METODA KONVERGENSI UNTUK TAFSIR AL-QURAN
METODA KONVERGENSI UNTUK TAFSIR
AL-QURAN
Oleh A. Chozin Nasuha
- Pembukaan
Ulum al-Quran pada umumnya membagi manhaj penafsiran al-Quran menjadi
tiga, yaitu manhaj naqli, manhaj ‘aqli, dan manhaj isyari.
Tafsir al-Quran yang disusun dengan satu manhaj, naqli saja, atau isyari
saja itu pada hakikatnya tidak terjadi. Jami’ al-Bayan karya al-Thabari
misalnya, disebut tafsir maktsur (naqli), tetapi di dalamnya banyak
penafsiran yang diulas dengan akal. Tafsit Mafatih al-Ghaib karya
al-Razi adalah tafsir ‘aqli, tetapi di dalamnya banyak penafsiran yang
dikutip dari tafsir sahabat Nabi, dan tabi’in. Tafsir Ibn Arabi yang berjudul, Rahmah
min al-Rahman fi Tafsiri wa Isyarat al-Quran, adalah tafsir isyari
tetapi dalam uraiannya banyak penafsiran yang dirasionalkan. Dengan demikian,
tafsir al-Quran yang disebut tafsir maktsur, tafsir ma’qul, atau
tafsir isyari itu hakikatnya adalah tafsir al-Quran yang diisi oleh
dominasi satu manhaj saja. Sedang manhaj yang lain tetap dipergunakan, ketika
penafsiran itu memerlukan uraian. Lebih dari itu, Muhammad Abduh dan mufassir
yang memperhatikan masalah sosial, selalu menambah manhaj penafsiran lagi,
yaitu Manhaj Waqi’i’. Melihat penafsiran yang umum seperti itu, apakah
itu bisa disebut metoda konvergensi atau disebut apa namanya. Makalah ini
mendiskusikan manhaj semacam itu seluas-seluasnya.
B. Kerangka berfikir tafsir al-Quran
.
Secara lahiri, banyak ayat al-Quran yang secara tekstualis mendukung teori
mazhab ilmu Kalam tertentu.Antara lain ayat 29 Surat al-Kahfi “Faman syaa-a
falyukmin waman syaaa falyakfur” (Maka barang siapa hendak (iman)
maka berimanlah, dan barangsiapa hendak (kafir) maka kafirlah). Ayat ini secara
tekstualis memberi legitimasi pada konsep Mu’tazilah. Dalam Surat al-Anfal
ayat 17 Allah berkata “Falam taqtuluuhum walaakinn Allah qatalahum”
(Maka bukan kaum yang membunuh mereka, tetapi Allah-lah yang membunuh mereka).
Ayat ini secara tekstualis mendukung pemikiran Asy’ariyah. Selain dua ayat tadi
banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang secara lahiriyah mendukung teori-teori
sebuah konsep yang disusun oleh berbagai aliran dalam Islam. Pemikiran semacam
itu bersifat ijtihadiyah dan bukan pemikiran qath’i. Karena itu
semua pemikiran yang satu sama lain berbeda, tidak bisa disebut bahwa yang satu
itu bid’ah atau sesat dan sebagainya, bahkan tidak bisa disebut tradisionalis, seperti
penilaian Prof. Dr. Deliar Noor terhadap kaum muslimin yang tidak simpati pada
organisasi kebanggaannya.
Kalau manhaj maktsuri, ma’quli, atau isyari
itu dianggap satu disiplin, maka kalau ketiga-tiganya digabungkan untuk
menyusun satu tafsir al-Quran, berarti bisa disebut tafsir multimanhaji. Kalau
manhaj-manhaj itu dilacak secara keilmuan, maka tafsir maktsur diangkat
dari ilmu hadits (al-summah), tafsir ‘aqli diangkat dari falsafat dan manthiq
(penalaran), tafsir isyari diangkat dari ilmu tasawwuf, dan tafsir ‘waqi’i’
diangkat dari kenyataan sosial. Kalau ilmu-ilmu itu digabungkan untuk mengolah
satu tafsir al-Quran, berarti tafsir itu diangkat dari metoda multi-disiplin.
Gambaran itu dapat dipilah menjadi tiga model, yaitu multidisiplin,
transdisiplin dan krosdisiplin. Model multidisiplin di dalamnya memanfaatkan
berbagai ilmu yang berbeda-beda seperti penggunaan ilmu-ilmu hadits, filsafat,
tasawuf, dan ilmu-ilmu sosial untuk satu tafsir al-Quran, sebagaimana terjadi
pada Tafsir al-Thabari.
Model transdisiplin, atau antardisipilin, atau juga disebut
lintasdisipilin adalah dua metoda atau dua model ilmu (kerangka berfikir) yang
bertentangan, dipergunakan untuk memecahkan satu tafsir al-Quran. Contohnya
seperti ayat 103 Surat al-An’am; ”Laa tudrikuhu al-abshaaru wahuwa yudriku
al-abshaar” (Allah tidak bisa dicapai oleh penglihatan mata, dan Dia dapat
melihat segala (macam) mata). Untuk menafsirkan ayat ini, semua aliran ilmu
Kalam menggunakan teori muhkam dan mutasyabih. Mu’tazilah menilai
bahwa ayat itu muhkamat, karena itu tidak perlu ada ta’wil.
Konsekuensinya, Allah tidak bisa dilihat oleh mata makhluk, baik di dunia atau
di akhirat. Allah adalah in-materi, sedangkan semua makhluk adalah materi.
Karena itu semua materi tidak akan mampu melihat in-materi, di dunia atau di
akhirat. Sedangkan menurut Asy’ariyah ayat itu mutasyabihat, karena itu
harus diberi ta’wil. Ayat itu mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat (yakni
di dunia dan bukan di akhirat). Konsekuensinya, Allah dapat dilihat, tetapi nanti
ketika kaum muslimin ada di akhirat (sorga). Ta’wil ini diangkat dari
pemikiran, bahwa Allah adalah Zat yang wujud, maka semua yang wujud itu dapat
dilihat.
Selain teori muhkam-mutasyabih, Ulum al-Quran juga mengangkat
antardisiplin pada penggunaan teori balaghah, hakikat dan majaz. Contohnya
seperti kata al-jannah dalam ayat 35 Surat al-Baqarah “Waqulnaa yaa
Adam uskun anta wazaujuka al-jannah” (..dan Kami katakan: Hai Adam bertempatlah
kamu dan istrimu di sorga). Kata al-jannah (sorga) di sini dapat dinilai
hakikat atau majaz. Kalau itu hakikat berarti Adam waktu itu bertempat di sorga
akhirat yang dijanjikan untuk kaum muslimin.Tetapi kalau al-jannah itu
majaz, berarti Adam waktu itu bertempat di dunia ini yang ni’mat dan indah yang
menyerupai kisah sorga di akhirat..
Krosdisiplin atau interdisiplin adalah dua ilmu yang dipergunakan untuk
menerap-kan tafsir al-Quran pada berbagai kawasan yang satu sama lain berbeda.
Dua ilmu di sini adalah menafsirkan ayat al-Quran dengan studi teks dan dengan
studi konteks. Studi teks menggunakan teori ilmu tafsir seperti naqli, rakyi,
atau isyari dan sebagainya, sedangkan studi konteks dapat menggunakan
teori-teori ilmu sejarah, atau antropologi, atau sosilogi dan sebagainya, untuk
megungkap keilmuan yang dibawakan oleh teks itu. Demikian uraian seperti itu
cocok atau tidak cocok dengan istilah krosdisiplin, tetapi langkah seperti itu
sangat diperlukan oleh pengembangan tafsir al-Quran. Suatu contoh seperti
penafsiran ayat 125 Surat al-Nahl “Ud’u ilaa sabiili Rabbika bi al-hikmati
wa al-mau’izha’t al-hasana’t wajaadilhum bi allatii hia ahsan” (Ajaklah
(manusia) kepada Tuhanmu (Allah) dengan hikmah dan penjelasan yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik). Tafsiran ayat ini dapat diberi
makna secara tekstualis seperti makna yang biasa dibawakan oleh setiap mufassir
sepanjang zaman. Tetapi dari segi penerapan (konteks) maka terjadi perbedaan
antara da’wah zaman dulu, da’wah zaman sekarang, dan da’wah pada zaman yang
akan datang. Begitu pula penerapannya perlu dibedakan antara model da’wah di
kota atau di kampung, dan da’wah di Indonesia dengan da’wah di negara lain, dan
sebagainya.
Masalah yang perlu diperhatikan dalam tafsir al-Quran yang memakai
multidisiplin adalah penerapan adanya disiplin utama sebagai disiplin mayor.
Sedangkan disiplin lain berfungsi sebagai subbordinasi. Disiplin mayor adalah disiplin
yang mendominasi keseluruhan tafsir al-Quran, sedangkan subbordinasinya hanya
bekerja sebagai penunjang, seperti Tafsir al-Kasysyaf karya
al-Zamakhsyari. Disiplin mayor tafsir ini adalah pemahaman sastra Arab tehadap
ayat-ayat al-Quran, sedangkan subbordinasinya adalah penerapan ta’wil terhadap
ayat-ayat yang dinilai mutasyabihat agar sejalan dengan teori ilmu kalam
Mu’tazilah. Secara metodologis kesulitan model ini sering timbul dalam
penggunaan multidisiplin, ketika mufasir menurunkan beberapa disiplin ilmu yang
semua memiliki paradigma, atau teori yang bervariasi. Meskipun begitu ketajaman
analisa bagi seorang mufasir dapat diterapkan, seperti contoh yang ada pada
tafsir al-Kasysyaf tadi.
Sedangkan model kedua, mufasir pada umumnya mempertimbangkan kemungkinan
ketepatan penafsiran al-Quran agar sejalan dengan konsep yang dianut oleh
mufassir tadi. Model ini sudah banyak diterapkan oleh mufasir klasik, terutama
tentang ilmu kalam atau masalah fiqhiyah. Secara keseluruhan semua kerangka
berfikir di atas memiliki kelebihan dan kekurangan secara metodologis, tetapi
semua diperlukan untuk tafsir al-Quran
C. Analisa penafsiran
Tafsir
al-Quran paling tidak memerlukan tiga studi, yaitu (a) bacaan teks al-Quran
dari segi tajwid sampai qiraat. (b) konsep apa yang dibawakan oleh teks itu (makna),
yang dapat difahami oleh mufasir, dan (c) Model apa yang perlu dilakukan oleh
mufasir agar makna teks itu sejalan dengan perkemabngan masyarakat. Kalau
analisa penafsiran isi teks itu diterapkan pada sebuah model penelitian, maka
model penafsiran ini dapat dikembangkan menjadi model-model penafsiran
tekstualis, penafsiran naqli, akli, dan penafsiran isyari yang berfikir
deduktif, dugabungkan dengan penafsiran akli dan waqi’i yang menggunakan teori asbab
al-nuzul dengan berfikir deduktuf dan induktif. Semua model penafsiran itu
silih berganti sesuai kebutuhan tafsir al-Quran. Itulah salah satu model
“konvergensi” dalam tafsir al-Quran. .
Ad.
a) Bacaan teks al-Quran harus fashih dan tidak merubah atau menukar satu
huruf dengan huruf lain, seperti huruf zay diganti atau dibaca jim,
shad diganti menjadi sin, dan sebagainya. Penukaran kata semacam itu
dapat merubah makna teks al-Quran.
Ad.
b) Makna ayat al-Quran dapat diambil dari salah satu dari tiga macam, yaitu (b1)
makna yang mengalihkan bahasa Arab ayat menjadi bahasa yang bukan Arab, yang
dibutuhkan oleh mufasir. (b2) makna yang mendatangkan gambaran atau penyusunan
konsep dalam hati atau dalam akal, karena tersentuh oleh lafazh yang ada pada
ayat al-Quran yang dibaca (hermeneutika yang diangkat secara filosofis). (b3)
makna yang muncul karena ditunjang oleh faktor luar untuk mencapai maksud yang
dituju oleh mufasir (hermneutika yang ditunjang oleh ilmu soasial)
Ad.
c) Tafsir al-Quran akan sempurna jika penafsiran itu menggunakan salah satu
dari tiga model penafsiran seperi tersebut di atas. Yaitu (c1) Penafsiran
tekstualis terhadap ayat al-Quran dengan mengikuti penafsiran Ibn Hanbal, Ibn
Jarir al-Thabaru, dan Dawud al-Zhahiri. Mereka selalu mengandalkan makna teks tanpa
menggunakan hermeneutika yang macam-macam, dan tidak menerapkan ta’wil,
meskipun ayat itu mutasyabihat. Ayat model ini oleh kebanyakan ulama
diberi ta’wil Contoh seperti ayat
yang menyebutkan wajh Allah atau yad Allah dan semacamnya. Wajh
Allah bermakna wajah Allah, dan yad Allah bermakna tangan Allah.
Tetapi mereka yakin bahwa wajah Allah dan tangan Allah itu berbeda dengan wajah
dan tangan makhluk. Teori penafsiran model ini kemudian dikembangkan oleh Ibn
Taymiyah dengan teori model positifisme. (c2) Penafsiran naqli yang
diterapkan pada penafsiran ayat al-Quran dengan menggunakan metoda deduktif. (c3)
Penafsiran ‘aqli dan waqi’i yang diterapkan untuk menafsirkan
ayat al-Quran dengan menggunakan teori asbab al-nuzul, dengan
menggunakan mertoda induktif. Suatu contoh; ayat tertentu turun di Madinah atau
di Makah dan ditafsirkan oleh ulama menjadi hukum atau teori a.b.c, dan
sebagainya. Kemudian bagaimana seandainya ayat itu ditafsirkan dengan
mengembangkan teori asbab al-nuzul yang dikaitkan dengan situasi dan
kondisi masyarakat Jawa Barat misalnya. Maka mungkin isi tafsir itu sama a.b.c,
atau mungkin juga tidak sama. Hukum atau teori yang dikutip dari ayat al-Quran
yang ditafsirkan dengan melihat teori asbab al-nuzul di Madinah atau di
Makkah suatu saat tetap dan suatu saat berubah. Perbedaan itu terjadi karena
perubahan waktu, tempat, kultur dan struktur masyarakat, dan sebagainya.
Perbedaan dan perkembangan model-model hukum fiqh atau teori keagamaan
lainnya itu tergambar melalui perbedaan mazhab dan perbedaan ilmu Kalam. Lebih
berbeda lagi pemikiran kaum muslimin tentang konsep pengembangan Islam. Semua
itu bersifat pemikiran plus ijtihadi, dan bukan merupakan dasar agama yang
given atau paten. Tafsir al-Quran yang dikelola dengan berbagai metoda itu
isinya adalah pemikiran manusiawi dan bukan hakikat al-Quran. Kalau ada
pengakuan yang mengatakan bahwa dirinya kembali kepada Quran-Hadits itu hanya
suatu ucapan yang tidak jelas, karena tidak menurunkan kerangka berfikir dan
metoda yang bermutu seperti sudah dilakukan oleh mufasir besar pada umumnya.
Metoda konvergensi ini diturunkan dengan maksud agar kaum muslimin mampu dan
mau berfikir pluralis, dan tidak menuduh orang lain itu bid’ah, jumud, sesat,
tradisionalis, atau aliran kiri, dan sebagainya.
Dalam kenyataan, tafsir al-Quran yang ditulis dengan metoda ‘konvergensi’
itu belum ada, antara lain karena belum ada tafsir al-Quran yang diangkat dari
hasil penelitian, di suatu kawasan. Dari segi lain manhaj waqi’i yang
konsepnya sudah ditulis bersama manhaj-manhaj naqli, ‘aqli dan isyari,
di atas belum pernah didiskusikan oleh ilmuan mufassir. Padahal penulis makalah
ini menunggu kritikan dari pembaca untuk mencari kemajuan ilmu tafsir al-Quran
lebih lanjut.
Wallaahu
a’lam bi al-shawaab.
(Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon).
METODA KONVERGENSI UNTUK TAFSIR AL-QURAN
Reviewed by Chozin Nasuha
on
06.00
Rating:
Tidak ada komentar: