Pengembangan Konsep I'Jaz al-Qur'an
A.Pembukaan
Pengembangan
konsep I’jaz
al-Quran pada
dasarnya terkandung dalam beberapa hal; ekstrinsik, intrinsik, nuzul al-Quran,
Makki Madani, kontekstualisasi makna ayat, pengungkapan nilai-nilai mu’jizat
yang ada dalam kandungan ayat, dan sebagainya. Dengan kata lain, semua
permasalahan yang dipergunakan sebagai objek studi I’jaz al-Quran itu dapat
diasumsikan bahwa ayat-ayat al-Quran yang dihadapinya, memiliki nilai mu’jizat,
besar atau kecil, rumit atau polos, itu tergantung pengolahan. Demikian jika
teori i’jaz itu dikembangkan terus.
I’jaz al-Quran dalam pemikiran Nashr
Hamid Abu Zaid adalah kajian tentang karakteristik teks yang membedakannya dari
teks-teks lain dalam kebudayaan. Teks dipahami dalam arus kebudayaan sebagai ‘mukjizat’.
Dengan ungkapan seperti itu, berarti I’jaz merupakan tampilan ayat al-Quran
sebagai mu’jizat, dan bukan teori yang bisa dipergunakan untuk memproduksi mu’jizat dari
ayat-ayat itu tadi. Dengan demikian, pemikiran Nashr tentang I’jaz adalah sama
seperti pemikiran ulama klasik.
I’jaz dalam dua pmikiran tadi,
masuk dalam pembahasan Ulum al-Quran klasik. Karena itu I’jaz masuk dalam pembahasan
ilmu budaya (humanistis) ansich. Dalam tulisan ini, I’jaz al-Quran akan dicoba
dibahas dengan meminjam disiplin lain, terutama antropologi. Dengan demikian, I’jaz
al-Quran dapat masuk dalam dataran humanis dan sciencis, sebagaimana
gagasan Levi Strauss tentang strukturalisme.
B. I’jaz al-Quran dalam
gagasan
Menurut Qadli Iyadl al-Yahshubi
(476-544 H / 1083-1149 M) dalam kitabnya, Al-Syifa, yang dikutip oleh
Al-Sayuthi (649-911 H/ 1445-1505 M) dalam kitabnya, al-Itqan, mengungkap
yang singkatnya adalah bahwa mu’jizat al-Quran dapat dilihat dari empat segi
(1) Mu’jizat dalam keindahan susunan kata dan kefashihan teks al-Quran, yang
tidak bisa ditandingi oleh semua sastrawan Arab (2) Bentuk bacaan yang meresap dalam hati dan
susunan redaksi teks yang jika dibaca sangat mengagumkan jiwa (3) Isi ayat al-Quran
banyak menceritakan berita-berita ghaib yang tidak pernah diceritakan oleh
bangsa Arab (4) Ayat al-Quran banyak menceritakan kisah-kisah yang terjadi masa
lalu. Atas dasar itu, I’jaz al-Quran bisa diangkat dari unsur-unsur
mu’jizat tadi.
Dalam tempat lain, I’jaz al-Quran
bisa disusun dari berbagai unsur, yaitu bisa dikaitkan pada dzatiyah al-Quran
itu sendiri, atau bisa dari segi profil penampilan yang berbentuk susunan kata
yang indah, atau dari segi isi yang disajikan, atau dari segi keseluruhan, dan
atau dari segi konteks yang ada di luar semua itu. Semua unsur-unsur tadi berdiri
sendiri-sendiri dan berkaitan satu sama lain untuk membentuk teori I’jaz
al-Quran. Kaitan atau hubungan yang membentuk totalitas yang kemudian bisa
disebut sebagai dasar-dasar I’jaz al-Quran, itu bisa berdiri
sendiri-sendiri, seperti i’jaz dalam bahasa saja, atau i’jaz dalam isi ayat
saja, atau i’jaz dalam konteksnya saja, atau bisa saja i’jaz itu terjadi karena
menggabungkan unsur-unsur semua tadi. Atas dasar itu, semua unsur dalam hubungan
tadi memiliki peran yang penting dalam pembahasan, dan itulah yang menentukan
terbentuknya konsep I’jaz al-Quran.
Atas dasar itu, I’zaz al-Quran
tampil dalam bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan sudut pandang dan hakikat
yang sedang dipelajari, seperti bentuk konsep, metoda, pendekatan, alat analisa,
bahkan bisa juga i’jaz disebut sebagai teori. Untuk mendefinisi-kannya,
masing-masing istilah diterapkan pada fungsinya masing-masing. Kalau i’jaz
itu dibuat sebagai alat yang bermanfaat untuk memahami teks al-Quran, maka
I’jaz adalah alat yang ada dalam sistemnya. Dalam kaitan ini I’jaz al-Quran
masuk dalam kajian Ulum al-Quran. Kalau dibuat sebagai metoda, maka i’jaz
bisa dibuat sebagai cara kerja, bagaimana bagian-bagian dengan totalitasnya
dioperasionalisasikan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Kalau itu dibuat
sebagai pendekatan dan analisa isi, maka i’jaz merupakan abstraksi, bahwa
setiap gejala merupakan suatu i’jaz atau bisa juga dicakup oleh sistem i’jaz
yang lebih besar. Model analisa dengan sendirinya juga disertai dengan teorinya
masing-masing. Dalam kaitan ini, unsur i’jaz bisa dianalisa dengan linguistik, bisa
dianalisa dengan sejarah, dan bisa dianalisa dengan ilmu-ilmu sosial, antropologi,
sosiologi, bahkan psikologi, tergantung unsur i’jaz apa yang akan dianalisa.
Karena semua itu merupakan struktur yang berkembang terus, maka I’jaz
al-Quran dengan segala unsur dan bagian-bagiannya adalah teori Ulum
al-Quran. Karena teori ini masuk dalam dataran ilmu, maka konsekuensinya i’jaz
dapat dikembangkan terus..
I’jaz al-Quran terdiri atas
unsur-unsur atau bagian-bagian yang menduduki posisi subordinasi terhadap
totalitasnya. Unsur atau bagian-bagian tadi tidak berdiri sendiri, tetapi
setiap unsur berhubungan satu sama lain. Misalnya bahasa al-Quran itu tidak berdiri
sendiri dengan kefashihan semata, tetapi bahasa itu ada kaitannya dengan makna
yang dibicarakan, ada konteks yang dituju dan begitulah seterusnya. Hubungan
antar unsur itu baik terjadi secara positip maupun negatip, baik secara
insidental maupun konstan, itu disebut sebagai i’jaz. Dengan kata lain, dalam i’jaz
ada unsur yang memilki fungsi dan tujuan masing-masing, baik fungsi positip
atau fungsi negatip. Hubungan dengan unsur negatif tidak dimaksudkan untuk
ditiru, tetapi justru untuk memberikan perbandingan dalam rangka menuju aspek
positip tersebut. Suatu contoh ayat yang berbunyi Tabbat yadaa Abi Lahabin
wa tabb, dan seterusnya. Ayat ini menceritakan kecelakaan Abu Lahab, yang
berarti negatif secara isi. Tetapi yang dimaksudkan dalam i’jaz di sini adalah
kebalikannya, yaitu agar pembaca tidak celaka seperti Abu Lahab.
Sebagai totalitas, i’jaz tidak
statis. I’jaz selalu berubah dan berkembang, karena memiliki berbagai faktor
yang hidup dan bergerak. Antara lain i’jaz sebagai koherensi intrinsik bisa
bergerak sendiri, yang di dalamnya i’jaz memiliki banyak bagian-bagian yang
menyesuaikan diri dalam rangka menuju totalitas. Suatu contoh, unsur i’jaz terdiri
dari bahasa, yang secara linguistik memiliki banyak teori, yang satu sama lain
dapat diterapkan pada teks al-Quran, seperti klasifikasi bahasa, tipologinya,
arealnya, dan lain-lain. Semua itu bisa berkembang sendiri-sendiri, untuk
menunjang totalitsnya. I’jaz juga memiliki transformasi yang mengandaikan,
bahwa setiap unsur atau semua bagian-bagiannya mampu untuk melakukan perubahan sendiri,
sehingga secara terus menerus terjadi pembentukan anasir-anasir baru. Suatu
contoh, ayat al-Quran memiliki teori konteks yang berbeda-beda, seperti dalam Ulum
al-Quran ada ayat yang turun di Makkah di Madinah, atau turun di waktu
malam, atau di waktu panas, dan lain sebagainya. Semua itu menandakan bahwa
teks al-Quran memiliki kontek yang berbeda-beda. Atas dasar itu i’jaz untuk
masyarakat Indonesia bisa
berbeda dengan kebutuhan i’jaz untuk masyarakat Cina, atau India atau Amerika dan sebagainya, yang kulturnya berbeda dengan
bangsa Indonesia .
Dari segi lain, i’jaz juga memiliki regulasi diri yang menunjukkan bahwa i’jaz
bersifat otonom, sehingga dalam melakukan transformasi, i’jaz tidak memerlukan
unsur-unsur lain secara total. Dalam kaitan ini, i’jaz tidak memerlukan ilmu
sejarah total seperti penerapan titi mangsa, lokasi kejadian dan lain
sebagainya. Karena sejarah dan ilmu sosial yang lain itu tidak dipergunakan untuk mengembangkan i’jaz
seperti apa adanya, tetapi ilmu-ilmu yang dipergunakannya itu adalah kerangka berfikirnya, atau metoda
berfikirnya dan bukan materi yang diuraikan.
C. Definisi I’jaz
al-Quran
Secara kebahasaan, I’jaz al-Quran
dan mu’jizat al-Quran itu diambil dari kata yang sama, yaitu a’jaza
(melemahkan). Kata i’jaz mengambilnya dari shighat mashdar, dan kata mu’jizat
mengambilnya dari shighat isim faíl. Perbedaan shighat itu menjadikan
makna berbeda, dan lebih berbeda lagi setelah kata itu dibuat sebagai konsep
keilmuan. Banyak sekali tulisan Ulum al-Quran yang mengulas I’jaz
al-Quran diarahkan untuk menguraikan isi mu’jizat al-Quran. Dari segi lain,
banyak sekali ulama yang menulis tentang I’jaz al-Quran tersendiri yang tidak
dimasukkan kedalam Ulum al-Quran. Antara lain karya Al-Khaththabi,
al-Rumani, al-Zamlakani, Al-Razi, Ibn Suraqah, dan lain-lain. Menurut Ibn al-Arabi
tulisan yang paling baik untuk ini adalah I’jaz al-Quran karya Abu Bakar
al-Baqillani. Dalam tulisan itu banyak uraian yang menyajikan perbedaan konsep
antara satu ulama dengan ulama yang lain. Perbedaan yang menyolok adalah
pemikiran al-Nazhzham dari Mu’tazilah
yang menurunkan teori al-shirfah, dan komentar tokoh-tokoh Mu’tazilah
lainnya seperti Qadli Abduljabbar, dan Abu Hasyim al-Jubbai..
Dengan demikian, konsep I’jaz al-Quran
sudah berbeda pendapat di kalangan para ulama. Perbedaan konsep yang terjadi pada
masa sekarang adalah tulisan Manahil al-Irfan yang menulis bahwa I’jaz
al-Quran adalah menyandarkan kata mashdar (I’jaz) kepada isim
failnya (al-Quran). Sedangkan maf’ul atau objeknya banyak sekali,
sehingga tidak perlu disebutkan. Konsep pemahaman kata seperti itu, berarti konsep
I’jaz al-Quran adalah memukjizatkannya al-Quran, kepada objek yang
banyak sekali. Berangkat dari konsep itu, maka yang dicari adalah bentuk-bentuk
mu’jizat yang ada dalam al-Quran. Pemahaman seperti itu dikuatkan juga oleh
karya M. Quraish Shihab dengan bukunya, Mukjizat al-Quran.
Begitu itu sangat berbeda dengan konsep
yang akan diuraikan oleh tulisan ini. I’jaz al-Quran menurut tulisan ini
adalah menyandarkan kata mashdar (i’jaz) kepada kata al-Quran sebagai maf‘ulnya.
Sedangkan isim fa’ilnya adalah disimpan (taqdir) yang jika dijelaskan
adalah mufassir. Jadi yang dimaksud dengan konsep I’jaz al-Quran adalah
memukjizatkan isi al-Quran oleh para mufasir, untuk diterapkan pada lapisan masyarakat
di semua lokasi dalam bentuk berbagai kebudayaan. Dengan konsep ini ada
persamaan dan ada perbedaan dalam konsep i’jaz dengan para penulis Ulum
al-Quran di Indonesia
dan di tempat lain, terutama dalam menyajikan ungkapan.
Persamaannya adalah ada dalam pemikiran, bahwa
al-Quran itu kalam Allah yang turun dengan disertai mukjizat yang besar, semenjak
dari zaman Rasulullah Saw, sampai zaman kita, bahkan sampai hari kiamat. Selain
itu, ada persamaan juga tentang pemikiran bahwa budaya yang terjadi pada zaman
dahulu itu berbeda dengan budaya yang terjadi pada zaman sekarang. Budaya
sekarang akan berbeda lagi dengan budaya pada masa yang akan datang, dan
begitulah seterusnya. Dari segi lain ada juga persamaan, bahwa budaya yang
terjadi di Saudi Arabia misalnya
itu bisa berbeda dengan budaya yang terjadi di Indonesia , dan di tempat lain,
meskipun terjadi pada waktu yang sama.
Sedangkan perbedaan yang menyolok
adalah (1) Konsep yang menyandarkan kata al-Quran kepada kata i’jaz. Manahil
al-Irfan menilai bahwa kata al-Quran itu menjadi fail bagi I’jaz, sedangkan
buku ini menilai bahwa kata al-Quran adalah menjadi maf’ul bagi kata I’jaz, sebagaimana
diuraikan di atas. (2) Penilaian konsep yang ada pada perbedaan nilai kata,
antara mukjizat dan i’jaz. Mukjizat adalah kejadian yang menyertai wahyu, maka
datangnya itu dari Allah. Sedangkan i’jaz adalah sebuah ilmu yang teori dan
metodanya bisa dicari oleh ilmuan, secara terus menerus. Mukjizat adalah
fenomena yang ajeg, sedangkan i’jaz adalah bahan penelitian dan bahan diskusi
yang terus berkembang. Konsep yang disebut akhir ini belum banyak dikembangkan
oleh para penulis Ulum al-Quran sampai sekarang.
Berbeda dengan konsep nasikh-mansukh,
muhkam-mutasyabih, takwilisasi huruf muqaththaáh dan lain
sebagainya. Para penulis Ulum al-Quran
sejak zaman klasik sampai zaman sekarang, telah berhasil melestarikan ayat-ayat
al-Quran menjadi ayat yang mansukhah dan ayat yang nasikhah. Ayat
yang mansukhah adalah satu, dua, tiga dan seterusnya. Ayat nasikhah
adalah satu, dua, tiga dan seterusnya juga. Abu Muslim al-Ashfahani menolak
konsep nasikh-mansukh dalam al-Quran seperti itu.Tetapi karena dia Mu’tazilah
maka gagasannya tidak ditanggapi oleh mufasir di Indonesia . Begitu juga gagasan Mahmud
Thaha yang diteruskan oleh muridnya, Al-Na’im yang mempunyai gagasan bahwa naskh-mansukh
dalam al-Quran itu berbeda dengan konsep yang diuraikan oleh kitab dan buku Ulum
al-Quran yang beredar selama ini. Mahmud Thaha menyajikan konsep naskh
sebagai penangguhan pelaksanaan ayat, dan bukan pergantian. Dengan kata lain,
ayat-ayat Quran yang kelihatan kontradiksi itu semua bisa diterapkan kepada
masyarakat secara kontekstual. Penulis menggambarkan bahwa ayat larangan
melakukan shalat ketika orang itu sedang mabuk (QS. Al-Nisa 43) itu bukan ayat
mansukhah, tetapi ayat yang tetap berlaku bagi muslim pemabuk yang hendak
shalat, seperti keadaan yang dilakukan oleh seorang muallaf misalnya. Penolakan
penulis Ulum al-Quran terhadap kerangka berfikir Mu’tazilah dan
pemikiran Mahmud Thaha adalah sampai sekarang, maka penulisan materi Ulum
al-Quran menjadi statis informatif. Senada dengan konsep itu, soal i’jaz
al-Quran yang diuraikan oleh mereka masuk dalam pemikiran apologis dalam memukjizatkan
makna ayat-ayat al-Quran. Mereka tidak mengembangkan Ulum al-Quran sejalan
dengan perkembangan kehidupan dan budaya zaman sekarang, tetapi mereka hanya
mengutak-atik materi yang sudah ada dengan bahasanya sendiri. Demikian ini
karena lemahnya ahli-ahli al-Quran di beberapa tempat dalam melaksanakan
penelitian di lapangan, dan kelemahan mereka dalam penguasaan terhadap teori
ilmu-ilmu budaya dan sosial.
I’jaz diawali dari kata a’jaza
yang berarti melemahkan. Kemudian dikembangkan oleh para ahli untuk menggali
mukjizat yang dibawakan oleh ayat al-Quran, sekarang dan yang akan datang.
Analisa formalis kata tadi memberikan intensitas pada bentuk kata itu, bukan
isi, bukan tema, dan bukan biografi pencetus ide (mufassir) sehubungan latar belakang
mereka adalah ahli qiraat, ahli nahwu, ahli kisah dan ahli sebagainya. Konsep
I’jaz sebenarnya, disebut sebagai reaksi terhadap pemikiran apologis yang membangga-kan
fenomena alam dikaitkan dengan tafsiran ayat-ayat al-Quran. Atas dasar itu,
konsep I’jaz al-Quran dalam tulisan ini adalah sebagai peletak dasar
pengembangan keilmuan Ulum al-Quran.
D. Mencari Model I’jaz al-Quran .
Dalam al-Quran, banyak sekali kisah-kisah
tentang para Nabi dimulai dari kisah Nabi Adam, Nabi Nuh, sampai kisah Nabi
Isa, Nabi Muhammad dan pengikutnya. Dari semua itu, ada yang kisahnya panjang
seperti kisah Nabi Musa, Nabi Yusuf dan lain-lain, ada juga kisah yang agak
singkat, seperti kisah Nabi Zakaria, dan ada yang kisah itu singkat sekali
seperti kisah Nabi Ilyasa’, dan Nabi Dzulkifli. Selain itu ada juga kisah yang bukan
nabi tetapi dicantumkan dalam al-Quran seperti kisah Dzulqarnain, dan Ashhab al-Kahfi.
Semua itu memilki bentuk kisah yang berbeda-beda, tetapi semua itu memilki mukjizat
yang sangat tinggi, yang insya Allah dapat digali melalui teori i’jaz al-Quran.
Awalnya, i’jaz al-Quran didasarkan pada fonem bahasa, kemudian meluas pada
bidang-bidang lainya. Melalui bahasa inilah model strukturalisme berkembang. Demikian
dapat dibuktikan bahwa melalui sastra yang ada pada teks al-Quran, poststrukturalisme,
dan strukturalisme itu sendiri dapat menyebar ke berbagai tradisi intelektual.
Melihat perkembangan analisa struktur yang sangat luas itu, maka secara garis
besar i’jaz al-Quran dapat dianalisa dengan dua model, yaitu model struktur
bahasa, dan model struktur sosial. Suatu contoh, kisah Nabi Dawud atau kisah
Nabi yang lain, dari segi redaksi dapat dipelajari dari struktur bahasa,
sedangkan dari segi isi kisah itu bisa dipelajari melalui struktur antropologis.
Struktur yang disebut akhir ini, pemikiran ilmuan sosial banyak menulis buku tentang
kemasyarakatan dan berbagai gagasan sampai menyajikan teori.
Model struktur bahasa dapat
dipelajari melalui pemikiran Ferdinand de Saussure, sarjana Swiss yang berusaha
membangun linguistik yang baru. Pemikiran itu insya Allah dapat dipergunakan
untuk mempelajari bahasa apa saja, termasuk bahasa al-Quran. Intinya ada lima kajian tentang
bahasa, yaitu tentang kontradiktif atau ketidak sejalanan persis antara (1)
penanda dan tinanda (dal dan madlul). (2) form dan content (bentuk dan isi),
(3) bahasa dan parole (bahasa dan ujaran atau tuturan), (4) singkronis dan
diakronis, (5) sintagmatik dan paradigmatik.
Secara singkat, dapat dipelajari dari
beberapa segi bawa penanda dan tinanda itu bukan sekedar pemahaman lafaz dan
makna, karena setiap orang yang ingin mengatakan sesuatu, itu ada ide yang
tersimpan di dalamnya. Atas dasar itu ada pertanyaan, apakah kata yang diucapkan
itu bersifat vokal atau bersifat psikologis. Dari segi lain, ketika nama sesuatu
itu adalah benda X misalnya, itu tidak semudah perkiraan pendengar, bahwa yang
diucapkan oleh perkataan yang sama itu, belum tentu menuju pada X yang sama, karena
dibalik itu ada sesuatu yang berhubungan dengan kata itu. Atas dasar itu, a)
tidak ada relasi alami antara penanda dan tinanda b) Penanda dan tinanda itu
arbitrair (kesewang-wenangan) kebiasaan pada bidang konseptual dan spektrum
suara c) Penanda dan tinanda ditetapkan sebagai bahasa yang disepakati untuk
membedakannya dengan penanda dan tinanda yang lain. d) Bahasa bukan suara yang
kita hasilkan, tetapi unit abstrak yang sepenuhnya bersifat relasional. Karena
itu, kebahasaan adalah bentuk, wadah dan bukan hakikat isi (substans).
Perbedaan antara wadah dan isi itu selamanya
terjadi antara penanda dan tinanda. Misalnya kata “Kereta Api Cirebon Expres” itu kata-kata yang biasa diulang berkali-kali
tetapi isi atau makna dari kata itu tidak persis sama, meskipun jadual dan
tempatnya dilepas dari Cirebon
ke Gambir pada jam yang sama. Dengan kata lain, ucapan KA Cirek itu isinya atau
madlulnya belum tentu sama. Atas dasar itu, Saussure berpendapat bahwa bahasa
adalah seperangkat perbedaan-perbedaan suara yang dikombinasikan, dan digabungkan
dengan perbedaan-perbedaan ide, bukan seperangkat istilah yang dibedakan antara
satu dengan yang lain. Dari segi lain, bahasa adalah sebuah sistem dari istilah-istilah
yang saling tergantung pada nilai, dari istilah mana, atau kata dari hasil
kehadiran, keberadaan istilah-istilah yang lain sekaligus. Nilai dari setiap
istilah dalam bahasa itu ditentukan oleh lingkungannya. Di dalam al-Quran
banyak sekali sebutan ‘taqwa’ tetapi madlulnya seperti apa, itu berbeda antara
satu konsep (madlul) dengan yang lain.
Dari segi empirik, bahasa pada dasarnya
memiliki dua aspek, yaitu aspek bahasa dan aspek ucapan (parole). Bahasa
memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antar manusia, karena bahasa
dimiliki bersama. Bahasa merupakan fenomena kolektif bagi pemakainya. Dia merupakan
sebuah sistem, sebuah fakta sosial, atau aturan-aturan norma antar person yag
bersifat tidak disadari. Kemauan dan manipulasi individual tidak akan mempunyai
pengaruh terhadap bahasa itu. Berbeda dengan parole yang merupakan wujud atau
aktualisasi dari bahasa, dalam ucapan lisan atau dalam tulisan itu bisa
berbeda-beda. Parole (tuturan) adalah bersifat fenomena yang menggunakan bahasa
dalam percakapan, atau menyampaikan pesan tertentu liwat suara simbolik yang
keluar dari mulut orang yang mengatakan. Parole bersifat indifidual, sehingga
dia mencer-minkan atau menunjukkan kebebasan pribadi seseorang, dalam
menggunakan bahasa itu. Suatu contoh, bahasa Jawa yang ada dalam parole orang
Yogya, berbeda dengan parole orang Banyumas, dan keduanya berbeda lagi dengan
parole Jawa Timur dan begitulah seterusnya. Secara singkat, bahasa dan parole
itu selalu berbeda, tetapi secara pandangan linguistik, keduanya merupakan dua
sisi yang tidak bisa dipisahkan bagaikan sebuah mata uang yang sama. Perbedaan antara aspek bahasa dan parole
dapat diterapkan pada sistem simbol komunikasi lainnya, seperti penerapan mistik,
mitos, fenomena budaya, dan lain sebagainya, termasuk salah satu cara untuk
mempelajari I’jaz al-Quran. Begitu itu sudah diceritakan oleh teori nuzul
al-Quran, yang membedakan ayat-ayat yang turun di Makkah (Makkiyah) dengan
ayat-ayat yang turun di Madinah (Madaniyah).
Salah satu pembahasan bahasa lagi
adalah pembedaan sinkronis (kesesuaian lafaz-makna) dengan diakronis (evaluasi
perkembangan bahasa). Kenyataan ini menuntut adanya pembedaan yang jelas antara
fakta-fakta kebahasaan sebagai satu sistem, dengan fakta-fakta kebahasaan yang
mengalami evolusi. Konsep itu seharusnya terjadi sepanjang zaman. Perbedaan itu
sebenarnya dapat dilihat dari perkembangan yang perlu terjadi tentang hubungan
antara dal dan mad-lul yang bersifat bebas memihak (arbitrais). Kalau relasi
antara dal dan mad-lul itu bersifat esensial, atau berpihak pada satu konsep seperti
lafaz-makna harus mengambil dari teks Kitab Kuning atau harus mengambil dari
tokoh organisasi tertentu (modern) misalnya, maka relasi semacam itu akan
menghambat setiap proses perubahan yang terjadi pada setiap konsep lafaz-makna,
termasuk konsep penafsiran terhadap ayat al-Quran. Situasi semacam itu menuntut
adanya ahistoris atas bentuk lafaz-makna. Karena itu tidak terdapat suatu inti
yang harus bertahan terhadap bentuk perubahan, kecuali makna yang melampaui
dasar maklum min al-din bi al-dlarurat. Atas dasar itu, setiap lafaz
makna dapat didefinisikan sebagai suatu entitas yang bersifat relasional, atau
dengan relasinya dengan lafaz-makna yang lain. Alhasil, bahasa adalah salah
satu entitas historis, maka fokus kajiannya jika kita ingin menentukan
elemen-elemen adalah pada relasi-relasi yang ada dalam suatu sinkronis
(kesesuaian lafaz-makna).
Selain menurunkan teori sinkronik dan
diakronik, ijaz al-Quran juga memerlukan konsep tentang sintagmatik dan
paradigmatik. Sintagmatik adalah hubungan yang dimi-liki oleh satu kata dengan
kata yang lain, yang apabila tidak ada salah satunya maka tidak terjadi
pernyataan yang sempurna. Contoh sikronik yang perlu diterapkan disini adalah
seperti ada mubtada maka perlu khabar, ada fi’il, perlu fa’il dan maf’ul dan
sebagainya. Sintagmatik dalam tulisan ini tidak berakhir sampai di situ, tetapi
diteruskan sampai tampilnya hubungan ayat-ayat al-Quran dengan tafsirannya.
Hubungan sintagmatik ini sangat esensial bagi suatu tafsir al-Quran. Jika satu
tafsir kehilangan satu kata, seperti mubtada tidak ada khabarnya, atau
kehilangan makna lain dalam i’jaz, seperti kinayah kehilangan yang
dikinayahkan, dan lain sebagainya, maka dia akan kehilangan identitas
formalnya, dan dia akan berubah menjadi penafsiran lain. Begitu itu bisa
terjadi sejalan dengan maksud tasfir al-Quran seperti dengan adanya ta’wil,
atau model hermeneutis dan semacamnya. Tetapi bisa juga suatu ta’wil
dianggap menyimpang dari tafsir al-Quran, menurut suatu ijma’, seperti ulasan yang
mengatakan bahwa shalat mafrudlah tidak wajib dan semacamnya. Tafsir
al-Quran yang dilihat secara sinkronik pada dasarnya adalah sebuah sistem untuk
membedakan tafsir al-Quran yang sesuai dengan kaidahnya, dengan tafsir al-Quran
yang lepas dari kaidah itu. Misalnya tafsir ma’tsur mengehendaki dengan
pemikirannya sendiri, tetapi tafsir yang lain, menyimpang dari pemikiran itu.
Lain halnya dengan hubungan
paradigmatis, yang dalam tempat lain disebut hubungan asosiatif. Hubungan ini
memisah-misahkan berbagai perbedaan yang penting peranannya bagi suatu konsep yang
diterapkan pada tafsir al-Quran. Konsep yang dalam idealnya disebut i’jaz
al-Quran, itu bisa dihubungkan pada satu model mukjizat dan bisa juga dihubungkan
pada model mu’jizat yang banyak dikeluarkan oleh ayat al-Quran. Dengan
demikian, kata-kata yang berstatus mubtada memiliki hubungan i’jaz
tersendiri yang tidak ada kaitannya dengan i’jaz yang ada pada khabarnya,
atau sebaliknya. Misalnya ayat ‘Allama al-insaana maa lam ya’lam ( QS
al-‘Alaq 5). Dalam rangkaianya, ayat ini secara sintagmatis semua kata dan
makna yang dibawakannya harus bergabung, tetapi secara paradigmatis, kata ‘Allama
bisa memiliki mukjizat tersendiri yang tidak persis sama dengan mukjizat yang
ada dalam kata al-insaan, dan mukjizat yang ada pada kedua kata tadi berbeda
lagi dengan mu’jizat yang dibawakan oleh kata maa lam ya’lam.. Secara
sinkronik, tiga kata tadi harus saling terkait seperti tersebut tadi. Tetapi
secara paragmatis ketiga kata itu bisa dipisah-pisah karena memiliki konsep i’jaz
sendiri-sendiri, sehingga mukjizatnya pun berbeda-beda pula. Apa bentuk
mukjizat yang ada pada kata-kata itu? Jawabannya bisa dicari melalui penelitian
linguistik strukturalisme dalam kasus yang berbeda-beda, dan dalam tempat yang
berbeda-beda pula.
Melihat konsep di atas, dan melihat fenomena
tafsir al-Quran yang muncul sejak zaman dulu sampai zaman sekarang, dapat
dianalisa secara antropoligis struktural, paling tidak mengikuti alur analisis
sintagmatis-paradigmatis. Dengan metoda analisis semacam itu makna-makna
penafsiran yang dapat ditampilkan dari berbagai fenomena pemikiran dan fenomena
kebudayaan akan menjadi lebih kaya dan utuh. Analisis antropologis atas
berbagai peristiwa budaya, kemudian tidak akan diarahkan pada upaya
mengungkapkan makna-makna simbolisnya saja, tetapi lebih dari itu adalah untuk
mengungkapkan tata bahasa yang ada di balik munculnya fenomena itu sendiri, atau
hukum-hukum yang mengatur proses perwujudan berbagai macam fenomena semiotis
dan simbolis yang bersifat tidak disadari. Barangkali model ini dapat
diteruskan sebagai model i’jaz al-Quran dalam mengungkap sebuah
mukjizat. Besar kecilnya mukjizat yang ditemukan, tergantung pada kelihaian dan
ketepatan mufasir dalam melaksanakan penelitian.
Dari segi lain, ada teori bagaimana
memahami atau menangkap tatanan (order) yang ada di balik fenomena budaya yang
variatif, yang diambil dari sistem kekerabatan. Misalnya menangkap order dari
sistem kekeluargaan yang ada dalam kisah Nabi Yusuf (Surat
ke 12) atau kekeluargaan dalam kisah Nabi Isa yang ada dalam Surat Ali Imran (Surat ke 3). Kekerabatan
dalam kisah-kisah ayat-ayat al-Quran banyak modelnya, dan beberapa tokoh
antropolog berusaha menjelaskan variasi tersebut dengan berbagai cara. Tetapi pada
masa sekarang, teori yang mendominasi pemikiran ilmiah adalah teori
evolusionisme yang dibawakan oleh J.J. Bachofen, kemudian oleh teori
fungsionalisme yang dibawakan oleh B.Malinowski. Antropologi yang memakai teori
tadi hanya memperhatikan asal-usul, dan fungsi atau tujuan dari adanya variasi
dalam kekerabatan itu saja. Maka dalam usaha mengembangkan i’jaz al-Quran,
kita bisa mengambil analisa Jakobson, yang dipakai oleh Levi Strauss yaitu
analisa paradigmatis. Suatu contoh, kita akan meneliti I’jaz yang ada pada
kisah Nabi Yusuf tadi misalnya. Alur kisah yang ada dapat ditafsirkan melalui
alur sintagmatis, tetapi secara paradigmatis, nilai i’jaznya berbeda antara isi
dialog Nabi Yusuf dengan ayahnya, dialog dengan saudara-saudaranya, dialog dengan
Raja Mesir, dialog dengan orang lain, dan lain sebagainya. Semua itu secara
paradigmatis bisa dibuat model struktur antropologis yang diharapkan mampu megungkap
berbagai mu’jizat yang banyak sekali dan isinya bervariasi. Apalagi bahasa yang
dipergunakan oleh Nabi Yusuf dalam dialognya dengan berbagai orang yang
dihadapi itu memakai redaksi yang berbeda-beda. Semua itu dapat dianalisa
dengan teori yang berbeda-beda pula, tergantung kemampuan dan kekayaan teori
yang dimiliki oleh seorang mufasir.
E. Penyajian Struktur
dan Transformasi
Struktur adalah model yang dibuat
oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang
dianalisanya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empirik. Model ini
merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain, atau saling
mempengaruhi. Dengan kata lain, struktur adalah relasi dari relasi. Dalam
analisanya, struktur terbelah menjadi dua, yaitu struktur lahir (luar) dan
struktur batin (dalam). Ciri-ciri struktur lahir adalah relasi-relasi antar
unsur yang dibangun berdasar-kan ciri-ciri empirik. Sedangkan struktur batin
(dalam) adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan struktur lahir yang
tidak kelihatan. Struktur batin ini disusun secara analisa dari berbagai
struktur lahir, yang dapat diangkat dari kerangka berfikir dan metoda.
Transformasi dalam tulisan ini
bukan bermakna perubahan (change) tetapi bermakna alih rupa.
Transformasi di sini adalah sebuah perubahan pada dataran permuka-an (teks) dan
tidak terjadi perubahan pada arti, atau pada makna yang dituju. Dalam bidang
simbolisme transformasi, bisa dilihat dari kisah penciptaan Nabi Adam misalnya.
Dalam Surat al-An’am ayat 2, Adam diciptakan dari thin, dalam Surat Ali
Imran 59 Adam diciptakan dari turab, dalam Surat al-Hijr ayat 33 dari shalshal,
dan dalam Surat Hijr ayat 26 Adam diciptakan dari hamain masnun. Secara
empirik kata-kata yang dibuat untuk penciptaan Adam adalah beda-beda.(thin,
terab, shalshal, dan hamain masnun). Tetapi makna atau pesan yang
dikandungnya adalah sama, yaitu bahwa Adam itu diciptakan dari tanah. Penyebutan
kata-kata thin, terab dan seterusnya itu disebut transformasi, dan bukan
peralihan konsep.
Transformasi dalam kata-kata seperti
itu, dapat dipakai untuk analisa struktural dalam menyusun rangkaian mu’jizat
yang kita teliti dan kita gali dari sebuah kisah yang ada dalam ayat al-Quran..
Setelah kita memperoleh tabel transformasi kisah seperti tersebut di atas, kita
dapat membangun sebuah model yang dapat menjelaskannya untuk memahami kisah
tersebut sebagai kesatuan. Dari sini mufasir akan membayangkan model-model mukjizat
yang sedang dicari melalui penelitian, dengan memperlihatkan adanya struktur
tertentu yang bersifat tetap yang ada pada setiap penelitian. Struktur inilah
yang disebut struktur batin dari berbagai simbol, dan proses simbolisasi
fenomena sosial budaya yang diangkat dari sebuah kisah yang distrukturkan. Demikian
ini merupakan model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami kebudayaan
yang dipelajari.
Dalam perspektif struktural,
kebudayaan yang ada pada kisah misalnya itu adalah rangkaian transformasi dari
struktur-struktur tertentu yang ada di baliknya, seperti struktur kisah yang
dapat dialihkan pada adegan-adegan yang ada pada kisah itu, dan dari adegan
tadi dipelajari secara struktural antropologis, atau secara struktur sosial
lainnya. Dengan hadirnya model yang dibuat oleh peneliti I’jaz al-Quran ini, yang
diawali dari teori transformasi-transformasi, maka analisa strukturnya insya
Allah dapat membuka suatu kemungkinan untuk mendapatkan sebuah gambaran yang sedang
digali dari sebuah kisah, bahkan bisa juga digali dari penelitian ayat-ayat
lain yang bukan kisah.
F. Anggapan Dasar
(asumsi)
Model struktur dalam kajian ini berbeda dengan
teori fungsionalisme struktural yang dikembangkan oleh Emile Durkheim atau
Talcott Parsons misalnya, dan berbeda juga dengan struktur dalam psikologi seperti
dikembangkan oleh Jean Piaget misalnya. Struktur
ini harus memahami asumsi dasar yang cukup banyak. Antara lain, Struktur :
- Mempunyai
anggapan dasar bahwa aktifitas sosial dan hasilnya, seperti dalam ayat kisah,
ada sistem kekerabatan, hubungan satu sama lain, tempat tinggal dan
lain-lain itu semua dapat dianggap sebagai bahasa, atau tanda dan simbol
yang membawa pesan tertentu. Karena itu ada nilai order (ketertataan) dan ada
nilai keterulangan pada berbagai fenomena. (nilai tertata dan dapat
diulang). Berangkat dari adanya order dan keterulangan itu, mufasir yang
peneliti dapat merumuskan nilai abstrak yang kita sebut bahasa atau kode.
Jika kita menerapkan ketertataan dan keterulangan pada setiap dua kekuatan
raksasa yang memiliki keinginan yang berbeda, kemudian berubah menjadi damai
dan rukun, seperti yang terjadi pada kisah Nabi Sulaiman dan Raja Bilkis misalnya,
itu bisa dianggap sebagai leksikon, atau istilah yang mungkin
diwujudkan dalam kenyataan. Berbeda dengan menyatu atau tidak menyatunya
kedua raja itu, maka dipandangnya sebagai tata bahasa yang mengumpulkan
mana saja kata itu yang memiliki makna. Apakah akan mengambil kata yang
menyatu atau mengambil kata tidak menyatu.
- Penganut
teori strukteralisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat
kemampuan dasar insani yang diwariskan secara genetis, sehingga kemampuan
itu ada pada setiap manusia yang normal, yaitu kemampuan untuk strukturing,
untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur
tertentu kepada gejala yang dihadapinya. Kemampuan dasar ini terdesain
sedemikian rupa sehingga berbagai macam kemungkinan penstrukturan tersebut
tidak lantas menjadi tanpa batas. Adanya kemampuan ini membuat manusia
(seolah-olah) dapat melihat struktur di balik berbagai macam gejala. Struktur
semacam itu bukan dilihat dari kenyataan, tetapi dapat diketahui, atau
dapat kita abstraksikan dari berbagai gejala yang nyata. Tugas ahli tafsir
yang peneliti yang menggunakan. perspektif struktural pada dasarnya adalah
mengungkapkan struktur pada awalnya Dia mengungkapkan struktur permulaan
(lahir) dahulu, setelah itu dia mengolah pemikiran untuk mengungkapkan
struktur dalam (batin). Semua itu semacam abstraksi yang dianggap ada di balik
berbagai gambaran isi ayat al-Quran, yang sedang dipelajari.
- Arti sebuah istilah itu ditentukan oleh
relasi-relasinya, pada suatu waktu tertentu, yaitu relasi-relasi secara
sinkronis dengan istilah-istilah yang lain. Menurut pengamal
strukturalisme, relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan
fenomena-fenomena yang lain pada titik tertentu, itulah yang menentukan
makna fenomena tersebut. Jadi yang menentukan bukan relasi diakronis,
tetapi relasi sinkronisnya. Sebelum perkembangan suatu sistem atau suatu
fenomena budaya diketahui secara diakronis, peneliti harus mengetahui dulu
kondisi sinkronisnya dengan fenomena yang lain dalam suatu waktu tertentu.
Pengamal strukturalisme dalam menentukan bentuk relasi-relasi itu tidak
mengacu pada sebab-akibat, tetapi pada hukum transformasi. Hukum
transformasi itu adalah keterulangan yang tampak melalui konfigurasi struktur
berganti menjadi konfigurasi struktur yang lain.Suatu contoh firman Allah
yang disampaikan kepada Nabi Musa di Gunung/ Thur Sinai. Dalam Surat Thaha
ayat 14 Allah bersabda : Innanii Ana Allah Laa ilaaha illa Ana
fa’budnii. (Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain
Aku, maka sembahlah Aku). Dalam Surat al-Qashash ayat 30, Allah berirman :
An Yaa Musa, Innii Ana Allah Rabbul ‘aalamiiin. (Ya Musa,
sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semua alam). Kedua kisah itu
menggambarkan suatu kasus yang sama, tetapi diuraikan dalam konteks dan
relasi uraian yang berbeda, maka transforasinya pun berbeda pula. Selain
itu. kalau kita membandingkan pola relasi yang ada pada gejala yang
terpisah dalam ruang dan waktu misalnya, maka kita menemukan persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan pada konfigurasi strukturnya. Semua itu karena
bekerjanya faktor tertentu, baik faktor bahasa atau faktor konteks. Tetapi
bagi pengamal strukturalisme di sini faktor tadi bukan karena
sebab-akibat, tetapi terjadi karena adanya konsep transformasi, yang dalam
konsep di sini bermakna ‘alih-rupa’.
- Relasi-relasi
yang ada pada struktur tersebut tadi dapat diringkas menjadi oposisi
berpasangan. Oposisi ini ada dua, yaitu oposisi eksklusif dan tidak
eksklusif. Oposisi eksklusif seperti pedagang beroposisi dengan bukan
pedagang, pohon mangga beroposisi dengan bukan pohon mangga, dan
sebagainya. Oposisi yang tidak eksklusif adalah seperti kata pedagang
beroposisi dengan petani, beroposisi dengan pegawai negeri, beroposisi
dengan ABRI dan sebagainya. Atau seperti Pohon beroposisi dengan hewan, beroposisi
dengan batu, beroposisi dengan logam dan sebagainya. Sebagai serangkaian tanda
dan simbol-simbol fenomena budaya pada dasarnya dapat ditanggapi dengan
cara di atas. Dengan metoda analisis strukur makna-makna yang dapat
ditampilkan dari berbagai fenomena budaya diharapkan lebih menjadi utuh.
Contohnya seperti profil Nabi Musa dioposisikan dengan kata ‘bukan Nabi
Musa’ Yaitu bahwa Nabi Musa itu bukan Malaikat, bukan keturunan Banul Jan,
bukan Ya’juj wa Ma’juj, dan sebagainya. Analisa antropologisnya juga tidak
akan diarahkan pada upaya mengungkapkan makna refrensinya saja tetapi lebih
dari itu, yaitu untuk mengungkapkan tata bahasa yang ada di balik proses
munculnya fenomena budaya itu sendiri. Dengan uraian oposisi berikutnya,
bahwa Nabi Musa itu bukan raja, bukan kelompoknya Fir’aun, Haman, atau Qarun
dan Nabi Musa itu bukan orag biasa. Semua uraian oposisi seperti itu,
dapar membantu menganalisa profil Nabi Musa. .
G. Analisa Struktur
Analisa struktur itu diilhami oleh informasi
yang bisa dikembangkan menjadi teori komunikasi. Misalnya, kisah-kisah di dalam
al-Quran itu memiliki pesan yang tersimpan yang tidak tunggal, melainkan banyak
missi dalam keseluruhan isi kisah itu. Meskipun demikian, Allah menceritakan
kisah itu seperti dalam bentuk abstrak, maka penerima pertama atas kisah (Rasulullah)
lebih memahami dan meresapi isinya, dari pada penerima kedua (sahabat Nabi),
penerima ketiga dan seterusnya. Dengan lain kata, pendengar kisah berikutnya
tidak lebih jelas dari pada pendengar yang lebih dulu. Meskipun begitu, teks
al-Quran sering memberikan peluang informatif terhadap orang-orang yang
menafsirkan ayat-ayat al-Quran.. Atas dasar itu (a) Jika kisah itu dipandang
sebagai missi yang bermakna, maka makna itu tidak terdapat pada unsur-unsurnya,
tetapi unsur-unsur itu dikombinasikan satu kisah dengan yang lain, seperti anjuran
kisah dengan hidayah, atau dengan amal shalih dan sebagainya. Pada kombinasian
itulah terdapat makna (b) Meskipun kisah itu diuraikan dalam bahasa, tetapi sering
bahasa tadi memberi ciri khas, seperti singkat dan diberi semacam informasi
yang lain, seperti gambaran taqwa di tengah-tengah kisah, dan sebagainya. (c)
Kisah tidak terbatas pada bahasa saja, tetapi kadang-kadang lebih komplek, lebih
rumit, dan itu sangat berbeda dengan cerita dalam novel atau dalam sejarah.
Selain itu, struktur dengan
relevansinya berkembang dari struktur ke struktur fungsi, struktur dinamik,
struktur semiotik, dan terakhir postruktur. Karena itu, analisa struktur tidak
hanya diterapkan pada ayat-ayat kissah saja, tetapi dapat diterapkan pula pada
ayat-ayat sosiohistoris yang lain, bahkan bisa dipakai untuk
mengkontekstualisasi penafsiran ayat-ayat yang lain. Secara logis dan alamiah
struktur selanjutnya berkembang ke struktur fungsi. Dengan kata lain, makna
struktur ditentukan melalui fungsi-fungsinya di dalam totalitasnya. Jenis
penelitian seperti itu, akan memberi sumbangan pada perkembangan sebuah ilmu
pengetahuan, termasuk analisa penelitian dalam tafsir ayat-ayat al-Quran.
Tetapi model-model struktur yang bermacam-macam itu, tidak akan diuraikan dalam
makalah ini. .
Sebagai gambaran singkat, kita
mengetahui bahwa teks al-Quran itu Kalam Allah yang tidak bisa dirubah atau
ditukar dengan kata yang lain. Sedangkan tafsirannya adalah pemikiran
manusiawi, maka hermneutikanya dapat berubah-ubah. Studi untuk mengkaji teks al-Quran
adalah dengan fonologis, morfologis, alih bahasa (terjemah dan tafsiran) dan
metodologi. Semua itu disebut studi linguistik, yang masuk dalam ilmu budaya
(humaniora). Sedangkan pengkajian teks al-Quran dari segi turunnya kepada
masyarakat, dari segi penyebarannya ke berbagai tempat, dan dari segi
transformasinya ke dalam berbagai konsep keilmuan, itu dapat dipelajari dengan menggunakan
ilmu budaya plus ilmu sosial. Itulah suatu konsep yang dalam penelitian
al-Quran disebut penelitian teks dan penelitian konteks.
Kalau penafsiran ayat-ayat al-Quran
itu dicari unsur mu’jizatnya, maka mufasir perlu banyak mengadakan penelitian
dengan teori yang beraneka macam, baik memakai teori ilmu sosial, atau teori
ilmu budaya. Dalam tulisan ini, penelitian ayat al-Quran dapat ditawarkan
dengan teori strukturalisme,yaitu teori yang bernuansa humanis dan sekaligus scientis.
Misalnya penelitian i’jaz untuk mencari mu’jizat yang ada pada kisah
Nabi Yusuf (Surat
ke 12). Dari satu segi, kisah itu adalah teks al-Quran, yang jika itu diberi
penafsiran, maka masuk dalam dataran humanisme. Tetapi kalau kisah Nabi Yusuf yang
ada dalam teks itu distrukturkan seperti informasi kehidupan yang ada pada realitas
(empirik) kemudian dianalisa dengan teori ilmu sosial, maka itulah salah satu teori
yang bisa dikembangkan menurut pemikiran Levi Strauss.
Teori ini banyak ditentang
oleh beberapa ilmuan, karena (1) Isi kisah Nabi Yusuf atau kisah yang lain yang
ada dalam al-Quran untuk dianalisa dengan teori antropologi itu tidak tepat,
karena masalahnya tidak diangkat dari realitas empirik yang cukup. (2) Oposisi kebudayaan seperti disebutkan bahwa
Nabi Musa itu bukan Malaikat, bukan orang biasa dan sebagainya itu bukan model
analisa yang lazim dilakukan oleh banyak ilmuan. (3) Anggapan secara filosofis
bahwa kodrat manusia bisa ditemukan sejenis mekanisme penyusunan yang berfungsi
secara tidak sadar. Manusia adalah mesin kibernetis yang mengadakan kombinasi
oposisi pada masalah ‘ketidak sadaran struktural’ (4) Metoda strukturalisme
mengabaikan “sejarah” yang jika itu dikaitkan pada penafsiran ayat-ayat al-Quran,
maka teori strukturalisme tidak memperhatikan ‘asbab al-nuzul’ (5) Dalam
penerapan teori strukturalisme, terjadi paradoksi dalam memahami objeknya,
terutama terjadi pada penulis Ulum al-Quran, yang menilai bahwa nasikh-mansukh
itu ada dalam ayat-ayat al-Quran. Berangkat dari lima masalah tadi, maka analisa yang terjadi hanya
semacam pemaksaan jika itu dikaitkan pada konsep strukturalisme.
Perdebatan antara pendukung teori
strukturalisme dengan penolaknya adalah pada dataran metodologis. Kelompok
pertama menilai bahwa penggabungan teori humanis dan teori scientis sekaligus,
dapat dilaksanakan. Sedangkan kelompok kedua menolak adanya penggabungan
seperti itu. Lepas dari dua perdebatan tadi, penggalian penelitian i’jaz
al-Quran dapat dicoba, sebagai kelanjutan dari penggalian mu’jizat yang ada
dalam ayat-ayat al-Quran. Percobaan seperti itu, insya Allah bisa dimasukan dalam
teori i’jaz al-Quran yang baru, untuk menggali mu’jizat dari ayat
al-Quran, yang tidak apologis.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
(Penulis adalah Rektor Institut
Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon ).
.
Pengembangan Konsep I'Jaz al-Qur'an
Reviewed by Chozin Nasuha
on
21.23
Rating:
Tidak ada komentar: