Top Ad unit 728 × 90

Terbaru

recent

Model Pengembangan Ulum al-Qur'an

          MODEL PENGEMBANGAN ULUM AL-QUR’AN
                              Oleh A. Chozin Nasuha
                                
1. Perjalanan Ulum al-Quran
Ulum al-Qur’an adalah sekelompok ilmu atau kumpulan teori yang dapat dipergunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Ilmu ini muncul semenjak al-Qur’an turun dan berinteraksi dengan masyarakat, yaitu pada zaman Rasulullah Saw. sampai perkembangan ilmu agama. Tetapi kodifikasi ilmu ini tertata rapih setelah masalahnya dihimpun oleh Ali ibn Ibrahim ibn Said al-Haufi (w.330 H) dalam kitabnya, Al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an. Kemudian ilmu ini disusul oleh karya Ibn al-Jauzi (w.597 H), dengan dua kitabnya, Funun al-Afnan Fi Ulum al-Qur’an dan kitab Al-Mujtaba Fi Ulum al-Muta’allaq bi al-Qur’an. Disusul lagi oleh Al-Sakhawi (w.641 H) dengan kitabnya, Jamal al-Qurraa dan Abu Syamah (w.665 H) dengan kitabnya, Al-Mursyid al-Wajiz Fiimaa Yata’allaq bi al-Qur’an al-’Aziz.
Pada abad ke Delapan Hijriyah, Badruddin al-Zarkasyi (w.794 H) menghimpun berbagai masalah Ulum al-Qur’an, dalam kitabnya, Al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an. Kitab ini dinilai lebih lengkap dari pada tulisan sebelumnya. Sebelum itu, Muhammad Sulaiman al-Kafiji (w. 673 H) mengulas tentang tafsir dan ta’wil, kemudian disusul oleh tulisan Jalaluddin al-Bulqini (w. 806 H) yang membahas tentang Ulum al-Qur’an dengan kitabnya, Mawaqi al-Ulum min Mawaqi’ al-Nujum. Dua kitab itu dipuja-puja oleh Al-Sayuthi, (w. 911 H) dan materinya dikutip untuk menulis kitab  Al-Takhbir Fi Ulum al-Tafsir. dan Al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an. Setelah itu, perkembangan Ulum al-Qur’an berhenti.
Setelah empat ratus tahun fakum, Ulum al-Qur’an ditulis lagi oleh Syaikh Thahir al-Jazairi (w.1335 H) dengan kitabnya, Al-Tibyan Fi Ulum al-Qur’an. Perkembangan selanjutnya, muncul tiga model penulisan Ulum al-Qur’an, yaitu (1) Model tulisan ulama mutakhir yang mengutip materi dari kitab-kitab klasik dan ditulis dengan bahasa sendiri, seperti Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur’an karya Abdul’azhim al-Zarqani, atau seperti Al-Mabahts Fi Ulum al-Qur’an karya Shubhi al-Shalih, dan banyak lagi Ulum al-Qur’an yang ditulis oleh para sarjana termasuk sarjana yang berbahasa Indonesia. (2) Model tulisan Ulum al-Qur’an tematis oleh ulama salaf, seperti Ibn al-Madini menulis Asbab al-Nuzul, al-Qasim ibn Salam menulis Nasikh-Mansukh dan lain-lain. Tulisan model itu diikuti juga oleh ulama mutakhir seperti Muhammad Khalaf al-Husaini menulis tentang hadits Unzila al-Qur’an ’ala sab’ati ahruf. Muhammad Shadiq al-Rafi’i menulis I’jaz al-Qur’an, Musthafa Shawi al-Juwaini menulis Manahij al-Tafsir, dan banyak tulisan tentang metoda penulisan kitab tafsir seperti Manhaj Ibn Jarir, Manhaj al-Zamakhsyari, Manhaj al-Razi, Manhaj Muhammad Abduh dan lain-lain. (3) Model Ulum al-Qur’an tulisan Nashr Hamid Abu Zaid dalam kitabnya, Mafhum al-Nash, Dirasah Fi Ulum al-Qur’an. Kitab ini seperti mengulas substansi Ulum al-Qur’an, dan mengkritik beberapa masalah, antara lain; ulama dulu menulis nuzul al-Qur’an dikaitkan dengan konteks yang terjadi pada realitas, sedangkan tulisan ulum al-Qur’an sekarang, tidak dikontekkan pada realitas sekarang. Dari segi lain, Nashr memisahkan unsur materi yang dimasukan ke dalam dataran teologis-mistis dari dataran ilmiah-rasional. Dengan kata lain, Nashr mengulas pembicaraan akademis dari pemahaman yang oleh pembaca dinilai teologis. Meskipun begitu, studi Ulum al-Qur’an yang disajikan oleh Nashr tadi masih tetap klasik dan belum bisa dimasukkan ke dalam Ulum al-Quran yang baru.

2. Pengembangan Kata Kunci Ulum al-Quran
            Studi ini, akan mencoba melebarkan konsep istilah (kata kunci) yang ada dalam Ulum al-Qur’an, sebelum mengembangkan keseluruhan Ulum al-Quran itu sendiri. Kata kunci ini sudah diketahui oleh mufasir karena ditulis dalam beberapa kitab (buku). Kata itu akan dirinci dalam cakupan ABC, dan pengembangannya akan digabungkan dengan kelompok DEFG. Konsep pengembangan ini belum banyak dilakukan oleh para mufasir, terutama penerapannya pada konsep dalam bentuk ’kata kunci’. Secara singkat, salah satu dari kelompok ABC tadi akan digabungkan dengan kelompok DEFG untuk mengolah model pengembangannya.  Rincian ABC oleh Nashr Hamid Abu Zaid dibuat sebagai berikut :
          A. Format dan formatisasi oleh teks Ulum al-Qur’an[1]. Teks Ulum al-Qur’an dalam proses pembentukan formatnya muncul sejak ditulis dan dikonsep oleh Ibn al-Madini, al-Aufi dan ulama mutaqaddimin lainya. Tetapi formatisasi oleh teks itu pada akhir-akhir ini seperti tidak berkembang. Idealnya, formatisasi berkembang terus melalui penalaran dengan mendefinisikan bentuk-bentuk kata kunci Ulum al-Qur’an, yang dikaitkan dengan model pengembangannya. Format yang perlu diformatisasikan menurut Nashr adalah Konsep wahyu, Nuzul al-Qur’an, Makki-Madani, Asbab-nuzul, dan Nasikh-Mansukh.
       B. Mekanisme teks Ulum al-Qur’an[2]. Yaitu ulasan tentang bagaimana teks (kata kunci) yang ada dalam Ulum al-Quran itu bekerja dalam memproduksi makna (konsep). Di sini ada dua pendorong, yaitu Teks Ulum al-Qur’an memiliki persamaan dan perbedaan dengan konsep Ulum al-Hadits. Persamaan kedunya adalah sama-sama mengulas morfologis yang ada pada teks agama (al-Quran dan al-Hadits), sedang perbedaannya semua teks-teks al-Quran itu datangnya qath’i, sedangkan teks al-Hadits sebagian kecil qath’i dan yang banyak adalah zhanni. Sedangkan persamaan keduanya adalah sama-sama dasar ilmu (pemikiran) yang dapat berkembang dan berubah sesuai norma-norma keilmuan. Kata kunci yang masuk dalam kelompok ini adalah I’jaz al-Qur’an, Munasabat antar ayat dan antar surat, Ayat-ayat yang rumit dan yang jelas meliputi manthuq-mafhum, mujmal-mubayyin karena qiraat, kata musytarak karena gharib, dan lain-lain, termasuk penerapan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat, ’am-khas, dan teks terakhir adalah tentang konsep tafsir dan ta’wil. Semua kata-kata kunci seperti itu pemaknaannya memerlukan pengolahan yang berbeda dengan konsep keilmuan model A di atas.
 C. Perubahan konsep dan fungsi teks.[3] Dalam hal ini Nashr mengutip pendapat al-Ghazali, bahwa teks al-Qur’an dapat dipelajari melalui tiga bidang. (1) studi teks dengan ilmu kulit yang membahas isi tentang fonologis, morfologis, sintaksis, smantik, slistika al-Qurán, dan peralihan bahasa dari teks menjadi makna (Ma’ani al-Quran). (2) studi inti kandungan teks yang amat dalam, yaitu makna dalam bentuk ma’rifat kepada Allah dan jalan yang menempuh tujuan MQ ke arah itu. (3) studi inti kandungan teks dengan MQ di lapisan bawah, seperti nalar fiqhiyah, nalar kalami, nalar akhlaqi, nalar ilmi, mempelajari isi kisah, dan semacamnya. Format Nashr yang dikutip dari al-Ghazali ini lebih bersifat pengembangan makna tafsir dan ta’wil al-Quran (MQ). Format ini konsep kata kuncinya ada dalam kelompok B di atas. Kalau konsep ini dimasukkan ke dalam Ulum al-Quran tersendiri, maka isi C lebih baik mengutip model-model pengolahan ’ma’ani al-Quran’ yang dikelola oleh Ushul al-Tafsir.  Konsep ini pernah disajikan dalam buku 70 tahun Prof. Dr. H.A. Chozin Nasuha. Di sana ditulis bahwa kata kunci ayat al-Quran dapat dipilah menjadi tiga kelompok, yaitu ayat-ayat metafisik normatif, ayat-ayat sosiohistoris, dan ayat- ayat yang di dalamya menyentuh alam fisik.

3. Model-model pengembangan kata kunci
              Pengembangan kata kunci dilakukan melalui ulasan atau pendefinisian lebih lanjut dari segi wujud kata itu sendiri, atau dilihat dari aspek yang melingkari kata itu (konteks). Di atas sudah disebutkan bahwa pengembangan kata kunci Ulum al-Quran dan makna-makna teks al-Quran (ABC) dapat diolah dengan digabungkan dengan konsep yang ada dalam cakupan DEFG. Gambarannya adalah :  
  1. Model pengembangan makna kata kunci secara internal, mencakup :
1.      Pengertian salah satu kata kunci dari Ulum al-Quran (UQ) dan makna al-Quran (MQ) seperti pengertian asbab al-nuzul, pengertian i’jaz al-Quran, pengertian ayat metafisik-normatif dan sebagainya, dari segi bahasa (mufradat) dan dari segi istilah (konsep).
2.       Ruang lingkup dari salah satu kata kunci yang ada pada UQ dan MQ tadi diuraikan lengkap dengan mencakup dimensi, uraian bagian, dan rinciannya masing-masing.
3.      Memperdalam substansi UQ dan MQ (kata kunci) dengan dirumuskan melalui pemikiran berbagai tokoh UQ dan MQ sebanyak mungkin.
4.      Salah satu ilmu dari UQ dan MQ (kata kunci) memiliki pembahasan tersendiri, kaidah berfikir sendiri, dan sebagainya. Artinya, satu ilmu yang ada dalam satu kelompok UQ dan MQ memiliki perbedaan, seperti teori munasabat berbeda dengan teori i’jaz, keduanya berbeda lagi dengan teori muhkam-mutasyabih, dan sebagainya. Begitu juga makna kata gharib berbeda dengan makna ’am, khash dan lain-lain. Atas dasar itu, maka studi ini dapat dikembangkan dengan metodologi dan dengan kerangka berfikir  yang berbeda-beda.
           
  1. Model Pengembangan kata kunci UQ dan MQ dari segi eksternal, mencakup :
1.      Dasar filosofi sebuah ilmu atau kata kunci dari UQ dan MQ yaitu apa yang melatarbelakangi perbedaan pengembangan asbab nuzul al-Qur’an di Makkah-Madinah atau di Kufah-Bashrah atau di tempat lain misalnya.
2.      Dalil yang dipergunakan untuk itu, dapat menerapkan salah satu dari tiga model dalil, yaitu (a). dalil normatif (benar-salah, baik-buruk, ganjaran dan siksaan) yang dikutip dari Quran-Hadits misalnya. (b) dalil empirik baik makro atau mikro seperti sejarah masuknya Islam di Makkah-Madinah, atau di Kufah-Basrah, atau di Indonesia-Malaysia, atau masuknya kebudayaan Islam di suatu daerah, termasuk praktek pembacaan dan pelajaran al-Qur’an di daerah itu, dan realitas-realitas lainnya. (c) dalil metodologis seperti penerapan norma-norma al-Quran dengan dasar-dasar taksonomis, logis, dialektis, simbolis, intuitif, dan semacamnya.
3.      Merumuskan pengembangan kata kunci UQ dan MQ dengan istinbath yaitu berfikir manthiqi, setelah menurunkan pembahasan buku kecil yang ada pada teks-teks yang sudah diketahui secara umum, dan meneliti buku besar yaitu perkembangan masyarakat yang diamati dari perbuatan serta tingkah laku masyarakat. Kerangka berfikir untuk itu mufasir dapat menggunakan metoda kwalitatif interpretatif, dengan mengolah secara filosofis, yuridis, teologis, atau logis, bahkan bisa diteruskan dengan berfikir historis, antropologis, atau sosiologis.
4.      Afiliasi pengembangan kata kunci UQ dan MQ dapat menggunakan salah satu metoda dari berbagai aliran, Ahli Sunnah, Mu’tazilah, Syi’ah, Ibadliyah, atau orientasi pemikiran tradisionalis, modernis, postmodernis, dan atau posttradisionalis.
      
  1. Model Kontekstualisasi kata-kata kunci UQ dan MQ.
1.      Mempelajari entitas kehidupan masyarakat, ketika UQ atau MQ itu dirumuskan. Dalam kaitan ini, konsep UQ dan MQ pada mulanya berdialog dengan kebutuhan masyarakat, sebagaimana di alami oleh ulama mutaqaddimin sehingga terjadi rumusan UQ dan MQ yang diperlukan (das sollen). Kini makna itu berbeda dengan senyatanya (das sein) yang bersifat dinamis, seperti konsep Makkiyah dan Madaniyah dikembangkan perlu terus, karena situasi dan kondisi Makkah dan Madinah sekarang berbeda dengan keadaan zaman al-Quran itu turun. Kontekstualisasi untuk kata kunci seperti itu, dapat diterapkan di mana saja dengan pendekatan kultural dan struktural suatu daerah.
2.      Tuntutan kontekstualisasi kata kunci UQ dan MQ berkenaan dengan faktor determinan terhadap perubahan sosial, seperti tentang konsep nasikh-mansukh, muhkam mutasyabih, dan terutama konsep tafsir dan ta’wil yang ditimbulkan dari lingkungan kebudayaan, pola interaksi masyarakat, dan teknologi.
3.      Proses kontekstualisasi konsep UQ dan MQ dapat dilakukan melalui diskusi, musyawarah, atau seminar dan sebagainya, sampai terjadi ijma’ kontemporer, atau terjadi rumusan baru yang berani membuat konsep sendiri seperti konsep muhkam-mutasyabih dibuat menjadi konsep konkrit dan abstrak, atau makna teks yang ada dalam Kitab Kuning dikembangkan menjadi makna teks yang kekini-disinian. Konsep seperti itu perumus istilah harus berani hingga dituduh khurafat, sekuler, pluralis, atau aliran kiri dan lain sebagainya.
4.      Bentuknya bisa berkaitan dengan tambahan, atau modifikasi, atau perubahan seperti  konsep Nasikh-Mansukh dirubah menjadi kontekstualisasi, Makki-Madani dikembangkan menjadi konsep kultural-struktural, Muhkam-Mutasyabih dapat dirubah karena ada paradigma baru, dan lain sebagainya.
  
G.    Model Transformasi UQ atau MQ menjadi bentuk yang berubah.
1.      Tuntutan perubahan sebagian konsep UQ atau MQ bagi kehidupan wacana atau bagi pranata kehidupan masyarakat tampaknya sudah dianggap perlu. Masalahnya, (a) UQ atau MQ adalah sebuah ilmu, maka ciri-ciri ilmu, adalah berkembang seperti pada awal munculnya. (b) Studi UQ atau MQ yang berjalan sekarang, terbatas hanya pada pembicaraan substansi saja, dan belum pernah menurunkan kerangka teori dan metodologi yang baru.
2.      Proses transformasi konsep UQ atau MQ bisa ditempuh dengan memindahkan argumentasi dari satu dalil juz’i ke dalil kulli misalnya, atau mengalihkan satu fungsi suatu teori UQ atau MQ ke fungsi yang lain, seperti mengalihkan pemikiran ilmu sosial menjadi konsep pengembangan UQ dan MQ misalnya.
3.      Saluran transformasi UQ dan MQ tadi dapat mempergunakan sebuah infra struktur, (organisasi kemasyarakatan) atau supra struktur (badan penyelenggara birokrasi) termasuk betul-betul Guru Besar studi UQ dan MQ di kampus. Akibatnya, corak UQ dan MQ di Jawa dapat berbeda dengan corak UQ dan MQ di Mesir, atau di Iran dan lain sebagainya.
4.      Bentuk transformasi, bisa berupa kebijakan, atau program kerja, atau pelaksanaan, dan sebagainya. Misalnya, mempelajari Ulum al-Quran melalui aturan yang dilembagakan menjadi studi al-Quran, atau sebuah majlis ta’lim yang disepesialkan hingga menjadi majlis ta’lim Qurani, atau seperi teks al-Quran dikembangkan menjadi fiqh, ilmu kalam, atau seperti ilmu tasawuf ditransformasikan menjadi tharikat, dan semacamnya.
          Uraian di atas (DEFG) baru bersifat penjelasan singkat yang belum diga-bungkan dengan format ABC. Penggabungan itu membuat model pengembangan kata kunci Ulum al-Quran dan Makna al-Quran (ABC) yang ada dalam Kitab Kuning menjadi model ABC yang bernilai baru yang bersifat kekini-disinian. Awalnya penyajian ini hanya mengutip pemilahan Ulum al-Quran tulisan Nashr Hamid Abu Zaid, disilangkan dengan pemikiran Cik Hasan Bisri yang membahas penelitian fiqh dari segi substansi. Kemudian dua tulisan itu dibuat  matriks seperti di bawah ini.

        Kaitan kata kunci UQ dan MQ dengan Model Pengembangan

        Substansi UQ
Pengembangan
           A
            B
           C
             D
          AD
            BD
           CD
             E     
          AE
            BE
           CE
             F
          AF
            BF
           CF
             G
          AG
            BG
           CG


           Melihat kaitan itu, pengembangan kata kunci UQ dan MQ (ABC) dapat digabungkan dengan salah satu model pengembangan yang ada pada DEFG. Pengembangan di sini merupakan perubuhan struktural maupun kultural dengan disengaja dan dirancang atau diprogramkan. Pengembangan ABC yang dicari melalui pengolahan itu adalah makna, atau fungsi, dan atau bentuk. Sementra konsep yang ada pada DEFG adalah alat analisa untuk mengembangkan konsep yang ada pada ABC tadi.
       Karena DEFG dibuat sebagai metoda (alat analisa) maka setiap ilmuan perlu menurunkan pendekatan yang diperlukan. Kalau pengembangan ABC itu menggunakan D atau E, maka pendekatan yang tepat adalah berfikir filosofis, atau teologis, dan atau logis. Untuk itu, metoda yang tepat adalah hermeneutis. Kalau pengembangan ABC itu menggunakan F atau G maka pendekatan yang tepat adalah pemikiran sejarah, atau antropologi, atau sosiologi, dan atau gabungan. Pendekatan ini dipakai untuk metoda studi kasus atau metoda grounded.         .   
        Metoda hermenetis D dipergunakan untuk memahami substansi ABC yang pengembangannya menggunakan kerangka berfikir filosofis, teologis dan logis. Begitu itu untuk menjelaskan ABC agar mudah difahami oleh orang lain. Substansi ABC yang disajikan dalam bentuk tulisan yang tersusun, pada dasarnya sudah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan, yang terdiri dari susunan kata dan susnan kalimat. Maka hermenetis E dapat dikembangkan melalui penafsiran kosa kata, pola kata, pola kalimat, konteks situasi, dan konteks budaya. Untuk mengembangkan ABC yang dikaitkan dengan E tadi dapat menggunakan metoda penelitian komunikasi, khususnya tentang analisa wacana.
       Metoda studi kasus dapat dipergunakan untuk mengembangkan dan mendis-krepsikan substansi ABC dikaitkan dengan F sebagai satuan analisis yang bersifat utuh dalam pengembangan yang menggunakan pendekatan antropologi atau sosiologi (makro). Model pengembangan dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berhubungan. Dalam kaitan itu rumusan ABC dengan F diarahkan untuk menemukan keunikan satuan analisa. Menggunakan metoda ini memerlukan data yang terinci dan mendalam, termasuk untuk mengembangkan konsep ABC tadi. Makalah ini  menyajikan usulan kepada para ilmuan, terutama pemakai kurikulum S-3 Studi al-Quran di seluruh UIN. Usul itu mengajak agar salah satu model pengembangan ABC dapat menggunakan metoda ini.      
       Metoda grouded juga dapat dipergunakan untuk mengembangkan ABC tadi dengan memakai pendekatan antropologi. Penggabungan salah satu ABC dengan G dapat dipandang sebagai bahan mentah. Berdasarkan data itulah dirumuskan hipotesis sebagai bahan baku. Selanjutnya hipotesis yang telah dirumuskan itu menjadi bahan dalam pembentukan teori pengembangan. Dalam keadaan ini hipotesis memiliki fungsi ganda. Di pihak lain ia merupakan bahan baku yang dirumuskan berdasarkan gabungan ABC dengan G, dan di pihak lain ia berfungsi sebagai pengarah bagi pengumpulan data lebih lanjut dalam proses perumusan dan pembentukan teori UQ dan MQ. Pekerjaan semacam itu, tampaknya belum dilakukan oleh sarjana penulis Ulum al-Quran, dan tidak pernah dimasukkan ke dalam kurikulum S-3 Studi al-Quran di UIN.

4. Abstraksi Model Pengembangan Asbab al-Nuzul.
            Salah satu kata kunci atau teori yang dikelola oleh Ulum al-Qur’an adalah Ilmu Asbab al-Nuzul. Materi ini, oleh Nashr Hamid Abu Zaid dimasukkan ke dalam bab Teks dalam Kebudayaan (Format dan Formatisasi oleh Teks). Dalam kaitan ini format adalah bentuk suatu kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an pada zaman Rasulullah Saw. Sedangkan formatisasi adalah pemikiran mufassir yang dilatarbelakangi oleh penerapan maksud ayat al-Qur’an, kepada suatu kasus atau pada pertanyaan yang ditemukan. Atas dasar itu, Ilmu Asbab al-Nuzul tidak terpaku dalam kitab-kitab yang tertulis saja, tetapi berkembang terus sepanjang kehidupan manusia, yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
          Definisi Asbab al-Nuzul banyak ditulis oleh kitab-kitab Ulum al-Qur’an. Tetapi hampir semua tulisan tentang definisi itu berkisar tentang substasi atau hakikat ilmu itu saja, dan belum banyak menurunkan metodologi baru dan kerangka berfikir baru untuk pengembangan. Dengan kata lain, Asbab al-Nuzul yang ditulis oleh penulis sekarang, dianggap sama dengan tulisan ulama dulu, semacam karya Ali Ibn al-Madini, Al-Wahidi, dan karya Ulum al-Quran lainnya.              
         Pengembangan Ilmu Asbab al-Nuzul antara lain berkenaan dengan rincian  ilmu (teori) itu sendiri, meliputi bagian-bagian dan rinciannya. Bagian itu antara lain, tentang (a) alasan al-Qur’an turun secara bertahap, (b) Metoda penurunan ayat al-Quran secara bertahap, (c) Problematika antara kata umum dan sebab khusus. (d) Menentukan jenis asbab al-nuzuul (e) Ayat yang turun berulang-ulang, dan beberapa ayat yang turun dengan satu sebab, dan lain sebagainya. Dari segi lain banyak lagi ulasan Asbab al-Nuzul dilihat dari segi kegunaan, manfaat dan lain sebagainya. Uraian itu baru berkisar tentang rincian, dan belum menyentuh ruang lingkupnya. Falsafat Ilmu menilai bahwa uraian semacam itu baru menurunkan ontologi dan aksiologi, dan belum menurunkan uraian epistemologi. Atas dasar itu, teori Asbab al-Nuzul belum dapat dikembangkan pada formatisasi oleh teksnya. Begitu itu, karena semua uraian hanya disajikan substansinya saja. Atas dasar itu, mufasir masa kini tidak akan dapat mengembangkan nuzul al-Qur’an di Indonesia, atau di Malaysia atau di tempat lainnya.
          Salah satu alat untuk mengembangkan formatisasi oleh teks adalah ruang lingkup asbab al-nuzul itu sendiri. Secara garis besar, ruang lingkup asbab al-nuzul ada dua macam, yaitu asbab al-nuzul yang sudah terstruktur, dan asbab al-nuzul yang tidak terstruktur (tidak terkonsep seperti konsep asbab al-nuzul yang pertama). Asbab al-nuzul yang pertama terhimpun dalam kitab-kitab Ulum al-Qur’an dalam bentuk hadits dan  riwayat (teks). Karena itu, ada yang shahih dan ada yang dlaif. Sedangkan asbab al-nuzul yang kedua, adalah konteks ijtihadi dalam bentuk pemikiran dan pengamatan mufasir terhadap titah Allah (al-Qur’an) yang dijabarkan oleh tindakan Rasulullah Saw. Pemahaman seperti itu sangat dekat dengan entitas kehidupan manusia. Titah Allah sebagaimana termaktub dalam ayat al-Qur’an, dan dijabarkan oleh amalan Rasulullah Saw, merupakan petunjuk bagi penataan kehidupan manuisa (hudan linnas). Praktek Rasulullah ini menunjukkan tentang empirisasi titah Allah dalam kehidupan manusia. Berangkat dari pemikiran kulturalis semacam itu, Asbab al-nuzul dan semua bagian dari kata kunci Ulum al-Qur’an dapat dikembangkan, terutama kelompok A dan lebih mudah lagi adalah pengembangan teori Makki-Madani. Kasus yang dilihat oleh ilmuan UQ bukan hakikat Makki-Madani tetapi kultur kedua medan itu. Dengan kata lain ilmuan UQ tidak hanya melihat bentuk teksnya, tetapi melihat di daerah mana ayat al-Quran itu akan diterapkan, sejalan dengan kultur masyarakat Makki atau Madani. Atas dasar itu konsep teori Makki-Madani dapat diterapkan pada setiap kawasan yang kulturnya memiliki kemiripan dengan dua kawasan itu. 
          Tujuan uraian semacam itu adalah untuk memahami dan mendeskripsikan keunikan Ilmu Asbab al-Nuzul, atau ilmu lainnya, dan hubungannya antara asbab al-nuzul tadi dengan teori-teori Ulum al-Qur’an yang lain, termasuk teori makki-madani, nasikh-mansukh dan lain-lain, seperti tersebut di atas. Kegunaan model ini banyak sekali antara lain untuk mengembangkan teori-teori Ulum al-Qur’an itu sendiri.   
          Umm al-Mukminin Aisyah berkata bahwa : Akhlak-akhlak Rasulullah Saw. adalah al-Qur’an. Al-Qur’an adalah titah Allah (teks), dan akhlak Rasulullah adalah empirisasi dari titah itu. Rasulullah memiliki sifat basyariyah (manusiawi). Sejalan dengan sunnat Allah, kehidupan manusia terikat oleh hukum perubahan, baik strukturnya atau pola budayanya. Perubahan struktur relatif cepat, kecuali amalan Rasulullah yang bersifat tasyri’. Sedangkan amalan Rasulullah yang bersifat irsyad (non tasyri) maka itu dapat berubah-ubah. Begitu juga asbab nuzul ayat al-Qur’an, dapat berubah dan berkembang karena perubahan struktur di daerah formatisasi nuzul ayat-ayat al-Qur’an itu tadi. Demikian ini masuk dalam tatanan asbab al-nuzul yang bersifat kulturalis.
          Secara keilmuan, asbab al-nuzul yang bersifat struktural sudah diceritakan oleh teks (riwayat). Sedangkan asbab al-nuzul yang bersifat kultural diceritakan oleh konteksnya. Kalau dua model asbab al-nuzul itu dikembangkan, maka asbab al-nuzul yang bersifat struktural (teks) sudah dikembangkan melalui pemikiran hermeneutis. Pemikiran itu didasarkan pada salah satu teologis, filosofis, yuridis, atau logis. Sedangkan Asbab al-nuzul yang bersifat kultural, maka dikembangkan melalui kontekstualisasi kasus yang didasarkan pada pemikiran historis, atau antropologis, dan atau sosiologis untuk disesuaikan dengan kebutuhan.
            Melihat uraian di atas, maka kerangka berfikir yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan Asbab al-nuzul, adalah (a) al-Qur’an dan al-hadits (teks) (b) entitas kehidupan, (c) cara berfikir dengan menurunkan buku kecil (teks) dan buku besar (kehidupan masyarakat) (d) istinbath, yang oleh Ushul al-Tafsir disebut ”isti’wal” (e) determinasi perubahan, (f) perubahan sosial, (g) substansi asbab al-nuzul (h) metoda aplikatif (i) transformasi substansi asbab al-nuzul.
            Langkah-langkah pengembangan asbab al-nuzul atau ilmu-ilmu lain dari Ulum al-Qur’an, ada empat langkah, yaitu (a) metodologi (b) sumber (c) teknis, dan (d) analisa
          Metoda pengembangan Ulum al-Qur’an didasarkan pada pendekatan yang dipergunakan, yang bertitik tolak dari model pengembangan. Kalau yang dikembangkan itu model AD,BD,CD, maka yang dipergunakan adalah metoda hermeunitis dengan pendekatan filosofis. Kalau yang dikembangkan itu model AE,BE,CE, maka yang dipergunakan adalah metoda hermeunitis juga dengan pendekatan yuridis dan logis. Kalau yang dikembangkan itu model AF,BF, CF, atau model AG,BG,CG, maka metoda yang dikembangkan adalah studi kasus atau grounded research. Metoda itu menggunakan pendekatan semacam antropologis, atau sosiologis, dan atau gabungan (inter disiplin), sebagaimana uraian di atas.
          Sumber yang dipergunakan, bagi model AD,BD,CD, dan model AE,BE,CE, adalah perpustakaan, yakni substansi Ulum al-Qur’an dalam bentuk tulisan, yang ditemukan dalam kitab-kitab klasik dan seterusnya, atau tulisan dalam bentuk manuskrip, dokumen interpretasi, CD dan website. Sedangkan sumber bagi model pengembangan AF,BF,CF, atau model AG,BG,CG, adalah perpustakaan dan fenomena di lapangan, yaitu substansi Ulum al-Qur’an dalam bentuk lisan, atau perbuatan dalam entitas kehidupan Muslim. Suatu contoh, masuknya al-Qur’an (nuzul al-Qur’an) di Indonesia, itu berbeda dengan di Cina, atau di Eropa dan lain sebagainya. Gambaran semacam itu dapat dilihat dari sumber kepustakaan (tulisan) dan dari pola kehidupan masing-masing di lapangan.
          Teknis pengumpulan data ada dua, yaitu a) pengumpulan data kepustakaan yang dipergunakan untuk membantu metoda hermeunitis, dan b) pengumpulan data di lapangan, yang dipergunakan untuk metoda kasus. Teknis semacam itu belum banyak dilakukan oleh penulis Ulum al-Quran, tetapi sudah banyak diuraikan oleh model-model penelitan Ilmu Budaya dan Ilmu Sosial. Dua ilmu itu dalam tulisan ini menjadi partner bagi pengembangan Ulum al-Qur’an, bahkan keduanya perlu dipergunakan, ketika pengembangan kata kunci Ulum al-Qur’an itu menerapkan interdisipliner.
           Pengumpulan data semacam itu merupakan awal dari analisa data, terutama ketika data itu mulai diklasifikasikan.Analisa data selanjutnya melibatkan tahapan pengembangan suatu teori yang sedang dilaksanakan. Secara keseluruhan, analisa data dilakukan dengan cara menggabungkan apa yang diperoleh dari tahapan kerja  sejak awal. Ia ditujukan untuk memahami data yang terkempul dari sumber, untuk menjawab pemikiran pengembangan UQ, dengan menggunakan kerangka berfikir tertentu. Hal itu dapat disusun tahapan analisis data secara terus menerus, didasarkan pada semua data yang ditemukan. Ketika pengolahan data itu sudah jenuh, berarti kerja pengembangan Ulum al-Qur’an sudah berakhir dan dianggap selesai.  Wallah a’lam bi al-shawaab.       
         (Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon).-

  
               
    .       





[1] Fomat adalah teks Ulum al-Qur’an yang dibentuk oleh berbagai faktor yang terlibat, terutama faktor penerimaan kaum muslimin terhadap konsep Ulum al-Quran tadi, dengan konteks social dan budaya. Sedangkan formatisasi oleh teks Ulum al-Quran adalah usaha yang dapat memperluas konsep (makna) yang dapat hidup dalam situasi sosial dan budaya yang lebih luas. 
[2] Yaitu suatu teori yang pemaknaannya dijelaskan dengan prinsip-prinsip norma yang mengatur pemahaman.
[3] Artinya, mufasir mengubah konsep dari fungsi teks yang berfungsi sebagai tanda (dilalah) dengan kekayaan makna yang terkandung, menjadi sesuatu yang mati, tertutup, dan miskin makna, karena tanda itu diarahkan pada sesuatu yang terfokus. 
Model Pengembangan Ulum al-Qur'an Reviewed by Chozin Nasuha on 23.50 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by Chozin Nasuha Official Web © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by Sweetheme

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.