Mengenal Ahli Hadits Profesional
MENGENAL AHLI HADITS
PROFESIONAL
Oleh A. Chozin Nasuha
A.
Muhaddits dan Muhadditsuun/ Tokoh dan Komunitas
Gelar ‘muhaddits’ tidak semudah itu
diterapkan kepada seseorang, karena (1) Muhaddits adalah gelar kehormatan yang oleh
Allah diberikan kepada hamba yang menjalankan perintah Rasulullah, dan menghindari
semua larangan Rasulullah Saw. Demikian salah satu isi Surat Al-Hasyr ayat 7. Perintah
dan larangan Rasulullah itu banyak disampaikan melalui hadits Nabi. Dalam
kaitan itu Rasulullah sendiri memuja kelompok ini dengan hadits yang isinya: Allah
menyinarkan wajah seseorang yang mendengarkan sesuatu dari saya (kata Rasulullah),
dan disampaikan kepada orang lain sebagaimana dia mendengar. (2) Muhaddits yang
menerima pujaan seperti itu terjadi setelah dia memiliki prestasi dalam
menguasai ilmu hadits, baik riwayah atau dirayah. Selain itu dia sendiri
mampu meneliti dan menguraikan ilmu hadits secara metodologis untuk dimanfaatkan
oleh masyarakat. Hal itu tidak selamanya didapatkan melalui gelar kesarjanaan yang
diperoleh melalui jalur tertenatu, atau jenjang pendidikan akademis. Gelar
muhaddits banyak yang diberikan sebagai pengakuan (legitimasi) atas prestasi seseorang
dalam komunitas heterogin, tanpa tata cara dan upacara tertentu. (3) Di
Indonesia sebutan muhaddits tidak populer dan tidak menonjol seperti sebutan ulama,
atau kiyai, atau tuan, atau tuan guru, atau buya, atau ajengan, atau profesor,
doktor dan sebagainya. Dalam beberapa tempat, masyarakat terkadang menetapkan istilah
muhaddits dengan sebutan al-syaikh. (4) Panggilan seperti itu biasanya diberikan
oleh masyarakat secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas dan karya
muhaddits itu tadi. Terkadang karena saking ikhlasnya, muhaddits sendiri tidak
mengetahui, kapan panggilan itu dimiliki. (5) Muhaddits adalah pewaris
tokoh-tokoh besar yang disampaikan melalui sanad, mulai dari sahabat Nabi
sampai penghimpun hadits dan ilmu hadits. Kemudian pada lapisan berikutnya, dia
banyak menyajikan gagasan baru untuk melestarikan nilai-nilai hadits itu tadi, sesuai
perkembangan dan kehidupan masyarakat.
Muhaddits
jika berinteraksi dengan muhaddits sesama atau dengan murid dan pengikut, sehingga
memiliki kedudukan, peran, dan posisi khusus dalam sistem sosial, maka
sekelompok itu disebut muhadditsuun atau muhadditsiin. Kelompok ini berada
dalam konteks sistem sosial tertentu yang ciri-cirinya, antara lain: (1)
Muhadditsin adalah sekelompok sosial yang selalu menekuni dan mengembangkan
ilmu hadits, baik riwayah atau dirayah. Atas dasar itu mereka
bisa disebut sebagai agen keilmuan tertentu atau disebut juga agen kebudayaan.
(2) Dengan kelebihan dan keunggulan ilmu yang dikuasai dan disebarkan untuk
memenuhi sebagian kehidupan masysrakat, maka muhadditsin dapat dipandang
sebagai bagian dari kelompok pemimpin dalam struktur sosial, bahkan bisa
disebut sebagai kelompok elit penentu dalam bidang ilmu. (3) Meskipun
differensiasi keahlian dan profesi masih sederhana, muhadditsin tetap memiliki
posisi sentral. Tetapi ketika defferensiasi ilmu-ilmu hadits dan potensi
muhaddits semakin rumit, muhadditsin menempati posisi yang berimbang dengan
elit ilmuan lainnya. (4) Berangkat dari
keadaan seperti di atas, terdapat pola hubungan yang khas bagi muhadditsin,
sehingga terbangun struktur dan strata sosial secara internal. Di kalangan
mereka terdapat kwalifikasi berdasarkan keahlian dan kelebihan lain yang mereka
miliki. Dari keadaan itu, muncul sebutan muhaddits biasa, ada yang disebut al-hafizh,
atau al-hujjah, dan ada yang bergelar amir al-mukminin.
Ciri-ciri muhadditsin dalam konteks sistem sosial itu dapat dipandang
sebagai ‘bidang’ atau wilayah kajian. Bidang itu bisa dipelajari dari berbagai
sudut pandang, berdasarkan titik tolak pemilihan masalah dan kwalifikasi
tertentu, seperti bidang ilmu riwayah
atau dirayah, dan atau pembagian cabang-cabangnya. Dalam komunitas itu
terbentuklah satu kultur dan struktur internal. Aspek kultural tampak dalam
tradisi intelektual di kalangan muhadditsin tadi yakni tradisi membaca, dialog/diskusi,
dan menulis. Sedangkan aspek struktural tampak dalam pola hubungan dan jaringan
sosial antar muhadditsin, dan masyarakat umum. Dalam perspektif historis, kedua
aspek komunitas tersebut dapat dipahami dengan sudut pandang sejarah
sosiologis. Dalam perspektif sosiologis dapat dipahami dengan definisi sosial
atau paradigma fakta sosial. Paradigma definisi sosial atau paradigma fakta
sosial menuntut penggunaan penelitian kwalitatif, sedangkan paradigma fakta
sosial menuntut penggunaan penelitian kwantitatif.
- Penjelasan
muhaddits dan muhadditsin
Muhaddits pada dasarnya merupakan satu kesatuan, yang menjadi unsur elit
dalam sistem sosial. Ketika muhaddits menjadi salah satu gugus dalam kelompok
muhadditsin, maka terbentuklah menjadi masyarakat tersendiri karena adanya
ikatan yang spesifik. Muhaddits secara individual merupakan satu tokoh dalam
sistem sosial. Ketika muhaddits ini terhimpun dalam satu komunitas berdasarkan
keahlian tertentu maka dia menjadi bagian dalam sistem sosial tadi. Dengan
demikian, muhaddits jika berdiri sendiri maka studi ilmiah hanya tertuju pada
satu tokoh itu saja. Tetapi jika dia masuk dalam komunitas muhadditsin maka dia
termasuk satu unsur dalam komunitas itu. Nama-nama muhaddits penghimpun hadits sebagian
kecil sudah dikenalkan oleh penulis makalah ini dalam google: “Model
Pengembangan Ilmu Hadits”. Sedangkan studi muhaddits tentang perawi yang lebih luas
adalah terhimpun dalam kitab-kitab yang banyak sekali, antara lain Qaidah fi
al-Jarh wa al-Ta\dil karya al-Subki, atau kitab Al-Mutakallimun fi
al-Rijal karya al-Sakhawi, dan yang lebih luas lagi ditulis oleh al-Dzahabi
dalam kitabnya, Mizan al-I’tidal. Tokoh muhaddits riwayah yang amat
populer antara lain Malik, Ibn Hanbal, al-Bukhari, Muslim, al-Nasai, al-Hakim dan
lain-lain. Terhadap tokoh-tokoh tadi banyak sekali muhadditsin berikut yang
menulis syarah untuk kitab-kitabnya, banyak ulama yang mengkritisi isi
kitabnya, dan banyak juga ulama yang mempelajari kitab-kitab itu untuk
diajarkan kepada murid-muridnya (sanad). Suatu contoh KH. Anwar Musaddad waktu
muda di Makkah, ijazah kitab Shahih al-Bukhari dari Syaikh Umar ibn
Hamdan al-Mahrasi, dari Sayyid Ali ibn Thahir al-Watari, dari Ahmad Minnatullah
al-Adawi, dari Syaikh Muhammad al-Amir al-Kabir, dan seterusnya hingga sanad
itu sampai pada al-Imam al-Bukhari. Meskipun al-Bukhari dikerumuni oleh banyak
tokoh hadits, tetapi bisa saja dia disebut sebagai studi tokoh (muhaddits).
Tetapi ada juga peneliti yang menilai bahwa al-Bukhari jika dikerumuni oleh
ahli hadits yang banyak bisa masuk dalam komunitas al-Bukhari (muhadditsun).
Perdebatan antar peneliti seperti itu mudah diselesaikan dengan apa masalahnya
dan metoda apa yang akan dipergunakan dalam penelitian.
Sebagai
tokoh muhaddits, meskipun dia dalam komunitas (muhadditsin) tetapi dia tetap memiliki
karakteristik individual. Hal itu merupakan suatu akumulasi dari berbagai pengalaman
dalam perjalanan hidupnya. Dia bisa berpangkal dari ciri-ciri psichologis
sebagai potensi dasar dalam akumulasi diri, seperti keterampilan berfikir,
menyusun jarah-ta’dil, memilih guru untuk mengutip matan hadits dan
sebagainya. Pengalaman hidup dalam rihlah ilmiah atau pengembaraan
intelektual yang dibuatnya sebagai pupuk itu point yang mempercepat posisinya
sebagai muhaddits. Sementara komunitas yang terbentuk itu merupakan media utama
untuk menyalurkan produk pemikiran, sehingga sebaran seorang muhaddits semakin
luas.
Di
samping itu identitas diri sering mencerminkan latarbelakang sistem sosial,
seperti daerah kelahiran, lokasi pengembaraan, koleha dan pemukiman. Identitas
tadi meskipun tidak terlalu menentukan, tetapi terkadang dapat menunjang posisi
sentral yang dicapai melalui aktifitas dalam membangun ‘Sudut Pandang’. Selain
itu identitas tadi dapat membantu tradisi intelektual dalam komunitas. Sudut
pandang bagi semua muhadditsin itu berbeda, baik dalam pemilihan guru atau
dalam penentuan matan hadits menjadi shahih atau dlaif dan
sebagainya. Perbedaan itu terjadi antara lain karena berbeda dalam pengambilan
aliran tentang ‘jarah-ta’dil’. Suatu contoh: Yahya ibn Ma’in (w.233
H-847 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutasyaddidin.
Al-Bukhari (w. 256 H-869 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutawassithin,
dan Ibn Hibban (w. 354 H- 965 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutasaahilin.
Sudut pandang seperti itu awalnya terjadi pada muhadditsin mutaqaddimin, tetapi
kemudian diikuti oleh muhadditsin mutaakhirin. Suatu contoh; Al-Dzahabi (w. 748
H-1347 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutasyaddidin, Ibn
Hajar al-Asqallani (w. 852 H- 1448 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutawassithin,
dan al-Sayuthi (w. 991 H- 1505 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutasahilin.
Setelah itu, sudut pandang seperti itu berhenti, karena belum ada gagasan baru
yang diangkat dari hasil penelitian.
Jika
muhaddits (tokoh) bergabung dengan muhaddits lain karena ada persamaan dalam
satu kajian misalnya, maka itu disebut komunitas. Contoh seperti Ibn Hajar
al-Asqallani dalam kitabnya, Bulugh al-Maram menulis perawi hadits
dengan sebutan: Akhrajahu al-sab’ah, Akhrajahu al-sittah, dan
seterusnya sampai sebutan Muttafaq alaih. Sebutan itu menggambarkan komunitas
ahli-ahi hadits yang meriwayatkan hadits yang dikutip. Yang dimaksud Muttafaq
alaih adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Yang
dimaksud al-Arba’ah adalah Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nasai, dan Ibn
Majah. Komunitas tadi merupakan sekelompok ahli hadits yang dinilai mendekati
sejajar menurut penilaian Ibn Hajar. Komunitas itu merupakan bagian dari suatu
sistem sosial atau kesatuan ahli-ahli hadits yang tersebar di berbagai kawasan.
Selain itu ada juga komunitas ahli-ahli hadits (muhadditsin) yang
terbuat melalui mata rantai intlektual, berkenaan dengan transmisi dan
pengembangan sudut pandang yang secara spesifik. Komunitas seperti itu ada yang
ditentukan berdasarkan mazhab dalam Islam, seperti komunitas mazhab Ahl
al-Sunnah, atau mazhab Syiah. Secara keilmuan dua mazhab tadi bisa terjadi
dalam satu komunitas, dan suatu saat hanya terjadi pada satu mazhab saja,
seperti Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam tulisan ini.
- Fokus
Kajian Muhaddits dan Muhadditsun.
Dalam
masyarakat Islam muhaddits atau muhadditsun memiliki posisi penting karena
memiliki keahlian ilmu yang bisa dijadikan panduan normatif bagi kehidupan kolektif.
Keduanya bisa dipilih untuk dipelajari (diteliti) dalam perspektif masa lalu
dan perspektif masa kini, disusun secara dikotomis atau kontinum. Muhaddits
dapat digambarkan melalui biografi yang bersangkutan, sedang muhadditsun
digambarkan melalui jaringan sosial mata rantai intelektual. Kedua fokos kajian
itu berpangkal dari wilayah penelitian yang sangat luas, karena muhadditsin
merupakan komunitas yang sangat besar yang mengalami pergantian antar generasi.
Muhaddits sebagai tokoh merupakan suatu pribadi yang utuh.
Ketokohannya diperoleh karena dia
memiliki karakteristik individual yang unggul. Hal itu diperoleh melalui pengembaraan
mencari ilmu dan pengembangan daya intelektual, sehingga dia memiliki wacana
yang dapat dijadikan rujukan dalam kehidupan masyarakat. Atas dasar itu,
penelitian muhaddits dapat dipelajari (diteliti) melalui empat kajian, yaitu (a)
karakteristik individual, (b) perjalanan intelektual, (c) afiliasi komunitas,
dan (d) wacana intelektual.
Tokoh
muhaddits seperti Abu Dawud saja, atau al-Tirmizi saja atau al-Nasai saja dan
sepadanya itu sudah banyak ditulis dalam Kitab-kitab Kuning atau dalam internet
atau beberapa buku. Berarti profil muhaddits sudah diketahui. Tetapi kalau
muhaddits tadi dikaitkan pada empat kajian, belum banyak ditulis. Karena itu
penelitian terhadap satu muhaddits, peneliti di samping mengutip uraian yang
ada, juga perlu menurunkan analisa, menerapkan empat kajian di atas. Penjabarannya:
Karakteristik individual muhaddits yang berkenaan dengan potensi pribadi dan
latarbelakang keluarga itu ada dalam sistem sosial. Perjalanan atau
pengembaraan intelektual muhaddits berkenaan dengan perjalanan dan keterlibatannya
dalam wacana intelektual, itu melalui proses transmisi dan sosialisasi ilmu hadits
baik riwayah atau dirayah. Afiliasi komunitas muhaddits berkenaan
dengan keanggautaannya dalam kelompok muhadditsin Ahl al-Sunnah, atau Syiah itu
dapat menentukan model keilmuan hadits. Wacana intelektual muhaddits berkenaan
dengan aktualisasi dan artikulasi daya intelektual itu tampak dalam produk
pemikiran yang dituangkan dalam wujud lisan atau tulisan. Akumulasi dari
keempat unsur tadi merupakan modal utama bagi muhaddits untuk memperoleh posisi
dalam komunitas muhadditsin dan atau dalam sistem sosial lainnya.
Muhadditsun tertentu merupakan kesatuan
komunitas yang diikat oleh kesamaan keahlian, dan sudut pandang yang secara
operasional dapat diidentifikasikan sebagai komunitas ahli hadits tersendiri.
Misalnya, komunitas al-Bukhari dan Muslim
disebut muttafaqun alaih. Komunitas Abu Dawud, al-Tirmizi,
al-Nasai dan Ibn Majah itu terhimpun dalam sebutan Rawahu al-arba’ah.
Komunitas Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban dan al-Hakim itu terhimpun dalam
muhadditsin mutasaahilin. Selain itu ada juga komunitas tokoh penerima
hadits-hadits dlaif, dan sebagainya. Semua tokoh-tokoh itu sudah banyak
ditulis dalam Kitab Kuning, internet dan buku-buku ilmu hadits. Berarti semua
itu sudah diketahui. Masalah yang belum dipelajari itu melingkari uraian tadi
dalam bentuk empat unsur, yaitu (a) basis komunitas (b) jaringan komunikasi (c)
tradisi intelektual (d) mata rantai intelektual.
Basis komunitas muhadditsin di atas, berkenaan dengan dasar penerimaan
hadits shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dirinya dari Rasulullah Saw.
itu memakai sanad yang bertemu (muttashil), dan satu persatu dari sanad
tadi terdiri dari perawi hadits yang adil dan dlabith. Jaringan
komunikasi terjadi berkenaan dengan pola ko-munikasi di kalangan muhadditsin.
al-Bukhari dan Muslim misalnya itu menggunakan jarah ta’dil yang tidak
terlalu berat dan tidak terlalu ringan (mutawassithin). Tradisi
intelektual al-Bukhari, Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan sesamanya itu dituangkan
dalam Ilmu Hadits. Matarantai intelektual berkenaan dengan jaringan intelektual
muhadditsin itu melalui karangan ulama tentang syarah hadits, kritik
ulama terhadap isi hadits dan pengutipan hadits oleh ulama pada umumnya,
sehingga muncul sebutan: muttafaqun alaih, Rawahu Abu Dawud, Rawahu
al-Hakim dan lain-lain. Semua itu dapat memperkuat komunikasi bagi komunitas
muhadditsin.
- Penutup
Uraian
di atas baru mengenalkan sosok muhaddits dan muhadditsun, dan belum menyajikan modal
penelitiannya. Meskipun begitu, dari uraian di atas dapat diangkat beberapa
masalah untuk penelitian. Setelah masalah jelas, maka proposal penelitian perlu
dilengkapi dengan (1) Tujuan dan Kegunaan Penelitian (2) Tinjauan Pustaka dan
Kerangka Berfikir (3) Langkah-langkah Penelitian yang dilengkapi dengan a)
metoda penelitian, b) sumber data, c) pengumpulan data, baik perpustakaan atau
lapangan, dan (4) Analisa Data. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina
(ISIF) Cirebon.
Mengenal Ahli Hadits Profesional
Reviewed by Chozin Nasuha
on
23.21
Rating:
Tidak ada komentar: