Top Ad unit 728 × 90

Terbaru

recent

Pengantar Ilmu Ushul aL-Tafsir

 
                 PENGANTAR ILMU USHUL AL-TAFSIR
                                     Oleh A. Chozin Nasuha
                                                    

  1. Pembukaan
               Berangkat dari kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Abazi dapat diambil gambaran bahwa tafsir al-Quran ada tiga kajian, yaitu pengelompokkan dasar-dasar penafsiran al-Qur’an, pengolahan paradigma tafsir al-Quran, dan pendekatan (kerangka berfikir) penafsiran al-Quran.. Pengkelompokkan dasar tafsir al-Quran terdiri atas penafsiran  maktsuri, rakyi, lughawi, isyari dan penafsiran waqi’i (realitas). Model paradigma penafsiran terdiri atas dasar-dasar kalami, fiqhi, adabi, balaghi, falsafati, ilmi-tajribi, ijtima’i, hada’i, haraki, dan lain sebagainya. Sedangkan kerangka berfikir atau pendekatan tafsir al-Quran secara garis besar ada dua model, yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual, sebagaimana dirinci dalam artikel “Penelitian al-Quran”. Dari uraian itu cara penafsiran (metoda) dapat menggunakan salah satu dari dua  metoda, yaitu Tahlili, dan Maudlu’i. Konsep ini berbeda dengan tulisan al-Farmawi dan Quraish shihab yang membagi metoda tafsir al-Quran menjadi empat bidang kajian yaitu Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan Maudlu’i. Sedangkan tulisan ini menilai bahwa ijmali dan muqauraran, dapat dimasukkan ke dalam metoda tahlili dan bisa ke metoda maudlui.
         Tulisan ini tidak akan menguraikan model-model penafsiran tadi, tetapi akan merangkum tiga unsur dari bahan-bahan penafsiran al-Quran yang disajikan. Yaitu teks al-Quran, dalil-dalil penafsiran, dan metodologi penafsiran. Tiga unsur itu diaduk menjadi satu konsep untuk mencari pemahaman terhadap penafsiran ayat-ayat al-Quran. Secara keilmuan, rangkuman ketiga unsur itu, disebut Ilmu Ushul al-Tafsir.
     
B. Pengkelompokan ayat-ayat al-Quran. ..       
          Al-Qur’an dalam pembahasan Ulum al-Qur’an memiliki materi yang dapat digali menjadi berbagai aspek. Al-Qur’an dalam satu pendapat terdiri atas 114 Surah, yang mencakup 6.234 ayat. Surah itu terdiri atas 86 Surah. Surat Makkiyah mencakup 4.611 ayat dalam 26 dan Surah Madaniyah mencakup 1.623 ayat. Meskipun begitu banyak  ulama yang menghitung ayat-ayat al-Quran berbeda dengan pendapat tadi. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan dalam menentukan waqaf ayat.   
              Semua ayat-ayat al-Quran oleh al-Sayuthi dikelompokkan menjadi tujuh bidang kajian, yaitu halal-haram, muhkam-mutasyabih, basyir, nadzir, mau’izhah, qishash, dan matsal (perumpamaan). Sedang menurut al-Dahlawi; Ayat-ayat al-Quran dipilah menjadi lima bidang ilmu, yaitu (1). Ilmu tentang hukum, baik tentang ibadah atau mu’amalah, (2). Ilmu mukhashamah (perdebatan) dan penyesatan terhadap empat kelompok, Yahudi, Nashrani, Musyrikun, dan Munafiqun. (3) Ilmu yang mengingatkan ni’mat Allah dari penciptaan semua fasilitas langit dan bumi, sampai pemberian ilham kepada hamba-hamba Allah, sehingga mereka mengerti sifat-sifat Allah. (4) Ilmu tentang ni’mat Allah berkaitan dengan hari-hari akhir yang menentukan jenis-jenis orang yang taat mendapat ni’mat, dan orang yang durhaka mendapat siksa. (5) Ilmu yang menceritakan tentang kematian dan kejadian yang akan terjadi setelah kematian itu, meliputi mahsyar, hisab, mizan, sorga dan neraka.
            Dua model pembagian itu berbeda dengan Fazlurrahman yang mengelompokkan ayat-ayat al-Quran menjadi delapan (1) tentang Tuhan, (2) Manusia sebagai individu (3) Manusia sebagai anggauta masyarakat, (4) Alam semesta (5) Kenabian dan Wahyu (6) Eskatologi (7) Setan dan kejahatan (8) Lahirnya masyarakat muslim.   
           Pembagian tulisan ini berbeda lagi dengan pengelompokkan ayat-ayat al-Quran oleh tiga tokoh di atas. Tulisan ini melihat ayat-ayat al-Quran dari keperluan metoda dan pendekatan penafsiran. Intinya ayat-ayat al-Quran itu dapat dibagi menjadi tiga bidang kajian, yaitu (1) Ayat-ayat metafisik (normative), (2) Ayat-ayat sosiohistoris, dan (3) Ayat-ayat yang di dalamnya menyentuh alam fisik. Pembagian ini, didasarkan pada cara penafsiran yang berbeda-beda termasuk dalam pengambilan paradigma, metodologi dan kerangka berfikir. Dengan demikian tulisan ini tidak membagi macam-macam ayat al-Quran seperti pembagian tokoh-tokoh di atas. Tulisan ini akan membagi semua ayat-ayat al-Quran menjadi tiga kelompok berdasarkan penerapan metodologi penafsiran.
               Rinciannya dapat dilihat sebagai berikut :

                               Relasi Model, Pendekatan, dan Metoda Penafsiran
Pilihan ayat
Sasaran penafsiran
Pendekatan
Metoda
Metafisik (Normatif)
Ketuhanan
Kenabian
Malaikat/jin/syetan
Kiamat
Mahsyar
Akhirat
Teologis, folosofis
Teologis,filosofis,histories
Teologis
Teologis
Teologis
Teologis
Hermeneutis
Hermeneutis, sejarah
Hermeneutis
Hermeneutisngan
Hermeneutis
Hermeneutis
Sosio-historis
Hukum
Kemasyarakatan
Sejarah
Politik
Ekonomi
Filosofis,yuridis,sosiologis
Filosofis,histories,sosiologis
Historis, arkeologis.
Historis, sosiologis.
Matematis, sosiologis
Hermeneutis,sejarah,kasus
Hermeneutis,survai,kasus
Hermeneutis,sejarah,kasus
Hermeneutis,survai,kasus
Hermeneutis,survai,kasus
Alam Fisik
Astronomi
Geologi
Biologi
Kimia
Fisika
Logis,histories,sosiologis
Logis,histories,sosiologis
Logis,histories,sosiologis
Logis,histories,sosiologis
Logis,histories,sosiologis
Hermeneutis,observasi
Hermeneutis, observasi
Hermeneutis, observasi
Hermeneutis,observasi
Hermeneytis, observasi

         Dalam kajian Ushul al-Tafsir ada gambaran tentang penafsiran ayat al-Quran dengan menurunkan asumsi dasar, bahwa tafsir al-Qur’an dengan hermeneutikanya dapat digali melalui dalil yang berbeda .Buku Model Penelitan Fiqh Jilid I, Cik Hasan Bisri membagi dalil menjadi tiga, (1) dalil normative, (2) dalil empirik, dan (3) dalil metodologis .
          Dalil normative berasal dari wahyu yang mencakup landasan teologis, landasan filosofis, dan landasan yuridis. Dasar landasan teologis adalah keyakinan pada keber- adaan, kekuasaan dan kehendak Allah. Dasar landasan filosofis adalah ketepatan dalam penerapan hukum Allah (maqashid syar’iyah) pada objek hukum, sesuai kemampuan manusiawi. Landasan yuridis adalah cakupan dan kekuatan dalil, baik dalil kulli (bersifat makro) atau dalil juz’i (bersifat mikro) untuk menentukan hukum. Dari dalil itu ada yang dianggap qath’i (pasti) dan ada yang dianggap zhanni (dugaan keras)..
             Dalil empirik berasal dari entitas kehidupan manusia yang proses perumusannya timbal balik dengan dalil normative (asbab al-nuzul atau asbab al-wurud). Entitas kehi-dupan manusia terjadi dalam jangka yang amat panjang dan tersebar ke berbagai kawasan. Ia merupakan system kehidupan yang mencakup unsur kultur dan unsur struktur. Ketika unsur kultur memasuki unsur struktur dalam memenuhi kebutuhan hidup, maka tumbuh dan berkembang berbagai pranata social. Ia memberi arah terhadap pola perilaku dan pola hubungan antar manusia, antara lain al-‘urf.. Maka untuk memahami dalil ini memerlukan pendekatan historis bagi kehidupan masa lalu (syar’ man qablana) dan pendekatan antropologis atau sosiologis bagi kehidupan masa kini. baik atas dalil empirik yang makro, dalil empirik yang messo, atau dalil empirik yang mikro. Pengujian terhadap dalil itu dilakukan secara korespondensi. Bahkan untuk menafsirkan suatu ayat agar sejalan dengan maslahat, dapat berfikir paragmatis, yakni menimbang akan adanya maslahat dan atau mafsadat.
           Dalil metodologis adalah dalil yang berpangkal dari daya berfikir yang ditata melalui penalaran yang selalu dipergunakan. Dalil ini merupakan cara penggalian dan penemuan hukum (istinbath al-ahkam) dari dalil pertama dengan memperhatikan dalil kedua. Cara berfikir kreatif dalam menerapkan dalil zhanni untuk suatu hukum, itu disebut ijtihad. Atas dasar itu fiqh dapat dikembangkan, antara lain dengan qiyas atau istihsan, yang membutuhkan pendekatan logis, dan ketepatan dalil dilakukan secara koherensi.
             Awalnya, tiga dalil itu dipergunakan oleh Ushul Fiqh dan fiqh, tetapi dalam Ushul al-Tafsir semua tiga dalil itu dapat dimasukan ke dalam buku besar (miqaddimah kubra). Sementara ayat-ayat al-Quran dan tafsiran yang sudah ada, diumpamakan sebagai buku kecil (muqaddimah shughra). Buku kecil ini dapat dimasukkan ke dalam buku besar, untuk diolah menjadi penafsiran. Pengolahan semacam itu oleh tulisan ini disebut istifsar atau isti’wal. Gambaran selengkapnya akan diuraikan di belakang.   

C.  Gambaran tafsir al-Quran
            Sebagai gambaran penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran, awalnya mufassir mempelajari pemikiran para ulama, cendekiawan, dan para mufassir lain yang menggu-nakan pendekatan dan metoda yang berbeda-beda. Pada dasarnya, semua mufasir ingin menangkap isi yang dibawakan oleh ayat-ayat al-Quran, sesuai dengan kemampuan manusiawi. Dalam kaitan ini, Amin al-Khuli berpendapat bahwa ada dua ilmu yang perlu dipelajari oleh ulama, ketika akan menguak isi yang dikandung oleh al-Qur’an. Dua ilmu itu tidak bisa dipisahkan dalam kerjanya, tetapi harus dipisahkan dalam pengembangan. Dua ilmu itu adalah Maa fi al-Qur’an, dan  Maa haul al-Quran.  Konsep pertama adalah penglolaan ayat al-Quran yang berssifat penafsiran yang digali untuk mendapatkan isi ayat itu. Penglolaan seperti ini sekarang disebut hermeneutika. Dulu pekerjaan semacam itu disebut tafsir dan ta’wil, yang oleh  Kitab Klasik disebut Ilmu Tafsir Riwayah. Konsep kedua adalah. uraian keilmuan yang ada di luar teks al-Qur’an, tetapi melingkari pemahaman terhadap ayat itu, sehingga pembahasan keduanya tidak dapat dipisahkan. Konsep kedua ini oleh kitab klasik disebut Ilmu Tafsir Dirayah, atau Ulum al-Qur’an. Berangkat dari pembahasan dua studi itu, ulama bermunculan dengan pemikiran dan dengan aktivitas yang berbeda-beda.
             Di antara karya ulama, ada yang membahas tentang cara membaca  ayat-ayat al-Qur’an dengan fashahah, dimulai dari studi makharij al-huruf, sifat-sifatnya, studi tajwid, termasuk cara bacaan, seperti waqaf, ibtida, imalah, dan lain-lain, sampai mempelajari model-model qiraat al-Quran, baik qiraat yang mutawatirah atau mempelajari juga qiraat syadzah.  Semua model-model itu sudah ditulis oleh berbagai ulama yang sangat populer di kalangan ahli-ahli al-Quran.
         Di antara tulisan lagi, banyak pembahasan tentang macam-macam konsep yang diambil dari ayat-ayat al-Quran seperti konsep rukun iman, rukun Islam, konsep fiqhiyah dari berbagai segi ibadah, muamalah, munakahat, jinayat, siyasat dan semua unsur yang ada dalam semua konsep itu. Masuk dalam konsep ini adalah. pembahasan tentang kata-kata gharib, mu’arrab, hadzaf, tabdil dan lain-lain, termasuk pembahasan muhkam-mutasyabih, ‘am, khash dan sebagainya.
           Di antara pemikir lagi, banyak ulama yang mengulas tentang penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, dengan tinjauan yang berbeda-beda. Di antaranya pembahasan jenis penafsiran seperti maktsur, ma’qul, lughawi, isyari, dan waqi’i.Tulisan ini mengenalkan nama-nama model kitab tafsir seperti Tafsir al-Thabari, Tafsir al-Zamakhsyari, Tafsir al-Razi, Tafsir Ibn Arabi, Tafsir al-Mizan, dan lain-lain. Semua tafsir itu mengambil kerangka berfikir dan metoda yang berbeda-beda, baik dari segi paradigma atau metoda dan atau pendekatan seperti kalami, fiqhi, adabi, ijtimaí, haraki, tarikhi dan sebagainya, atau dari segi model aliran dalam penafsiran seperti tafsir-tafsir Ahl al-Sunnah, Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah..dan lain-lain. Karena itu kesimpulan dan arah tafsirannya berbeda-beda pula. Dalam keadaan seperti itu, muncul lagi tafsir al-Quran abad 14 hijriah seperti Tafsir al-Manar, Tafsir al-Maraghi, Tafsir Fi Zhilal al-Quran, Tafsir al-Jawahir, Tafsir al-‘Asyur dan seterusnya, yang misi dan uraiannya berbeda lagi dengan tafsir-tafsir yang sudah ada. Meskipun begitu, semua tafsir yang disebut tadi baru usaha membahas tentang ayat-ayat al-Quran, dari segi pemahaman dan belum dikontekstualisasikan pada sasaran atau pada masyarakat tertentu, kecuali sedikit penafsiran yang dilakukan oleh Muhammad Abduh.   
          Lebih luas lagi, ada model tafsir al-Quran yang disajikan oleh Thoshiko Itzutsu (1993). Ia menguraikan beberapa ayat al-Quran dengan metoda analisa semantik. Pengkajian al-Qur’an dikenal juga oleh beberapa model penafsiran yang ditulis oleh al-Farmawi, yang dikembangkan oleh Quraish Shihab sebagaimana tersebut di atas, yaitu tafsir tahlili, tafsir ijmali, tafsir muqaran, dan tafsir maudlui. .
         Di antara beberapa tafsir al-Quran, ada juga penafsiran yang disebut tematik seperti karya Fazlurrahman (1983) yang membagi tema-tema ayat al-Quran menjadi delapan kelompok, sebagaimana sudah dirinci di atas. Pembagian ayat-ayat al-Quran yang dipilah  seperti itu lebih mudah untuk menerapkan penafsiran, terutama untuk mencari paradigma, metoda, dan pendekatan. Pembidangan semacam itu, oleh al-Farmawi disebut tafsir mawdlu’i. Berbeda lagi dengan tematik karya al-Shabuni dan lain-lain yang dikenal dengan nama Tafsir al-Ahkam. Karya ini merupakan produk penafsiran al-Qur’an secara sepkristif menurut sistematika fiqh. Sementara itu, fiqh sendiri merupakan produk pemahaman terhadap al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, yang menggunakan cara berfikir logis dan deduktif, dengan memperkembangkan institusi social.
           Salah satu model lagi adalah karya al-Wahidi, dan al-Sayuthi yang menghimpun hadits-hadits Nabi yang berkaitan degan turunnya beberapa ayat al-Qur’an. Karya semacam itu, oleh ahli tafsir disebut Asbab Nuzul al-Ayah. Dua kitab tadi merupakan tulisan bermakna dalam memahami konteks penurunan ayat al-Qur’an secara mikro.
          Pengajian al-Qur’an .pada tingkat awal meskipun diselenggarakan secara tradisonal  tetapi itu merupakan fondasi pengembangan ajaran dan gambaran masyarakat Islam. Jika fondasi itu goyah, maka pengembangan pesan al-Qur’an dan bangunan masyarakat Islam, akan mengalami keruntuhan. Dengan demikian, apa pun bentuk kitab tafsir al-Quran dan seperangkat ulum al-Quran, yang ada dan populer dapat dijadikan bahan pemikiran untuk menguraikan penafsiran ayat-ayat al-Quran, atau bisa juga disebut sebagai paradigma untuk penafsiran tertentu. Kutipan itu kemudian ditambah dengan metoda dan kerangka berfikir yang dianggap cocok dengan pilihan mufassir..
         Dalam tulisan Bucaille (1979 ) ditemukan tentang al-Qur’an sebagai mata air bagi pengetahuan ilmiyah, khususnya rumpun ilmu-ilmu alamiyah (natural scienc), Sementara itu, ketika tafsir itu dikursus falsafat ilmu di kalangan pemikir dan ilmuan, maka karya semacam itu ada yang menilai bahwa ayat-ayat al-Qur’an bisa menjadi lebih marak lagi. Mahdi Ghulsyani (1986) yang mengajukan gagasan ilmu (scienc) dalam perspektif al-Qur’an secara panjang lebar, dan uraiannya itu ada juga yang bisa meyakinkan. Meskipun begitu ada juga ulama yang tidak setuju pada gagasan semacam itu, karena banyak penafsiran ayat al-Quran yang terkesan dipaksakan. H.M. Quraish Shihab menulis buku tentang Mukjizat al-Quran yang dijiwai oleh konsep I’jaz al-Quran. Isi buku itu dapat menyenangkan orang awam dan para muballigh. Buku itu mengulas kemukjizatan  al-Quran, (mu’jizat al-Quran) dan tidak mengulas tentang cara memu’jizatkan ayat-ayat al-Quran  (i’jaz al-Quran). Selain itu, Bashirudin Mahmud Ahmad (1966) yang sebagian besar isinya menjadi pengantar dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Kementerian Agama RI., itu dapat dilihat sebagai uraian yang mendiskusikan tentang peradaban dan kebudayaan.
          Dari segi lain, Fahd ibn Abdurrahman al-Rumi, menulis kitab tentang model-model tafsir al-Qur’an abad empat belas Hijriyah. Kitab itu mengelompokkan tafsir al-Qur’an menjadi lima bab. Setiap satu bab dipecah menjadi beberapa fasal untuk membahas satu model penafsiran. Bab pertama mengulas tentang tafsir al-Qur’an yang kerangka berfikir dan metodanya didasarkan pada akidah. Bab ini dipecah menjadi empat fasal, yaitu (a) Manhaj Ahli Sunnah wa al-Jamaah, (b) Manhaj Syi’ah, (c) Manhaj Ibadliyah, dan (d) Manhaj Tashawwufi. Bab kedua membahas tentang tafsir al-Qur’an yang kerangka berfikir dan metodanya didasarkan pada tradisi keilmuan. Bab ini terdiri atas tiga fasal, yaitu (a) Manhaj fiqhiyah, yang menurunkan Ushul Fiqh sebagai dasar ulasannya. (b) Manhaj tafsir bi al-maktsur yang dasar ulasan ayat-ayatnya, ditunjang oleh ayat-ayat al-Qur’an lagi, atau oleh hadits Nabi dan atau dengan pendapat shahabat Nabi. (c) Manhaj eksperimentalis (tajribi). Manhaj ini diperselisihkan penerimaan dan penolakannya, oleh para ulama. Tetapi metoda seperti itu berkembang terus. Bab ketiga manhaj akal yang didasarkan pada pendekatan sosio-empiris. Tafsir model ini dilakukan oleh Muhammad Abduh, yang oleh al-Farmawi disebut tafsir Adabi-Ijtima’i. Bab keempat Manhaj sastra budaya (adabi). Model ini terbagi menjadi dua fasal, yaitu (a) Pendekatan bayani sebagaimana dirancang oleh Amin al-Khuli, dan dipraktekkan oleh muridnya, Aisyah bint Syathi. (b) Pendekatan emosional (tazdawwuqi) sebagaimana dilakukan oleh Sayyid Quthub, dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an. Bab kelima Manhaj penyimpangan (al-munharaf). Manhaj ini, terkadang menggunakan filsafat orang di luar Islam, dan kesimpulannya hanya rasional semata, dan berkaitan dengan situasi dan kondisi (turats) saja.Tafsir model ini oleh sebagian ulama yang mengaku dirinya ‘kembali kepada Quran-Hadits’ dinilai tafsir sesat, atau bid’ah, khurafat dan lain sebagainya. Penilaian semacam itu berkembang juga di beberapa sarjana, dan tokoh yang ada di Indonesia. Tetapi bagi tokoh-tokoh muslim pluralis yang mendasarkan pemikiran pada postmo, tafsir model ini dapat dikembangkan teus, sesuai perkembangan masyarakat.  
           Semua gambaran di atas merupakan usaha penggalian para ahli terhadap isi ayat-ayat al-Quran dengan pertimbangan subjektif. Yaitu pertimbangan tentang kredebilitas mufasir terhadap maqashid al-syari’áh yang ada di dalam ayat-ayat al-Quran. Keadaan seperti itu menggambarkan bahwa (1) mufasirnya menguasai kerangka berfikir keilmuan yang jelas untuk diterapkan pada tafsiran (2) mufasir memiliki materi keilmuan tertentu yang diterapkan pada tafsirnya (3) mufasir memiliki kemampuan penguasaan teoritis (naqli, aqli, isyari, fiqhi, ijtima’iy, waqi’i, dan sebagainya) yang memadai (4) alokasi waktu penafsiran cukup, dan tidak tertekan oleh faktor luar yang mengganggu nilai-nilai subjektifitasnya. Demikian gambaran semua tafsir al-Quran di atas, belum kelihatan model tafsir al-Quran yang dikontekstualisasikan.
          Jika tafsir al-Quran akan dikontekstualisasikan pada masyarakat, maka tafsir dapat disusun dengan ditambah analisa objektif. Yaitu pertimbangan penafsiran ayat-ayat al-Quran, berdasarkan kondisi sosial yang ada dalam masyarakat, dan dipecahkan secara kontekstual. Pada dasarnya, setiap mufasir dapat mempertimbangkan penafsiran, apakah masalah yang ada dalam masyarakat itu memiliki kwalitas untuk mengisi tafsir al-Quran, atau tidak berkwalitas. Begitu itu ada pada keahlian mufasir itu sendiri, apakah dia dapat mendesain instumen penafsiran atau tidak. Untuk itu, masalah di Indonesia, yang diangap berkwalitas untuk dipecahkan secara keilmuan banyak sekali, antara lain tentang tindakan hukum terhadap pejabat yang korupsi, tindakan atas penjualan obat terlarang, tentang kerusakan lingkungan hidup, tentang tenaga kerja wanita (TKW), tentang pelayanan kesejahteraan hidup untuk penduduk miskin, dan pelayanan pendidikan yang belum merata, tentang penyelesaian lumpur Sidoarjo, tentang penerapan hukum yang berbeda-beda antara penerapan hukum terhadap orang besar dan masyarakat kecil, penglolaan pemerintah yang dilakukan oleh pejabat yang tidak berpihak pada muslim tertentu, dan lain sebagainya. Semua itu dapat dikatakan berkwalitas, karena (1) Semua kasus tadi penyelsainnya seperti tidak tuntas (2) Semua masalah tadi dirasakan mengganjal bagi kehidupan di Indonesia yang negara dan masyarakatnya mencita-citakan adil-makmur. (3) tafsir yang disajikan memerlukan uraian yang berbeda dengan isi Kitab Kuning tentang potong tangan bagi pencuri, atau hukum amat mustawladah bagi TKW yang hamil dari daerah kerjanya, dan begitulah seterusnya. (4) tafsir al-Quran yang disajikan memiliki referensi yang dapat dinilai ilmiyah, dan dapat dikontekskan pada latar belakang penafsiran. .      

D. Penulisan tafsir al-Quran
           Melihat uraian di atas, tafsir al-Quran dapat dilihat sebagai cara berfikir ilmiah yang subjektif, dan bentuk uraiannya bermacam-macam. Gambaran seperti itu, dapat dilacak dari segi kerangka berfikir dan metoda tafsir al-Qur’an, untuk mencari suatu model yang dapat menghubungkan satu titik temu dengan titik yang lain. Pekerjaan seperti itu tidak mudah, karena semua tafsir al-Quran yang disebutkan tadi menggunakan metoda deduktif yang subjektif.
            Tradisi keilmuan agama Islam selalu berkembang dari satu titik ke titik berikutnya. Para ilmuan mengetahui bahwa ilmu falsafat berkembang yang kemudian memiliki kaidah dasar yang disebut  Ilmu Manthiq. Begitu juga ilmu fiqh berkembang sejak zaman Rasulullah Saw. sampai akhirnya fiqh memiliki kaidah dasar yang disebut Ushul Fiqh. Tafsir al-Quran juga ilmu yang berkembang sejak ayat itu turun sampai zaman sekarang. Melihat kenyataan itu, muncul pertanyaan; Apakah tafsir al-Quran dapat dibuatkan satu dasar pemikiran yang disebut Ushul al-Tafsir?
       . Gagasan semacam itu sudah lama, dan sudah dipraktekkan oleh tokoh-tokoh Ulum al-Quran, sehingga ada anggapan bahwa isi Ushul al-Tafsir itu sama dengan isi Ulum al-Quran. Tetapi beberapa ulama menyatakan bahwa konsep Ushul al-Tafsir itu berbeda dengan konsep Ulum al-Quran. Tokoh yang berpendapat seperti itu antara lain Ibn Taymiyah, dengan kitabnya, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir, Al-Dahlawi dengan kitabnya, Al-Fauz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir, Abdurahman al-‘Ak dengan kitabnya Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduh, dan lain-lain. Tiga uraian kitab itu sangat berbeda dengan uraian Ulum al-Quran. Meskipun begitu, uraian tiga kitab itu masih perlu didiskusikan terus untuk menunjang pemafsiran ayat al-Quran. Tulisan ini salah satu gagasan yang melanjutkan pemikiran para ulama memasuki Ilmu Ushul al-Tafsir.
         
E. Penggunaan Ilmu Ushul al-Tafsir
         Ushul al-Tafsir dalam tulisan ini ialah kaidah dasar yang merangkum tiga unsur, yaitu teks al-Quran, dalil-dalil penafsiran, dan metodologi penafsiran. Tiga unsur itu diaduk menjadi satu untuk mengungkap isi ayat al-Quran agar sejalan dengan makna yang dikehendaki oleh Allah, sesuai dengan kemampuan manusiawi.
         Tujuan Ushul al-Tafsir secara umum adalah konsep yang dibuat untuk mendasarkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, dan mendeskripsikan pola hubungannya dengan materi tafsir al-Qur’an, berdasarkan pendekatan filosofis, atau kontekstualis.
         Sedangkan kegunaannya, antara lain (1) untuk mengembangkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, baik ayat-ayat metafisik dan normative, atau ayat-ayat sosiohistoris, dan atau ayat-ayat alam fisik. (2) untuk mensistematikan Ushul al-Tafsir sebagai subjek khusus dengan pendekatan holistic, sehingga pengkajian tafsir al-Qur’an lebih mendalam.dan metodanya dapat didiskusikan terus. (3) untuk mengalihkan kegiatan pembelajaran bagi studi al-Qur’an, agar dapat memperoleh informasi mutakhir, terutama berkenaan dengan cara berfikir bagi mufassir terhadap ayat al-Qur’an, yang ujungnya amat meningkat bagi kompetisi ilmiah yang bersangkutan. (4) untuk dijadikan titik tolak bagi penulisan Ushul al-Tafsir, baik oleh penulis itu sendiri atau oleh penulis lain, sehingga penulisan ilmu ini, terjadi pengembangan secara berkesinambungan   

F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berfikir.
         Kitab-kitab yang ditulis dengan judul Ushul al-Tafsir itu banyak sekali, ada yang mencatat sampai belasan kitab, ada yang populer dan ada yang tidak populer.  Sebagian ulama ada yang menjelaskan bahwa ushul al-tafsir itu identik dengan ulum al-Qur’an, seperti tersebut di atas.. Tokoh yang berpendapat seperti itu menulis tentang asbab nuzul ayat, i’jaz al-Qur’an, muhkam-mutasyabih, tafsir dan ta’wil dan lain sebagainya, dengan yakin bahwa pembahasan seperti itu disebut Ushul al-Tafsir.  Sebagian ulama berbeda pendapat lagi, bahwa Ushul al-Tafsir itu berbeda dengan Ulum al-Qur’an. sebagaimana sudah disebutkan di atas. Berangkat dari pemikiran itu, Ibn Taymiyah, Al-Dahlawi, Abdurrahman ‘Ak, dan beberapa tokoh yang lain menulis buku tentang Ushul al-Tafsir yang sistematikanya berbeda dengan penyajian Ulum al-Qur’an. Tetapi isi keseluruhan kitab-kitab itu, baik dari segi sistematika, atau dari segi model ulasan, itu belum dapat disejajarkan dengan Ilmu Manthiq Aristoteles, atau dengan Ilmu Ushul Fiqh al-Syafi’i. Maka dari itu, bentuk Ilmu Ushul al-Tafsir perlu dirumuskan terus, agar bisa mendekati ilmu metodologi yang sudah ada. 
          Sebagai gagasan berikutnya, pengolahan Ushul al-Tafsir terhadap ayat-ayat al-Quran adalah mengambil model pengolahan Ilmu Manthiq klasik terhadap berbagai qadliyah (proposisi). Ushul al-Tafsir mengambil model ini hanya kerangka berfikirnya, dan pengolahan berikutnya akan dilengkapi dengan analisa model penelitian. Yaitu membuat muqaddimah shughra, muqaddimah kubra, dan istid-lal (penalaran). Muqaddimah shughra dalam Ushul al-Tafsir adalah ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan. Muqaddimah kubra adalah dalil-dalil penafsiran baik dalil normative, atau dalil empiric, dan atau dalil metodologis seperti disebutkan di ats. Istid-lal dalam ushul al-tafsir disebut ‘ Isti’waal’  sebagaimana tergambar di bawah ini.
         Merujuk kepada kesimpulan yang diangkat dari pustaka di atas, istid-lal dalam Ushul al-Tafsir diarahkan pada pemikiran yang dianggap tepat untuk masa sekarang. Pengolahan kesimpulan seperti itu oleh ilmu Manthiq disebut istid-lal. Gambarannya, (1) Tujuan tafsir al-Qur’an adalah untuk mengungkapkan isi ayat-ayat al-Qur’an agar sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh Allah, sesuai dengan kemampuan manusiawi  (2) Rincian dalil-dalil penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an digali dari ayat-ayat al-Qur’an dan dari al-hadits Nabi, baik ayat-ayat normative, atau ayat-ayat yang menggunakan dalil empirik dan ayat-ayat metodologis..Semua model-model ayat itu menjadi rujukan, ketika muncul masalah penafsiran baru yang berkaitan dengan entitas kehidupan manusia. (3) Basis pemahaman dari dalil-dalil penafsiran itu adalah substansi tafsir al-Qur’an dalam berbagai mazhab dan aliran-aliran tafsir al-Qur’an. (4) Terhadap penafsiran itu, dilakukan suatu ketika induksi dengan mempertemukan persamaan arah penafsiran dengan konsep yang ada pada dalil tadi, di samping menyisihkan titik perbedaan, sehingga diperoleh beberapa penafsiran yang bersifat umum. (5) Produk dari proses induksi itu adalah rumusan yang membuat dua konsep atau lebih, dan tersusun secara gradual. (6) Ushul al-Tafsir dapat diaplikasikan bagi penataan kehidupan manusia yang merujuk kepada tujuan penafsiran al-Qur’an. Atas dasar itu tujuan tafsir al-Qur’an dideduksi sedemikian rupa berdasarkan kehendak Allah, tetapi dapat digali secara ijtihadi sesuai dengan kemampuan manusiawi. (7) Ushul al-Tafsir juga bisa diaplikasikan bagi pengembangan wacana intelektual, sehingga dapat memperkaya khazanah keilmuan tafsir dan ulum al-Qur’an.

G. Langkah Penerapan Ushul al-Tafsir
          Berdasarkan uraian di atas, mufassir dapat memilih salah satu model penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, dari kelompok ayat-ayat metafisik, ayat-ayat sosiohistoris, dan atau ayat-ayat yang menyentuh alam fisik. Berangkat dari pengkelompokkan tersebut, mufassir bebas memiliki konsekuensi pemilihan paradigma, metoda dan pendekatan.
            Pada penafsiran ayat-ayat metafisik-normative, mufasir dapat memilih pendekatan filosofis, teleologis, atau pendekatan logis dengan metoda hermeneutika, dan verstehen. atau ditambah sejarah bagi penafsiran tentang kenabian. Meskipun begitu, aplikasi tafsir ini dapat diterapkan kepada masyarakat, dengan menggunakan studi kasus. Misalnya, penafsiran terhadap ayat-ayat tentang akhirat, itu bisa diterapkan pada kelompok yang berbeda-beda dengan uraian yang berbeda pula. Penafsiran ayat akhirat untuk masyarakat primitive dan kaum intelek, itu bisa berbeda kerangka berfikirnya. Begitu itu bisa dibuat semacam satu kelompok khusus yang oleh al-Farmawi disebut tafsir maudlu’í. Penafsiran terhadap ayat-ayat sosiohistoris, mufasir dapat memilih pendekatan filosofis, yuridis, histories, atau bahkan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Mufasir mengolah pendekatan itu dengan metoda hermeneutika, plus histories, untuk kasus tertentu, dan di satu kawasan tertentu pula. Studi model ini sangat diperlukan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran sosiohistoris-antropologis yang kondisi socialnya berbeda satu sama lain. Penafsiran ayat-ayat alam fisik, mufasir dapat memilih pendekatan logis, histories, dan sosiologis, dengan metoda hermeneutika dan observasi di lapangan, atau di laboratorium. Demikian pengkelompokkan semacam itu sudah dipilah di atas. Meskipun begitu, aplikasinya dapat diterapkan pada masyarakat, dengan menggunakan studi kasus, dan lebih baik lagi dengan melakukan penelitian. Semua uraian di atas belum diberikan contoh, karena masih memerlukan diskusi. Mudah-mudahan berikutnya, akan disajikan bentuk-bentuk tafsir al-Quran, meskipun sangat sederhana.
            Di atas sudah disebutkan model-model penafsiran dan pendekatan tafsir.  Metoda hermeneutis biasanya dipergunakan untuk mengolah ilmu-ilmu humaniora termasuk ilmu tafsir al-Qur’an. Meskipun begitu, kalau tafsir itu diterapkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang kemasyarakatan, mufasir menggunakan penafsiran analisa isi. Untuk mempertajam metoda ini, mufassir dapat mengintegrasikan kajian tematis (maudlu’i). Pada dasarnya, ayat-ayat al-Qur’an yang akan ditafsirkan itu adalah berbentuk teks yang terdiri atas rangkaian huruf, kata dan kalimat. Ia dapat ditafsirkan melalui penafsiran kosa kata, pola kata, pola kalimat, konteks situasi, konteks social dan konteks budaya. Semua itu dilakukan secara hermeneutis, dengan pendekatan (manhaj) yang berbeda-beda. Untuk menafsirkan  ayat-ayat al-Quran, mufasir dapat mengadaptasi metoda komunikasi, kususnya tentang anlisis wacana. Sedangkan tafsir al-Qur’an yang diterapkan pada pemahaman untuk pemecahan suatu kasus, mufasir dapat menggunakan ilmu-ilmu social, terutama sejarah, antropologi dan sosiologi. Atas dasar itu, mufasir juga dapat menggunakan pendekatan antar disiplin dan atau  inter disiplin.
          Adapun sumber penafsiran al-Qur’an, mufasir dapat menggunakan sejumlah kitab-kitab tafsir al-Qur’an dari kitab klasik sampai kitab-kitab sekarang, yang ada dalam perpustakaan, dalam kepingan CD, dan atau dalam website  Demikian kalau tafsir itu memakai istinbath. Kalau tafsir itu akan memecahkan suatu kasus, maka mufasir perlu mempelajari lapangan atau medan masyarakat lebih dahulu seperti pernah dilakukan oleh Muhammad Abduh, ketika mengajarkan tafsir al-Manar kepada murid-muridnya. Setelah melihat medan, mufasir baru menerapkan penafsiran.. Bahan di lapangan itu dilakukan secara purposif dengan merujuk kepada fokus penafsiran, tujuan, pendekatan dan metoda.
           Di atas disebutkan bahwa relasi model, pendekatan dan metoda penafsiran ayat-ayat al-Quran (istidl-al) itu perlu menguraikan dasar-dasar hermeneutika dulu. Yaitu penafsiran yang biasa dikelola dengan aneka pendekatan filosofis, yuridis, histories, sosiologis dan sebagainya. Penerapan hermeneutika, bagi mufasir suatu ketika dijiwai oleh perasaan histories, antropologis, fenomenologis, dan sebagainya. Karena itu harus disadari bahwa mengkaji hermeneutika sangat luas. Gambaran kasarnya sebagai berikut:   
          (1). Hermeneutika secara histories merupakan bagian dari filsafat. Di antara modelnya, ahli tafsir al-Quran membuat istilah tafsir dan ta’wil. Tetapi dalam tulisan ini, istilah ta’wil tidak dipergunakan, karena selalu menggunakan istilah hermeneutika. Secara leksikal hermeneutika berarti menafsirkan kata-kata yang konsepnya bisa berubah seperti bentuk terjemahan pemikiran ke dalam bahasa. Dalam tempat lain, hermeneutika diartikan sebagai kemampuan seni, atau teknik tertentu untuk memecahkan masalah..
          Hermeneutika dibedakan menjadi dua priode, yaitu klasik dan modern. Priode klasik, dulu dipergunakan untuk kitab suci (shuhuf) pada zaman Yunani kuno. Sedangkan priode kedua, hermeneutika dipergunakan untuk memecahkan teks aneka macam, yang pada umumnya memiliki visi dan misi tertentu. Untuk itu ada dua hal yang perlu dipertahankan, yaitu pertama teks dan isi al-Quran harus dipertahankan terus, dan kedua penafsiran sebagai akibat renungan filosofis, histories, antropologis, dan sebagai bentuk symbol, itu perlu dimunculkan oleh mufassir. Begitu itu diketahui karena perubahan dari pengalaman mental mufasir ke dalam bentuk tulisan (tafsiran atau interpretasi).
          Secara histories, hermeneutika adalah metoda untuk memahami kitab suci. Kunci utamanya adalah kemampuan bahasa, sebagai wacana atau sebagai teks. Karena itu, hermeneutika disebut sebagai aktivitas penerjemahan yang direnungkan atau dipikirkan dari pandangan dunia empirik, tema sentral, visi, dan berbagai kultural lainya. Dari segi lain, hermeneutika harus memiliki titik pijak setiap saat ditentukan masalah baru. Suatu contoh hermeneutika yang dipergunakan oleh al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib tentang ulasan tujuh langit misalnya, itu sekarang dapat dirubah dengan hermeneutika baru yang kerangka berfikir dan metodanya memakai observasi sekarang yang alatnya lebih lengkap dari pada alat observasi masa lalu. Begitu itu sejalan dengan Heidegger yang mengatakan bahwa pemahaman adalah hakikat eksistensialitas, yang selalu dalam bentuk yang sudah diinterpretasikan pemahaman secara ontologis. Karena itu, muncul pola-pola penafsiran al-Quran Ahli Sunnah, Mu’tazilah, Syi’ah, dan sebagainya.   
          Tafsir al-Quran yang diangkat secara hermeneutis adalah merupakan aktivitas seni berfikir sekaligus seni politis dengan pertimbangan yang akhirnya tidak ada kebenaran interpretasi yang mutlak. Semua interpretasi adalah ijtihadiah, karena itu nilainya selalu zhanniyat. Meskipun begitu, semua ulama ahli tafsir tetap berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan penafsiran al-Quran yang mendekati maksud yang dikehendaki oleh Allah. Usaha mereka sesuai dengan kemampuan manusiawi semasa berfikirnya, yang mungkin penafsiran itu akan berubah pada masa yang akan datang. Demikian gambaran umum tentang metoda penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran.
           Sedangkan kerangka befikir yang menjiwai metoda hermeneutika itu banyak sekali, antara lain teologis, filosofis, yuridis, dan logis untuk pendekatan teks. Sedangkan hermeneutika tafsir al-Quran yang diterapkan pada pemahaman konteks, maka bentuknya antara lain, menggunakan pendekatan histories, antripologi, sosiologis dan semacamnya.
           (2). Analisa histories berkaitan dengan pendekatan ilmu sejarah dalam penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran. Dalam Ulum al-Quran, sejarah penafsiran ini dapat diangkat dari sejarah asbab al-nuzul, yaitu sesuatu uraian yang ada di luar teks al-Quran tetapi isi dan kandungannya melatar-belakangi turunnya ayat itu. Tafsir al-Quran menggunakan asbab al-nuzul apabila ayat-ayat yang akan ditafsirkan ada kaitannya dengan masalah yang disinggung oleh sebab itu, seperti banyak diterangkan dalam Ilmu Asbab al-Nuzul yang kultural. Dalam kaitan ini ada tiga kemungkinan analisa histories yang dapat dipergunakan. Antara lain:
            Pada dasarnya semua ayat-ayat al-Quran itu memiliki unsur sejarah, paling tidak dari segi penyebab turunnya. Kalau ayat itu tidak diketahui sebab nuzulnya, atau sebab nuzul itu tidak ditulis oleh Kitab Kuning, maka teori Ulum al-Quran menganjurkan agar mufasir mengambil teori “munasabat’ bagi mufasir yang beranggapan bahwa penulisan ayat-ayat al-Quran dalam “Mushhaf Utsmani” itu semua tauqifi.  Tetapi cara yang mudah bagi tafsir al-Quran yang menggunakan analisa historis dan tidak menggunakan teori ‘munasabat’ maka salah satu alternatifnya adalah mengaitkan penafsiran ayat al-Quran dengan mempelajari sejarah diutusnya Rasulullah Saw. Itulah teori yang dikatakan oleh Aisyah “Kaana khuluquhu al-Quran” (Keadaan akhlaq-akhlaq Rasulullah adalah al-Quran). Karena itu, tafsir al-Quran dapat ditulis dengan memperhatikan sejarah Rasulullah. Meskipun begitu, semua mufasir sadar bahwa sejarah itu bukan bahan penafsiran untuk sebuah ayat, sehingga semua isi al-Quran itu sejarah, itu tidak begitu. Semua mufasir sadar bahwa sejarah itu hanya dijadikan sebagai kerangka berpikir saja, sehingga ayat hukum tafsirnya juga tentang hukum, ayat fisik tafsirannya juga tentang fisik, ayat-ayat akhirat juga tafsirannya tentang akhirat dan begitulah seterusnya.
          (3). Analisa sosiologis, atau antropologis dapat diterapkan pada semua penafsiran ayat-ayat metafisik, ayat-ayat sosiohistoris, dan ayat-ayat alam fisik. Bahkan analisa sosiologis bisa lebih luas lagi dari pada pendekatan lainnya, karena tafsir al-Quran secara kenyataan dapat diterapkan atau dapat dikontekstualisasikan pada semua lapisan masyarakat yang kultur dan strukturnya berbeda-beda. Dari segi lain, banyak ilmuan yang berpendapat bahwa semua ayat al-Quran itu turun karena di latarbelakangi oleh berbagai macam realitas. Suatu contoh, turunnya lima ayat dari awal Surat al-‘Alaq itu dilatar belakangi oleh kegelisahan Rasulullah, karena melihat perkembangan masyarakat Makkah yang tidak cocok dengan kehidupan manusiawi waktu itu. Antara lain maraknya penyembahan berhala, melaksanakan ibadah haji bagi perempuan harus dengan telanjang bulat, kelahiran anak perempuan harus dikubur masih hidup. Rentenir menjadi budaya harian dan sebagainya. Melihat fenomena sepreti itu, Rasulullah gelisah sekali dan ingin menata kehidupan yang lebih baik dan manusiawi, tetapi Rasulullah tidak memiliki kekuatan apa pun untuk memperbaikinya. Akhirnya Rasulullah mencari ketenangan batin di Guwa Hira, dan dalam kegelisahan itu  turunlah ayat 1 sampai 5 Surat Iqra itu. Dengan kata lain, semua ayat al-Quran itu memiliki sebab nuzul, baik kultural seperti yang terjadi pada awal surat al-‘Alaq tadi, atau turun secara srtuktural seperti catatan Asbab al-Nuzul yang ditulis oleh al-Wahidi dan al-Sayuthi, dan lain lain.
           Dari segi lain, ayat-ayat al-Quran bervariasi, dan isi uraiannya pun bervariasi pula. Sosiologi (ilmu kemasyarakatan) hanya dijadikan sebagai alat bantu untuk menafsirkan ayat yang berbeda-beda itu. Dengan demikian, ayat-ayat tentang hukum misalnya, itu tafsiran pengolahannya tetap menggunakan ilmu ushul-fiqh. Tetapi penerapan hasil penafsiran kepada masyarakat, atau mengkontekstualisasikan tafsiran ayat-ayat hukum itu, tetap menggunakan sosiologi, atau antropologi. Karena penafsiran itu memakai pendekatan antropolgis atau sosiologis, maka bentuk penafsiran selalu bersifat kasus. Dengan demikian, penerapan tafsiran atau kontektualisasi penafsiran ayat-ayat al-Quran tentang muamalat atau tentang ayat-ayat sosio-historis lainya, itu bisa berbeda penerapan tafsir al-Quran untuk kalangan petani di pedesaan, dengan rumusan penerapan muamalat untuk masyarakat yang amat maju di kota-kota besar. Begitu pula penerapan ayat hukum dengan ushul fiqh yang sama, itu akan berbeda antara model penerapan hokum di petani Indonesia, dengan petani di Mesir misalnya. Perbedaan itulah yang dilakukan melalui pendekatan antropologis plus ilmu social lainnya..
          Analisa sosologi dapat dibicarakan melalui dua cara. (a) analisa secara ekstrinsik, melalui aspek luar. Itulah yang disebutkan dalam makalah ini adalah kontekstualisasi. penafsiran (b) secara intrinsik melalui aspek dalam, terutama penerapan sosiologi untuk penafsiran ayat-ayat sosiohistoris. Penafsiran model ini melibatkan teori-teori ilmu social seperti tentang kemasyarakatan, pendidikan, da’wah dan lain sebagainya.
           .                       
H. Penutup
           Begitulah suatu pemikiran yang diangkat dari renungan sejenak yang diangkat dari penguguhan Guru Besar penulis di Universitas Islam Negeri Bandung. Reaksi terhadap gagasan itu banyak juga, terutama dari teman-teman satu profesi. Maksud penulis dalam tulisan ini adalah mengajak diskusi tentang perkembangan suatu ilmu. Tetapi beberapa tokoh mufassir di Universitas Islam Negeri Yogyakarta ada yang berkata, bahwa gagasan keilmuan apa saja boleh, tetapi masyarakat mau menerima dan mau menggunakan tidak?. Kalau tidak mau memakai, apa gunanya gagasan itu.disajikan. Tokoh ini menganggap bahwa tafsir al-Quran dan Ulum al-Quran yang sudah ditulis oleh para ulama sejak ratusan tahun lalu, sudah cukup segalanya, sehingga tidak perlu ada pemikiran baru, gagasan baru, penelitian baru, analisa baru dan sebagainya. Tokoh ini lebih menekankan keilmuan pada dataran aksiologis, dan bukan pada dataran epistemologis. Berbeda lagi tokoh di Universitas Islam Negeri Bandung yang cerita, bahwa ilmu Manthiq diciptakan oleh Aristotales, Ushul al-Fiqh diciptalan oleh al-Syafi’i. Kedua tokoh itu adalah failasuf besar. Apakah ilmu ushul al-tafsir rumusannya dapat dikembangkan oleh seorang dosen yang diangkat sejak awal Orde Baru sampai pension (2010), tidak pernah menduduki jabatan struktural sama sekali. Munculnya pernyataan semacam itu wajar karena hampir semua pimpinan di UIN Bandung dari masa ke masa, adalah dikelola oleh orang-orang yang oleh Bollouta disebut berfikir idealis-totalistik yang bekerja untuk kepentingan kelompok. Sedangkan pemikiran dalam tulisan ini, berfikir reformatif-akomodatif dan suatu ketika ingin berfikir transformatif. Tulisan yang belum sempurna ini sengaja diturunkan, agar  dapat dikoreksi dan dikritik oleh beberapa ilmuan lain, pencinta tafsir dan ulum al-Quran.
          Wallaahu a’lam bi al-shawaab
Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.





 Daftar Bacaan :
         Abdul Aziz Abdul Mu’thi Arafah, Qadliyat al-I’jaz a-Qurani wa Atsaryha fi Tadwin al-    Balaghah a-Qrabiyah, Beirut, 1986, Alom al-Kutub.
         Abdul Aziz al-Majdzub, Al-Razi min Khlali Tafsirihi, Tunis, 1394 H, Cet. Ke 2, Al-Dar al-Arabiyah li al-Kitab,
         Abdul-Qahar al-Baghdadi, Al-Farq bain al-Firaq, Beirut, 1977 M., Cet. Ke 2, Dar al-Afaq al-Jadidah.
         Abdul Karim al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairyah, (Tahqiq Abdulhali, Mahmud), kaoro. T.t. Dar al-Kutub al-Haditsah.
         Abbas Mahmud al-Aqqad, Al-Falsafah al-Quraniyah, Beirut, 1969 M, Cet, ke 2. Dar al-Kitab al-Arabiy.
          Abu Muhammad Ali ib Ahmad ibn Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal, Beirut, Cet. Ke 2, 1395 H, Dar alMa’rifah.
          Abdullzh Mahmud Syahadzah, Manhaj a;-Imam Muhammad Abduh fi Tafsi al-Quran al-Karim, Kairo, 1380 H, Nastr al-Risalah al-Jamiíyah,
          Abdulwahhab Qayid, Manhaj ibn Athiyah fi Tafsir al-Quran al-Karim, Kairo, 1972 M, Al-Haiat al-Ammah, lisyuun al-Mathabi’al-Amiriyah.
          Adnan Zuzur, Al-Hakim al-Jutsami wa Manhajuhu fi Tafsir al-Quran, Beirut, 1388 H- 1968 M., Muassasah al-Risalah.
            Afat Muhammad al-Syarqawi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Ashr al-Hadits, Kairo, 1383 H., Jamiáh ‘Ain Syams.
           Ali al-Salus, Bain al-Syiáh wa al-Sunnah, Dirasah Muqaranah fi al-Tafsir wa Ushulih, Tafsir al-Rasul wa al-Shahabah wamaa Nusiba li Aimmati al-Itsna Asyariyah, Kairo, 1989 M, Maktabah ibn Taymiyah.
           Amin al-Khuli, Manahij al-Tajdid fi al-Nahwi wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab. Kairo, Cet, ke I, 1961 M, Dar al-Ma’rifah.
           Cik Hasan Bisri, Penelitian al-Quran, Bandung, 1999 M, Program Pascasarjana.
            ----------------- Model Penelitian Fiq, Jilid I,  Jakarta, 2002 M, Prenada Media.
           Deddy Mulyana, Komunikasi (Suatu Pengantar)  Bandung, Cet. 9, 2007 M. Remaja Rosdakarya offset.
           Fahd ibn Abdurrahman al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-Aqliyah al-Haditsah fi al-Tafsir, Beirut, 1407, Cet. Ke 3, Muassasah al-Risalah.
           Al-Fadlil ibn Asyur, Al-Tafsir wa Rijaluh, Tunis, 1966 M,  Dar al-Kutub al-Starquyah.
            Jalaluddin al-Sayuthi, Thabaqat al-Mufassirin, Beirut, 1960 M, Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
            Dahlawi, Waliyyullah al- Al-Fauz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir, Bairut, 1409 H, Dar Qutaybah. .
            Mahmud Muhammad Thaha, Al-Din wa Tanmiyat al-Ijtima’iyah, Kartum, 1994 M, Cet; ke 2, Dar al-Thabi’al-Arabi.
            ----------- Tathawwur Syari’at al-Ahwal al-Syakhshiyah, Sudan, 1399 H, Cet. Ke 3
            Muhamm ad Abdurrahman al-Maghrawi, Al-Tafsir bain al-Ta’wil wa al-Itsbat fi Ayat al-Shifat, Riyadl, 1405 H, Cet, ke I, Dar al-Thaybah.
             Muhammad Fihr Syaqafah, Al-Tashawwuf bain al-Haq wa al-Khulq, Suria, 1965 M, Maktabah Dar al-Da’wah.
              Muhammad Farid Wajdi, Al-Islam Din al-Hidayah wa al-Ishlah, Kairo, 1389 H, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah.
              Muhamad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo, 1976 M, Dar al-Kutub al-Haditsuyah,
             Muhammad ibn Abdillah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Quran, Beorut, 1400 H, Cet. Ke 3, Dar al-Fikr.
            Muhammad Azzah Darwazah, Al-Tafsir al-Hadits, Kairo, 1381 H., Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah.
           Muhammad Ahmad Khalaf Allah, Al-Fann al-Qashashi fi al-Quran al-Karim, Kairo, Cet. Ke 4, 1972 M, Maktabah al-Anglo al-Misriyah.
           Muhammad Ali al-Bazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Theteran, 1414 H, Cet, ke 1, Dar al-Irsyad al-Islami.
           Muhammad Umar Bazamul, Muqaddimah f Ushul al-Tafsir Li al-Syaikh Ibn Taymiyah, Mesir, cet, ke 1, 2006 M, Dar al-Imam Ahmad.
             Muhammad Mubarak, Dirasah Adabiyah Li-Nushush min al-Quran, Beirut, Cet. Ke 4, 1392 H, Dar al-Fikr.
              Muhammad Ibrahim Starif, Al-Baghawi wa Tafsiruhu li al-Quran al-Karim, Kairo, 1406 H, Dar al-Ulum Jami’ah al-Qahirah,
           ----------------Ittijahat al-Tajdid fi Tafsir al-Quran al-Karim, Kairo, Cet. Ke 1, 1393 H-1982 M, Dar al-Turats.
           Muhsin Abdul Hamid, Tathawwur Tafsiral-Quran, Qiraat Jadidah, Baghdad, 1989 M, Wuzarat al-Ta’lim al-Ali wa al-Bahats al-Ilm.
           Mushthafa Ibrahim al-Masyini, Madrasat al-Tafsir fi al-Andalus, Beirut, 1406 H, Cet. Ke 1, Muassasat al-Risalah.
          Mushthafa Shadiq al-Rafi’iy, I’jaz al-Quran wa al-Balaghah al-Nabawiyyah, Kairo, Cet. Ke 2, 1389 H, Al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra.
           -----------------, Manhaj alZamakhsyari fi Tafsir al-Quran, wa Bayan I’jazihi, Kairo, 1959 M, Dar al-Maarif.
            Nashr Hamid Abu Zaid, Al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir, Dirasat fi Qadliyat al-Majaz fi al-Quran ‘Inda al-Mu’tazilah, Beirut Cet ke1, 1982 M, Dar al-Tanwir.
            Shubhi Abdul Hamid Muhammad Abdul Karim, Ibn Taymiyah wa al-Qiraat, Kairo, 1406 H, 1096 M, Cet, ke 1, Mathba’ah al-Amanah.
          Shabri Ibrahim al-Sayyid, I’rab al-Quran fi Tafsir Abi Hayyan, Iskandaria, 1409 H, 1982 M, Dar al-Ma’rifat.
          Lous Gottschalk, Mengerti Sejaraha, Jakarta, 2005 M, UI Pers.
           Richard E.Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi (Terj. Masnur Hery) Yogyakarta, Cet, ke 2, 2005 Pustaka Pelajar.
           Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta, Cet. Ke 2, 2007 M, UGM Perss.
           Petter Connally, (ed.) Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta, Cet. ke 2, 2009 M, LKIS.
          Nyoman Khuta Ratna, Metodologi Penelitian Budaya dan Ilmu-ilmu Sosial, Yogyakarta, 2010 M, Pustaka Pelajar.
          Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta, 1988 M, Penerbit Kanisius.  

      


Pengantar Ilmu Ushul aL-Tafsir Reviewed by Chozin Nasuha on 21.52 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by Chozin Nasuha Official Web © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by Sweetheme

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.