Kurikulum Studi Al-Qur'an
Pada akhir-akhir ini beberapa pondok
pesantren, mendirikan pendidikan tinggi
yang disebut ‘Ma’had ‘Ali’ (Pesantren Luhur). Pengajian santri senior
yang mempelajari kitab-kitab mu’tabarah yang besar, dinamakan ma’had
‘ali. Dulu pegajian seperti itu
berjalan secara tradisional, dan berhenti di tengah jalan, antara lain karena berkaitan
dengan teknis pelaksanaan. Dalam keadaan itu, Kementerian Agama RI membantu
beberapa pondok pesantren untuk mengelola Ma’had ‘Ali secara akademisi,
yang setingkat dengan S2. Antara lain Ma’had ‘Ali tentang Makhthuthat di
Pesantren Wonosobo, Ilmu Akidah-Falsafat di Pesantren Sukorejo Situbondo, Ma’had
‘Ali tentang Ilmu Ushul Fiqh di Pesantren Babakan di Cirebon ,
dan Ma’had ‘Ali tentang Ilmu Falak di Jombang yang dipindahkan ke Semarang . Ma’had Ali
semacam itu pernah dilaksanakan di PTIQ dan IIQ di Jakarta, tentang Tafsir
al-Quran.
Pada saat ini beberapa UIN, IAIN, dan
STAIN membuka studi al-Quran cukup banyak, tetapi isinya hanya mengajarkan ilmu-ilmu
al-Quran dari Kitab Kuning yang berkembang sejak ratusan bahkan ribuan tahun
yang lalu. Pengolahan perguruan tinggi itu belum mengembangkan Ulum al-Quran,
yang diangkat dari hasil penelititian. Suatu contoh, teori Asbab nuzul
al-Quran, belum banyak dikembangkan dengan penelitian di lapangan. Dosen
Ulum al-Quran mengetahui bahwa ayat-ayat al-Quran itu memiliki asbab al-nuzul
pada kondisi dan situasi yang satu ayat dengan ayat lain berbeda. Mereka paham bahwa
shahabat Nabi berhasil menerapkan ayat al-Quran kepada masyarakat (tabi’in) karena
mengetahui kasus sebab nuzul ayat tadi. Teori sejarah mengatakan
bahwa semua kejadian tidak akan terulang, dan setiap uraian tentang kejadian itu
tidak persis sama. Karena itu, turunnya al-Quran di Makkah dan Madinah tidak
akan sama dengan masuknya al-Quran di Jawa, atau di Malaysia , atau di Cina dan
senagainya. Karena itu asbab nuzul al-Quran jika diuraikan
seperti isi kitab kuning saja, dan diuraikan seperti apa adanya berarti ilmu asbab
nuzul al-Quran belum berkembang.
Dalam pengamatan sejenak, penglolaan
studi al-Quran di beberapa Pascasarjana terdapat variasi model penglolaannya. Ada yang berhubungan
dengan tugas akademik, ada yang berhubungan dengan pengembangan bahan
pengajaran, ada yang berhubungan dengan peningkatan sumber daya manusia, dan
ada lagi penglolaan studi al-Quran yang diatur oleh kebijakan birokrasi.
B. Idealisasi Kajian Studi
al-Quran
Studi
al-Quran merupakan tambahan cara belajar untuk mempelajari ilmu-ilmu al-Quran,
yang hendak dilaksanakan dengan mengevaluasi kegiatan setiap semester. Ada tiga pertanyaan yang
akan dievaluasi. Pertama apa yang akan dipelajari oleh mahasiswa dalam
Studi al-Quran. Secara jelas studi ini akan mempelajari dan mengembangkan
ilmu-ilmu al-Quran, baik dari segi teks yang ada pada Kitab Kuning, atau
teks itu dikaitkan pada konteks sosial dan budaya, sampai mereka
mengerti masalahnya. Kedua bagaimana cara mempelajari dan mengembangkan
ilmu-ilmu itu. Secara keilmuan studi al-Quran akan mempelajari kerangka
berfikir dan metoda yang diperlukan oleh studi teks dan studi konteks ilmu-ilmu
al-Quran tadi. Ketiga untuk apa kegunaan dan signifikansi materi itu
setelah dipelajari melalui Studi al-Quran. Intinya ada dua kepentingan, yaitu studi
untuk mengembangkan ilmu yang didapatkan dari studi al-Quran, dan untuk
mengembangkan jasa pengetahuan ilmiah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia,
yang menggumuli al-Quran.
C. Materi Kurikulum Studi
al-Quran
Secara singkat kurikulum studi
al-Quran menawarkan dua studi, yaitu studi teks al-Quran dan studi konteks
al-Quran. Studi teks menawarkan tiga bidang kajian, yang dirinci dalam (ABC), dan studi konteks menawarkan tiga bidang kajian juga
yang dirinci dalam (DEF).
Wilayah A mempelajari tentang bacaan
al-Quran, diawali dari pelajaran huruf-huruf al-Quran, meliputi studi makharij al-huruf, termasuk jenis
huruf dan sifatnya, studi Ilmu tajwid, dan ilmu qiraat terutama qiraat
mu’tawatirah. Semua ilmu tadi sudah banyak ditulis oleh para ulama dalam
Kitab-kitab Kuning. Targetnya menjadi kreteria pembacaan dan atau penghafalan
al-Quran sesuai dengan target Musabaqah Tilawat al-Quran (MTQ) yaitu menuntut fashahah
dalam membaca al-Quran. Di samping itu, masuk wilayah A juga adalah tulisan
al-Quran baik dari segi rasm atau dari segi bentuk tulisan seperti tsulutsi,
nasakhi, riq’iy, farisi, dan lain-lain, termasuk tulisan yang diekspresikan
dalam karya seni tulis dan kaligrafi al-Quran.
Wilayah B mempelajari bahasa al-Quran
meliputi ketata-bahasaan, morfologi dan linguistik. Begitu juga pembahasan
tentang kalam khabari dan kalam insyai. Masuk dalam wilayah B
juga kajian tentang kata-kata gharib, tarkib, muhkam-mutasyabih, mubham, dan
sebagainya. Kitab yang membahas tentang ini banyak sekali seperti kitab-kitab Balaghah,
I’jaz al-Quran, Ulum al-Quran dan sebagainya. Selain itu masuk dalam
wilayah linguistik antara lain kitab-kitab yang membahas tentang berbagai
masalah yang disajikan oleh Ibn Jinni, Ibn Faris, Ibn Qutaibah, al-Ashmu’i,
al-Sakkaki dan lain-lain. Wilayah B dalam menekankan kalimat khabari dan
insyai dapat berimplikasi pada pembahasaan isi al-Quran sebagai sumber ajaran
Islam yang dapat mengembangkan berbagai disiplin ilmu (alamiyah, sosial, dan
budaya), dilihat dari sudut pandang bahasa, dan atau dalam bentuk konteks
kebudayaan.
Wilayah C mempelajari penafsiran
terhadap ayat-ayat al-Quran, dari segi jenis penafsiran seperti model-model maktsur,
ma’qul, lughawi, waqi’i, dan isyari, atau pendekatan penafsiran
seperti (balaghi, hadai, haraki, ijtima’i, ilmi, kalami, fiqhi, falsafati,
dan tarikhi), atau pola penafsiran seperti model-model (Ahl al-Sunnah, Syi’ah,
Mu’tazilah, dan Ibadliyah), atau relasi al-Quran dengan kitab samawi lain
(Taurat, Zabur dan Injil), relasi al-Quran dengan teks sunnah (hadits),
dan atau mempelajari produk-produk tafsir al-Quran yang tumbuh dan bekembang
secara berkesinambungan (dari masa ke masa)..Semua itu berhubungan dengan watak
dan kemampuan para mufasir, di samping perkembangan intuisi sosial yang
menunjang produk penafsiran tadi. Kitab-kitab yang membahas tentang model
tafsir ini banyak sekali dari kitab klasik sampai kitab yang paling populer, bahkan
sampai kitab-kitab tafsir al-Quran yang banyak didiskusikan oleh para ulama dan
cendekiawan sakarang.
Wilayah D mempelajari konteks penurunan ayat al-Quran
berkenaan dengan tugas kerasulan Nabi Muhammad Saw. (secara makro), dan
mempelajari konteks penurunan ayat al-Quran melalui cicilan Malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad (secara mikro) yang oleh kitab klasik dihimpun dalam
kitab-kitab Asbab al-Nuzul. Semua model kasus penuurunan ayat tadi dijadikan
sebagai tahapan penerapan al-Quran kepada masyarakat. Kitab-kitab yang membahas
tentang informasi ini banyak sekali sepeprti kitab-kitab klasik tentang Ulum
al-Quran, Asbab al-Nuzul dan semacamnya. Selain itu, wilayah D juga mempelajari
tentang tugas kerasulan Rasulullah Saw. secara bertahap, berkenaan dengan perkembangan
umat dalam tradisi besar di kawasan Makkah dan Madinah, baik dari segi kultur
dan atau dari segi struktur masyarakat. Kitab-kitab yang membahas tentang ini,
banyak sekali, seperti beberapa kitab Ulum al-Quran, juga hadits-hadits Nabi,
sampai kitab-kitab sejarah atau tarikh, dan kitab-kiyab Sirah
Nabawiyah. Dengan lain kata, studi
wilayah ini mempelajari studi al-Quran dari segi konteks kesejarahan, yaitu peristiwa
sejarah Rasulullah atau sejarah al-Quran dikaitkan dengan turunnya ayat-ayat
tertentu, atau dikembangkannya pengamalan al-Quran di Irak, di Mesir, di Indonesia
dan sebagainya. Dengan lain kata, wilayah ini mengkontekstualisasikan ayat
al-Quran kepada masyarakat dengan pendekatan historis. Tafsir al-Quran model ini
biasanya dilakukan melalui penelitian, baik kepustakaan atau penelitian
lapangan. Karena bentuknya penelitian, maka mufasir memiliki masalah lebih
dahulu untuk mencari jawabannya, baik dari perjalanan misi Rasulullah Saw. atau
perjalanan menjabarkan al-Quran, baik yang ada di Makkah-Madinah, atau di zaman
Umayyah, Abbasiyah, dan sebagainya, atau perkembangan al-Quran di Indonesia dan
lain sebagainya. Semua penelitian itu diarahkan untuk mencari bentuk penafsiran
al-Quran, atau menelusuri ulangan sejarah perkembangan al-Quran, atau menelusuri
ajaran Rasulullah Saw. di daerah tertentu, dan atau untuk membongkar model
tafsir al-Quran yang sudah ada, untuk membentuk model penafsiran al-Quran yang
baru dan kontekstual.
Secara definitif tafsir al-Quran
dengan pendekatan sejarah adalah menampilkan nuansa masa lalu (perjalanan sunnah
Rasulullah) yang dapat mengantarkan mufassir ke dalam priode tertentu, sehingga
penafsiran al-Quran mudah difahami. Tidak ada batasan yang pasti berapa jauh
unsur-unsur sejarah yang harus ditampilkan, karena yang dinilai bukan rentetan
sejarahnya, tetapi yang ditampilkan adalah hakikat objek, yang dalam hal ini
adalah pengamalan Rasulullah Saw, pemikiran sahabat Nabi dan amalan al-salaf
al-shalih terhadap ayat-ayat al-Quran, dan bukan cerita sejarahnya ansich.
Dalam tempat lain, metode sejarah
adalah proses menganalisa peninggalan amalan (sunnah) Rasulullah masa
lalu. Rekonstruksi yang imajinatif dari amalan Rasulullah tadi berdasarkan data
yang diperoleh dari kitab-kitab hadits dan sirah nabawiyah. Langkah
seperti itu bisa disebut historiografi (penulisan sejarah). Ada empat macam yang dapat
membantu masalah ini, yaitu (1) Pemilahan subjek sunnah Rasulullah yang
tepat untuk diterapkan pada penafsiran suatu ayat al-Quran tertentu.(2)
Pengumpulan sumber-sumber informasi dari amalan Rasulullah di Makkah atau di
Madinah, amalan itu apakah masuk dalam hadits tasyri’ atau hadits
irsyad. (3) Pengujian sumber tersebut untuk mengetahui, apakah itu hadits,
atau atsar, atau interpretasi ulama. (4) Pemetikan sunnah Rasulullah tadi
apakah itu shahih, atau dlaif, dan atau maudlu’. Atas
dasar itu, Ilmu Hadits sangat membantu mufassir untuk menafsirkan ayat-ayat
al-Quran.
Wilayah E mempelajari penyebaran
al-Quran secara kronologis maupun fungsional melalui institusi sosial yang
tersedia, antara lain melalui proses dan produk penulisan al-Quran sejak dari
zaman Rasulullah, zaman shahabat Nabi, sampai zaman berikutnya. Semua itu
berjalan dengan model penulisan yang terprogam. Wilayah E juga mempelajari proses
penerbitan dan penyebar luasan al-Quran dan tafsirannya, dan mempelajari pengajaran
al-Quran dan tafsirannya, dalam berbagai lingkungan dan jenjang pendidikan.
Model ini menampilkan cara yang bervariasi (termasuk pesantren, dan perguruan
tinggi agama). Wilayah ini juga mempelajari persepsi dan apresiasi al-Quran
melalui media MTQ di berbagai tingkat, dan tradisi pembacaan al-Quran berkenaan
dengan peristiwa penting dalam kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif
(seperti ritual dan atau seremonial). Wilayah ini juga mempelajari upaya
penyebar luasan al-Quran yang mengacu
pada kaidah-kaidah yang berlaku pada al-Quran sebagai teks suci. Alhasil studi
al-Quran yang perkembangannya dikontekstualisasikan pada perkembangan budaya
ini luas sekali cakupannya, dan satu sama lain memiliki pandangan berfikir,
kerangka berfikir, dan metoda yang berbeda-beda.
Dalam perkembangan yang dilakukan
oleh ulama zaman klasik adalah tafsir al-Quran dipecahkan dengan menggali isi
yang dikandung oleh bahasa al-Quran, yaitu melalui ilmu bahasa, gramatika,
sejarah, retorika, dan akidah-akhlak, sebagaimana kita lihat dalam kitab-kitab
tafsir klasik. Kemudian muncul model penafsiran yang agak berbeda dengan model
klasik, yaitu bahwa tafsir al-Quran dapat disajikan sebagai gerakan kultural
dalam usaha menjadikan umat sebagai subjek dan pusat aktifitas kehidupan.
Tafsir model ini antara lain dilakukan dengan tafsir ijtima’i, tafsir haraki,
dan atau semacamnya. Penafsiran model ini bisa menggunakan penerapan model
etnosain, atau etnometodologi. Perbedaannya, kalau mufasir menggunakan metoda etnosain,
maka tafsir al-Quran dikelola dengan pendekatan ilmu budaya. Kalau mufasir
menggunakan metoda etnometodologi maka tafsir al-Quran diolah dengan pendekatan
ilmu-ilmu sosial.
Penafsiran model tadi sebenarnya diangkat
dari pemikiran Sahabat Ali ibn Abi Thalib yang mengatakan bahwa teks al-Quran
itu simbol yang ujudnya itu shamit dan nathiq. Shamit adalah teks
al-Quran yang tidak berbicara, dan nathiq adalah interpretasi (bunyi
isi) teks al-Quran. Ungkapan isi teks ini bisa muncul dari teori (rakyu) mufassir
itu sendiri atau dari wujud konteks yang akan dibuat sebagai isi teks.. Jika
penafsiran itu datang dari keilmuan muffasir, maka itu disebut tafsir
positivisme. Jika penafsiran itu mengandalkan pada fenomena tertentu, maka itu
bersifat naturalistik. Sifat naturalistik ini oleh ulama Hanafiyah disebut ‘uruf
dan oleh ulama Malikiyah disejajarkan dengan ‘amal ahl al-Madinah (kepribadian
kaum muslimin di kota
Madinah) Kedua tafsir itu sama-sama kuat dan semua masuk dalam tafsir al-Quran
aliran rakyu.
Selain itu, ada model tafsir al-Quran
lagi yang menggunakan postmodernisme sebagai penafsiran terhadap ayat-ayat
al-Quran. Postmodernisme ini merupakan lanjutan dari medel penafsiran modernis,
ketika sturktur yang dibawakan oleh modernis tadi tidak dapat menyajikan
penafsiran yang lebih tepat dan akurat. Misalnya, kata ‘aam atau kata mujmal
menurut struktur Ushul fiqh harus diikuti takhsis dan tabyin yang
dibuat oleh suatu ulama misalnya. Langkah ini dianggap modern, tetapi setelah
takhsis dan tabyin itu teorinya tidak dapat diterapkan pada
mayarakaat, maka perlu menurunkan model post-modenisme.untuk mencari makna yang
lebih tepat. Model ini terletak pada kemampuan mufasir dalam merefleksikan
fenomena secara jeli, untuk memenuhi tuntutan keilmuan. Model ini tidak menolak
rasionalitas mufasir yang lain, tetapi hanya untuk mencari makna baru liwat
kebenaran, tanpa standard yang pasti. Suatu contoh tafsiran ayat apa yang cocok
untuk menyelesaikan Tenaga Kerja Indonesia (TKW) yang pulang dari luar negeri
dengan membawa anak, padahal sebagian mereka punya suami di rumahnya. Kitab
tafsir al-Quran bahasa Indonesia tidak menafsirkan beberapa ayat al-Quran yang
cocok dengan kasus itu. Maka untuk itu, postmodernisme dapat diterapkan. Biasanya
penafsiran ayat-ayat al-Quran model postmodernisme ini berkaitan dengan pemecahan
masalah-masalah sosial
Salah satu karakteristik
postmodernisme adalah tidak suka pada makna tunggal yang dibawakan oleh
ayat-ayat al-Quran. Hal ini bukan terbatas pada lafazh musytarak,
atau lafazh gharib dan semacamnya saja, tetapi juga memberi makna
kepada ayat-ayat yang mujmal, ‘aam, dan sebagainya. Masalah sosial yang
perlu diselesaikan dengan ayat-ayat al-Quran itu bervariasi dan berkembang
terus, maka ayat-ayat al-Quran yang terbatas jumlahnya itu perlu diberi makna
yang bersifat poliinterpretable, sehingga makna teks ayat tadi sesuai dengan
konteks sosial. Makna suatu ayat al-Quran yang zhanniyat tidak harus
tunggal, melainkan bersifat terbuka pada makna yang lain. Jadi postmodernisme
lebih menolak segala macam asumsi yang terbelenggu oleh pemaknaan (tekstualis).
Hal ini bukan berarti postmodernisme menghidupkan kembali teori sovisme (safsathah)
yang dikembangkan oleh Gorgias dan Protagoras yang muncul sebelum Socrates,
dan Plato, dan seterusnya. Postmodernisme
tetap memiliki dasar-dasar yang kuat dan logis dalam penerapan makna. Antara
lain penerapan makna berdasarkan konsep kontekstualisasi ayat al-Quran, kepada
penafsiran dengan pendekatan filosifis, teologis, historis, antropologis, etnosain
atau pendekatan lainnya.
Wilayah F mempelajari transformasi
teks al-Quran ke dalam berbagai kawasan pemikiran dan kehidupan aktual. Studi
ini antara lain mempelajari transformasi nilai
dasar yang terkandung dalam teks al-Quran, ke dalam produk pemikiran
kalami, fiqhi, etika, dan tasawuf. Studi ini juga mempelajari transformasi nilai
dasar yang terkandung dalam al-Quran, ke dalam berbagai gagasan tentang
masyarakat dan pengetahuan ilmiah kontemporer, seperti transforamsi ayat
al-Quran untuk studi jender, studi ekonomi,
studi politik dan lain-lain. Studi ini juga mempelajari transformasi
nilai dasar yang terkandung dalam ayat al-Quran untuk berbagai organisasi dan
aksi kemasyarakatan, seperti untuk suatu negara atau suatu organisasi yang
bercorak Islami, yang dasar-dasar gerakannya mengambil legitimasi dari
seperangkat ayat-ayat al-Quran.. Hal itu tampak dalam produk tafsir maudlu’i
(tematik) dan produk lainnya yang disistemasi berdasarkan perkembangan dan tuntutan
kebutuhan hidup manusia.Untuk mempelajari dan mengembangkan tafsir al-Quran
yang ada dalam keilmuan seperti itu, diperlukan tiga unsur, yaitu paradigma,
metodologi, dan pendekatan.
Paradigma adalah sebuah sistem
anggapan dasar, pandangan dunia yang mengarah-kan mufassir dalam menentukan
metodologi dan kerangka ontologinya. Di atas sudah digambarkan tentang seperangkat
ayat-ayat al-Quran yang dipergunakan untuk ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf,
studi jender dan lain-lain. Semua itu merupakan paradigma yang menurunkan
metodologi dan kerangka ontologis, yang satu sama lain berbeda. Dalam tempat
lain, paradigma adalah seperangkat keyakinan yang mendasar, semacam pandangan
dunia yang berfungsi untuk menuntun tindakan manusia, baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam karya ilmiyah. Paradigma juga sebagai langkah yang membatasi
sekaligus memperluas objek. Paradigma inilah sebagai bahan awal yang mengarahkan
pada perumusan paradigma baru dengan cara pemecahannya.
Metodologi adalah ilmu tentang
metoda, yang dipahami sebagai proses tentang kerja ilmuan sejak dari awal
sampai akhir.tulisan (keilmuan). Dari segi lain, metodologi biasa dikaitkan
dengan cakupan keseluruhan cara, seperti teori, metoda, dan teknik, termasuk
cara dan bahasanya. Atas dasar itu, metodologi adalah pemahaman mengenai
metoda, dan bukan cara kerjanya. Dengan kata lain, metodologi adalah bukan
metoda. Metodologi adalah analisis untuk memahami berbagai aturan.prosedur
dalam metoda tertentu.
Metodologi dalam ilmu tafsir al-Quran,
yang paling penting adalah falsafatnya yang dijabarkan dalam cara yang bersifat
praktis, sebagai metoda dan bukan sebagai objeknya. Kajian metodologi dipahami
dalam kaitannya dengan cara penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran yang
dilakukan oleh para ulama dalam menyusun fiqh, akidah, jender,organisasi
kemasyarakatan dan lain sebagainya. Untuk mempelajari model-model penafsiran
tadi, mufasir mempuyai tujuan terentu, yang diawali oleh rasa ingin tahu, atau diawali
oleh kepentingan tertentu, dan semacamnya. Kemudian mufassir berfikir sampai
menemukan keragu-raguan, ketimpangan, ketidak sesuaian, yang kemudian disimpulkan
sebagai suatu masalah. Kajian penafsiran ini dilakukan terus dari satu bab ke
bab yang lain, dari satu pasal ke pasal yang lain dan seterusnya. Di situ jelas
ada perbedaan metodologis antara tafsir model fiqh, model ilmu kalam, model
tafsir kemasyarakatan dan sebagainya, yang semua itu dinilai sebagai paradigma,
dengan tafsir al-Quran yang hendak dicapai sebagai paradigma baru.
Untuk mendukung analisa, definisi
metodologi memiliki tiga cara, baik berkaitan dengan konseptual atau
operasional, yang pada dasarnya menunjuk pada tiga ciri (1) metodologi sebagai
ilmu tentang metoda (2) metodologi berkaitan dengan ilmu-ilmu khusus seperti
ilmu kalam, fiqh, tasawuf dan lain-lain (3) metodologi bisa dipergunakan
sebagai cara pengumpulan data bagi ilmu khusus tersebut. Ciri yang ketiga ini
sering dilogikakan dengan pengertian metodologi sebagai cara pengumpulan bahan
penafsiran, atau bahan untuk menganalisa penelitian sehingga metodologi
disamakan dengan metoda. Karena itu, ciri yang ke tiga ini sering disebut
ambiguitas makna istilah metodologi itu sendiri. Untuk menjaga kehormatan
istilah, maka metodologi dipergunakan untuk ilmu yang terstruktur (science)
sedang metoda dipergunakan untuk pengetahuan (knowledge), dan untuk ilmu
(science) juga.
D. Penelitan al-Quran.
Uraian ini dikutip langsung dari
tulisan Cik Hasan Bisri (Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum, Fakultas Syari’ah
UIN “ SGD” Bandung ).
Tokoh peneliti yang kreatif ini menulis makalah ‘Penelitian al-Quran’yang oleh
Ketua Konsentrasi Studi al-Quran (1997-2010) dijadikan sebagai bahan kuliah
Metode Penelitian pada Semester Genap Studi al-Quran, Program Pascasarjana UIN
Bandung.
Fokus penelitian al-Quran dalam tulisan itu dapat
dipilih dari penyilangan yang diambil dari salah satu kelompok (A, B, atau C)[1]
digabungkan dengan salah satu dari kelompok (D.E. atau F)[2]
Salah satu dari kelompok ABC dipandang sebagai fokus yang sudah diketahui, dan
salah satu dari kelompok DEF dipandang sebagai fokus yang belum diketahui. (Tabel
I: Matriks Wilayah Penelitian Tesk dan Konteks). .Kalau penelitian itu diambil
dari salah satu kelompok (D, E. atau F) untuk disilangkan dengan salah satu
dari (A,B,C.), maka DEF dianggap sebagai fokus yang sudah diketahui, dan ABC
dipandang sebagai sesuatu yang belum diketahui.(Tabel II: Matriks Wilayah
Penelitian Konteks dan teks
Tabel 1;
Matriks Wilayah Penelitian Teks dan Konteks
Teks
Konteks
|
A
|
B
|
C
|
D
|
AD
|
BD
|
CD
|
E
|
AE
|
BE
|
CE
|
F
|
AF
|
BF
|
CF
|
Tabel 2: Matriks Wilayah Penelitian
Konteks dan Teks
Konteks
Teks
|
D
|
E
|
F
|
A
|
DA
|
EA
|
FA
|
B
|
DB
|
EB
|
FB
|
C
|
DC
|
EC
|
FC
|
Pemilahan wilayah penelitian itu
mengandung konsekuensi pemilihan pendekatan yang akan dilakukan; pemilihan
masalah penelitian yang tercakup dalam wilayah itu; pemilihan dan pengunaan
konsep, teori, kerangka berfikir (unsur informasi); dan penggu-naan metoda
penelitian, sumber data, cara pengumpulan dan cara analisis data yang paling
tepat; dan penentuan tempat penelitian yang akan dilaksanakan. Demikian pula, ia
dapat dijadikan titik tolak dalam mengarahkan kegiatan penelitian, apakah untuk
menguji gagasan yang telah ada atau untuk membangun gagasan baru. Atau mungkin,
untuk menyusun model-midel baru, yang dapat diidentifikasi sebagai teknologi
dalam arti perangkat lunak (software).
Berkenaan dengan pemilahan wilayah
penelitian itu, dalam pelaksanaan
penelitian al-Quran secara garis besar, dapat dipilih pendekatan yang dipandang
tepat. Yang dimaksud dengan pendekatan dalam tulisan ini adalah sudut pandang
terhadap wilayah penelitian di atas yang menurut penggunaan unsur informasi dan
unsur metodologi yang lazim dikembangkan dan yang akan digunakan. Hal ini
menunjukkan bahwa pandangan tentang aspek-aspek wilayah penelitian menurut
penggunaan unsur informasi dan unsur metodologi
yang tepat dan akirat.
Berkenaan dengan hal itu, terdapat
tiga pendekatan yang dapat dipilih dan digunakan . Pertama
pendekatan normatif yang dititik
beratkan pada upaya untuk mem-perteguh kebenaran kandungan al-Quran (Cf.
Waardenburg, 1998; 2-3), sebagaimana yang lazim dilakukan oleh ahli Ulum
al-Quran dan para mufassir. Studi tentang kemu’ jizatan al-Quran (I’ jaz
al-Quran) misalnya, baik dari segi
bahasa maupun konsistensinya lebih tepat menggunakan pendelatan ini. Kedua, pendekatan empirik atau pendekatan antropologis dan atau
pendekatan sosiologis, yang dititikberatkan pada upaya menggam-barkan dan
menjelaskan al-Quran sebagaimana apa adanya, baik dalam bentuk teks atau
konteks. Penelitian tentang sejarah al-Quran misalnya, lebih tepat menggunakan
pende-katan ini, meskipun tidak dapat dihindarkan kemunculan idealisasi “peristiwa
sejarah” karena terkait dengan keyakinan
peneliti. Ketiga pendekatan gabungan dari kedua pende-katan tersebut
(gabungan pendekatan normatof-mpirik) yang dititik beratkan pada upaya untuk
menjelaskan pertalian antara mempereguh kebenaran kandungan al-Quran dengan
suatu realitas dalam satu konteks yang sebenarnya. Kedua pendekatan itu
dipandang sebagai sesuatu yang saling melengkapi. Hubungan antara pilihan
wilayah penelitian dengan pendekatan yang akan digunakan, dapat diperagakan
sebagaimana terlihat di bawah ini.
Tabel 3; Pilihan Wilayah
dan Pendekatan dalam Penelitian
Pilahan Wilayah
Pendekatan
|
Teks
|
Konteks
|
||||
A
|
B
|
C
|
D
|
E
|
F
|
|
1. Normatif
|
A1
|
B1
|
C1
|
D1
|
E1
|
F1
|
2. Normatif-Empiris
|
A2
|
B2
|
C2
|
D2
|
E2
|
F2
|
3. Empiris
|
A3
|
B3
|
C3
|
D3
|
E3
|
F3
|
Berkenaan dengan pemilihan wilayah
penelitian dan pemilihan pendekatan sebagaimana dikemukakan di atas,
menunjukkan bahwa cakupan penelitian al-Quran terbentang luas dan dapat
dilakukan secara bervariasi. Namun demikian proporsi masing-masing wilayah
penelitian dan pendekatannya berbeda, baik besarannya maupun dalam realisasi
pnelitian yang menjadi pusat perhatian dan pilihan para peneliti al-Quran.
Dalam akhir makalahnya, Cik Hasan
Bisri mencontohkan beberapa judul penelitian al-Quran, kemudian diberi
penilaian dengan konsep penelitian yang ada dalam makalah itu. Antara lain
penelitian dengan judul; (1). Teologi Qurani oleh Ahmad Hidayat (CF). (2).
Pandangan al-Zanakhsyari tentang Kalam Allah, oleh Asep Muhyiddin (CF). (3).
Metode Penafsiran Ayat-ayat yang Berredaksi Mirip di dalam al-Quran,
oleh Nashruddin Baidan (C) .(4). Etika Beragama dalam al-Quran,
oleh Toshihiko Izutsu (CF). (5). Perkembangan Pemikiran Tafsir al-Quran
di Indonesia Setelah Kemerdekaan, oleh Nurwadjah Ahmad (CE). (6). Kajian
al-Quran di Indonesia
Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, oleh Federspiel, (EC).
Kalau judul-judul penelitian tadi
dikelompokkan dalam pilihan wilayah penelitian di atas, menunjukkan bahwa
proporsi terbesar penelitian itu adalah kelompok C dengan berbagai versi. Atau
dengan kata lain, masih cukup luas wilayah penelitian al-Quran yang belum
dijamah.
E. Penutup
. Sebagai
akhir kata, uraian di atas bersifat gagasan yang belum dicoba oleh banyak
lembaga. Karena itu, tulisan ini sangat terbuka untuk didiskusikan secara
keilmuan, dan dapat dikritik oleh setiap ilmuan atau lembaga yang akan mempergunakan
kurikulum ini.
Wallaahu a’lam bi al-shawaab.
Penulis adalah Rektor
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon .
Kurikulum Studi Al-Qur'an
Reviewed by Chozin Nasuha
on
04.51
Rating:
Tidak ada komentar: