Top Ad unit 728 × 90

Terbaru

recent

METODA KONVERGENSI UNTUK TAFSIR AL-QURAN

METODA KONVERGENSI UNTUK TAFSIR AL-QURAN
                                                           Oleh A. Chozin Nasuha

  1. Pembukaan
          Ulum al-Quran pada umumnya membagi manhaj penafsiran al-Quran menjadi tiga, yaitu manhaj naqli, manhaj ‘aqli, dan manhaj isyari. Tafsir al-Quran yang disusun dengan satu manhaj, naqli saja, atau isyari saja itu pada hakikatnya tidak terjadi. Jami’ al-Bayan karya al-Thabari misalnya, disebut tafsir maktsur (naqli), tetapi di dalamnya banyak penafsiran yang diulas dengan akal. Tafsit Mafatih al-Ghaib karya al-Razi adalah tafsir ‘aqli, tetapi di dalamnya banyak penafsiran yang dikutip dari tafsir sahabat Nabi, dan tabi’in. Tafsir Ibn Arabi yang berjudul, Rahmah min al-Rahman fi Tafsiri wa Isyarat al-Quran, adalah tafsir isyari tetapi dalam uraiannya banyak penafsiran yang dirasionalkan. Dengan demikian, tafsir al-Quran yang disebut tafsir maktsur, tafsir ma’qul, atau tafsir isyari itu hakikatnya adalah tafsir al-Quran yang diisi oleh dominasi satu manhaj saja. Sedang manhaj yang lain tetap dipergunakan, ketika penafsiran itu memerlukan uraian. Lebih dari itu, Muhammad Abduh dan mufassir yang memperhatikan masalah sosial, selalu menambah manhaj penafsiran lagi, yaitu Manhaj Waqi’i’. Melihat penafsiran yang umum seperti itu, apakah itu bisa disebut metoda konvergensi atau disebut apa namanya. Makalah ini mendiskusikan manhaj semacam itu seluas-seluasnya.
 
B. Kerangka berfikir tafsir al-Quran
       . Secara lahiri, banyak ayat al-Quran yang secara tekstualis mendukung teori mazhab ilmu Kalam tertentu.Antara lain ayat 29 Surat al-Kahfi “Faman syaa-a falyukmin waman syaaa falyakfur” (Maka barang siapa hendak (iman) maka berimanlah, dan barangsiapa hendak (kafir) maka kafirlah). Ayat ini secara tekstualis memberi legitimasi pada konsep Mu’tazilah. Dalam Surat al-Anfal ayat 17 Allah berkata “Falam taqtuluuhum walaakinn Allah qatalahum” (Maka bukan kaum yang membunuh mereka, tetapi Allah-lah yang membunuh mereka). Ayat ini secara tekstualis mendukung pemikiran Asy’ariyah. Selain dua ayat tadi banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang secara lahiriyah mendukung teori-teori sebuah konsep yang disusun oleh berbagai aliran dalam Islam. Pemikiran semacam itu bersifat ijtihadiyah dan bukan pemikiran qath’i. Karena itu semua pemikiran yang satu sama lain berbeda, tidak bisa disebut bahwa yang satu itu bid’ah atau sesat dan sebagainya, bahkan tidak bisa disebut tradisionalis, seperti penilaian Prof. Dr. Deliar Noor terhadap kaum muslimin yang tidak simpati pada organisasi kebanggaannya.         
          Kalau manhaj maktsuri, ma’quli, atau isyari itu dianggap satu disiplin, maka kalau ketiga-tiganya digabungkan untuk menyusun satu tafsir al-Quran, berarti bisa disebut tafsir multimanhaji. Kalau manhaj-manhaj itu dilacak secara keilmuan, maka tafsir maktsur diangkat dari ilmu hadits (al-summah), tafsir ‘aqli diangkat dari falsafat dan manthiq (penalaran), tafsir isyari diangkat dari ilmu tasawwuf, dan tafsir ‘waqi’i’ diangkat dari kenyataan sosial. Kalau ilmu-ilmu itu digabungkan untuk mengolah satu tafsir al-Quran, berarti tafsir itu diangkat dari metoda multi-disiplin.        
        Gambaran itu dapat dipilah menjadi tiga model, yaitu multidisiplin, transdisiplin dan krosdisiplin. Model multidisiplin di dalamnya memanfaatkan berbagai ilmu yang berbeda-beda seperti penggunaan ilmu-ilmu hadits, filsafat, tasawuf, dan ilmu-ilmu sosial untuk satu tafsir al-Quran, sebagaimana terjadi pada Tafsir al-Thabari
         Model transdisiplin, atau antardisipilin, atau juga disebut lintasdisipilin adalah dua metoda atau dua model ilmu (kerangka berfikir) yang bertentangan, dipergunakan untuk memecahkan satu tafsir al-Quran. Contohnya seperti ayat 103 Surat al-An’am; ”Laa tudrikuhu al-abshaaru wahuwa yudriku al-abshaar” (Allah tidak bisa dicapai oleh penglihatan mata, dan Dia dapat melihat segala (macam) mata). Untuk menafsirkan ayat ini, semua aliran ilmu Kalam menggunakan teori muhkam dan mutasyabih. Mu’tazilah menilai bahwa ayat itu muhkamat, karena itu tidak perlu ada ta’wil. Konsekuensinya, Allah tidak bisa dilihat oleh mata makhluk, baik di dunia atau di akhirat. Allah adalah in-materi, sedangkan semua makhluk adalah materi. Karena itu semua materi tidak akan mampu melihat in-materi, di dunia atau di akhirat. Sedangkan menurut Asy’ariyah ayat itu mutasyabihat, karena itu harus diberi ta’wil. Ayat itu mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat (yakni di dunia dan bukan di akhirat). Konsekuensinya, Allah dapat dilihat, tetapi nanti ketika kaum muslimin ada di akhirat (sorga). Ta’wil ini diangkat dari pemikiran, bahwa Allah adalah Zat yang wujud, maka semua yang wujud itu dapat dilihat.   
        Selain teori muhkam-mutasyabih, Ulum al-Quran juga mengangkat antardisiplin pada penggunaan teori balaghah, hakikat dan majaz. Contohnya seperti kata al-jannah dalam ayat 35 Surat al-Baqarah “Waqulnaa yaa Adam uskun anta wazaujuka al-jannah” (..dan Kami katakan: Hai Adam bertempatlah kamu dan istrimu di sorga). Kata al-jannah (sorga) di sini dapat dinilai hakikat atau majaz. Kalau itu hakikat berarti Adam waktu itu bertempat di sorga akhirat yang dijanjikan untuk kaum muslimin.Tetapi kalau al-jannah itu majaz, berarti Adam waktu itu bertempat di dunia ini yang ni’mat dan indah yang menyerupai kisah sorga di akhirat..        
         Krosdisiplin atau interdisiplin adalah dua ilmu yang dipergunakan untuk menerap-kan tafsir al-Quran pada berbagai kawasan yang satu sama lain berbeda. Dua ilmu di sini adalah menafsirkan ayat al-Quran dengan studi teks dan dengan studi konteks. Studi teks menggunakan teori ilmu tafsir seperti naqli, rakyi, atau isyari dan sebagainya, sedangkan studi konteks dapat menggunakan teori-teori ilmu sejarah, atau antropologi, atau sosilogi dan sebagainya, untuk megungkap keilmuan yang dibawakan oleh teks itu. Demikian uraian seperti itu cocok atau tidak cocok dengan istilah krosdisiplin, tetapi langkah seperti itu sangat diperlukan oleh pengembangan tafsir al-Quran. Suatu contoh seperti penafsiran ayat 125 Surat al-Nahl “Ud’u ilaa sabiili Rabbika bi al-hikmati wa al-mau’izha’t al-hasana’t wajaadilhum bi allatii hia ahsan” (Ajaklah (manusia) kepada Tuhanmu (Allah) dengan hikmah dan penjelasan yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik). Tafsiran ayat ini dapat diberi makna secara tekstualis seperti makna yang biasa dibawakan oleh setiap mufassir sepanjang zaman. Tetapi dari segi penerapan (konteks) maka terjadi perbedaan antara da’wah zaman dulu, da’wah zaman sekarang, dan da’wah pada zaman yang akan datang. Begitu pula penerapannya perlu dibedakan antara model da’wah di kota atau di kampung, dan da’wah di Indonesia dengan da’wah di negara lain, dan sebagainya.   
        Masalah yang perlu diperhatikan dalam tafsir al-Quran yang memakai multidisiplin adalah penerapan adanya disiplin utama sebagai disiplin mayor. Sedangkan disiplin lain berfungsi sebagai subbordinasi. Disiplin mayor adalah disiplin yang mendominasi keseluruhan tafsir al-Quran, sedangkan subbordinasinya hanya bekerja sebagai penunjang, seperti Tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari. Disiplin mayor tafsir ini adalah pemahaman sastra Arab tehadap ayat-ayat al-Quran, sedangkan subbordinasinya adalah penerapan ta’wil terhadap ayat-ayat yang dinilai mutasyabihat agar sejalan dengan teori ilmu kalam Mu’tazilah. Secara metodologis kesulitan model ini sering timbul dalam penggunaan multidisiplin, ketika mufasir menurunkan beberapa disiplin ilmu yang semua memiliki paradigma, atau teori yang bervariasi. Meskipun begitu ketajaman analisa bagi seorang mufasir dapat diterapkan, seperti contoh yang ada pada tafsir al-Kasysyaf tadi.
         Sedangkan model kedua, mufasir pada umumnya mempertimbangkan kemungkinan ketepatan penafsiran al-Quran agar sejalan dengan konsep yang dianut oleh mufassir tadi. Model ini sudah banyak diterapkan oleh mufasir klasik, terutama tentang ilmu kalam atau masalah fiqhiyah. Secara keseluruhan semua kerangka berfikir di atas memiliki kelebihan dan kekurangan secara metodologis, tetapi semua diperlukan untuk tafsir al-Quran
   
C. Analisa penafsiran
      Tafsir al-Quran paling tidak memerlukan tiga studi, yaitu (a) bacaan teks al-Quran dari segi tajwid sampai qiraat. (b) konsep apa yang dibawakan oleh teks itu (makna), yang dapat difahami oleh mufasir, dan (c) Model apa yang perlu dilakukan oleh mufasir agar makna teks itu sejalan dengan perkemabngan masyarakat. Kalau analisa penafsiran isi teks itu diterapkan pada sebuah model penelitian, maka model penafsiran ini dapat dikembangkan menjadi model-model penafsiran tekstualis, penafsiran naqli, akli, dan penafsiran isyari yang berfikir deduktif, dugabungkan dengan penafsiran akli dan waqi’i yang menggunakan teori asbab al-nuzul dengan berfikir deduktuf dan induktif. Semua model penafsiran itu silih berganti sesuai kebutuhan tafsir al-Quran. Itulah salah satu model “konvergensi” dalam tafsir al-Quran. . 
        Ad. a) Bacaan teks al-Quran harus fashih dan tidak merubah atau menukar satu huruf dengan huruf lain, seperti huruf zay diganti atau dibaca jim, shad diganti menjadi sin, dan sebagainya. Penukaran kata semacam itu dapat merubah makna teks al-Quran.
       Ad. b) Makna ayat al-Quran dapat diambil dari salah satu dari tiga macam, yaitu (b1) makna yang mengalihkan bahasa Arab ayat menjadi bahasa yang bukan Arab, yang dibutuhkan oleh mufasir. (b2) makna yang mendatangkan gambaran atau penyusunan konsep dalam hati atau dalam akal, karena tersentuh oleh lafazh yang ada pada ayat al-Quran yang dibaca (hermeneutika yang diangkat secara filosofis). (b3) makna yang muncul karena ditunjang oleh faktor luar untuk mencapai maksud yang dituju oleh mufasir (hermneutika yang ditunjang oleh ilmu soasial)         
        Ad. c) Tafsir al-Quran akan sempurna jika penafsiran itu menggunakan salah satu dari tiga model penafsiran seperi tersebut di atas. Yaitu (c1) Penafsiran tekstualis terhadap ayat al-Quran dengan mengikuti penafsiran Ibn Hanbal, Ibn Jarir al-Thabaru, dan Dawud al-Zhahiri. Mereka selalu mengandalkan makna teks tanpa menggunakan hermeneutika yang macam-macam, dan tidak menerapkan ta’wil, meskipun ayat itu mutasyabihat. Ayat model ini oleh kebanyakan ulama diberi ta’wil  Contoh seperti ayat yang menyebutkan wajh Allah atau yad Allah dan semacamnya. Wajh Allah bermakna wajah Allah, dan yad Allah bermakna tangan Allah. Tetapi mereka yakin bahwa wajah Allah dan tangan Allah itu berbeda dengan wajah dan tangan makhluk. Teori penafsiran model ini kemudian dikembangkan oleh Ibn Taymiyah dengan teori model positifisme. (c2) Penafsiran naqli yang diterapkan pada penafsiran ayat al-Quran dengan menggunakan metoda deduktif. (c3) Penafsiran ‘aqli dan waqi’i yang diterapkan untuk menafsirkan ayat al-Quran dengan menggunakan teori asbab al-nuzul, dengan menggunakan mertoda induktif. Suatu contoh; ayat tertentu turun di Madinah atau di Makah dan ditafsirkan oleh ulama menjadi hukum atau teori a.b.c, dan sebagainya. Kemudian bagaimana seandainya ayat itu ditafsirkan dengan mengembangkan teori asbab al-nuzul yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi masyarakat Jawa Barat misalnya. Maka mungkin isi tafsir itu sama a.b.c, atau mungkin juga tidak sama. Hukum atau teori yang dikutip dari ayat al-Quran yang ditafsirkan dengan melihat teori asbab al-nuzul di Madinah atau di Makkah suatu saat tetap dan suatu saat berubah. Perbedaan itu terjadi karena perubahan waktu, tempat, kultur dan struktur masyarakat, dan sebagainya.
      Perbedaan dan perkembangan model-model hukum fiqh atau teori keagamaan lainnya itu tergambar melalui perbedaan mazhab dan perbedaan ilmu Kalam. Lebih berbeda lagi pemikiran kaum muslimin tentang konsep pengembangan Islam. Semua itu bersifat pemikiran plus ijtihadi, dan bukan merupakan dasar agama yang given atau paten. Tafsir al-Quran yang dikelola dengan berbagai metoda itu isinya adalah pemikiran manusiawi dan bukan hakikat al-Quran. Kalau ada pengakuan yang mengatakan bahwa dirinya kembali kepada Quran-Hadits itu hanya suatu ucapan yang tidak jelas, karena tidak menurunkan kerangka berfikir dan metoda yang bermutu seperti sudah dilakukan oleh mufasir besar pada umumnya. Metoda konvergensi ini diturunkan dengan maksud agar kaum muslimin mampu dan mau berfikir pluralis, dan tidak menuduh orang lain itu bid’ah, jumud, sesat, tradisionalis, atau aliran kiri, dan sebagainya.
        Dalam kenyataan, tafsir al-Quran yang ditulis dengan metoda ‘konvergensi’ itu belum ada, antara lain karena belum ada tafsir al-Quran yang diangkat dari hasil penelitian, di suatu kawasan. Dari segi lain manhaj waqi’i yang konsepnya sudah ditulis bersama manhaj-manhaj naqli, ‘aqli dan isyari, di atas belum pernah didiskusikan oleh ilmuan mufassir. Padahal penulis makalah ini menunggu kritikan dari pembaca untuk mencari kemajuan ilmu tafsir al-Quran lebih lanjut.
        Wallaahu a’lam bi al-shawaab.
(Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon).
METODA KONVERGENSI UNTUK TAFSIR AL-QURAN Reviewed by Chozin Nasuha on 06.00 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by Chozin Nasuha Official Web © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by Sweetheme

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.