Kitab Nahwu Sebelum Ibnu Malik
Oleh A. Chozin Nasuha
A. Pembukaan
Belasan
tahun yang lalu, artikel “Ibn Malik Pengarang Alfiyah” dikirimkan oleh
penulisnya kepada sebuah majalah di Surabaya, dan diterima. Tetapi judulnya
dirubah dan uraian diutak-atik, sehingga penulis sendiri malu membaca tulisan
itu. Anehnya tulisan yang diutak-atk tadi tidak laku dibaca, tetapi tulisan
yang asli justru banyak yang menulis ulang. Pada tanggal 21 September 2012, www.dpryes.blogspot.com
sekelompok sarjana mengutip tulisan asli dengan materi yang tidak dirubah: “Ibn
Malik pengarang Alfiyah”. Kutipan itu ditulis di bawah foto guru dan santri
yang mempelajari ilmu itu. Selain itu banyak lembaga lain yang menulis ulang untuk
disampaikan kepada murid-muridnya. Atas dasar itu berarti biografi Alfiyah
diminati oleh kaum santri pada umumnya. Untuk menambah informasi semacam itu,
tulisan ini menyajikan “Kitab Nahwu Sebelum Ibn Malik.” Tetapi sebelum itu, ada
sajian tentang al-Thabaqat, al- Fihrasatt, dan al-Tarajim
B. Kitab Thabaqat dan Tarajim
Setelah al-Imam
Sibawaih wafat (153 H-770 M), seratusan tahun berikutya al-Mubarrad (w.285 H)
menulis kitab Thabaqat al-Nahwiyyin al-Bashriyyin wa Akhbari-him. Tetapi
kitab itu tidak ditemukan secara lengkap. Kemudian muncul kitab yang lengkap
yang ditulis oleh al-Sairafi (w. 368 H) dengan judul Akhbar al-Nahwiyyin al-Bashriyyin. Isi
kitab itu diduga sama atau mirip dengan karya al-Mubarrad tadi, bahkan kitab
itulah yang dijadikan pegangan oleh al-Sairafi dalam menyusun kitabnya. Dua
kitab itu mengabstaksikan beberapa kitab dan biografi ulama Bashrah.
Tahun berikutnya Abu Bakr al-Zubaidi (w. 379 H) menulis kitab Thabaqat
al-Nahwiyyin wa al-Lughawiyyin. Tokoh kelahiran Andalus ini belajar ilmu di
Irak hingga memahami kehidupan budaya Timur, dicampur budaya Maroko dan
Andalusia, tentang ilmu nahwu dan bahasa Arab.
Gagasan lain, adalah Ibn al-Nadim (w. 377 H) menyusun Al-Fihrasat.
Ulasan pertama, mengenalkan penulis ilmu
nahwu dan bahasa. Bab kedua Ibn al-Nadim dalam kitabnya, Akhbar al-Nahwiyyin
wa al-Lughawiyyin, mengutip tulisan al-Sairafi ditambah ulasan yang
berkembang pada masanya. Ibn al-Nadim dalam kitab itu membagi teori nahwiyah
menjadi aliran Bashrah, Kufah, dan aliran yang menggabungkan dua mazhab. Atas
dasar itu Ibn al-Nadim dinilai tokoh pertama yang menghimpun pemikiran dan
biografi ulama nahwiyah, dari masa lahirnya ilmu nahwu sampai akhir
kegiatan Ibn al-Nadim itu sendiri.
Perkembangan berikutnya, banyak kitab tentang biografi tokoh nahwu dan
bahasa yang digabungkan dengan ilmu lain. Model penyajiannya berbeda dengan
kitab thabaqat. Materi kitab thabaqat disajikan berdasarkan
urutan waktu, sedangkan penyajian kitab ini memakai abjad dengan nama hakikat,
seperti Sibawaih ditulis Amr ibn Utsman, Al-Mubarrad ditulis Muhammad ibn Yazid
dan sebagainya.
Setelah masuk abad ke lima dan keenam hijriyah, muncul dua kitab
biografi ahli nahwu yaitu Tarikh Baghdad karya al-Khathib al-Baghdadi
(w. 463 H) dan Nuzhat al-Alibba fi Thabaqat al-Udaba karya Ibn al-Anbari
(w.577 H). Tarikh Baghdad ini bukan Tarikh Baghdad yang umum, tetapi hanya
kitab yang menyajikan biografi tokoh-tokoh
kelahiran, pendidikan dan aktifitas ulama di Baghdad saja. Kitab ini
menyajikan biografi tokoh-tokoh besar kebudayaan dan peradaban Islam sampai
abad lima hijriyah. Tokoh ini juga menulis ahli-ahli nahwu Baghdad, tetapi
tidak mengklasifikasi tokoh-tokoh itu, sehingga karya al-Khathib dibedakan
dengan karya Ibn al-Nadim.
Kitab al-Nuzhaht karya Ibn al-Anbari adalah kitab kecil yang
meringkas materi kitab-kitab masa lalu, terutama kitab Ibn al-Nadim dan Tarikh
Baghdad. Kitab ini muncul baru dengan menyajikan ahli nahwu yang
geografinya sudah ditulis oleh pengarang sebelum Ibn al-Anbari. Meskipun begitu
keabsahan biografi ahli bahasa dan ahli nahwu tadi, tetap dikembalikan pada
biografi yang pertama.
Setelah memasuki abad ketujuh hijriyah biografi ahli-ahli nahwu tersaji
dalam karangan tiga tokoh. Yaitu Inbah al-Ruwat ’ala Anbah al-Nuhat karya
al-Qufathi (w. 634 H), Irsyad al-Arib ila Ma’rifat al-Adib karya Yaqut
al-Hamawi (w. 626 H), dan Wufyat al-A’yan karya Ibn Khilikkan (w. 681
H).
Al-Quthafi adalah penulis Mesir, yang menyajikan karya tokoh-tokoh
Mesir, ditambah pemikiran ulama yang menulis kitab bahasa dan nahwu dari Hijaz,
Yaman, Bahrain, Oman, Yamamah, Irak, Fersia, Khurasan, Syam (Siria), Mesir,
Afrika (Sudan), Maghrabi (Maroko), Andalusia, Cisilia, dan kota-kota besar yang
ada di Uzbekistan, Krighistan, dan negara-negara lain yang kini masuk Uni
Sovyet. Kitab itu mengutip berbagai masalah dan menyajikan biografi tokoh-tokoh
bahasa yang profesional, dari berbagai daerah itu tadi, sampai pada masa hidup
penulis sendiri. Hanya saja, dia tidak menyajikan hal baru tentang ilmu nahwu,
karena tulisannya hanya mengutip karya abad empat hijriyah, terutama kitab
Al-Sairafi dan kitab Ibn al-Nadim.
Yaqut al-Hamawiy dalam kitabnya, al-Irsyad menyajikan biografi
tokoh-tokoh profesional tentang berbagai ilmu yang berbeda-beda yang ada pada
masanya, termasuk budayawan dan sastrawan besar. Karena itu kitabnya disebut “ Mu’jam
al-Udabaa” yang oleh penulisnya
dibuat khusus untuk biografi ahli nahwu dan bahasa saja. Materi yang dikutip oleh
Yaqut banyak sekali terutama Al-Fihrasat
karya Ibn al-Nadim, ditambah
kutipan dari kitab-kitab lain. Di samping itu Yaqut juga banyak mengutip tulisan
dari kitab lain, antara lain dari al-Sairafi, dan Hasan ibn Abdillah dalam
kitab al-Thabaqat dan al-Fihrasat. Kutipan
Yaqut yang paling banyak disajikan adalah karya al-Sairafi yang diulas oleh muridnya,
Abu Hayyan al-Tawhidi. Bahkan kutipan yang banyak adalah kitab Muhadlarat al-Ulama, Matsalib al-Wazirin,
al-Imta’ wa al-Muanisah, termasuk
kitab Kritik al-Jahizh. Kitab yang akhir ini Mu’tazilah maka tidak
dikutip kecuali oleh Yaqut dalam kitabnya, Irsyad al-Arib.
Ibn Khilikkan dalam Wufyat
al-A’yan menyajikan materi setiap nama tokoh ditulis dan diurutkan memakai abjad.
Materinya dikutip dari kitab-kitab masa lalu dengan memilih ulama profesional.
Model ini dikoreksi berkali-kali dan disebarkan pada tahun 654 H. Ia
berpendapat bahwa penyajian tokoh dengan diurutkan memakai abjad itu lebih jeli
dan lebih jelas dari pada penyajian tokoh melalui sirkulasi waktu. Dengan
penyajian ini, al-Wufyat banyak dipuja oleh
pembaca, karena banyak juga biografi tokoh yang ditemukan, yang tidak disajikan
oleh kitab-kitab lain. Meskipun begitu karya Ibn Khilikkan ini tetap mengutip
dari kitab-kitab yang mendahului..
C. Kitab-kitab
Ilmu Nahwu
Al-Sairafi dalam kitabnya, Akhbar
al-Nahwiyyin al-Bashriyyin menulis tentang Isa ibn Umar (w. 149 H). Tokoh
ini menulis dua kitab, al-Jami’ dan al-Mukammil, tetapi keduanya tidak ditemukan sekarang.
Menurut Ibn al-Nadim kitab itu sudah hilang sejak dulu, tetapi dalam kitab itu
ada informasi, bahwa peletak ilmu nahwu adalah Abul-Aswad al-Duali. Kisah itu
menceritakan empat lembar tulisan dalam kertas Cina (papirus) yang membahas
fa’il dan maf’ul dari Abu al-Aswad tadi. Setelah murid Shahabat Ali ibn Abi
Thalib ini wafat, tidak ada berita lagi
tentang ilmu yang terkenal dengan nama nahwu.
Dalam kesepian itu, muncul kitab
Sibawaih yang materinya banyak mengutip dari pemikiran pendahulunya, yaitu
Abdullah ibn Ishaq al-Hadlrami (w.117 H), Isa ibn Umar al-Tsaqafi (w. 149 H),
Abu ‘Amr al’Ala (w.154 H), al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w.174 H), dan Yunus
ibn Hubaib (w. 183 H).
Abdullah ibn Ishaq adalah penulis
kitab Thabaqat al-Syu’ara tapi ada perhatian pada
nahwu, seperti memperbanyak persamaan kata dan menurunkan berbagai alasan
(illat). Tokoh berikutnya membahas bahasa Arab juga, dan terkadang bersentuhan
dengan teori-teori nahwiyah. Tetapi dari sekian banyak tokoh itu, al-Khalil ibn
Ahmad al-Farahidi (pencetus ilmu ‘Arudl) adalah tokoh yang paling banyak
dikutip oleh Sibawaih. Al-Khalil adalah tokoh yang mengadakan penelitian selama
tiga tahun, di Hijaz, Tihamah dan Riyadl untuk mempelajari bahasa Arab. Hasil
penelitian itu tidak ditulis sendiri tetapi dikuliahkan kepada murid-muridnya,
terutama Sibawaih, dan al-Ashmu’i.
Berkat kuliah itu, Sibawaih berhasil
menyusun sebuah kitab yang membahas tentang ilmu nahwu dan metoda
pengembangannya. Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran Sibawaih ada yang
dikritik oleh al-Mubarrad. Sibawaih menyajikan teori nahwiyah diangkat dari
realitas budaya dan bahasa Arab sebagaimana hasil penelitian al-Khalil,
sedangkan al-Mubarrad mengulas nahwu bahasa Arab dengan cara berfikir
filosofis. Diskusi semacam itu menjadikan ilmu nahwu semakin berkembang. Dalam
kaitan ini al-Sairafi menilai bahwa kitab Sibawaih banyak dipakai oleh ilmuan
nahwu sejagat. Bahkan ulama Bashrah jika ada orang menyebutkan al-kitab,
berarti itu adalah kitab Sibawaih. Kitab ini menjadi pegangan ahli nahwu sampai
abad delapan hijriyah.
Selain kitab Sibawaih, ilmuan Kitab
Kuning juga memerlukan materi dari kitab “Majmu’at al-Ashmu’iyyat”.yang ditulis
oleh murid al-Khalil juga. Kitab itu merupakan
kumpulan dari beberapa kitab yang ditulis oleh Abdul Malik al-Ashmu’i (w. 213
H). Tokoh ini kelahiran Bashrah dan belajar ilmu di Bashrah juga dari Khalil
ibn Ahmad, Isa ibn Amr, dan dari Abu Umar ibn al-A’la. Tokoh ini banyak
menguasai bahasa Arab Badawi dan dialeknya. Seandainya karya al-Ashmu’i dan kitabnya
ditinggalkan, maka ilmuan nahwu akan kehilangan dokumentasi bahasa Arab dan
syair-syair mereka.
Dalam perbincangan itu, Al-Akhfasy
(w. 221 H) tidak bisa ditinggalkan, karena dia adalah tokoh pertama yang
membuka studi kitab Sibawaih. Menurut al-Sairafi; Jalan mempelajari kitab
Sibawaih adalah melalui al-Akhfasy, karena ketika Sibawaih wafat, dia bisa
menguraikan isi kitab tinggalanya. Selain itu Al-Akhfasy memiliki banyak murid,
antara Abu ‘Amr al-Jarami, Abu Utsman al-Mazani, dan lain-lain. Melalui
murid-murid itu kitab Sibawaih dapat berkembang pesat. Lebih dari itu, setiap
murid memiliki gagasan baru untuk mengembangkan kitab Sibawaih. Abu ‘Amr
al-Jarami (w. 225 H) mempelajari struktur ilmu sharaf yang ada dalam
kitab Sibawaih. Dari sini al-Jarami banyak menyusun kitab, antara lain Tafsir
Gharib Sibawaih, dan kitab Al-Farakh. Hanya sayang
dua kitab itu tidak ditemukan lengkap. Kitab yang dapat ditemukan sekarang
adalah karya Abu Ishaq al-Zayadi (w. 249 H) berjudul Syarah
Kitab Sibawaih. Tetapi isinya hanya kutipan dari kitab
Sibawaih dan beberapa kitab yang isinya
mengutip kitab Sibawaih juga.
Kitab nahwu yang dianggap
mengiringi kitab Sibawaih adalah murid al-Akhfasy yang bernama al-Mazini (w.248
H) karena dia membahas struktur ilmu Sharaf. Kitab itu dikembangkan
oleh Abu al-Fath Utsman ibn Jinni (w. 392 H) dengan nama Al-Tashrif.
Penulis kitab-kitab thabaqat sudah sepakat
bahwa al-Mubarrad (w.285 H) adalah pencetus studi ilmu nahwu di Bashrah abad ke
tiga hijriyah. Tokoh besar ini menulis
kitab koleksi besar tentang bahasa Arab dengan makna yang komprehensip.
Tetapi karya al-Mubarrad yang terpenting adalah kitab Al-Muqtadlab.
Kitab
ini merangkum semua persoalan nahwiyah, sharafiyah, dan bahasa Arab. Ulama
menilai bahwa tokoh ini adalah Sibawaih kedua. Selain kitab itu, al-Mubarrad
juga menulis kitab Al-Kamil di samping dua kitab Thabaqat
dan
Tarajim. Tetapi dua kitab itu hilang dari peredaran. Meskipun begitu dapat
diceritakan bahwa Sibawaih dan al-Mubarrad adalah dua tokoh besar di Bashrah,
yang banyak persamaan dalam mengembangkan ilmu, tetapi ada beberapa masalah
yang dinilai berbeda (ikhtilaf). Dari sini muncul kitab sanggahan al-Mubarrad
terhadap pemikiran Sibawaih. Dalam perdebatan itu muncul Ibn Wullad (w. 332 H)
ahli nahwu Mesir pembela teori Sibawaih dalam kitabnya, Al-Intishar
li-Sibawaih min al-Mubarrad.
Madrasah al-Mubarrad di Bashrah besar sekali,
dikunjungi banyak murid antara lain Abu Bakar al-Sarraj (w. 316 H), Abu Ishaq al-Zajjaj
(w. 311 H) dan Ibn Darasnawaih (w. 330 H), dan lain-lain. Alumni madrasah ini
muncul dan aktif pada abad keempat hijriyah, hingga menjadikan ilmu nahwu
berkembang pesat, dan muncul juga beberapa budayawan besar yang berfikir
ilmiah.
Al-Sarraj mempelajari kitab Sibawaih
digabungkan dengan beberapa kitab nahwu yang berkembang pada masa itu. Studi
komperatif yang dilakukan itu dibuatnya sebagai bahan diskusi, sehingga mampu
menyajikan sebuah karangan yang disebut Ushul al-Nahwi. Berdasarkan
karya itu, al-Sarraj dinilai sebagai pemikir ketiga sesudah kitab Sibawaih dan
kitab al-Muqtadlab karya
al-Mubarrad.
Al-Zajjaj adalah tokoh kreatif yang
banyak kitabnya, antara lain kitab Sirr al-Nahwi. Kitab ini antara lain
menyajikan kata-kata yang tidak bisa ditashrif (ghairu munsharif) sementara
karya yang dikagumi oleh banyak ulama adalah kitab yang memudahkan mempelajari
kitab Sibawaih. Kitab Sirr al-Nahwi tadi bisa dikembangkan
menjadi syarah kitab Sibawaih, karena di dalamnya
menyajikan tema-tema nahwiyah yang sistematis.
Selain Bashrah, ilmu nahwu juga
berkembang di Kufah. Dalam Fihrasat Ibn al-Nadim
tokoh-tokoh Kufah antara lain, al-Kisai, al-Farra dan Tsa’lab. Tetapi
kitab-kitab nahwu di Kufah tidak ada yang sejajar dengan kitab Sibawaih atau
dengan Al-Muqtadlab karya al-Mubarrad.
Perbedaan
ilmuan Bashrah dan Kufah hanya ada pada istilah yang tidak menentukan
perkembangan ilmu nahwu.
Al-Kisai (w. 197 H) adalah ilmuan
besar tentang al-Quran, al-hadits dan lain-lain, yang hidup sezaman dengan
Sibawaih. Tulisannya tentang nahwu hanya ada pada artikel kecil (risalah
sederhana) tentang ketidak fasihan umum (Lahn al-‘Aamah). Sementara
kitabnya tentang nahwu tidak ada pemikiran, yang bisa dijadikan sebagai hujjah
atau teori nahwiyah. Tetapi para ulama di dunia tetap menilai bahwa al-Kisai adalah
ahli nahwu Kufah.
Dalam tempat lain, Ibn al-Nadim
menampilkan al-Farra (w. 207 H). Tokoh ini banyak menulis ilmu bahasa, antara
lain kitab Al-Hudud tentang nahwu. Tetapi kitab ini hilang hanya
tinggal daftar isinya saja. Tulisan yang penting adalah kitab Ma’ani
al-Quran. Kitab ini bukan diproyeksikan untuk tafsir al-Quran, tetapi kitab
bahasa yang contoh-contohnya mengambil ayat-ayat al-Quran. Tulisan penting dari
al-Farra adalah tentang: mudzakkar-muannats, manqush-mamdud, dan
al-ayyam, allail, al-syuhur.
Tokoh Kufah ketiga
adalah Tsa’lab (w. 291 H). Tokoh yang hidup di Kufah ini ada yang
mensejajarkannya dengan al-Mubarrad di Bashrah. Kitab yang sampai kepada kita
adalah ‘Al-Fashih’ yang membahas tentang mufradat.
Sedangkan
kitab yang membahas tentang teori nahwu dan bahasa Arab ada pada kitab ‘Majalis
Tsa’lab’.
Dalam kitab-kitab Thabaqat, banyak ulama
Kufah yang membahas ilmu bahasa dan menulis tentang mufradat dan
sharaf seperti Kitab al-Jim karya Abu Amr
al-Syaibani, Al-Gharib al-Mushannaf karya Abu Ubaid
al-Qasim ibn Salam, dan Ishlah al-Manthiq karya Ibn al-Sukait.
Kitab-kitab itu pada umumnya karangan yang membahas tentang mufradat. Banyak ilmuan
mutakhir mensejajarkan tokoh Kufah dengan tokoh di Bashrah tentang pemikiran
nahwiyah. Tetapi ulama yang jeli mengatakan bahwa ulama Kufah menjadi ilmuan
kedua setelah ulama Bashrah.
Selain Bashrah dan Kufah, muncul tiga
ulama nahwu dan bahasa di Baghdad, yaitu Abu Said al-Sairafi (w.385 H) yang
kitabnya sering didiskusikan dengan kitab al-Rumani (w.385 H). Keduanya
sama-sama membuat syarah kitab Sibawaih dan berpegang pada teori-teori
Bashrah. Syarah al-Sairafi menyajikan dalil-dalil dan pemikiran
nahwiyah yang analitis, dan tulisannya diakhiri dengan mengutip ulasan ulama
Kufah tentang fonemologi. Sedangkan syarah al-Rumani menyajikan
masalah nahwiyah dengan berfikir manthiqi. Pemikir di
Baghdad ketiga adalah Abu Ali al-Farisi (w. 377 H). Tokoh ini menurunkan
tulisan yang banyak, antara lain kitab ‘Al-Masail al-Syairaziyat‘ dan kitab
tentang ilmu qiraat yang berjudul ‘”Al-Hujjah fi al-Qiraat” .
Kepada tiga tokoh di atas, Abu al-Fath
Utsman ibn Jinn (w.392 H) berguru kepada ketiga-tiganya sampai menjadi ahli
nahwu besar di Baghdad. Tokoh ini banyak tulisanya antara lain kitab ‘Al-Khashaish’
yang
membahas tentang sharaf, semantik, dan gramatika (nahwu). Kitab lainya
adalah ‘Sirr Shina’at al-I’rab. Kitab ini tidak membahas
nahwu, tetapi pembahasan kreatif tersendiri tentang studi fonologi. I’rab
menurut dia adalah cuma teori yang menjelaskan ucapan kata.
Nahwu semenjak empat hijriyah
berkembang juga di Mesir dan Andalus, tetapi itu sebagai perkembangan pemikiran
dari ulama Baghdad. Studi pertama dilakukan oleh Ibn Wullad (w.332 H), dan Abu
Ja’far al-Nahhas (w 338 H) yang berguru kepada al-Zajjaj di Baghdad. Nahwu di
Mesir mulai dipelajari melalui kitab Al-Maqshur wa al-Mamdud, dan kitab Al-Intishar
li Sibawaih min al-Mubarrad karya Ibn Wullad.
Sedangkan perkembangan nahwu di
Andalus dimulai sejak kedatangan Abu Ali al-Qali (w. 356 H) dari Baghdad ke
Andalusia. Tokoh ini mengajarkan kitab Sibawaih dan mengembangkan bahasa dan
sastra Arab. Maka sejak itu madrasah bahasa mulai ramai dikembangkan di
Andalus.
Dari sekian banyak kitab nahwu,
muncul trobosan baru pembuatan kitab nahwu pelajaran, dalam bentuk natsar
atau
nazham. Model ini membuat ilmu nahwu dan sharaf semakin mudah dipelajari.
Pengkelompokkan materi, awalnya dirinci sedemikian rupa dan setiap rincian
dibuat definisi, sampai ilmu itu mudah difahami. Karya pertama adalah kitab ‘Al-Jumal’ karya
al-Zajjaj, kemudian kitab ‘Al-Maujiz fi al-Nahwi’ karya Ibn
al-Sarraj, disusul Abu Ali al-Farisi menulis dua kitab, yaitu ‘Al-Idlah’ tentang nahwu
dan ‘Al-Takmilah’ tentang sharaf.
Disusul lagi oleh Ibn Jinni dengan kitab ‘Al-Luma’. Semua
kitab-kitab nahwu pelajaran itu penyajian ulasanya berbeda sekali dengan
kitab-kitab nahwu yang diuraikan di atas. Maka untuk memudahkan lagi muncul
berbagai kitab syarah yang mengulas dan mempermudah uraian
kitab-kitab itu. Madrasah di Andalus kebanyakan menggunakan kitab al-Jumal. Atas dasar
itu, kitab ini memiliki syarah yang banyak, lebih dari dua puluh karangan.
Dari sekian banyak kitab nahwu
pelajaran (nahwiyah ta’limiyah), muncul gagasan baru
untuk membuat ensiklopedia tentang ilmu nahwu. Isi kitab itu menghimpun
berbagai pemikiran tokoh nahwu dan sharaf, kemudian dipilah untuk dibuat
analisa. Dari pemikiran yang banyak dan bervariasi itu dibuatlah abstraksi
dengan dianalisa satu persatu dari segi isi dan dari segi metodologi. Gagasan
itu ditulis oleh al-Zamakhsyari (w. 538 H) dalam kitabnya, Al-Mufashshal. Setiap orang
yang mempelajari ensiklopedia ini akan dapat memilih kitab nahwu mana yang
mudah dan perlu dipelajari. Kitab ini banyak dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh di
berbagai tempat, hingga muncul puluhan syarah. Tetapi syarah yang dicetak
dan banyak beredar adalah karya Ibn Ya’isy al-Halabi (w. 643 H), guru Ibn Malik
dari Aleppo.
Pada masa pemasaran kitab nahwu yang
semakin marak, Ibn al-Hajib (w. 646 H) menyajikan dua kitab, yaitu Al-Kafiyah tentang nahwu
dan Al-Syafiyah tentang sharaf. Dua
kitab itu awalnya hanya diberi ta’liqat dan catatan kaki,
tetapi kemudian muncul puluhan syarah dengan bahasa Arab dan
bahasa Turki. Tetapi syarah yang populer adalah karya al-Radli al-Istarbadzi
(w. 688 H). Di belakang Ibn al-Hajib, bermunculan banyak tokoh yang mengutip
materinya, antara lain Ibn Malik (w. 672 H). Dari kutipan itu dia membuat kitab
nahwu dalam bentuk nazham, yang kemudian terkenal dengan nama Nazham
Alfiyah.
D. Penutup
Artikel ini dikutip dari beberapa kitab,
antara lain Ilm al-Lughat al-Arabiyah karya Mahmud Fahmi
Hijazi, dan kitab Kasyf al-Zhunun karya Haji Khalifah.
Tetapi artikel ini tidak menyajikan riwayat hidup tentang tokoh atau kitab yang
disajikan, karena dapat memakan tempat yang luas. Penyajian ini hanya ingin
mengambil barakah dari tokoh-tokoh ilmuan masa lalu, dengan harapan moga-moga
Allah menurunkan rahmat dan barakah kepada ilmuan sekarang, Amin. Demikian itu kalau mereka mau menghormati tokoh-tokoh
pendahulunya. Wahuwa bisabqin haizun tafdlila.-
Wallaahu a’lam bi al-shawaab.
(Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam
Fahmina (ISIF) Cirebon).-
Kitab Nahwu Sebelum Ibnu Malik
Reviewed by Chozin Nasuha
on
23.15
Rating:
Tidak ada komentar: