Tafsir Al-Qur'an dan Ilmu Tafsir
- Pembukaan
Ada tiga kajian
yang memiliki definisi dan uraian yang satu sama lain berbeda, tetapi penerapannya
selalu bersamaan, yaitu mufassir, tafsir al-Quran, dan ilmu tafsir. Pembahasan
tiga konsep itu akan diuraikan satu sama lain sehingga pemisahan daerah sasarannya
dapat dijelaskan. Konsep yang belum banyak diuraikan oleh para penulis adalah
‘Ilmu Tafsir’. Di satu pihak, ilmu tafsir meyangkut semua permasalahan proses
penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran, di pihak lain ilmu tafsir dibicarakan
dalam dataran metodologi. Tafsir al-Quran karya ilmuan sejak dulu, oleh ahli
ilmu agama disebut sebagai ilmu. Karena itu, setiap mufasir adalah ilmuan.
Tetapi akhir-akhir ini, ada pemikiran lain bahwa ilmu tafsir secara ontologis berbeda
dengan istilah penafsiran (interpretasi) terhadap ayat-ayat al-Quran. Dengan
demikian uraian ini akan mencoba memilah konsep satu sama lain, sehingga tidak
terjadi berbenturan, termasuk dengan penelitian al-Quran. Secara keilmuan, ilmu
tafsir berkaitan dengan tafsir al-Quran itu sendiri, meskipun secara kajian,
ilmu ini akan berbicara dengan teori, metoda, dan teknis yang semua itu
bersentuhan dengan ilmu-ilmu (Ulum) al-Quran bahkan dengan ilmu sosial dan
budaya.
Kitab dan buku yang membahas tentang
tafsir al-Quran dan tokoh tafsir al-Quran (mufassir) sudah banyak, tetapi buku
yang membahas tentang ilmu tafsir dan penelitian al-Quran sangat sedikit.
Meskipun begitu, banyak juga sarjana yang oleh lembaganya ditugaskan mengajar
tafsir al-Quran, atau Ulum al-Quran, sehingga sarjana itu disebut ahli tafsir
(mufasir). Dengan kata lain, belum ada pembidangan antara sarjana ilmu tafsir,
dengan sarjana lain yang ditugaskan mengajar tafsir al-Quran. Tulisan ini akan
memilahkan konsep mufassir, tafsir al-Quran dan ilmu tafsir.
- Tokoh-tokoh
Tafsir al-Quran (mufassir)
Biografi ulama tafsir al-Quran, sudah banyak
ditulis oleh ulama mutaqaddimin dan ulama mutaakhirin. Salah satu
kitab yang populer dan beredar sekarang adalah kitab Thabaqat al-Mufassirin karya
al-Sayuthi (w.911 H-1505 M). dan Thabaqat al-Mufassirin karya Muhamad ibn
Ali al-Dawudi. Dua ktab itu menyajikan biografi ulama tafsir dari masa ke masa.
Selain dua kitab itu muncul beberapa ulama sekarang menulis kitab, antara lain Al-Tafsir
wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain al-Dzahabi, dan kitab Al-Tafsir
wa Rijaluh karya Muhammad al-Fadlil ibn Asyur. Dua kitab ini menyajikan
beberapa tokoh tafsir dari segi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran. Tetapi
uraian itu, dianggap singkat karena belum mengungkap berbagai aspek pemikiran
mufasir secara komprehensip.
Sekarang banyak tulisan tentang pemikiran tokoh yang dikaitkan dengan
tafsir al-Quran seperti Sufyan al-Tsauri Waatsaruhu fi al-Tafsir, oleh
Hasyim al-Masyhadani, Al- Razi min khilali tafsirih oleh
Abdul-Aziz Majdzub, Al-Zamakhsyari Lughawiyan wa Mufasiran oleh. Muhsin
Abdul Hamid, Al-Qurthubi wa Manhajuhu fi al-Tafsir karya Qubaysi Mahmud
Zalath, Thaba-thabaii wa manhajuhu fi Tafsir al-Mizan, karya Ali
al-Ausi, Muhammad Abduh wa Manhajuhu fi al-Tafsir oleh Abdulghaffar
Abdurahim., dan banyak lagi tokoh mufassir yang dipelajari pemikirannya diawali
dari penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran.
Tafsir al-Quran lahir karena
tiga unsur, yaitu mufasir, ayat-ayat al-Quran, dan hermeneutika penafsiran.
Tetapi dari tiga unsur itu, mufassirlah yang paling dominan. Dalam kaitan ini perlu
ditata pemahaman sekaligus penggunaan paradigma, metodologi, dan kerangka
berfikir. Sebenarnya, tafsir al-Quran adalah termasuk kelompok ideografis yang
memperoleh penafsiran dengan cara pemahaman (bukan pembuktian) yang oleh
mufasir dipecahkan melalui metoda kwalitatif interpretatif, sesuai dengan
tujuan penafsiran.
Pada dasarnya, tidak ada persyaratan khusus bagi mufasir, karena
al-Quran adalah kitab terbuka yang bisa dipelajari oleh setiap orang, termasuk
oleh orientalis. Kalau dalam kitab tertentu ada persyaratan mufasir harus
memiliki ilmu A,B,C, dan sebagainya, itu adalah pemikiran seseorang yang belum
tentu dapat diterima oleh para ilmuam lainnya. Meskipun begitu, mufasir tetap memerlukan
bahan penafsiran yang cukup seperti penggunaan teori, metoda, konsep, dan
berbagai tuntutan ilmiah, agar mufasir masuk kelompok intelektual, akademisi,
dan lama kelamaan dia masuk dalam mufassir profesional.
Kesadaran yang muncul pertama adalah tanggung jawab mufasir
mengembangkan tafsir al-Quran. Dengan kata lain, kemajuan tafsir al-Quran itu
merupakan keterlibatan aktifitas profesuinalisme para mufasir. Untuk itu ada
faktor yang berpengaruh untuk mendorong seseorang menjadi mufasir, antara lain
(a) kesadaran mufasir itu sendiri seperti tersebut tadi (b) perasaan ingin tahu
untuk bergumul dengan ayat-ayat al-Quran, (c) memenuhi tugas tertentu, seperti
tuntutan tesis, disertasi, dan atau informal dari birokrasi. Tetapi dari ketiga
faktor tadi, yang terpenting adalah niat yang lahir dari mufasir itu sendiri,
baik untuk keilmuan ansih atau untuk melayani masyarakat. Niat mufasir biasanya
muncul karena banyak membaca buku-kitab atau banyak diskusi, atau mengamati
berbagai masalah yang menarik untuk dikembangkan melalui tafsir al-Quran.
Meskipun begitu, mufasir harus sadar bahwa apa yang ditulis oleh dirinya itu
sudah ditulis oleh mufasir lain yang sudah mendahului, baik ulama mutaqaddimin,
atau mutaakhkhirin, dengan berbagai metoda dan gagasan yang sudah
dituangkan dalam Kitab Kuning.
Munculnya kode etik pada ilmuan
(mufasir) adalah kesadaran bahwa tafsir al-Quran sudah berkembang sejak zaman
Rasulullah Saw, dan shahabatnya, yang diteruskan oleh para tabi’in, dan ulama
berikutnya. Maka penafsiran yang dihasilkan oleh mufasir sekarang sangat
sedikit, dan uraian yang banyak adalah mengambil kutipan dari mufasir
sebelumnya. Karena itu, mufasir perlu menghargai pemikiran mufasir terdahulu (al-salaf
al-shalih), meskipun mereka tidak menuntut hak cipta dan sebagainya.
Karena itu mufasir sekarang harus mempertimbangkan seperangkat norma yang biasa
disebut kode etik, seperti kejujuran, objektifitas, taat asas, dan berbagai
nilai positif lainnya.
Dalam
tafsir al-Quran banyak uraian dan pendapat mufasir yang sama, atau berbeda
pendapat dengan mufasir sebelumnya, atau bahasa Kitab Kuning dibahasakan dengan
bahasa sekarang, atau semacam diskusi dan sebagainya, itu hal biasa dalam tulis
menulis ilmiah. Maka sebagai pelaksanaan kode etik, mufasir dalam mengutip
uraian orang lain, hendaknya mencantumkan kutipan itu dari mana dan siapa tokoh
yang dikutip dan sebagainya.
Sikap
ilmiah bagi seorang mufasir adalah aktifitas, kreatifitas, dan objektifitas,
terutama dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang didasarkan pada metoda
kwalitatif interpretatif. Pemakaian metoda ini melalui pemahaman, kemampuan,
dan ketajaman analisa, baik dalam perancangan penafsiran terhadap ayat-ayat
al-Quran, atau dalam menarik simpulan. Meskipun begitu, mufasir harus bersifat
objektif, dan bukan subjektif murni, seperti tafsir untuk kepentingan
organisasi tertentu dan sebagainya. Kemampuan mufasir adalah menurunkan pemikiran
dalam menggali dan menganalisis penafsiran ayat al-Quran, terutama bagi mufasir
yang menggunakan manhaj ‘aqli dan manhaj waqi’i.
Untuk itu, sumber kepekaan teoritika (mufasir) menurut Strauss
antara lain a) menjelajah literatur b)
pengalaman dalam bidang profesi yang ditekuni. c) pengalaman pribadi, dan d) pengalaman
penulis dalam proses menganalisa. Dari segi lain Habermas menambahkan bahwa
ilmuan harus memiliki sikap teoritik, tidak berkepentingan secara pribadi,
sekaligus menciptakan jarak antara subjektifitas kehidupan, dengan objektifitas
perkembangan ilmu.
Mufassir harus menyadari bahwa dalam dunia ilmu, tidak ada tafsir
al-Quran yang lengkap uraiannya dari berbagai segi. Dalam ilmu Ushul al-Tafsir,
ayat-ayat al-Quran dikelompokkan menjadi tiga bidang kajian, 1) ayat-ayat
metafisik-normatif yaitu ayat-ayat tentang ketuhanan, kenabian, malaikat, jin,
syetan, kiamat, dan akhirat.. 2) ayat-ayat sosiohistoris seperti tentang hukum,
kemasyarakatan, sejarah, politik, dan ekonomi. 3) ayat-ayat alam fisik seperti
ayat-ayat yang menyentuh tentang astronomi, giologi, biologi, kimia dan fisika.
Untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang banyak dan bervariasi itu, tidak ada
mufassir yang dapat menafsirkan secara lengkap dan tuntas. Melihat hal itu,
bukan berarti setiap mufasir diam, tetapi banyak ulama yang menafsirkan ayat-ayat
al-Quran, sesuai kemampuan dan keahlian yang dimiliki. Ahli hadits dan ahli
sejarah menafsirkan ayat al-Quran dengan ilmu yang dimiliki seperti al-Thabari
dalam tafsirnya, Jami’ al-Bayan. Ulama ahli sastra menafsirkan al-Quran dengan
sastranya, seperti Tafsir al-Kasysyaf oleh al-Zamakhsyari. Ulama ahli
kalam dan falsafat, menafsirkan al-Quran dengan ilmu itu seperti al-Razi dalam
tafsir Mafatih al-Ghaib. Ulama yang cenderung fiqh, menafsirkan al-Quran
dengan ilmu itu, seperti al-Qurthbi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Quran.
Ulama ahli kisah menafsirkan ayat al-Quran dengan kisah-kisah yang ada (israiliyat)
seperti al-Khazin dalam Lubbab al-Ta’wil, dan banyak lagi ulama yang menulis
al-Quran didasarkan pada ilmu yang dimiliki.
Selain itu, banyak ulama yang menafsirkan
ayat-ayat al-Quran didasarkan pada metoda atau pendekatan yang dimiliki,
seperti al-Jahizh menafsirkan beberapa ayat al-Quran tentang api dalam kitabnya
al-Hayawan, dengan pendekatan helenis. Muhammad Abduh menafsirkan
ayat-ayat al-Quran dengan pendekatan ilmu sosial (adabi-ijtima’i).
Sayyid Quthub menafsirkan ayat-ayat
al-Quran dalam tafsir Fii Zhilal al-Quran dengan model manhaj tazdawwuqi,
yang oleh ilmu sosial disebut ‘emosi keagamaan’. Thanthawi Jauhari menafsirkan
ayat al-Quran dalam kitabnya, Al-Jawahir dengan menggunakan ilmu eksakt
sebagai bahan penafsiran, dan begitulah seterusnya. Alhasil apa pun ilmu yang
dimiliki oleh seorang ilmuan dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat-ayat
al-Quran.
C. Tafsir al-Quran. .
Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan atau
uraian. Sedangkan menurut istilah; Tafsir al-Quran ialah ilmu yang membahas
tentang ayat al-Quran dari segi pemahaman akan maksud atau signifikansi yang
dikehendaki oleh Allah, sesuai dengan kemampuan manusiawi. Dalam tempat lain ada
uraian, bahwa: Tafsir al-Quran ialah ilmu yang membahas tentang kitab Allah
(al-Quran) dari segi turunnya, sandaran (kasus yang melatarbelakangi turunnya),
penyampaian kata-kata dan semua makna yang bertalian dengan kata-kata itu, dan
yang bertalian dengan hukum-hukum (uraian normatif). Selain kata tafsir ada juga konsep tentang ta’wil ayat
al-Quran.
Ta’wil menurut bahasa adalah penjelasan, ungkapan, dan interpretasi.
Sedangkan menurut istilah; ta’wil al-Quran sama seperti konsep tafsir. Tetapi
kebanyakan ulama membedakan antara konsep ta’wil dan konsep tafsir. Tafsir
menjelaskan sasaran lebih jelas dan konkret, sedang ta’wil lebih abstrak dan
menyajikan ungkapan pada beberapa alternatif. Selain dua pendapat tadi banyak
lagi pendapat ulama yang mengungkap istilah antara tafsir dan ta’wil. Pada masa
sekarang, banyak penggunaan istilah ‘hermeneutika’ yang dalam kerjanya sama
dengan istilah tafsir dan ta’wil.
Munculnya tafsir al-Quran didorong oleh perkembangan pemikiran dan
memprak-tekkannya secara filosofis, intelektual, dan estetis. Begitu itu adalah
tafsir al-Quran yang disusun oleh ulama, dan bukan oleh Rasulullah Saw., karena
tafsir Rasulullah didasarkan pada wahyu pada umumnya, dan sebagian lagi memakai
ijtihad. Semua tafsir al-Quran mengimplikasikan makna dengan cara dan metoda
tertentu, seperti naqli, rakyi, isyari, dan sebagainya. Salah satu faktor yang
mendorong munculnya tafsir al-Quran adalah ketidak fahaman atau perbedaan sudut
pandang antar ulama terhadap makna yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran..
Secara historis tafsir al-Quran yang pertama adalah penjelasan
Rasulullah Saw. yang disampaikan kepada para sahabat Nabi, baik dalam bentuk
kata-kata atau dalam bentuk tindakan (uswah hasanah). Kemudian penafsiran
diteruskan oleh Khalifah Rasyidin dan para sahabat Nabi, diteruskan oleh
tabi’in dan begitulah seterusnya, sampai tidak henti-hentinya ayat-ayat al-Quran
ditafsirkan sampai sekarang.
Secara keilmuan, tafsir al-Quran perlu dikembangkan terus sesuai
perkembangan masalah sepanjang zaman, yang tidak pernah behenti. Permasalahan
ditentukan atas dasar pertimbangan masyarakat pengguna tafsir al-Quran. Tafsir
partisipatoris misalnya lebih banyak memanfaatkan akal sehat (commonsense)
dari pada pemakaian teori ansih. Suatu contoh Tafsir al-Thabari dengan teori
maktsur, atau Muhamad Abduh dengan teori aqli, tetapi hakikatnya mereka berdua lebih
banyak menurunkan pemikiran kritis, dari pada teori yang mereka canangkan.Tafsir
al-Quran yang ideal adalah tafsir yang menggunakan kajian sosial-budaya dengan
teori partisipatoris. Konsep semacam ini, oleh penulis ini disebut tafsir
waqi’i.
Sebagai karya ilmiah, tafsir al-Quran menjadi indikator perkembangan keagamaan
dan keilmuan kaum muslimin. Perkembangan ini maju sekali jika itu ditunjang
dengan penelitian al-Quran. Secara keilmuan, tidak ada tafsir al-Quran yang
lepas dari pada tafsir yang sudah ada, seperti sudah diuraikan di atas. Maka
hasil penelitian pun hanya memberikan tambahan sedikit tentang masalah yang
diperlukan saat itu. Tafsir al-Quran selalu mengutip ulasan dari tafsir yang
sudah ada, hanya diberi tambahan seperlunya. Tafsir al-Quran yang ideal. bukan penafsiran
yang mengulas segala sesuatu, tetapi hanya mengulas hubungan penafsiran yang
sudah ada, dengan penafsiran yang belum diketahui. Hasil dari penghubungan semacam
itulah tafsir al-Quran yang diperlukan.Tulisan tentang penelitian al-Quran
isinya menyajikan tentang mempelajari teks, dikaitkan dengan konteksnya.
Dalam
kitab Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manhajuhum; Al-Sayyid Mauhammad Ali
Abazi menulis, bahwa tafsir al-Quran tidak bisa diketahui jumlahnya secara
pasti, karena tafsir al-Quran yang ditulis dengan bahasa Arab saja sudah ribuan
kitab. Dia mengelompokkan 244 tafsir al-Quran menjadi 17 pendekatan, seperti
maktsur, ilmi, fiqhi, adabi, falsafi, haraki, hadai, israili, dan lain
sebagainya. Dia mengulas 121 kitab
tafsir al-Quran yang diangkat dari kitab Thabaqat al-Mufassirin karya
al-Sayuthi, Thabaqat al-Mufassirin karya al-Dawudi, dan Thabaqat
al-Mufassirin karya Ahmad ibn Muhammad al-Adnawi. Dalam kitab-kitab itu dia
hanya menyaajikan penulis kitab, dan diberi abstraksi singkat tentang isi kitab
itu. Dia berhasil mengurutkan 116 kitab tafsir al-Quran Ahli Sunnah,
Mu’tazilah, Syi’ah Itsna Asyariah, Zaidiyah, dan Ibadliyah. yang dicetak dan
beredar di masyarakat. Meskipun begitu pengurutan ini tidak dimulai dari tafsir
al-Quran karya Ibn Abbas dan muridnya di Makkah, tafsir Ubay ibn Ka’ab dan
muridnya di Madinah, atau tafsir Ibn Mas’ud
dan tafsir murid-muridnya di Irak, dan sebagainya.
Tafsir al-Quran yang disajikan pertama oleh Abazi adalah Tafsir
al-Quran karya Ibn Hammam al-Shan’ani (w. 211 H.-826 M) dan diakhiri dengan
kitab Al-Jadid fi Tafsir al-Quran karya Muhammad ibn Habib al-Sabzuary
(w.1402 H-1982 M).dari ulama Syi’ah Itsna Astariyah. Sedangkan tafsir al-Quran yang
ditulis akhir oleh Ahl al-Sunnah, adalah Tafsir al-Wasith Li al-Quran
al-Karim dalam 15 jilid, karya Syaikh al-Azhar, Muhamad al-Sayyid Thanthawi
(w.1432./H-2010 M). Penulis yakin, bahwa insya Allah masih banyak tafsir
al-Quran yang sedang ditulis oleh para ulama, dengan bahasa Arab.
D. Ilmu Tasir al-Quran
Al-Quran yang pertama kali turun adalah ayat satu sampai lima Surat
al-‘Alaq. Secara singkat, ayat ini memerintahkan manusia agar membaca alam
dengan nama Allah, dan Allah sendiri mengajarkan ilmu kepada manusia. Dengan
demikian, berarti ilmu adalah ciptaan Allah yang diberikan kepada manusia, baik
dengan cara berfikir (akal) atau liwat panca indera dengan melihat fenomena
alam. Dalam tempat lain, Allah sendiri sudah mengajarkan ilmu kepada manusia
pertama (Adam) sebagaimana diuraikan dalam Surat al-Baqarah ayat 30–33.
Dengan demikian, ilmu pada dasarnya sudah diturunkan sejak manusia
diciptakan. Lebih dari itu, ayat-ayat
al-Quran sendiri banyak menyebutkan kata-kata ilmu dalam berbagai shighat,
ditambah dengan kata-kata yafqahun, ya’qilun, yatafaqqahun, dan
sebagainya, yang semua itu berkaitan dengan ilmu.
Kalau ilmu itu dikaitkan pada tafsir al-Quran,
maka Rasulullah adalah tokoh pertama yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran, baik
dalam bentuk pengamalan atau dalam
bentuk perkataan. Kemudian tafsir al-Quran diteruskan oleh para sahabat
Nabi dan oleh para tabi’in awal. Tetapi tafsir al-Quran baru bersifat pemahaman
tekstualis dan belum banyak penafsiran interpretatif.
Setelah para sahabat Nabi dan kaum muslimin tersebar ke berbagai kawasan
dunia, dan bergumul dengan tokoh mawali, dan ilmuan yang memiliki
peradaban maju termasuk falsafat, dan kreatifitas lainnya, penafsiran al-Quran
mulai berkembang. Dalam sejarah perkembangan tafsir al-Quran, Shahabat Ibn
Mas’ud (w. 32 H-652 M) adalah mufasir yang bergumul dengan kebudayaan berfikir
yang berbeda dengan budaya Makkah-Madinah waktu itu. Kemudian diteruskan oleh
pemikiran tabi’in dan tabi’it-tabi’in, sampai muncul aliran tafsir rakyu dalam
bidang keagamaan. Tokoh pertama yang menstruktukan pemikiran ke dalam ilmu
agama adalah Ibn al-Muqaffa’ (w. 109 H- 727 M) pencipta ilmu Manthiq, yang
mengambil bahan helenis (falsafat Yunani). Kemudian disusul oleh sastrawan Arab
terbesar, Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w. 162 H-778 M) disusul lagi oleh
koleha dan muridnya yang mengembangkan ilmu nahwu seperti al-Sibawaih (w
154 H-770 M) dan al-Ashmu’i (w. 213 H-828 M). Ilmu ini keudian banyak
dimanfaatkan oleh mufasir al-Quran.
Pada tahun 80 H. di Madinah, lahir Washil ibn Atha’ (w. 131 H- 748 M)
pemikir Mu’tazilah yang menggunakan akal untuk menyusun akidah Islamiyah.
Pemikiran itu dipergunakan juga untuk
menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Di antara penerusnya adalah al-Nazhzham (w. 221
H- 835 M), dan muridnya, al-Jahizh (w. 254 H- 868 M). Tokoh yang disebut akhir
ini, budayawan besar yang menulis tafsir al-Quran “Api dan Macam-macamnya:”
yang dicantumkan dalam kitabnya, Al-Hayawan. Karya ini oleh Showi
al-Juwaini disebut sebagai tafsir maudlu’i yang pertama dalam Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, umat Islam mulai banyak mendiskusiakn
dan menulis ilmu falsafat, seperti ditulis oleh al-Kindi (w. 260 H-873 M) dan
al-Farabi (w. 339 H-950 M). Failasuf Muslim yang paripurna dalam bidang ini adalah
Ibn Sina (w. 430 H-1038 M). Dia tidak hanya failasuf, tetapi juga dokter, dan
menguasai ilmu eksakt yang luas sekali, di samping mengembangkan pemikiran
Plotinus. Sahabat karibnya yang saling tukar menukar karangan adalah al-Biruni
(w. 440 H-1048 M). Tokoh ini menguasai ilmu pasti, astronomi, kedokteran,
sejarah, dan falsafat Yunani dan falsafat India. Karya kedua tokoh itu, di
samping dikutip oleh dokter dan ahli ilmu eksakt lainnya, dikutip juga oleh
beberapa ilmuan dan failasuf berikutnya, seperti al-Ghazali (w. 505 H-1111 M)
dan Ibn Rusyd (w. 595 H-1198 M). Filosof, yang dokter, yang ahli hukum Islam
ini terkenal dengan sebutan Aristotalian, dan disebut sebagai penutup filosof
dalam Islam. Masa ini sebagai akhir peralihan dari ulama mutaqaddimin (zaman
Rasulullah sampai tahun 500 H) ke ulama mutaakhirin. (dari akhir
al-Ghazali sampai zaman Syakh Thahir
al-Jazairy (w, 1338 H-1919 M). Pada masa ulama mutaakhirin juga muncul Ibn
Arabi (w. 638 H-1240 M) dengan
falsafat-tasawuf “ Wahdat al-Wujud” dan
pemikir shufi lain seperti al-Suhrowardi dengan kitabnya, “ Hikmat al-Isyraq
“ (586 H-1190 M), Jalaluddin al-Rumi
(w. 672 H-1273 M), Al-Jilli dan sebagainya. Tetapi falsafat-tasawuf ini tidak
banyak dikembangkan oleh ilmuan akademisi.
Setelah Kerajaan Islam di Spanyol hancur dan Kerajaan di Baghdad juga
runtuh, Kerajaan Islam masih dikembangkan oleh Mamalik di Mesir. Pada masa itu
muncul dua pemikir besar yaitu Ibn Taymiyah (w. 729 H-1328 M) dan Ibn Khaldun
(w. 806 H-1406 M), tetapi tradisi keilmuan pada masa Perang Salib ini, tidak
setajam dan sehebat seperti perkembangan ilmu pada masa Baghdad dan Kardova.
Kitab Kuning menyebutkan perkembangan ulama mutaakhirin ini hanya
tulis-menulis (ta’lif) yang materinya dikutip dari ulama mutaqaddimin.
.
Masa ulama mutaakhirin berakhir sampai munculnya Syaikh Thahir
al-Jazairy (w. 1338 H-1919 M). Setelah itu, ilmuan muslimin berkembang lagi
dengan menggunakan berbagai teori yang dikembangkan oleh ilmuan Barat.
Pemikiran ini dimulai oleh Muhammad Abduh (w.1323 H-1905 M) dan murid-muridnya
di Mesir. Pemikiran itu memunculkan pro dan kontra di kalangan umat Islam,
seperti terjadi pada masa ulama mutaakhirin tentang penggunaan falsafat.
Uraian
di atas seperti mengulas sejarah ilmu, sehingga ada anggapan bahwa sejarah ilmu
itu identik dengan falsafat ilmu. Padahal uraian itu bermaksud bahwa setiap
pemikir mutaqadimin atau mutakhirin itu dapat dibuat sebagai
asumsi dasar dan paradigma tafsir al-Quran. Asumsinya, penafsiran Rasulullah
adalah tafsir naqli, pemikiran Ibn Mas’ud adalah tafsir akli. Kemudian pemikiran
Khalil, dan Sibawaih, adalah paradigma lughawi, pemikiran Washil ibn Atha
adalah paradigma rasionalis, pemikiran Ibn Sina dan filosof lainnya adalah paradigma
dilosofi, pemikiran al-Biruni adalah paradigma ilmi, pemikiran Ibn Taymiyah
adalah paradigma positifisme, pemikiran Ibn Arabi dan shufi lainnya adalah
paradigma sufisme, pemikiran Ibn Khaldun adalah paradigma ilmu sejarah dan sosial,
dan begitulah seterusnya, yang menggambarkan bahwa pemikiran tokoh-tokoh
tersebut dapat dibuat sebagai paradigma untuk tafsir al-Quran. . .
Pemikiran seperti itu dapat dibuat
sebagai falsafat ilmu untuk tafsir al-Quran. Awalnya falsafat adalah induk
semua ilmu pengetahuan, tetapi pada abad enam belas ketika ilmu dikembangkan
oleh ilmuan Barat, dan segmentasi ilmu pengetahuan muncul dengan ditemukannya
metoda ilmiah baik eksperimental matematis atau empirik rasional, maka ilmu
pengetahuan mulai dipisahkan dari falsafat.. Dalam kalangan akademisi, telah
dibedakan antara konsep pengetahuan (knowledge) dengan ilmu pengetahuan
(science). Pengetahuan adalah mengetahui sesuatu secara spontan tanpa
memahami asal-usulnya, serta tidak diketahui untuk membuktikan kebenaran
selanjutnya. Sedangkan ilmu adalah menegetahui sesuatu dengan cara tertentu,
diperoleh dengan sengaja, sehingga selalu timbul usaha untuk membuktikannya
kembali. Ilmu bersifat sistematis, logis, metodis, dan memiliki teori.
Berangkat
dari pemilahan seperti itu, muncul pertanyaan: Apakah tafsir al-Quran itu
sebagai pengetahuan (knowledge) atau sebagai ilmu (science). Ada
dua jawaban yang kelihatan berbeda. antara UIN “SGD” Bandung yang sejak Orde
Baru dikuasai terus oleh tokoh-tokoh yang berfikir idealis-totalistik, dengan
pemikir lainnya. Dalam visinya tokoh itu menulis antara lain; mengintegrasikan
ilmu agama dan ilmu umum, berdasarkan paradigma wahyu memandu ilmu. Mungkin kalau
wahyu (teks al-Quran) itu ditafsirkan dengan cara apapun, bisa disebut ilmu.
Tetapi bagi pemikir yang tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum, dan
selalu mengkritisi tentang paradigma penglola UIN Bandung ‘wahyu memandu ilmu’
maka akan menilai bahwa tafsir al-Quran bisa disebut sebagai ilmu jika
mengikuti tradisi keilmuan yang ada.
Untuk menentukan tafsir al-Quran menjadi ilmu, didasarkan pada landasan
filosofis yang mendasari, yang berfungsi sebagai pemberi kerangka, mengarahkan,
menentukan corak dari keilmuan yang dihasilkannya. Landasan tadi berupa; asumsi
dasar, paradigma, dan kerangka teori. Ketiga hal itulah yang biasa disebut falsafat
keilmuan. Kerja landasan filosofis ini tidak serta merta bisa ditujukan dalam
wilayah praktis, tetapi sangat jelas dalam menentukan corak ilmu tafsir yang
dihasilkan. Dalam sejarah perkembangan ilmu, ketiga hal itu memiliki
keterkaitan tidak saja historis, tetapi juga sistematis.
Kalau
ketiga landasan itu diterapkan pada tafsir al-Quran, maka asumsi dasarnya
adalah naqli, aqli, isyari, adabi, atau waqi’i. Sedang paradigmanya adalah kalami, fiqhi, ilmi-kauni, haraki, ijtima’i,
shufi, falsafi, dan sebagainya. Sedangkan kerangka dasar atau pendekatannya, mufassir
dapat menggunakan pemikiran tekstual seperti filosofis, yuridis, teologis, dan
logis, atau pendekatan kontekstual seperti historis, antropologis, psykologis
sosiologis dan semacamnya.
Dalam tempat lain, tafsir al-Quran dapat
dinilai ilmu, jika dilakukan dengan mene-lusuri tiga ciri keilmuan yang harus
dimiliki, yaitu: (a) ontologi,.(b) epistemologi, dan (c) aksiologi. Rincian ini
akan diuraikan dalam artikel tersendiri.
Wallau
a’lam bi al-shawab.
Pebulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina
(ISIF) Cirebon.
Tafsir Al-Qur'an dan Ilmu Tafsir
Reviewed by Chozin Nasuha
on
04.54
Rating:
Tidak ada komentar: