Top Ad unit 728 × 90

Terbaru

recent

Mengenal Ahli Hadits Profesional

                         MENGENAL AHLI HADITS PROFESIONAL
                                                  Oleh A. Chozin Nasuha


A.    Muhaddits dan Muhadditsuun/ Tokoh dan Komunitas

            Gelar ‘muhaddits’ tidak semudah itu diterapkan kepada seseorang, karena (1) Muhaddits adalah gelar kehormatan yang oleh Allah diberikan kepada hamba yang menjalankan perintah Rasulullah, dan menghindari semua larangan Rasulullah Saw. Demikian salah satu isi Surat Al-Hasyr ayat 7. Perintah dan larangan Rasulullah itu banyak disampaikan melalui hadits Nabi. Dalam kaitan itu Rasulullah sendiri memuja kelompok ini dengan hadits yang isinya: Allah menyinarkan wajah seseorang yang mendengarkan sesuatu dari saya (kata Rasulullah), dan disampaikan kepada orang lain sebagaimana dia mendengar. (2) Muhaddits yang menerima pujaan seperti itu terjadi setelah dia memiliki prestasi dalam menguasai ilmu hadits, baik riwayah atau dirayah. Selain itu dia sendiri mampu meneliti dan menguraikan ilmu hadits secara metodologis untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal itu tidak selamanya didapatkan melalui gelar kesarjanaan yang diperoleh melalui jalur tertenatu, atau jenjang pendidikan akademis. Gelar muhaddits banyak yang diberikan sebagai pengakuan (legitimasi) atas prestasi seseorang dalam komunitas heterogin, tanpa tata cara dan upacara tertentu. (3) Di Indonesia sebutan muhaddits tidak populer dan tidak menonjol seperti sebutan ulama, atau kiyai, atau tuan, atau tuan guru, atau buya, atau ajengan, atau profesor, doktor dan sebagainya. Dalam beberapa tempat, masyarakat terkadang menetapkan istilah muhaddits dengan sebutan al-syaikh. (4) Panggilan seperti itu biasanya diberikan oleh masyarakat secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas dan karya muhaddits itu tadi. Terkadang karena saking ikhlasnya, muhaddits sendiri tidak mengetahui, kapan panggilan itu dimiliki. (5) Muhaddits adalah pewaris tokoh-tokoh besar yang disampaikan melalui sanad, mulai dari sahabat Nabi sampai penghimpun hadits dan ilmu hadits. Kemudian pada lapisan berikutnya, dia banyak menyajikan gagasan baru untuk melestarikan nilai-nilai hadits itu tadi, sesuai perkembangan dan kehidupan masyarakat.        
           Muhaddits jika berinteraksi dengan muhaddits sesama atau dengan murid dan pengikut, sehingga memiliki kedudukan, peran, dan posisi khusus dalam sistem sosial, maka sekelompok itu disebut muhadditsuun atau muhadditsiin. Kelompok ini berada dalam konteks sistem sosial tertentu yang ciri-cirinya, antara lain: (1) Muhadditsin adalah sekelompok sosial yang selalu menekuni dan mengembangkan ilmu hadits, baik riwayah atau dirayah. Atas dasar itu mereka bisa disebut sebagai agen keilmuan tertentu atau disebut juga agen kebudayaan. (2) Dengan kelebihan dan keunggulan ilmu yang dikuasai dan disebarkan untuk memenuhi sebagian kehidupan masysrakat, maka muhadditsin dapat dipandang sebagai bagian dari kelompok pemimpin dalam struktur sosial, bahkan bisa disebut sebagai kelompok elit penentu dalam bidang ilmu. (3) Meskipun differensiasi keahlian dan profesi masih sederhana, muhadditsin tetap memiliki posisi sentral. Tetapi ketika defferensiasi ilmu-ilmu hadits dan potensi muhaddits semakin rumit, muhadditsin menempati posisi yang berimbang dengan elit ilmuan lainnya. (4)  Berangkat dari keadaan seperti di atas, terdapat pola hubungan yang khas bagi muhadditsin, sehingga terbangun struktur dan strata sosial secara internal. Di kalangan mereka terdapat kwalifikasi berdasarkan keahlian dan kelebihan lain yang mereka miliki. Dari keadaan itu, muncul sebutan muhaddits biasa, ada yang disebut al-hafizh, atau al-hujjah, dan ada yang bergelar amir al-mukminin.
        Ciri-ciri muhadditsin dalam konteks sistem sosial itu dapat dipandang sebagai ‘bidang’ atau wilayah kajian. Bidang itu bisa dipelajari dari berbagai sudut pandang, berdasarkan titik tolak pemilihan masalah dan kwalifikasi tertentu, seperti bidang  ilmu riwayah atau dirayah, dan atau pembagian cabang-cabangnya. Dalam komunitas itu terbentuklah satu kultur dan struktur internal. Aspek kultural tampak dalam tradisi intelektual di kalangan muhadditsin tadi yakni tradisi membaca, dialog/diskusi, dan menulis. Sedangkan aspek struktural tampak dalam pola hubungan dan jaringan sosial antar muhadditsin, dan masyarakat umum. Dalam perspektif historis, kedua aspek komunitas tersebut dapat dipahami dengan sudut pandang sejarah sosiologis. Dalam perspektif sosiologis dapat dipahami dengan definisi sosial atau paradigma fakta sosial. Paradigma definisi sosial atau paradigma fakta sosial menuntut penggunaan penelitian kwalitatif, sedangkan paradigma fakta sosial menuntut penggunaan penelitian kwantitatif.

  1. Penjelasan muhaddits dan muhadditsin
        Muhaddits pada dasarnya merupakan satu kesatuan, yang menjadi unsur elit dalam sistem sosial. Ketika muhaddits menjadi salah satu gugus dalam kelompok muhadditsin, maka terbentuklah menjadi masyarakat tersendiri karena adanya ikatan yang spesifik. Muhaddits secara individual merupakan satu tokoh dalam sistem sosial. Ketika muhaddits ini terhimpun dalam satu komunitas berdasarkan keahlian tertentu maka dia menjadi bagian dalam sistem sosial tadi. Dengan demikian, muhaddits jika berdiri sendiri maka studi ilmiah hanya tertuju pada satu tokoh itu saja. Tetapi jika dia masuk dalam komunitas muhadditsin maka dia termasuk satu unsur dalam komunitas itu. Nama-nama muhaddits penghimpun hadits sebagian kecil sudah dikenalkan oleh penulis makalah ini dalam google: “Model Pengembangan Ilmu Hadits”. Sedangkan studi muhaddits tentang perawi yang lebih luas adalah terhimpun dalam kitab-kitab yang banyak sekali, antara lain Qaidah fi al-Jarh wa al-Ta\dil karya al-Subki, atau kitab Al-Mutakallimun fi al-Rijal karya al-Sakhawi, dan yang lebih luas lagi ditulis oleh al-Dzahabi dalam kitabnya, Mizan al-I’tidal. Tokoh muhaddits riwayah yang amat populer antara lain Malik, Ibn Hanbal, al-Bukhari, Muslim, al-Nasai, al-Hakim dan lain-lain. Terhadap tokoh-tokoh tadi banyak sekali muhadditsin berikut yang menulis syarah untuk kitab-kitabnya, banyak ulama yang mengkritisi isi kitabnya, dan banyak juga ulama yang mempelajari kitab-kitab itu untuk diajarkan kepada murid-muridnya (sanad). Suatu contoh KH. Anwar Musaddad waktu muda di Makkah, ijazah kitab Shahih al-Bukhari dari Syaikh Umar ibn Hamdan al-Mahrasi, dari Sayyid Ali ibn Thahir al-Watari, dari Ahmad Minnatullah al-Adawi, dari Syaikh Muhammad al-Amir al-Kabir, dan seterusnya hingga sanad itu sampai pada al-Imam al-Bukhari. Meskipun al-Bukhari dikerumuni oleh banyak tokoh hadits, tetapi bisa saja dia disebut sebagai studi tokoh (muhaddits). Tetapi ada juga peneliti yang menilai bahwa al-Bukhari jika dikerumuni oleh ahli hadits yang banyak bisa masuk dalam komunitas al-Bukhari (muhadditsun). Perdebatan antar peneliti seperti itu mudah diselesaikan dengan apa masalahnya dan metoda apa yang akan dipergunakan dalam penelitian.  
          Sebagai tokoh muhaddits, meskipun dia dalam komunitas (muhadditsin) tetapi dia tetap memiliki karakteristik individual. Hal itu merupakan suatu akumulasi dari berbagai pengalaman dalam perjalanan hidupnya. Dia bisa berpangkal dari ciri-ciri psichologis sebagai potensi dasar dalam akumulasi diri, seperti keterampilan berfikir, menyusun jarah-ta’dil, memilih guru untuk mengutip matan hadits dan sebagainya. Pengalaman hidup dalam rihlah ilmiah atau pengembaraan intelektual yang dibuatnya sebagai pupuk itu point yang mempercepat posisinya sebagai muhaddits. Sementara komunitas yang terbentuk itu merupakan media utama untuk menyalurkan produk pemikiran, sehingga sebaran seorang muhaddits semakin luas.       
         Di samping itu identitas diri sering mencerminkan latarbelakang sistem sosial, seperti daerah kelahiran, lokasi pengembaraan, koleha dan pemukiman. Identitas tadi meskipun tidak terlalu menentukan, tetapi terkadang dapat menunjang posisi sentral yang dicapai melalui aktifitas dalam membangun ‘Sudut Pandang’. Selain itu identitas tadi dapat membantu tradisi intelektual dalam komunitas. Sudut pandang bagi semua muhadditsin itu berbeda, baik dalam pemilihan guru atau dalam penentuan matan hadits menjadi shahih atau dlaif dan sebagainya. Perbedaan itu terjadi antara lain karena berbeda dalam pengambilan aliran tentang ‘jarah-ta’dil’. Suatu contoh: Yahya ibn Ma’in (w.233 H-847 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutasyaddidin. Al-Bukhari (w. 256 H-869 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutawassithin, dan Ibn Hibban (w. 354 H- 965 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutasaahilin. Sudut pandang seperti itu awalnya terjadi pada muhadditsin mutaqaddimin, tetapi kemudian diikuti oleh muhadditsin mutaakhirin. Suatu contoh; Al-Dzahabi (w. 748 H-1347 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutasyaddidin, Ibn Hajar al-Asqallani (w. 852 H- 1448 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutawassithin, dan al-Sayuthi (w. 991 H- 1505 M) adalah muhaddits yang mengambil aliran mutasahilin. Setelah itu, sudut pandang seperti itu berhenti, karena belum ada gagasan baru yang diangkat dari hasil penelitian.      
          Jika muhaddits (tokoh) bergabung dengan muhaddits lain karena ada persamaan dalam satu kajian misalnya, maka itu disebut komunitas. Contoh seperti Ibn Hajar al-Asqallani dalam kitabnya, Bulugh al-Maram menulis perawi hadits dengan sebutan: Akhrajahu al-sab’ah, Akhrajahu al-sittah, dan seterusnya sampai sebutan Muttafaq alaih. Sebutan itu menggambarkan komunitas ahli-ahi hadits yang meriwayatkan hadits yang dikutip. Yang dimaksud Muttafaq alaih adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Yang dimaksud al-Arba’ah adalah Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nasai, dan Ibn Majah. Komunitas tadi merupakan sekelompok ahli hadits yang dinilai mendekati sejajar menurut penilaian Ibn Hajar. Komunitas itu merupakan bagian dari suatu sistem sosial atau kesatuan ahli-ahli hadits yang tersebar di berbagai kawasan.    
        Selain itu ada juga komunitas ahli-ahli hadits (muhadditsin) yang terbuat melalui mata rantai intlektual, berkenaan dengan transmisi dan pengembangan sudut pandang yang secara spesifik. Komunitas seperti itu ada yang ditentukan berdasarkan mazhab dalam Islam, seperti komunitas mazhab Ahl al-Sunnah, atau mazhab Syiah. Secara keilmuan dua mazhab tadi bisa terjadi dalam satu komunitas, dan suatu saat hanya terjadi pada satu mazhab saja, seperti Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam tulisan ini.

  1. Fokus Kajian Muhaddits dan Muhadditsun.
          Dalam masyarakat Islam muhaddits atau muhadditsun memiliki posisi penting karena memiliki keahlian ilmu yang bisa dijadikan panduan normatif bagi kehidupan kolektif. Keduanya bisa dipilih untuk dipelajari (diteliti) dalam perspektif masa lalu dan perspektif masa kini, disusun secara dikotomis atau kontinum. Muhaddits dapat digambarkan melalui biografi yang bersangkutan, sedang muhadditsun digambarkan melalui jaringan sosial mata rantai intelektual. Kedua fokos kajian itu berpangkal dari wilayah penelitian yang sangat luas, karena muhadditsin merupakan komunitas yang sangat besar yang mengalami pergantian antar generasi.
         Muhaddits sebagai tokoh merupakan suatu pribadi yang utuh. Ketokohannya  diperoleh karena dia memiliki karakteristik individual yang unggul. Hal itu diperoleh melalui pengembaraan mencari ilmu dan pengembangan daya intelektual, sehingga dia memiliki wacana yang dapat dijadikan rujukan dalam kehidupan masyarakat. Atas dasar itu, penelitian muhaddits dapat dipelajari (diteliti) melalui empat kajian, yaitu (a) karakteristik individual, (b) perjalanan intelektual, (c) afiliasi komunitas, dan (d) wacana intelektual.     
       Tokoh muhaddits seperti Abu Dawud saja, atau al-Tirmizi saja atau al-Nasai saja dan sepadanya itu sudah banyak ditulis dalam Kitab-kitab Kuning atau dalam internet atau beberapa buku. Berarti profil muhaddits sudah diketahui. Tetapi kalau muhaddits tadi dikaitkan pada empat kajian, belum banyak ditulis. Karena itu penelitian terhadap satu muhaddits, peneliti di samping mengutip uraian yang ada, juga perlu menurunkan analisa, menerapkan empat kajian di atas. Penjabarannya: Karakteristik individual muhaddits yang berkenaan dengan potensi pribadi dan latarbelakang keluarga itu ada dalam sistem sosial. Perjalanan atau pengembaraan intelektual muhaddits berkenaan dengan perjalanan dan keterlibatannya dalam wacana intelektual, itu melalui proses transmisi dan sosialisasi ilmu hadits baik riwayah atau dirayah. Afiliasi komunitas muhaddits berkenaan dengan keanggautaannya dalam kelompok muhadditsin Ahl al-Sunnah, atau Syiah itu dapat menentukan model keilmuan hadits. Wacana intelektual muhaddits berkenaan dengan aktualisasi dan artikulasi daya intelektual itu tampak dalam produk pemikiran yang dituangkan dalam wujud lisan atau tulisan. Akumulasi dari keempat unsur tadi merupakan modal utama bagi muhaddits untuk memperoleh posisi dalam komunitas muhadditsin dan atau dalam sistem sosial lainnya.
         Muhadditsun tertentu merupakan kesatuan komunitas yang diikat oleh kesamaan keahlian, dan sudut pandang yang secara operasional dapat diidentifikasikan sebagai komunitas ahli hadits tersendiri. Misalnya, komunitas al-Bukhari dan Muslim  disebut muttafaqun alaih. Komunitas Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nasai dan Ibn Majah itu terhimpun dalam sebutan Rawahu al-arba’ah. Komunitas Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban dan al-Hakim itu terhimpun dalam muhadditsin mutasaahilin. Selain itu ada juga komunitas tokoh penerima hadits-hadits dlaif, dan sebagainya. Semua tokoh-tokoh itu sudah banyak ditulis dalam Kitab Kuning, internet dan buku-buku ilmu hadits. Berarti semua itu sudah diketahui. Masalah yang belum dipelajari itu melingkari uraian tadi dalam bentuk empat unsur, yaitu (a) basis komunitas (b) jaringan komunikasi (c) tradisi intelektual (d) mata rantai intelektual.
        Basis komunitas muhadditsin di atas, berkenaan dengan dasar penerimaan hadits shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dirinya dari Rasulullah Saw. itu memakai sanad yang bertemu (muttashil), dan satu persatu dari sanad tadi terdiri dari perawi hadits yang adil dan dlabith. Jaringan komunikasi terjadi berkenaan dengan pola ko-munikasi di kalangan muhadditsin. al-Bukhari dan Muslim misalnya itu menggunakan jarah ta’dil yang tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan (mutawassithin). Tradisi intelektual al-Bukhari, Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan sesamanya itu dituangkan dalam Ilmu Hadits. Matarantai intelektual berkenaan dengan jaringan intelektual muhadditsin itu melalui karangan ulama tentang syarah hadits, kritik ulama terhadap isi hadits dan pengutipan hadits oleh ulama pada umumnya, sehingga muncul sebutan: muttafaqun alaih, Rawahu Abu Dawud, Rawahu al-Hakim dan lain-lain. Semua itu dapat memperkuat komunikasi bagi komunitas muhadditsin.     

  1. Penutup
      Uraian di atas baru mengenalkan sosok muhaddits dan muhadditsun, dan belum menyajikan modal penelitiannya. Meskipun begitu, dari uraian di atas dapat diangkat beberapa masalah untuk penelitian. Setelah masalah jelas, maka proposal penelitian perlu dilengkapi dengan (1) Tujuan dan Kegunaan Penelitian (2) Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berfikir (3) Langkah-langkah Penelitian yang dilengkapi dengan a) metoda penelitian, b) sumber data, c) pengumpulan data, baik perpustakaan atau lapangan, dan (4) Analisa Data. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.


           

                                     
Mengenal Ahli Hadits Profesional Reviewed by Chozin Nasuha on 23.21 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by Chozin Nasuha Official Web © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by Sweetheme

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.