran itu  dipergunakan juga untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Di antara penerusnya adalah al-Nazhzham (w. 221 H- 835 M), dan muridnya, al-Jahizh (w. 254 H- 868 M). Tokoh yang disebut akhir ini, budayawan besar yang menulis tafsir al-Quran “Api dan Macam-macamnya:” yang dicantumkan dalam kitabnya, Al-Hayawan. Karya ini oleh Showi al-Juwaini disebut sebagai tafsir maudlu’i yang pertama dalam Islam.
           Dalam perkembangan selanjutnya, umat Islam mulai banyak mendiskusiakn dan menulis ilmu falsafat, seperti ditulis oleh al-Kindi (w. 260 H-873 M) dan al-Farabi (w. 339 H-950 M). Failasuf Muslim yang paripurna dalam bidang ini adalah Ibn Sina (w. 430 H-1038 M). Dia tidak hanya failasuf, tetapi juga dokter, dan menguasai ilmu eksakt yang luas sekali, di samping mengembangkan pemikiran Plotinus. Sahabat karibnya yang saling tukar menukar karangan adalah al-Biruni (w. 440 H-1048 M). Tokoh ini menguasai ilmu pasti, astronomi, kedokteran, sejarah, dan falsafat Yunani dan falsafat India. Karya kedua tokoh itu, di samping dikutip oleh dokter dan ahli ilmu eksakt lainnya, dikutip juga oleh beberapa ilmuan dan failasuf berikutnya, seperti al-Ghazali (w. 505 H-1111 M) dan Ibn Rusyd (w. 595 H-1198 M). Filosof, yang dokter, yang ahli hukum Islam ini terkenal dengan sebutan Aristotalian, dan disebut sebagai penutup filosof dalam Islam. Masa ini sebagai akhir peralihan dari ulama mutaqaddimin (zaman Rasulullah sampai tahun 500 H) ke ulama mutaakhirin. (dari akhir al-Ghazali sampai zaman  Syakh Thahir al-Jazairy (w, 1338 H-1919 M). Pada masa ulama mutaakhirin juga muncul Ibn Arabi (w. 638  H-1240 M) dengan falsafat-tasawuf “ Wahdat al-Wujud”  dan pemikir shufi lain seperti al-Suhrowardi dengan kitabnya, “ Hikmat al-Isyraq “  (586 H-1190 M), Jalaluddin al-Rumi (w. 672 H-1273 M), Al-Jilli dan sebagainya. Tetapi falsafat-tasawuf ini tidak banyak dikembangkan oleh ilmuan akademisi.
          Setelah Kerajaan Islam di Spanyol hancur dan Kerajaan di Baghdad juga runtuh, Kerajaan Islam masih dikembangkan oleh Mamalik di Mesir. Pada masa itu muncul dua pemikir besar yaitu Ibn Taymiyah (w. 729 H-1328 M) dan Ibn Khaldun (w. 806 H-1406 M), tetapi tradisi keilmuan pada masa Perang Salib ini, tidak setajam dan sehebat seperti perkembangan ilmu pada masa Baghdad dan Kardova. Kitab Kuning menyebutkan perkembangan ulama mutaakhirin ini hanya tulis-menulis (ta’lif) yang materinya dikutip dari ulama mutaqaddimin. .
           Masa ulama mutaakhirin berakhir sampai munculnya Syaikh Thahir al-Jazairy (w. 1338 H-1919 M). Setelah itu, ilmuan muslimin berkembang lagi dengan menggunakan berbagai teori yang dikembangkan oleh ilmuan Barat. Pemikiran ini dimulai oleh Muhammad Abduh (w.1323 H-1905 M) dan murid-muridnya di Mesir. Pemikiran itu memunculkan pro dan kontra di kalangan umat Islam, seperti terjadi pada masa ulama mutaakhirin tentang penggunaan falsafat.
          Uraian di atas seperti mengulas sejarah ilmu, sehingga ada anggapan bahwa sejarah ilmu itu identik dengan falsafat ilmu. Padahal uraian itu bermaksud bahwa setiap pemikir mutaqadimin atau mutakhirin itu dapat dibuat sebagai asumsi dasar dan paradigma tafsir al-Quran. Asumsinya, penafsiran Rasulullah adalah tafsir naqli, pemikiran Ibn Mas’ud adalah tafsir akli. Kemudian pemikiran Khalil, dan Sibawaih, adalah paradigma lughawi, pemikiran Washil ibn Atha adalah paradigma rasionalis, pemikiran Ibn Sina dan filosof lainnya adalah paradigma dilosofi, pemikiran al-Biruni adalah paradigma ilmi, pemikiran Ibn Taymiyah adalah paradigma positifisme, pemikiran Ibn Arabi dan shufi lainnya adalah paradigma sufisme, pemikiran Ibn Khaldun adalah paradigma ilmu sejarah dan sosial, dan begitulah seterusnya, yang menggambarkan bahwa pemikiran tokoh-tokoh tersebut dapat dibuat sebagai paradigma untuk tafsir al-Quran.   .    .
             Pemikiran seperti itu dapat dibuat sebagai falsafat ilmu untuk tafsir al-Quran. Awalnya falsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan, tetapi pada abad enam belas ketika ilmu dikembangkan oleh ilmuan Barat, dan segmentasi ilmu pengetahuan muncul dengan ditemukannya metoda ilmiah baik eksperimental matematis atau empirik rasional, maka ilmu pengetahuan mulai dipisahkan dari falsafat.. Dalam kalangan akademisi, telah dibedakan antara konsep pengetahuan (knowledge) dengan ilmu pengetahuan (science). Pengetahuan adalah mengetahui sesuatu secara spontan tanpa memahami asal-usulnya, serta tidak diketahui untuk membuktikan kebenaran selanjutnya. Sedangkan ilmu adalah menegetahui sesuatu dengan cara tertentu, diperoleh dengan sengaja, sehingga selalu timbul usaha untuk membuktikannya kembali. Ilmu bersifat sistematis, logis, metodis, dan memiliki teori.
          Berangkat dari pemilahan seperti itu, muncul pertanyaan: Apakah tafsir al-Quran itu sebagai pengetahuan (knowledge) atau sebagai ilmu (science). Ada dua jawaban yang kelihatan berbeda. antara UIN “SGD” Bandung yang sejak Orde Baru dikuasai terus oleh tokoh-tokoh yang berfikir idealis-totalistik, dengan pemikir lainnya. Dalam visinya tokoh itu menulis antara lain; mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum, berdasarkan paradigma wahyu memandu ilmu. Mungkin kalau wahyu (teks al-Quran) itu ditafsirkan dengan cara apapun, bisa disebut ilmu. Tetapi bagi pemikir yang tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum, dan selalu mengkritisi tentang paradigma penglola UIN Bandung ‘wahyu memandu ilmu’ maka akan menilai bahwa tafsir al-Quran bisa disebut sebagai ilmu jika mengikuti tradisi keilmuan yang ada.
         Untuk menentukan tafsir al-Quran menjadi ilmu, didasarkan pada landasan filosofis yang mendasari, yang berfungsi sebagai pemberi kerangka, mengarahkan, menentukan corak dari keilmuan yang dihasilkannya. Landasan tadi berupa; asumsi dasar, paradigma, dan kerangka teori. Ketiga hal itulah yang biasa disebut falsafat keilmuan. Kerja landasan filosofis ini tidak serta merta bisa ditujukan dalam wilayah praktis, tetapi sangat jelas dalam menentukan corak ilmu tafsir yang dihasilkan. Dalam sejarah perkembangan ilmu, ketiga hal itu memiliki keterkaitan tidak saja historis, tetapi juga sistematis.
           Kalau ketiga landasan itu diterapkan pada tafsir al-Quran, maka asumsi dasarnya adalah naqli, aqli, isyari, adabi, atau waqi’i. Sedang paradigmanya adalah  kalami, fiqhi, ilmi-kauni, haraki, ijtima’i, shufi, falsafi, dan sebagainya. Sedangkan kerangka dasar atau pendekatannya, mufassir dapat menggunakan pemikiran tekstual seperti filosofis, yuridis, teologis, dan logis, atau pendekatan kontekstual seperti historis, antropologis, psykologis sosiologis dan semacamnya.
         Dalam tempat lain, tafsir al-Quran dapat dinilai ilmu, jika dilakukan dengan mene-lusuri tiga ciri keilmuan yang harus dimiliki, yaitu: (a) ontologi,.(b) epistemologi, dan (c) aksiologi. Rincian ini akan diuraikan dalam artikel tersendiri.
          Wallau a’lam bi al-shawab.     
Pebulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.  

          
Tafsir Al-Qur'an dan Ilmu Tafsir Reviewed by Chozin Nasuha on 04.54 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by Chozin Nasuha Official Web © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by Sweetheme

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.