Model Pengembangan Ilmu Hadits
Model Pengembangan Ilmu Hadits
Oleh A. Chozin Nasuha[1]
PEMBUKAAN
Ilmu Hadits termasuk ilmu agama (Islam) yang
perlu dikembangkan. Ilmu ini dinilai berkembang sejak dari zaman Khalifah Umar
ibn Abdulaziz, (61-101 H) sampai zaman al-Sayuthi (849-911 H)). Muhadditsin Kitab Kuning berpendapat, bahwa pengembangan ilmu hadits baik Riwayah atau Dirayah terbagi menjadi dua priode, yaitu Mutaqaddimin dan Mutaakhirin..
Jika priodesasi itu diterapkan pada pengumpulan matan hadits, maka priode Mutaqaddimin berjalan sejak zaman
shahabat Nabi, sampai abad tiga hijriyah. Yaitu penulisan hadits Nabi dari zaman
Rasulullah sampai akhir penulisan teks-teks hadits dalam bentuk kitab. seperti
Al-Muwatha, Musnad Ahmad, Shahih al-Bukhari, sampai al-Hakim, al-Baihaqi dan
sebagainya. Matan hadits berikutnya, ditulis oleh ulama mutaakhirin, dengan mengutip hadits dari ulama Mutaqaddimin. Karena itu, mereka mencantumkan nama-nama ulama Mutaqaddimin seperti Rawahu al-Bukhari, Rawahu al-Bazzar dan
lain-lain. Jika priodesasi itu dikaitkan pada hadits Dirayah, maka Ulama Mutaqaddimin
dimulai dari penulisan hadits oleh shahabat Nabi, tabi’in, dan setursnya,
sampai abad 500 hijriyah. Muhadditsin
mengatakan bahwa ulama Mutaqaddimin yang
terakhir menulis Ilmu Dirayah adalah
Qadli Iyadl al-Yahshubi.
Tokoh
ulama Mutaqaddimin yang karyanya
populer antara lain al-Syafi’i (104-150 H), Ali ibn al-Madini (161-234 H), al-Imam
Muslim (204-261H), al-Bardaji (w.301H), al-Ramahurmuzi (265-360 H), Shalih ibn
Ahmad al-Hamdani (w.384 H), al-Hakim (321-405 H), Ibn Abd al-Barr al-Qurthubi
(368-463 H), al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H), dan Qadli al-Iyad al-Yahshubi
(476-544 H), Selanjutnya ilmu hadits Dirayah
dikembangkan oleh ulama Mutaakhhirin diawali
oleh Ibn Shalah (577-643 H), diteruskan oleh al-Nawawi, Al-Sakhawi, sampai
al-Sayuthi. Ulama Mutakhirin yang paling
besar dalam mewarnai ilmu Dirayah adalah
al-Iraqi, Al-Mizzi, al-Dzahabi, dan Ibn Hajar al-Asqallani. Setelah itu, perkembangan
ilmu hadits berhenti.
Dalam
perkembangan selanjutnya, muncul beberapa tokoh yang menghidupkan ilmu ini,
antara lain al-Dahlawi (lahir 1702 M) di India, dan Muhammad Abduh (1845-1905
M) di Mesir. Al-Dahlawi menyajikan teori Fiqh
al-Hadits, yang membagi hadits Nabi menjadi Tasyri’ dan Irsyad. Tetapi teori ini tidak dikembangkan oleh ulama
berikutnya. Syarah Sunan Abu Dawud,
Syarah Jami’ al-Tirmizi dan lain-lain, ditulis juga oleh ulama India pasca
al-Dahlawi, tetapi tidak ada gagasan epistemologi baru yang dapat dipergunakan
untuk perkembangan berikutnya. Begitu juga Muhammad Abduh memiliki gagasan baru,
bahwa penilaian shahih atau tidaknya
sebuah hadits, jangan dilihat dari sanad dan matan seperti yang ada dalam kitab
kuning saja, tetapi harus ditambah lagi bahwa matan hadits di samping raional,
juga harus kontekstual, dan sejalan dengan perkembangan zaman, dan begitulah
seterusnya. Tetapi gagasan Abduh itu difilter oleh Rasyid Ridla, sehingga pemikiran
yang mencoba akan mengembangkan ilmu hadits terhambat lagi. Tulisan ilmu hadits
pasca Muhammad Abduh juga bermunculan, seperti Qawa’id al-Tahdits karya al-Qasimi (1283-1332 H), Ushul
al-Hadits oleh Muhammad Ajjaj al-Khathib (tulisan 1387 H) dan lain-lain. Tetapi
hampir semua itu cuma mengutip dari Kitab Kuning, dan dibuat dalam sistematika
baru, tetapi tidak dikontekstualisasikan pada permasalahan yang baru.
Di
Indonesia, terutama di Jawa, hadits Nabi dikembangkan oleh K.H.Hasyim Asy’ari di
Jombang, dengan mengajarkan antara lain, Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim
kepada santri-santrinya. Alumni Makkah ini, pernah melarang pengajaran
kitab-kitab klasik di beberapa pesantren yang menyajikan hadits Nabi, tetapi tidak
ditakhrij matannya, seperti kitab Badai’ al-Zuhur, Daqaiq al-Akhbar, dan
lain-lain. Larangan semacam itu ditentang oleh beberapa ulama pesantren, hingga
perkembangan ilmu hadits tidak terjadi. Apalagi tokoh ini hidup dalam
peperangan melawan penjajahan Belanda. Selain itu KH.Ahmad Dahlan, KHA. Hasan
Bangil, dan Syaikh Surkati, mengolah hadits Nabi untuk peribadatan sehari-hari.
Semuanya mengajarkan matan hadits, baik diambil dari kitab induk atau dari
kitab kutipan, kemudian diberi ulasan agar itu sesuai dengan gerakannya. Dengan
demikian perkembangan ilmu hadits dianggap ada, tetapi amat lambat. K.H.Mahfuzh
ibn Abdillah dari Pesantren Termas Pacitan, berhasil menulis kitab berjudul Manhaj Dzawi al-Nazhar Fi Mushthalah ahl
al-Atsar. Ilmu Dirayah ini ditulis di Makkah dan dicetak di Mesir. Tetapi, beredar
di Jawa, dan diajarkan di pondok pesantren sesudah Indonesia merdeka.
Perkembangan berikutnya, Departemen Agama RI. membangun Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN) di Jakarta dan Yogyakarta, yang kurikulumnya
memasukkan ilmu hadits. Tokoh yang mengajarkan ilmu ini antara lain Prof. Hasbi
al-Shiddiqi, dan Prof. Anwar Musaddad. Tokoh petama alumni Madrasah al-Irsyad,
dan banyak menulis buku-buku agama tentang tafsir, hadits dan fiqh. Sedangkan
tokoh kedua alumni Makkah yang mengambil hadits dari guru-gurunya, antara lain al-Sayyid Alawi ibn Abbas
al-Maliki, dan Syaikh Umar Hamdan al-Mahrasi. Guru pertama bermazhab Maliki,
dan guru kedua bermazhab Hanafi, sedangkan KH. Anwar Musaddad sendiri bermazhab
Syafi’i.
Usaha
pengembangan lagi, Departemen Agama membuka program pascasarjana di Jakarta
(1982),Yogyakarta (1983), Banda Aceh (1989), Ujung Pandang (1990), Surabaya
(1994), Padang (1994), Medan (1994), Bandung (1997), Semarang (1997), Pekanbaru
(1997) dan berkembang terus sampai perguruan tinggi swasta juga membuka. Dari
sekian itu, Pascasarjana UIN Jakarta banyak meluluskan S-3 bidang hadits,
sehingga studi hadits S-2 dibuka di tempat-tempat lain. Tetapi dilihat dari
disertasi atau thesis yang ada, baru mengungkapkan substansi ilmu hadits, dan
takhrij haditsnya diambil dari karya tokoh-tokoh ratusan tahun bahkan
berabad-abad masa lalu. Dengan demikian, semua tulisan yang ada, baik ilmu Hadits Riwayah atau ilmu Hadits Dirayah baru menyajikan substansi
ilmu hadits dengan pendekatan teks, dan belum mengembangkan pendekatan
ilmu-ilmu sosial. Dengan kata lain, semua tulisan itu belum menyajikan
epistemologi Ilmu Hadits yang baru.
PERBEDAAN HADITS DAN
ILMU HADITS
Hadits
Nabi dibedakan dengan konsep Ilmu Hadits. Hadits Nabi (teks) ialah semua
informasi yang disandarkan kepada Rasulullah Saw. atau kepada sahabat Nabi,
dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau pengakuan, dan atau sifat-sifat yang
ada pada diri Rasulullah Saw. Dalam tempat lain, Hadits Nabi ialah semua
catatan yang keluar dari Rasulullah (selain al-Qur’an) dalam bentuk kata-kata,
atau perbuatan, atau pengakuan, dan atau sifat-sifat kemanusiaan yang ada pada
diri Rasulullah Saw. Semua teks hadits itu baku, statis, diam, dan tidak perlu
dirubah redaksinya. Para ilmuan menganggap bahwa semua teks hadits, jika hendak
diterapkan kepada masyarakat, maka memerlukan interpretasi yang diarahkan untuk
menyusun konsep, atau untuk menyusun pemikiran ijtihadi.
Sedangkan Ilmu Hadits ialah
seperangkat kaidah yang mengatur tentang anatomi dan morfologi hadits. Pengolahan
anatomi hadits disebut Ilmu Hadits
Riwayah, dan pengolahan morfologi hadits disebut Ilmu Hadits Dirayah. Dua bidang ilmu itu bergerak terus, dan berkembang
sesuai kebutuhan, untuk menformatisasikan isi hadits Nabi kepada lokasi atau
kepada perkembangan masyarakat.
Ilmu Hadits Riwayah ialah studi hermeneutika atas teks hadits atau informasi
tentang ungkapan isi hadits Nabi dari berbagai segi. Kitab Kuning mengulas masalah ini dengan sebutan Syarah Hadits,
dan Hasyiyah atau Ta’liqat.
Semua berkaitan dengan ilmu kalam, ilmu fiqh dan atau ilmu lainnya.Ulasan
semacam itu banyak sekali modelnya, sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab
klasik, yang ada dalam perpustakaan, atau CD dan lain sebagainya. Syarah atau
interpretasi juga banyak ditulis oleh tokoh yang muncul sekarang, dalam bentuk
buku atau kitab dengan bahasa yang beraneka macam.
Pengembangan Ilmu Hadits Riwayah dalam tulisan ini, akan mengambil
pola pemikran Ilmu Ushul al-Tafsir yaitu
menurunkan Buku Kecil, dikaitkan
dengan Buku Besar dan dikembangkan
dengan kerangka berfikir dan metoda yang disebut Isti’wal. Yang dimaksud Buku
Kecil di sini ialah semua matan hadits Nabi, dan semua syarah hadits yang
ditulis oleh para ulama yang sudah wafat. Semua tulisan itu dianggap sudah
diketahui, karena bisa dilacak di perpustakaan atau di CD atau berbagai alat
lain. Semua itu sudah baku, paten dan tidak akan berubah. Karena itu disebut Buku Kecil. Sedangkan Buku Besar adalah semua pemikiran ulama
dan semua kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan matan dan syarah hadits.
Pemikiran dan tingkah laku itu berkembang terus dan banyak modelnya bahkan
suatu saat dapat berubah dan berkembang. Karena itu, ia disebut Buku Besar. Sedangkan Isti’wal adalah pengolahan pengembangan ilmu
tafsir (Qur’an atau Hadits) dengan menerapkan hermeneutika pada Buku Kecil, yang dikaitkan pada Buku Besar, dengan menurunkan kerangka
berfikir dan metoda tertentu, baik normatif atau empirik.
Hadits Dirayah ialah ilmu yang membahas tentang seperangkat kaidah atau teori
yang membahas tentang Sanad Hadits (pertemuan satu rawi (guru) dengan
rawi yang lain (murid), berdasarkan penelitian sosio-historis, yang dilakukan
oleh seorang pengamat. Pengamat itu menyatakan, bahwa guru dan murid itu
bertemu atau tidak, dan dari segi lain, apakah setiap satu dari guru dan murid
tadi kredebilitas dan akurat (adil dlabith) atau tidak. Selain
itu, apakah dalam penelitian sanad tadi ada illat (nilai negatif) atau
tidak, dan begitulah seterusnya. Jika guru dan murid itu betul-betul bertemu,
maka sanad hadits disebut Muttashil.
Jika tidak bertemu, maka sanad hadits disebut Mursal, Munqathi’, Mu’dlal, atau penilaian lainnya. Jika sanad yang muttashil itu semua
rawinya adil dan dlabith, maka hadits
disebut shahih atau hasan. Jika rawi itu tidak adil dan tidak dlabith, maka hadits disebut dlaif atau maudlu’ dan begitulah seterusnya, sebagaimana akan diuaraikan di
bawah
Pengolahan matan hadits yang dikutip oleh Ilmu Dirayah, dan oleh Ilmu Riwayah,
itu berbeda. Ilmu Hadits Dirayah
mengelola matan hadits dari segi pembuatan format hadits, yaitu ulasan tentang
bagaimana agar matan hadits itu bekerja untuk memproduksi makna. Sedangkan penglolaan
Ilmu Riwayah adalah penggalian
formatisasi makna oleh teks itu, agar sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Dalam kaitan ini, teks hadits dalam proses pembentukan formatnya berakhir sampai
Rasulullah Saw. wafat, dan ditulis oleh ahli-ahli hadits sampai abad tiga
hijriyah. Pekerjaan penulisan dan pengumpulan hadits seperti itu disebut Ilmu
Hadits Dirayah. Sedangkan formatisasi
oleh matan hadits, itu berkembang terus sepanjang zaman, bahkan sampai hari
kiamat. Formatisasi makna oleh teks hadits dikerjakan oleh Ilmu Hadits Riwayah melalui hermenetika keilmuan,
didasarkan pada kerangka berfikir dan metoda tertentu, sebagaimana tersebut di
atas.
BAGIAN I. ILMU HADITS RIWAYAH
Hadits
dalam tempat lain disebut sunnah,
terkadang disebut khabar, dan
terkadang disebut atsar. Kata Sunnah dipergunakan juga oleh Ilmu Fiqh
yang membedakan antara makna sunnah
dengan perbuatan wajib, haram, dan lain-lain. Kata sunnah juga dipergunakan oleh aliran teologi dalam Islam, seperti
perbedaan antara Ahli al-Sunnah, dengan Mu’tazilan, Syi’ah dan lain-lain. Kata sunnah juga dipergunakan oleh ahli
nasehat (pidato) yang membedakan antara konsep sunnah dengan konsep bid’ah.
Sebagian ahli hadits ada yang
mengatakan bahwa makna sunnah itu
identik dengan makna hadits. Tetapi ahli hadits yang lain, membedakan antara
konsep sunnah dengan konsep hadits. Sunnah
adalah gambaran tentang entitas kehidupan Rasulullah Saw. bersama sahabat Nabi (konteks),
sedangkan hadits Nabi adalah laporan tentang sunnah yang didokumentasikan oleh
para ulama dalam bentuk kitab hadits (teks). Dalam perdebatan ini, penulis
memilih bahwa konsep hadits dan konsep sunnah itu berbeda. Kosep hadits hanya
tediri dari teks-teks yang sudah ada, sedangkan konsep sunnah adalah pola
kehidupan Rasul (format) yang dapat dikembangkan melalui formatisasi perilaku
Rasulullah Saw. dengan pendekatan sejarah, atau antropologi, dan atau
sosiologi.
Ulama yang pertama kali menghimpun
hadits Nabi dalam bentuk kumpulan teks secara formal, adalah Muhammad ibn
Syihab al-Zuhri (w 124 H), atas perintah Khalifah Umar ibn Abdulaziz. Dalam
perkembangan selanjutnya, banyak sekali ulama yang menghimpun hadits-hadits
Nabi dalam bentuk yang berbeda-beda. Perbedaan itu menimbulkan komentar dan
penilaian ulama dari berbagai segi termasuk bobot teks dan popularitasnya.
Al-Dahlawi membagi kitab-kitab hadits
menjadi empat tingkat. Tingkat pertama adalah kitab yang menghimpun
hadits-hadits Nabi yang shahih dan terkenal (masyhur) saja, seperti Shahih
al-Bukhari, dan Shahih Muslim dan Hadits Muwattha Malik. Tingkat kedua adalah
kitab hadits Nabi yang perawinya terpercaya, adil, dlabith dan memiliki
otoritas sebagai muhaddits, yaitu Sunan Abu Dawud, Jami’ al-Tirmidzi,
dan Sunan al-Nasa’i. Tingkat ketiga adalah kitab yang banyak menghimpun
hadits Nabi yang perawinya tidak diseleksi secara ketat. seperti Musnad
Abu Ya’la, Mushannaf Abdurrazaq, Mushannaf
Ibn Syaibah, Musnad ’Abd ibn Humaid, Musnad al-Thayalisi, Kitab
al-Baihaqi, Kitab al-Thahawi, dan Kitab al-Thabrani. Tingkat keempat adalah
kitab yang menghimpun tulisan hdits yang sanadnya tidak jelas tetapi diucapkan
oleh tokoh hadits Nabi. Kitab model ini banyak mengutip hadits dlaif, pendapat para
sahabat dan tabi’in, israiliyat, dan ucapan ahli hikmah, dicampur aduk dengan
hadits Nabi, seperti Kitab Al-Dlu’afa karya Ibn Hibban, al-Kamil karya
Ibn Adiy, dan karya al-Khathib, Abu Nu’aim, al-Jauzaqani, Ibn Asakir, Ibn
Najjar, dan al-Dailami. Kitab karangan yang populer dalam mengkritik hadits dla’if
dan maudlu’at adalah kitab Al-Maudlu’at
karya Ibn al-Jauzi
Dari satu segi, ulama membagi kitab
hadits menjadi tujuh model, (1) Himpunan hadits Nabi secara selektif, dengan
mengambil hadits yang shahih saja, seperti
Hadits al-Bukhari dan Muslim. (2) Model kitab yang menghimpun hadits
Nabi, dari berbagai materi (al-Jami’) seperti Jami’al-Bukhari,
dan Jami’ al-Tirmizi. (3) Model kitab hadits Nabi yang sanadnya
dikaitkan pada nama-nama shahabat Nabi, seperti kitab Musnad Ahmad ibn
Hanbal, dan Musnad al-Darimiy (4) Model kitab hadits yng ditulis
berdasarkan abjad nama-nama guru, nama daerah perawi, atau suku (etnis)
yang diurutkan berdasarkan huruf hijaiyah, seperti tiga kitab, Mu’jam
al-Thabrani, al-Kabir,
al-Mutawassith, dan al-Shaghir. (5) Model kitab hadits susulan terhadap
hadits yang persyaratan rawinya dikutip oleh al-Bukhari dan Muslim, tetapi
hadits itu tidak dikutip oleh dua tokoh tadi. Hadits ini disebut Mustadrak
seperti karya al-Hakim. (6) Model kitab hadits Nabi yang masyhur dalam kitab
tertentu dengan sanadnya, kemudian sanad itu ditakhrij sendiri. Terkadang sanad itu tidak bertemu, dan terkadang
bertemu dengan sanad yang ada pada kitab yang ditakhrij tadi, seperti Kitab Mustakhraj Abu Awanah atas
Shahih Muslim, atau Mustakhraj Abu Bakar al-Isma’iliy atas Shahih
al-Bukhari, atau seperti Mustakhraj Abu Ali al-Thusiy atas Kitab Jami’
al-Tirmidzi. (7) Model kitab juz yang menghimpun hadits Nabi yang diceritakan
oleh satu sahabat saja. Model ini disebut Juz, seperti Juz Abu Bakar. Atau
termasuk juz juga bagi hadits tematis seperti Juz Qiyam al-Lail karya al-Marwazi, atau Juz Shalat Dluha karya
al-Sayuthi, dan lain-lain.
Selain kitab yang disebutkan di atas, banyak
lagi kitab yang ditulis oleh muhaddits
kenamaan, antara lain Sunan Ibn Majah.
Sebagian ulama menggabungkan sunan ini kepada kelompok Abu Dawud, al-Tirmizi
dan al-Nasai, sehingga terkenal dengan sebutan Sunan Empat. Tetapi Ibn Hajar al-Asqallani memasukkan hadits
keempat adalah Musnad al-Darimi, bukan Sunan Ibn Majah. Sunan yang
disebut akhir ini, banyak memasukkan hadits dlaif, rawi munkar, bahkan banyak
hadits maudlu’. Sedangkan Al-Darimi, selain al-Musnad memiliki dua kitab hadits lagi, yaitu al-Jami’, dan
al-Tafsir. Penulis menduga, karena al-Darimiy menghimpun banyak hadits
dalam kitab-kitab itu, maka bisa terjadi, ada hadits mutabi’atau musyahid
yang mendukung matan hadits yang ada dalam Musnad
al-Darimi. Atas dasar itu hadits dlaif meningkat menjadi hadits hasan li ghairih.
Di bawah Sunan Ibn Majah, adalah Musnad al-Daraquthni. Dalam kitab ini, banyak
hadits yang dinilai cacat, kemasukkan illat,
menerima perawi munkar, dan gharib, bahkan
banyak hadits maudlu’. Dalam kelas
ini, ulama juga memasukkan karangan al-Baihaqi. Ahli hadits yang pendukung Ushul Fiqh al-Syafi’Ã ini banyak
mengutip hadits dlaÃf untuk argumentasi.
Keadaan seperti itu, mendekati karya al-Khathib, yang suatu saat keluar dari
model-model periwayatan sanad, berargumentasi dengan hadits maudlu’.
Kitab hadits yang populer lagi
adalah Shahih Ibn Khuzaimah, yang muncul di atas Shahih
Ibn Hibban, dan shahih ini
lebih hati-hati dalam membuat persyaratan shahih dari pada Mustadrak
al-Hakim. Jadi kalau dibuat urutan, maka Shahih Ibn Khuzaimah dulu, disusul shahih Ibn Hibban, dan terakhir Mustadrak al-Hakim. Ketiga tokoh ini lebih tepat disebut tokoh mutasahilin
dalam Jarah dan Ta’dil. Tokoh-tokoh ini lebih mudah dalam memberikan
persyaratan shahih atau hasan terhadap perawi hadits, dari pada persyaratan Abu
Dawud dan al-Tirmizi, dan jauh lagi dengan persyaratan al-Nasa’i.
Semua kitab-kitab hadits tersebut di
atas dapat ditemukan dalam perpustakaan, atau dalam CD dan lain sebagianya.
Bahkan ada kitab hadits yang tidak dicantumkan di sini, seperti pemikiran Ibn
Hazm yang menyebut Shahih Said ibn
Sakan, Al-Muntaqa karya Ibn al-Jarud, Musnad al-Bazzar dan lain-lain. Semua hadits
itu tersimpan dalam perpustakaan, atau CD atau dalam bentuk lain.
Matan yang ada dalam kitab itu
disebut hadits induk, sebagaimana tersebut di atas. Matan ini banyak dikutip
oleh muhadditsin mutaakhirin, untuk keilmuan
tertentu. Seperti Kitab Bulugh al-Maram karya Ibn Hajar al-Asqallani,
atau Nail al-Authar karya al-Syaukani, yang mengutip hadits dari kitab
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nasai, Ibn Majah, Ahmad,
al-Baihaqi, al-Hakim, dan lain-lain. Kutipan itu diaduk menjdi satu untuk
membahas hukum fiqih. Nawarid al-Ushul karya Muhammad Ali ibn Husain
al-Tirmizi, mengutip kitab induk untuk membahas ilmu tasawuf. Riyadl
al-Shalihin karya al-Nawawi mengutip kitab induk, untuk membahas akhlak
dalam ibadah dan mu’amalah. Al-Taj al-Jami’ al-Ushul karya Manshur Ali
Nahif mengutip matan hadits dari kitab induk, untuk membahas ”Kapita-slekta”. Al-Targhib
wa al-Tarhib karya al-Mundziri, mengutip beberapa hadits dari kitab induk,
untuk membahas Fadlail al-’Amal, dan begitulah seterusnya. Semua
karangan yang mengutip hadits dari kitab induk, selalu menyebutkan nama
penghimpunnya, seperti Rawaahu al-Bukhari, Rawahu al-Nasai, Rawaahu
al-Baihaqi, Rawaahu al-Hakim dan begitulah seterusnya. Dalam pengembangan
ini, semua kitab hadits, baik induk atau kutipan bahkan semua syarahnya, itu disebut
Buku Kecil.
Sedangkan Buku
Besar yang diperlukan untuk mengembangkan buku kecil tadi ada empat langkah.
Langkah pertama dan kedua untuk penggalian isi hadits. Langkah ketiga dan
keempat diperlukan untuk melengkapi kontekstualisasi isi hadits kepada situasi
dan kondisi suatu masyarakat. Langkah-langkah itu adalah (A) studi internal
syarah hadits (B) studi eksternal syarah hadits. (C) studi kontekstualisasi internal
syarah hadits., dan (D) studi perumusan substansi syarah hadits.
Ad. A. Studi internal syarah
hadits ditempuh melalui empat langkah. Yaitu (1) Pengertian bahasa dan pengertian istilah
bagi isi hadits yang akan diuraikan. Misalnya hadits tentang ibadah hajji, maka
uraian pertama adalah pengertian tentang ibadah haji menurut bahasa dan menurut
istilah. (2) Ruang lingkup dan konsep yang ada pada isi hadits haji itu,
mencakup dimensi, bagian, serta rinciannya. Misalnya, haji itu akan mengambil
ifrad, atau tamattu’ atau qiran. Dari segi lain, miqat ihram dari mana, dan
lain sebagainya. Sehubungan ibadah haji sangat luas maka syarah hadits
difokuskan dulu pada matan hadits seperti tentang syarat, rukun, kewajiban, dan
sunnah ibadah haji dan seterusnya. (3) Keluasan masalah tentang syarah hadits ibadah
haji, dirumuskan terutama melihat uraian mazhab muhaditsin dan
tokoh-tokoh fuqaha yang sudah membahas tentang ibadah haji, seperti uraian imam
mazhab. (4) Hadits ibadah hajji memiliki cakupan pembahasan tersendiri yang
berbeda dengan pembahasan ibadah yang lain. Begitu juga hadits ibadah zakat
misalnya, memiliki pembahasan tersendiri yang berbeda dengan hadits ibadah
haji. Problem sosial yang dihadapi oleh ibadah haji, dengan ibadah zakat itu
berbeda. Tetapi keduanya masuk dalam ranah hukum ibadah. Berdasarkan hubungan
dua syarah tadi, dapat dirumuskan dalam kaidah ibadah yang berkaitan dengan
masalah sosial. Pekerjaan ini berat, tetapi bisa dilakukan oleh studi hadits yang ingin mencetuskan suatu teori, jika dia sudah memiliki
data yang cukup.
Ad. B. Studi eksternal syarah hadits
juga membahas tentang empat lagkah. Yaitu (1) Tentang dasar filosofis yang ada
pada hadits itu. Misalnya hadits tentang ibadah haji, maka salah satu dasar
filosofinya adalah mengikuti tuntunan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dan atau
meluruskan ibadah haji yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Jahiliyah. (2)
Dalil yang dipergunakan untuk mengungkapkan isi syarah hadits itu, adalah dalil
normatif, dalil empirik, dan dalil metodologis. Semua itu berkaitan dengan
metodologi pengolahan memakai ilmu bahasa dan atau ilmu sosial.
Dalil Normatif adalah beberapa ayat
Qur’an atau Hadits Nabi yang bermakna teologis, seperti sah atau batal, wajib
atau haram, baik atau buruk, dan semacamnya. Dalil empirik ada dua, yaitu
empirik makro dan empirik mikro. Dalil empirik makro ialah ayat Qur’an atau
hadits Nabi yang tidak dinormatifkan oleh ulama, yaitu ayat Qur’an atau Hadits Nabi
yang bersifat ijtihadiyah. Dalil
empirik yang mikro ialah asbab wurud al-hadits atau komentar para
sahabat Nabi, atau komentar perawi hadits seperti ucapan, bahwa hadits itu memakai
riwayat bil-makna dan semacamnya. Dalil metodologis ialah cara berfikir
meliputi taksonomi, logis, dialektis, simbolis, intuitif, termasuk penalaran
dengan kiyas dan istihsan. (3) Perumusan syarah hadits yang dipilih dari salah satu
dalil yang banyak itu, maka syarah hadits perlu dilakukan dengan istinbath
hukum seperti banyak dilakukan oleh muhadditsin yang fuqaha (al-muhaddits
al-faqih). (4) Afiliansi syarah hadits adalah berkenaan dengan aliran
pemikiran dalam Islam, seperti syarah hadits Ahli Sunnah, Syi’ah, Mu’tazilah, Zaidiyah,
atau Ibadliyah dan lain-lain.
Ad. C. Studi kontekstualisasi internal syarah
hadits, ada empat langkah juga. Yaitu (1) Mempelajari entitas kehidupan jamaah
haji di Makkah berkenaan dengan aspek struktur (sosiolgis) dan aspek kultur
(antropologis), pada zaman Rasulullah dan zaman sekarang. Dalam unsur itu
syarah hadits yang sudah ada, dipandang sebagai apa yang seharusnya (das
sollen) dengan melihat kenyataan di lapangan yang bersifat dinamis, itu
disebut (das sein) Di situ akan tergambar tentang suatu masalah. (2). Tuntutan
kontekstualisasi syarah hadits, adalah dilakukan karena melihat tuntutan kenyataan
di lapangan. Apalagi kejadian itu terjadi pada setiap ibadah haji dilaksanakan (3)
Proses kontekstualisasi syarah hadits dilakukan melalui diskusi, musyawarah
antar ulama yang terus menerus, sampai mencapai ijma’ kontemporer, atau
penyajian teori baru, meskipun begitu itu kadang-kadang dinilai bidáh, atau
sekuler, atau aliran kiri dan sebagainya. (4) Bentuk unsur kontekstualisasi
syarah hadits adalah berkenaan dengan perubahan isi syarah hadits, seperti syarah
tentang tambahan dan perluasan Mina misalnya, modifikasi, bahkan bisa terjadi
pergantian isi syarah hadits. Dengan kata lain, ada perbedaan uraian syarah
hadits antara isi Kitab Kuning dengan
syarah hadits yang dikembangkan sekarang.
Ad. D. Transformasi syarah hadits ada empat
langkah juga. Yaitu (1) Kebutuhan peralihan syarah hadits dari satu syarah ke
syarah yang lain, karena melihat dua masalah (a) masalah wacana seperti Masdar
F. Masúdi pernah mewacanakan bahwa ibadah haji hendaknya bisa dilaksanakan
beberapa kali dalam satu tahun. Dasarnya, adalah Al-Qur’an menerangkan bahwa
ibadah haji itu pada bulan-bulan tertentu (Al-Qur’an S. Al-Baqarah ayat 197).
Untuk itu, Al-Bukhari dari Ibn Umar meriwayatkan hadits, bahwa bulan-bulan haji
itu Syawal, Zulkaidah, dan Sepuluh hari dari Zulhijjah. Berdasarkan Qur’an dan
Hadits itulah syarah hadits ditransformasikan. (b) Realitas empirik yang menggambarkan
bahwa konsep mabit di Mina pada
ibadah hajji tahun 1960 an, itu berbeda dengan mabit di Mina tahun 2000 an.
Perbedaan itu karena ada perluasan tempat mabit
yang keluar dari fiqh yang mengatakan bahwa Mina itu lembah di antara dua
gunung. Tetapi pada tahun berikutnya gunung itu ditembus, dan di belakang
gunung itulah dibuat sebagai Mina tambahan, dan begitulah seterusnya. Begitu
juga tempat miqat ihram Indonesia pindah dari Yalamlam ke Jeddah, atau seperti
tempat sa’i mulai tahun 2008 sah dilakukan di tempat yang tidak persis lurus di
antara Shafa-Marwa, seperti tahun sebelumnya. (2) Proses pengembangan syarah
hadits bagi seorang muhaddits, dapat
menggunakan perpindahan orientasi dari dalil juzÃ, kepada dalil kulli.
Misalnya, hadits riwayat Ahmad, Muslim dan al-Nasa’i dari sahabat Jabir, dialihkan
kepada hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibn Umar. Jabir
menceritakan, bahwa Rasulullah Saw. bersabda : Hendaklah kalian
mengambil ibadah hajimu, dari saya. Artinya, hendaklah ibadah haji
dilakukan seperti amalan Rasulullah. (dalil
juz’i). Dalam tempat lain, Hadits al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar menceritakan
bahwa ketika Rasulullah berdiri di dekat jamarat, banyak sekali para
sahabat bertanya. Ya Rasulullah kami melakukan ibadah haji dengan cara yang
berbeda-beda satu sama lain. Rasulullah Saw. menjawab if’aluu walaa haraj.
(Berbuatlah kamu sekalian, dan itu tidak dosa/salah). Artinya, apapun amalan
haji para sahabat (sesudah wuquf) yang
berbeda-beda itu semua dinilai sah oleh Rasulullah (dalil kulli). Kalau syarah
hadits itu diuraikan seperti pelaksanaan ibadah hajji sekarang, maka berarti muhaddits
sudah menggunakan
dalil kulli (hadits Ibn Umar), dan meninggalkan dalil juz’i (hadits Jabir). Peralihan
orientasi seperti itu, oleh Mazhab Hanafi disebut istihsan. (3) Saluran
kontekstualisasi syarah hadits bisa dilakukan melalui saluran infra struktur
(organisasi kemasyarakatan) dan supra struktur masyarakat, yakni badan
penyelenggara ibadah haji. Begitu itu terjadi, bahwa keputusan ulama Saudi
Arabia, mempersilakan balang jumrah dilaksanakan sebelum zhuhur (4) Bentuk kontekstualisasi
syarah hadits bisa dengan bentuk fatwa, atau seperti bentuk pelaksanaan ibadah
haji produk Kementerian Agama Indonesia atau Pemerintah Saudi, dan sebagainya.
Penerapan Buku Besar model syarah hadits yang empat itu, memiliki tujuan dan
kegunaan sebagai berikut. Antara lain :
- Secara internal, syarah hadits bertujuan untuk memahami dan mendiskripsikan keunikan yang ada pada teks hadits, serta hubungan syarah hadits yang satu dengan teks hadits itu sendiri, atau hubungan syarah dengan syarah hadits yang lain. Gunanya, agar syarah hadits sesuai dengan kehidupan umat Islam.
- Secara eksternal, syarah hadits bertujuan untuk memahami dan menjelaskan hubungan syarah hadits dengan rujukannya, dan hubungannya dengan aliran pemikiran secara makro. Gunanya untuk menata ulang, agar syarah hadits relevan dengan kehidupan yang mengalami differensiasi, makin tajam dan spesifik.
- Tujuan berikutnya, untuk memahami dan menjelaskan dinamika syarah hadits secara internal, baik secara horizontal atau secara vertikal. Gunanya mengalihkan dan mengkontekskan isi hadits ke dalam kegiatan pembelajaran, sehingga mahasiswa Studi Hadits dapat memperoleh informasi mutakhir tentang syarah hadits.
- Tujuannya juga untuk memahami dan menjelaskan peralihan bentuk syarah hadits ke dalam kehidupan umat, berupa pengembangan wacana (ilmu), atau pemecahan masalah hukum, atau penataan kehidupan, dan sebagainya. Semua itu dijadikan untuk kegiatan penulisan syarah hadits lebih lanjut.
Setelah Buku Kecil dan Buku Besar
disilangkan, maka untuk mengulas permasalahan, Muhaddits perlu membaca banyak kitab syarah yang sudah ditulis oleh
para ulama (Kitab Kuning), Dari
bacaan itu, dapat diketahui bahwa semua sunnah Rasulullah yang ditulis dalam
bentuk hadits Nabi, terbagi menjadi dua macam. Yaitu (1) Sunnah yang berbentuk
risalah kenabian Nabi Muhammad Saw, yaitu suatu perintah Rasulullah yang harus
diamalkan oleh umat, dan larangan yang harus ditinggalkan oleh umat. Dasarnya
adalah ayat al-Qur’an Surat Hasyr ayat 7 : (Terjemah) Perilaku yang
dibawakan oleh Rasulullah kepada kamu sekalian, maka ambillah itu, dan larangan
Rasulullah kepada kamu maka hindarkanlah. Sunnah atau perilaku Nabi yang ditunjukkan oleh ayat ini
disebut hadits tasyri’. Bentuknya banyak, antara lain tentang akidah, ibadah
mahdlah, alam akhirat, alam ghaib, dan syari’at yang dilakukan oleh Rasulullah
berdasarkan wahyu, dan dasar-dasar ijtihad kema’shuman Rasulullah. Ilmu sosial
menilai bahwa masalah ini adalah sakral. (2) Sunnah Rasulullah
yang berbentuk bukan risalah kenabian, tetapi hanya tradisi kehidupan manusiawi
biasa. Rasulullah bersabda : (Terjamah) Jika saya memerintahkan kamu tentang
sesuatu dari agamamu, maka peganglah itu. Jika saya memerintahkan kamu dari
pemikiran (kemanusiaan) ku, maka saya adalah manusia. (Hadits Riwayat Muslim dari Rafi’ ibn Khadij).
Sunnah Rasulullah yang ditun-jukkan oleh hadits ini disebut hadits
irsyad. Ilmu sosial menilai, bahwa isi kandungannya adalah profan. Bentuk hadits
irsyad seperti itu banyak
sekali antara lain, sesuatu yang bertalian dengan masalah mu’amalah, kebudayaan,
sosial, politik, ekonomi, komunikasi, teknologi dan lain-lain.
. Berangkat dari pemilahan seperti itu, Umar ibn al-Khattab, Ali ibn Abi Thalib, Ibn
Mas’ud, dan Ibn Abbas, memilah hadits Nabi dengan analisa akal dan diberi
interpretasi baru, agar formatisasi oleh hadits sesuai dengan kemaslahatan
umat. Sedangkan Abdullah ibn Umar, Aisyah dan Zaid ibn Tsabit memilah tidak
terlalu tajam, sehingga semua amalan Rasulullah itu tuntunan, yang seharusnya dilakukan
apa adanya (tekstualis). Ulama mutakhir menilai bahwa Umar adalah sahabat Nabi
yang sangat kaya dalam menerapkan ruh syari’ah. Ali dan Ibn Mas’ud adalah dua
tokoh yang banyak bergaul dengan ilmuan di Kufah, dan Ibn Abbas adalah tokoh
Makkah yang banyak berguru kepada Ali dan bergumul dengan tokoh mawali yang
umumnya ulama interpretatif. Karena itu hadits Nabi banyak sekali yang dinilai
irsyad. Sedangkan Ibn Umar, Aisyah dan Zaid ibn Tsabit adalah tokoh besar di
Madinah yang kehidupannya ingin meniru amalan Rasulullah sesuai apa adanya,
baik berkaitan dengan ibadah atau berkaitan dengan muamalah. Karena itu, pemilahan hadits dari segi tasyri’ dan irsyad sangat
hati-hati.
Pada
zaman berikutnya, perselisihan kerangka berfikir model Umar, Ali, dan Ibn
Mas’ud dengan model Aisyah, Ibn Umar, dan Zaid ibn Tsabit berkembang menjadi
pemikiran imam mazhab yang satu sama
lain berbeda. Tetapi perkembangan sejarah dapat merubah, dan sedikit demi
sekikit pemikiran semacam itu semakin lunak. Faktor yang dominan terjadinya
perubahan pemikiran semacam itu adalah budaya dan waktu yang merubah kehidupam
manusia itu sendiri. Kahidupan manusia pada dasarnya terikat oleh hukum
perubahan, baik strukturnya maupun budayanya. Perubahan struktur relatif cepat,
sedangkan perubahan kultur relatif lambat,
karena sering berangkat dari keyakinan, dan beberapa hal yang sudah disepakati.
Berangkat dari fenomena itu, Ibn al-Qayyim berpendapat bahwa hukum (struktur) dapat
berubah karena faktor perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan
(tradisi). Begitu juga ilmu hadits baik riwayah
atau dirayah bisa berubah dan
berkembang sesuai kebutuhan.
Dalam dunia ilmu, konsep perubahan
sosial banyak sekali, antara lain muncul dengan istilah kemajuan, perkembangan,
pembaharuan, reformasi, transformasi, modifikasi, dan sebagainya. Semua itu memiliki
konsep makna yang satu sama lain berbeda. Dalam ilmu hadits riwayah, penulis
memilih istilah ’perkembangan’. Yaitu suatu perubahan struktural atau perubahan
kultural yang dinyatakan secara kwalitatif, untuk menjabarkan isi teks hadits
agar sesuai dengan perkembangan sosial. Dalam pengembangan ilmu hadits riwayah,
masalah yang terjadi adalah penerapan
konsep makna atau perumusan pemahaman terhadap teks hadits, agar sesuai dengan
perkembangan sosial. Dengan kata lain, format hadits yang bentuknya sudah
ditulis oleh para ahli, maka salah satu perkembangannya adalah formatisasi
konsep itu agar sejalan dengan perkembangan sosial.
Alternatif yang diterapkan pada formatisasi
hadits bervariasi, yaitu formatisasi dapat dipandang sebagai peristiwa, atau dipandang sebagai proses, dan
atau dipandang sebagai metoda. Jika formatisasi itu dipandang sebagai
peristiwa, maka penekanannya pada berpagai unsur yang berinteraksi dalam
peristiwa tersebut. Ia merupakan perwujudan interaksi sosial yang melibatkan
berbagai pihak. Jika formatisasi itu dipandang sebagai proses, maka
penekanannya pada tahapan perubahan dari waktu ke waktu, seperti penulisan
syarah hadits hajji di atas. Perubahan itu bertahap baik kwalitatif maupun
kwantitatif. Jika foramtisasi itu dipandang sebagai metoda, maka penekanannya
ada pada pencapaian tujuan yag telah ditetapkan.
Berdasarkan
metoda di atas, langkah berikutnya adalah menyusun kerangka berfikir yang dapat
dipergunakan untuk mengolah formatisasi oleh hadits itu. Tahapan kerja dalam
perumusan kerangka berfikir, diawali dengan penentuan unsur-unsur yang
terkandung dalam pengembangan, dan sekali gus menyusun visualisasi hubungan
antar unsur-unsur tadi. Gambaran kerangka berfikir secara singkat adalah (1)
sumber yang akan dipergunakan adalah al-Qur’an, al-hadits, dan pendapat para
ahli (2) entitas kehidupan umat (3) cara berfikir (4) metoda pengolahan, dan
(5) rumusan pengembangan.
Setelah kerangka berfikir itu tersusun,
maka langkah berikutnya menerapkan metoda pengembangan syarah hadits. Metoda
itu didasarkan pada pendekatan yang akan diper-gunakan. Jika pengembangan itu
diarahkan pada pemahaman substansi hadits, maka metoda yang dikembangkan adalah
hermeneutika yang menggunakan pendekatan filosofis, yuridis, dan logis.
Substansi hadits yang terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan kalimat, ditafsirkan melalui penafsiran kosa kata, pola
kata, pola kalimat, konteks situasi, konteks sosial, dan konteks budaya. Untuk
menafsirkan teks tersebut dapat mengadaptasi metoda penelitian komunikasi,
khususnya tentang analisa wacana.
Jika pengembangan itu diarahkan untuk
memecahkan suatu kasus (kontekstualisasi makna hadits), maka syarah hadits yang
perlu dikembangkan adalah memakai metoda hermeneutika yang menggunakan
pendekatan ilmu-ilmu sosial, terutama antropologi dan sosiologi. Pengembangan
ilmu hadits riwayah dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh dan
terintegrasi, yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berhubungan. Berkenaan
dengan itu penafsiran hadits diarahkan untuk menemukan keunikan suatu analisis.
Penggunaan metoda ini memerlukan data yang rinci dan mendalam, terutama data yang
ada pada entitas kehidupan, tuntutan perubahan, proses perubahan, termasuk
bentuk perubahan, seperti uraian di atas, tentang kontektualisasi hadits Nabi
yang berkaitan dengan ibadah haji.
Demikian pengembangan ilmu hadits
riwayah yang mengambil pola Ilmu Ushul al-Tafsir. Model ini merupakan usulan baru,
yang belum dikembangkan oleh dosen-dosen ilmu hadits di perguruan tinggi.
Percobaan ini memerlukan ketekunan dan banyak latihan sehingga ilmu hadits berkembang
terus, sjalan dengan perkembangan ilmu yang lain.
BAGIAN II,
ILMU HADITS DIRAYAH
Pokok pembahasan ilmu dirayah itu dua, yaitu (1) rijal
al-sanad dan (2) jarah-ta’dil. Dari
pembahasan dua ulasan itu muncul penilaian, bahwa suatu matan hadits dinilai shahih, atau hasan atau dla’if. Kata penilaian
seperti itu biasa disebut Mushthalah
al-Hadits.
Ad. 1. Rijal al-Sanad sering disebut riwayat perawi al-hadits, yaitu
untaian informasi tentang sosok perawi yang menceritakan matan hadits dari satu
rawi kepada rawi yang lain, sampai pada penghimpun hadits. Informasi itu
menceritakan setiap rawi, dari segi kapan dia lahir dan wafatnya, siapa guru-gurunya,
kapan tahun belajarnya, siapa murid-murid yang berguru kepadanya, dari daerah
mana dia, kedatangan dia ke seorang guru kapan, dalam keadaan sehat, atau campur
aduk kata-katanya (ikhtilath), atau dalam
periwatan hadits terdapat illat (cacad)
bagi perawi, atau bagi matan hadits, dan begitulah seterusnya.
Dari satu segi, persyaratan perawi hadits
adalah muslim, aqil-baligh, kesatria (’adalah)
dan kuat ingatan (dlabith), baik
dlabith imgatan atau dlabit catatan Sedangkan cara penyampaiannya bisa
menggunakan pendengaran teks dari guru kepada murid, murid membaca teks di
depan guru, ijazah, timbang terima teks dari guru ke murid, tulisan guru yang
terkirimkan, pengumuman guru, wasiat, dan penemuan tulisan guru oleh murid (wijadah). Semua bisa dikembangan dengan
teknologi sekarang, seperti konsep dlabith
bisa ditambah dengan catatan, atau website, atau sms dan sebagainya..
Tingkatan perawi hadits pertama adalah shahabat
Rasulullah Saw. yaitu seseorang yang pernah bertemu Rasulullah Saw. dalam
keadaan hidup, sadar dan beriman (Islam) sampai dia wafat dalam keadaan Islam.
Jumlah sahabat Nabi susah dihitung,
karena banyak yang tersebar di beberapa negara. Sebagai gambaran, Ibn Abbas
menceritakan bahwa pada sepuluh hari sesudah Ramadlan, Rasulullah berpuasa, dan
para sahabat pun ikut puasa. Setelah perjalanan sampai di daerah Kudaid, Rasulullah berbuka puasa,
kemudian meneruskan perjalanan diikuti oleh sepuluh ribu sahabat, sampai ke
daerah Shurar. Kasus itu terjadi
menjelang Fathu Makkah. Dalam tempat
lain, Kitab Nur al-Yaqin menulis
bahwa Rasulullah melaksanakan Hajji Wada’
dan diikuti oleh enam puluh ribu kaum muslimin. Wallahu a’lam.
Kitab yang meriwayatkan sahabat Nabi
banyak, antara lain Ma’rifah man Nazala
min al-Shahabah Saaira al-Buldan karya Ibn al-Madini (w.234 H), Al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab, karya
Ibn Abd al-Barr (w 473 H), Usud al-Ghabah
fi Ma’rifah al-Shahabah, karya Ibn al-Atsir (w. 630 H), Tajrid Asma al-Shahabah, karya
al-Dzahabi (w.748 H), dan Al-Ishabah fi
Tamyiz al-Shahabh karya Ibn Hajar al-Asqallani (w 852 H). Kitab ini
menyajikan riwayat 9477 nama sahabat, 1268 Kuniyah shahabat, dan 1552 tarjamah sahabat
perempuan. Dan dalam kitab ini pula Thabaqat
al-Shahabah diterangkan.
Lapisan perawi kedua adalah tabi’in. Yaitu
seseorang yang bertemu sahabat Nabi, dan mengikuti Islam sampai dia wafat.
Jumlah tabi’in susah dihitung, karena jumlahnya berlibat ganda dari jumlah
sahabat Nabi. Kitab-kitab yang membahas tentang tabi’in banyak, tetapi
digabungkan dengan riwayat perawi lain. Dalam kaitan ini, Ibn Saad (w.230 H)
menulis Al-Thabaqat al-Kubra. Kitab
ini membahas sekumpulan tokoh yang
hidup dalam tahun yang berdekatan, sebagai satu thabaqat. Kemudian disusul dengan sekelompok perawi berikutnya,
sebagi thabaqat kedua, dan begitulah
setetusnya, sampai tertata beberapa thabaqat.
Karya ini diikuti oleh Al-Ushfuri (w. 240 H).
Ada juga kitab yang menyusun biografi
perawi hadits secara alpabetis, seperti karya al-Bukhari (w. 256 H) dalam kitabnya,
Al-Tarikh al-Kabir. Sedangkan model ini yang paling lengkap
adalah Tahdzib al-Tahdzib dalam dua
belas jilid, karya Ibn Hajar al-Asqallani (w. 852 H). Selain itu, ada juga
kitab yang menulis biografi tokoh-tokoh sahabat dan tokoh-tokoh besar
berikutnya yang ada dalam suatu negara (balad)
seperti Tarikh Naisabur karya
al-Hakim (w.405 H), yang disusun secara alpabetis. Kemudian diikuti Tarikh Baghdad karya Khathib al-Baghdadi
(w. 463 H), dan diikuti lagi oleh kitab Tarikh
Dimasyq karya Ibn Asakir (w. 571 H), dalam delapan puluh jilid.
Kreatif ulama muncul lagi biografi
perawi dengan nama dan kinayah, seperti Al-Asama
wa al-Kuna, karya Ibn al-Madini (w. 234 H), Al-Kuna wa al-Asma karya al-Daulabi (w. 320 H) Al-Ikmal fi Raf’ al-Irtiyab ’an al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf min al-Asma
wa al-Kuna wa al-Ansab, karya Ibn Makulan al-Baghdadi (w. 486 H). Ada lagi
kitab Al-Musytabah fi Asma al-Rijal
karya Al-Dzahabi (w. 748 H), Nuzhah
al-Albab fi al-Alqab karya Ibn Hajar al-Asqallani (w. 862 H), Al-Ansab karya al-Sam’ani (w. 562 H), Al-Lubbab karya al-Jazari (w. 630 H),
dalam tiga juz.
Teknik penulisan matan hadits,
sanadnya dimulai dari penyebutan sahabat
Nabi, tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan murid-muridnya, sampai guru perawi hadits
yang ditulis oleh penghimpun hadits. Semua penyajian seperti itu biasanya
ditulis oleh ulama mutaqaddimin dalam
kitab karangannya masing-masing. Sedangkan penulisan ulama mutaakhirin dalam kitab-kitabnya hanya menyebutkan sahabat Nabi dan
nama penghimpun matan hadits itu saja, seperti sebutan : Rawahu al-Bukhari dari Ibn Umar dan sebagainya. Penyajian seperti
itu, baik penyajian ulama mutaqaddimin
atau ulama mutaakhrin, sudah banyak ditulis
dalam Kitab Kuning, yang ada dalam
perpustakaan, atau dalam CD, dan website. Semua itu adalah substansi ilmu
hadits yang sudah baku, statis, dan tidak akan berubah. Karena itu, semua
tulisan tadi disebut Buku Kecil.
Sedangkan Buku Besar bagi
pengembangan metoda penulisan (takhrij
al-sanad) itu, ada dua model, yaitu internal dan eksternal. Pengembang internal takhrij ada empat unsur. Pertama
unsur rujukan yang dipergunakan oleh perawi untuk menceritakan hadits
kepada murid, apakah memakai dalil nornatif (keyakinan), atau dalil empirik (kondisi
dan situasi), atau dalil metodologis. Kedua,
unsur kerangka berfikir yang kreatif apa, setelah perawi itu membaca pemikiran tokoh-tokoh
pendahulunya. Ketiga unsur cara kerja
bagaimana yang mengaktualisasikan periwayatan hadits kepada murid, dengan cara
penyampaian tertentu. Keempat unsur
bentuk dan model-model substasi hadits yang disampaikan oleh rawi kepada murid,
memakai riwayat bi al-makna (konseptual)
atau tekstualis seperti bacaan Rasulullah, ketika rawi meriwayatkan do’a,
dzikir atau jawami’ al-kalim kepada
muridnya.
Pengembangan eksternal takhrij juga
ada empat. Pertama unsur entitas
kehidupan mencakup aspek kultur dan aspek struktur dalam sistem sosial,
termasuk pemakaian pola pikir Ahli Sunnah, Syi’ah dan lain-lain. Kedua unsur perubahan sosial yang mempengaruhi
pemikiran tokoh perawi, seperti kehidupan hadits di Hujaz berbeda dengan
kehidupan di Baghdad dan lain-lain. Karena itu, dulu muncul format hadits riwayat bi al-makna, dan itu dianggap
sebagai format hadits. Sekarang bukan format lagi, tetapi perlu konsep
formatisasi oleh teks hadits tadi. Ketiga,
unsur tradisi intelektual di kalangan muhadditsin, seperti penulis, pengajar,
atau muballigh dan lain-lain. Keempat unsur
komunitas perawi sebagai pendukung sosialisasi pemikiran di kalangan ahli hadits,
apakah mereka komunitas ahli hadits, atau ahli rakyu, atau komunitas apa
namanya. Semua unsur yang disebutkan dalam Buku
Besar itu belum banyak dilakukan oleh ahli-ahli hadits sekarang. Atas dasar
itu, pemikiran takhrij al-hadits belum
dianggap berkembang.
Ad. 2. Jarah-ta’dil
adalah unsur ilmu hadits yang penting dalam menentukan perawi hadits, diterima
atau ditolak matan haditsnya. Dengan kata lain hadits Nabi dinilai shahih atau
tidak, didasarkan pada penilaian itu. Dari segi lain, klasifikasi tingkat
tinggi-rendahnya nilai hadits pun, ditentukan oleh unsur itu juga. Atas dasar
itu, hampir semua kitab Ulum al-Hadits,
baik karya ulama mutaqaddimin atau mutaakhirin, selalu membahas jarah ta’dil.
Kitab-kitab
yang membahas jarah-ta’dil banyak
sekali, dengan metoda dan penyajian materi yang berbeda-beda. Tokoh yang
pertama kali memperhatikan jarah ta’dil
sebagai ilmu, adalah Ibn Sirin (w.110 H), Al-Sya’bi (w.103 H), Syu’bah, (w.160
H), dan al-Imam Malik (w. 179 H.). Sedangkan tokoh yang pertama kali menulis
kitab jarah-ta’dil adalah Yahya ibn
Ma’in (168-223 H), Ali ibn al-Madini (161-234 H), dan Ahmad ibn Hanbal (164-241
H). Kemudian bermunculan kitab-kitab yang menulis jarah ta’dil.
Jarah
ta’dil pada dasarnya diangkat dari ayat-ayat al-Qur’an, antara lain ayat 6 Surat al-Hujurat, dan beberapa hadits Nabi Saw. Kemudian pemahaman
terhadap ayat dan hadits itu dikongkritkan oleh ahli hadits untuk dijadikan sebagai
konsep jarah ta’dil. Kemudian konsep
itu diterapkan pada setiap orang yang akan menceritakan hadits Nabi.
Sebenarnya, pekerjaan itu sudah dilakukan oleh pengamal hadits sejak dari zaman
Rasulullah, zaman sahabat Nabi, dan ulama berikutnya. Tetapi gagasan itu baru dinormatifkan
sebagai ilmu hadits, pada zaman tabi’in, seperti tersebut di atas.
Kitab jarah-ta’dil yang paling
populer adalah Ma’rifat al-Rijal karya
Yahya ibn Ma’in, Al-Dlu’afa karya
al-Bukhari (194-256 H), Al-Jarh wa
al-Ta’dil karya Ibn Abi Hatim al-Razi (240-327 H). Kitab ini terdiri atas
empat jilid yang menulis delapan belas ribu lima ratus (18050) tokoh perawi
hadits, Al-Tsiqat karya Abu Hatim al-Busti (w 354 H), Al-Kamil karya Ibn Adiy al-Jurjani (277-365
H), Mizan al-I’tidal karya al-Dzahabi
(673-748 H), dan Lisan al-Mizan karya
Ibn Hajar al-Asqallani (773-852 H). Setelah itu, pengembangan jarah ta’dil berhenti.
Jarah
ta’dil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat dan tabiatnya adalah berkembang.
Tetapi sesudah karya Ibn Hajar al-Asqallani, kitab yang muncul berikutnya hanya
mengutip apa adanya, sehingga tidak ada komentar baru. Tulisan ini ingin mengajak
pembaca untuk mengolah jarah-ta’dil
menjadi sebuah ilmu yang berkembang.
Pengembangan
jarah ta’dil berangkat dari dua kelompok pembahasan, yaitu (1) berangkat dari
unsur rawi (pembawa hadits) dan unsur takhrij (metoda pengeluaran predikat jarah atau ta’dil pada seorang rawi yang ada
dalam sanad). (2) unsur dalil unsur penilaian. Yaitu unsur alasan ditetapkannya
jarah atau ta’dil kepada seorang rawi, dan unsur norma-norma penilaian jarah
atau ta’dil itu sendiri. Dua kelompok itulah merupakan pilar utama dalam
bangunan Ilmu Hadits Dirayah.
Dalam pengembangannya, jarah ta’dil merupakan produk cara
berfikir deduktif melalui kegiatan yang merujuk kepada seorang rawi, seperti kitab
itu menulis bahwa A itu jarah, dan B itu adil. Tetapi jarah ta’dil juga
merupakan produk berfikir induktif melalui kegiatan penilaian keabsahan sebuah
sanad yang ada pada kitab itu, seperti jarah atau ta’dil itu jika X atau Y
dimiliki oleh rawi-rawi yang memiliki sifat itu.
Selanjutnya jarah ta’dil juga
dijadikan kerangka penilaian baik diarahkan untuk menguji keajegan atau untuk
mempertajam cakupannya. Di sini tampak relasi antara unsur rawi dan unsur
takhrij. Sedangkan jarah ta’dil itu sendiri suatu ketika diturunkan dengan cara
kerjanya unsur takhrij yang bersifat deduktif, dan suatu ketika data rawi
digeneralisasikan dengan cara kerjanya unsur takhrij yang bersifat induktif.
Dengan kata lain, takhrij untuk memproduksi jarah ta’dil dapat dikelola dengan
berfikir deduktif dan dapat dikelola dengan berfikir induktif.
Secara rinci, fokus pengembangan
jarah ta’dil tersebar berdasarkan dua pemilahan. (1) Pemilahan matan hadits,
seperti hadits akidah, hadits hukum, hadits muamalah, hadits sosial, hadits
kepribadian, dan sebagainya. (2) Pemilahan rawi dari segi jarah atau ta’dil
berdasarkan jenjang kaidahnya, sehingga muncul pengkelompokkan ulama pemikir jarah
ta’dil menjadi ulama mutasyaddidin, ulama mutawassithin, atau
ulama mutasahilin. Semua itu berangkat dari penilaian mereka terhadap
rawi, sehingga ada rawi yang disepakati jarahnya, ada yang disepakati adilnya, dan
yang paling banyak adalah ulama yang diikhtilafkan penilaian jarah dan
ta’dilnya. Atas dasar itu, jarah-ta’dil dapat diterapkan pada konteks yang
berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas,
pengembangan jarah ta’dil dapat dirumuskan menjadi tiga model. Pertama
model landasan jarah-ta’dil. Model ini merupakan landasan filofofis dan
rasionalis.Semua teks hadits yang disandarkan kepda Rasulullah pada dasarnya
ingin dinilai sebagai sunnah Rasulullah. Karena itu, muncul point-point yang
harus dipelajari dan harus dirumuskan, yaitu (a) Apa tujuan jarah-ta’dil.(b)
Bagaimana bentuk penilaian jarah atau ta’dil untuk seorang rawi (c) Apakah
hadits itu tergolong hadits tasyri’ atau hadits irsyad, atau jalan tengah di
antara tasyri dan irsyad (d) Teknis penerapan ilmu takhrij al-rawi.
Kedua model pandangan muhadditsin
baik mutaqaddimin atau mutaakhirin. Pandangan itu merupakan cara
berfikir ulama dengan menggunakan proses deduksi (istinbath). Dengan berfikir
seperti itu terhimpun sejumlah produk pemikiran, sebagaimana tersusun dalam jarah-ta’dil
karya-karya Yahya ibn Ma’in, al-Bukhari, atau al-Hakim dan lain-lain,
termasuk jarah ta’dil karya
al-Razi, Al-Dzahabi, atau Ibn Hajar. Dari semua kitab itu tergambarlah, bahwa jarah
ta’dil memiliki hubungan dengan empat langkah. Yaitu (a) Pemikiran ulama tentang
jarah ta’dil. (b) Ulasan proses induksi dalam jarah tadil kepada rawi.
(c) Hadits yang ditakhrij sanadnya, apakah itu hadits tasyri’ saja atau hadits
irsyad juga. (d) Cara penerapan takhrij kepada hadits itu. Atas dasar itu, jarah
ta’dil yang ditulis dalam berbagai kitab itu disebut Buku Kecil, dan
empat langkah yang mengiringinya disebut Buku Besar.
Ketiga, model aplikasi jarah
ta’dil. Model ini terdiri atas empat langkah.(a) Sumber jarah-ta’dil
yaitu penilaian seperti terhimpun dalam Kitab Kuning, tersebut di atas.(b)
Dari kitab-kitab itu terdapat jenjang jarah
atau ta’dil menurut pemisahan ulama. (c) Jenjang kaidah jarah-ta’dil
itu merupakan produk abstraksi dari berbagai hadits, tapi di lain pihak
dapat digunakan untuk memahami hakikat hadits, baik bersifat umum atau khusus.
(d) Atas dasar itu jarah ta’dil dapat diaplikasikan bagi penataan
kehidupan para muhaddits yang memiliki daya atur, daya ikat, bahkan daya paksa,
seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukjhari dan Muslim mengalahkan hadits
yang diriwayatkan oleh ulama lain. Atau rawi yang ditakhrij oleh al-Bukhari dan
Muslim (ilqa dan mu’asharah) mengalahkan rawi yang ditakhrij oleh ulama
lain. Berangkat dari pemikran itu, jarah-ta’dil dapat mempengaruhi pola
pikir muhadditsin untuk menata suatu kasus yang ada dalam
masyarakat.
Dari tiga model yang dijadikan fokus
itu, terdapat dua unsur yang bersifat konstan yang selalu berhubungan dengan jarah-ta’dil.
Yaitu matan hadits dan metoda dalam takhrij. Penyajian matan hadits tidak perlu
ada perubahan sama sekali, sedangkan takhrij hadits sangat tergantung pada
kapasitas dirinya.
Fokus pertama yang membahas tentang
landasan jarah-ta’dil bisa didefinisikan sebagai logika induksi yang
berfikir logis dan berfungsi sebagai dalil metodologis. Fokus kedua (pemikiran
ulama mazhab jarah-ta’dil) didefinisikan sebagai proses induktif, yaitu
dipelajari ketika ulama itu merumuskan jarah-ta’dil. Fokus ketiga
tentang aplikasi jarah-ta’dil, dapat didefinisikan sebagai cara
kerja dalam proses aplikasi bagi penataan kehidupan manusia yang dikaitkan pada
pengamalan hadits.
Kaitan Buku
Kecil dengan Buku Besar merupakan
suatu kontinum yang dihubungkan oleh suatu proses yang bersifat dinamis. Ilmu
Manthiq menyebutkan pekerjaan ini dengan nama istid-lal, Ilmu Uhul Fiqh menyebutkan pekerjaan ini dengan nama istinbath dan Ilmu Ushul al-Tafsir
menyebutkan pekerjaan ini dengan nama isti’wal.
Semua penyelesaian ilmu-ilmu metoda itu memilih kerangka pemikiran dan
metoda yang dianggap tepat.
Selain itu, Ilmu Hadits Dirayah juga mengolah matan hadits, dari segi penawaran
beberapa metoda yang diperlukan oleh Ilmu
Hadits Riwayah. Model-model pengolahan itu banyak sekali, tetapi dalam
tulisan ini hanya disajikan dua model saja, yaitu matan hadits dan kebudayaan, atau mekanisme matan hadits.
Matan hadits dan kebudayaan terdiri
atas tiga masalah, yaitu (1) bentuk-bentuk hadits Nabi meliputi hadits qudsi, hadits nabawi bukan qudsi, jawami’ al-kalim, hadits dzikir dan
do’a, hadits riwayat bi al-makna, dan aqwal al-shahabah. Semua itu
dikutip untuk dikembangkan, setelah ditafsirkan oleh para ulama dalam bentuk
kitab. Penafsiran ulama dalam kitab-kitab itu disebut format hadits Gambarannya adalah sebagai berikut :
Ad.
1. Matan Hadits Nabi dan kebudayaan (Format dan formatisasi oleh matan hadits)
Format hadits dinilai agama, sedangkan
kehidupan masyarakat dinilai budaya, maka penerapan hadits kepada masyarakat
disebut formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi kepada
masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh hadits itu. Unsur
penerapan formatisasi ada lima, yaitu :
- Penyusun konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan format hadits .
- Misi format baik verbal atau non-verbal yang memiliki nilai, norma, gagasan, atau maksud yang dibawakan oleh format hadits.
- Alat atau wahana yang digunakan oleh penyusun konsep, untuk menyampaikan pesan formatisasi kepada masyarakat.
- Halayak atau komentator yang menerima formatisasi dari penyusun konsep,
- Gambaran atau tanggapan yang terjadi pada penerima isi format setelah melihat formatisasi. Unsur ini tetap diperlukan untuk melihat perkembangan formatisasi.
Ad. 2. Nasikh Mansukh fi al-Hadits.
Teori
nasikh-mansukh diterapkan, ketika ada dua hadits yang isinya kelihatan
berten-
tangan, dan susah
dijadikan istinbath sebagai dalil hukum.
Teori ini dikembangkan oleh Ilmu Ushul Fiqh ketika membahas hadits sebagai
dalil hukum. Contohnya seperti sabda Rasulullah
”Saya melarang kamu sekalian tentang ziarah
ke kuburan. Maka ziarahilah ke kuburan, karena itu mengingatkan kamu ke akhirat.”
Riwayat Malik, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi dan al-Nasai.
Hampir semua kitab Dirayah Hadits membahas tentang nasikh-mansukh. Tokoh yang pertama kali
menulis Dirayah tentag ini adalah
Qatadah ibn Di’amah (w.118 H), tetapi kitab itu tidak dicetak sampai sekarang.
Disusul oleh kitab ”Nasikh al-hadits wa
mansukhuh” karya Al-Atsram (w. 261 H), disusul lagi oleh kitab ”Nasikh al-Hadits wa Mansukhuh” karya
Ibn Syahin (w. 386 H). Tetapi kitab yang banyak beredar adalah Al-I’tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min
al-Atsar” karya Abu Bakar al-Hamdzani (w. 584 H).
Ad. 3. Asbab Wurud al-Hadits.
Teori ini membahas tentang
latarbelakang datangnya sebuah hadits yang
diterima oleh seorang rawi (shahabat). Pembahasan ini sama seperti ungkapan Ilmu Asbab al-Nuzul dalam Ulum
al-Qur’an. Dalam kaitan ini, wurud al-hadits juga banyak membahas persesuaian (munasabat) antara satu matan hadits
dengan matan hadits yang lain. Tokoh yang pertama kali membahas tentang Asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hafsh
al-’Ukburi (w. 468 H). Tetapi kitab yang
lebih lengkap adalah Al-Bayan wa al-Ta’rif
fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif karya Ibn Hamzah al-Dimasyqi (w. 1120
H).
Nasikh-Mansukh
dan Asbab Wurud al-Hadits adalah dua
teori Ilmu Hadits Dirayah yang berdekatan sasaranya, dan saling menunjang dalam
penerapan makna. Nasikh-Mansukh dalam
hadits tidak dapat diketahui tanpa melihat Wurud
al-Hadits lebih dahulu. Hadits yang datang pertama disebut mansukh, dan hadits berikutnya disebut nasikh. Dua teori itu banyak dibahas
oleh kitab-kitab Ulum al-Hadits.
Jika nasikh-mansukh dan wurud
al-hadits hanya diolah dengan pendekatan tekstualis, seperti filosofis,
atau yuridis, atau tologis saja, maka ilmu hadits tidak alan berkembang. Salah
satu model pengembangan masalah ini adalah menggunakan pendekatan
interdisipliner, atau ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Setidaknya ada
dua sistem nilai yang diterapkan pada makna hadits yang berinteraksi, baik
interaksi antara hadits dengan hadits, atau hadits dengan kasus yang
melingkari. Dua sistem itu adalah sistem internal dan sistem eksternal (maa fi al-hadits dan maa haul al-hadits).
Sistem internal adalah semua sistem
nilai yang dibawakan oleh sebuah hadits, ketika ia diterapkan pada satu makna,
atau pada maksud hadits yang dituju. Nilai itu terlihat ketika hadits itu diberi
interpretasi seperti nilai akidah, hukum fiqh, akhlak, nasihat, do’a dan
sebagainya. Dalam istilah lain, sistem internal mencakup juga pola pikir,
kerangka rujukan, struktur kognitif, atau juga sikap, yang dikandung oleh matan
hadits.
Sedangkan sistem eksternal terdiri
dari unsur-unsur yang ada dalam lingkungan di luar isi matan hadits. Lingkungan
itu, termasuk struktur yang mendorong munculnya matan hadits, atau kejadian
yang melatarbelakangi tampilnya sebuah hadits, atau jawaban Rasulullah yang
muncul karena pertanyaan sahabat. Lebih dari itu, pemecahan sebuah hadits yang
ditulis oleh seorang perawi pun bisa diterima berdasarkan latarbelakang
munculnya pemecahan itu.
Dulu, nilai internal dikaitkan pada nasikh-mansukh, dan nilai eksternal
dikaitkan pada wurud al-hadits. Bahkan ada sangkaan, bahwa makna
dua hadits yang kelihatan bertentangan dapat diterapkan setelah melihat
perpaduan antara nilai internal dan nilai eksternal. Tetapi pada perkembangan
selanjutnya, semua nilai hadits itu dapat berkembang sendirian. Nilai internal
yang ada pada pernyataan dua hadits yang kekihatan bertentangan tadi, tidak
perlu dinilai bahwa hadits pertama dihukumi mansukh,
dan hadits kedua dihukumi nasikh.
Tetapi dua hadits tadi tetap dipergunakan semua, dengan menerapkan kontekstualisasi
nilai makna. Dalam memahami contoh di atas, hadits Rasulullah Saw. yang
melarang kita ziarah kubur, itu tetap berlaku (ma’mul bih) yaitu bagi orang yang meminta sesuatu pada hakikat
kuburan. Sebaliknya, hadits Rasulullah yang memerintah kita ziarah kubur juga
berlaku (ma’mul bih), yaitu bagi
orang yang berdo’a kepada Allah dengan mengenang jasa orang yang ada di dalam
kuburan itu. Konsep ini banyak dilakukan oleh jamaah haji ketika mereka ziarah
ke kuburan Rasulullah dan lain-lain di Madinah.
Berangkat dari penerapan
kontekstualisasi makna hadits, maka nilai internal dapat berkembang karena
dorongan nilai eksternal (al-hukmu yaduru
ma’a illatih). Internal hadits memiliki maksud yang tetap, yang harus
bertahan selamanya. Tetapi eksternal hadits (wurud) yang cuma satu kali kasus itu, memiliki model-model kasus
yang terus menerus berkembang. Suatu contoh, internal mabit di Mina adalah
maksud ibadah bagi jamaah haji. Tepai eksternal mabit di Mina berbeda pada
zaman Rasulullah (wurud) dengan mabit
di Mina pada zaman kita sekarang. Melihat kasus itu, nilai makna internal
hadits dapat berkembang, sebagaimana sudah diuraikan dalam Ilmu Hadits Riwayah
di atas.
Ad. 4. Mukhtalaf al-Hadits atau Ikhtilaf al-Hadits.
Mukhtalaf
al-Hadits ialah dua buah matan hadits yang membahas satu tema, yang satu
sama lain kelihatan bertentangan, dan tidak diketahi sebab wurudnya. Dalam Ilmu Dirayah, dua hadits itu diselesaikan secara
kompromi dengan kaidah ta’wil atau kaidah tarjih. Tarjih
di sini dapat dilihat dari segi sanad atau dari segi matan, internal dan
eksternal.
Kitab yang pertama kali membahas
kaidah ini adalah Ilhtilaf al-Hadits karya
al-Syafi’i (w.204 H), disusul oleh kitab Ta’wil
Mukhtalaf al-Hadits karya Ibn Qutaibah al-Dinawari (w. 276 H), kitab Musykil al-Atsar karya al-Thahawi (w.
321 H), dan kitab Musykil al-Hadits Wa
Bayanuh karya Ibn Furak al-Ashbahani (w. 406 H).
Pengembangan teori mengkompromikan
dua hadits, dapat dilakukan kontekstualisasi makna, seperti yang terjadi pada pengembangan
nasikh-mansukh. Masalahnya hampir
sama, yaitu dua hadits yang maknanya kelihatan kontradiksi, yang menurut Ilmu Dirayah keduanya sama-sama hadits
shahih. Bedanya, kalau nasikh mansukh
ketahuan sejarah wurudnya, kalau mukhtalaf
al-hadits tidak ketahuan. Maka untuk membenarkan keduanya, dilakukan
melalui kontekstualisasi makna, seperti disebutkan di atas. Sebenarnya, kontekstualisasi
makna itu bukan hal baru bagi nasikh-mansukh
atau mukhtalaf al-hadits tetapi
hanya meneruskan gagasan Abu Muslim al-Ashbahani, yang berpendapat bahwa semua
ayat-ayat al-Qur’an, tidak ada yang nasikh-mansukh.
Ad. 5. Studi Fiqh al-Hadits.
Fiqh al-Hadits adalah
suatu reori yang mengkonstruksikan sebuah hadits apakah itu masuk tasyri’ (hadits ibadah) atau masuk irsyad (hadits sosial).
Menurut al-Dahlawi; Hadits tasyri’ adalah semua tuntunan Rasulullah
Saw. tentang syari’at Islam, meliputi norma-norma ibadah, keadaan suasana di
akhirat, dan keajaiban alam malakut. Contoh hadits ibadah seperti Rasulullah bersabda;
Shalatlah kamu sekalian, seperti saya
shalat. Informasi semacam itu, didatangkan melalui wahyu. Karena itu,
hadits ini disebut tasyri’. Sedangkan hadits irsyad adalah amalan Rasulullah selaku manusia, yang berkaitan dengan
masalah sosial. Contohnya seperti kasus memproduksi buah kurma dan sebagainya.
Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda Kamu
skalian lebih tahu (dari pada saya)
dalam soal duniamu. Karena itu, hadits ini disebut irsyad. Termasuk dalam hadits irsyad lagi adalah tradisi kedaerahan,
interaksi sosial, dan semua bentuk-bentuk budaya yang berkaitan dengan politik,
ekonomi, teknologi dan lain sebagainya.
Konstruksi pemilahan seperti itu
dilakukan melalui proses aktif dan kreatif, yang dalam tulisan ini disebut
persepsi. Persepsi
adalah proses yang memungkinkan organisme muhaddis menerima dan menganalisa
sebuah hadits bahwa itu hadits tasyri,
atau hadits irsyad.
Persepsi pada dasarnya dipengaruhi
oleh dua hal yaitu (1) dipengaruhi oleh objek kajian yang bersifat subjektif,
melalui lambang-lambang fisik (tesk). Objek ini bisa disebut kajian
kebudayaan.(2) persepsi sosial yaitu proses penangkapan arti objek
kemasyarakatan dan kejadian yang dialami masyarakat dalam lingkungan. Persepsi
ini didapatkan melalui lambang-lambang verbal dan nonverbal (sosial dan budaya)
Persepsi yang ditunjang oleh kebudayaan,
ada lima unsur, yaitu (a) kepercayaan atau akidah, dan nilai yang bersumber
dari isu filosofis, dan sikap yang muncul dari nilai itu. Karena itu, pembagian
tasyri dan irsyad menurut Mu’tazilah dengan Mutasyabihat sangat
berbeda. (b) pandangan dunia atau orientasi keagamaan seperti ibadah, muamalah,
akhirat dan sebaginya, yang bertalian dengan kehidupan.Karena itu penilaian
hadits tasyri dan irsyad berbeda dalam pandangan tokoh-tokoh di
kota dan di desa. (c) organisasi sosial yang banyak mempengaruhi persepsi. Antara
lain pendidikan, agama, aliran, organisasi, etnis dan lain-lain, (d) tabiat
manusia, tentang siapa kita, atau bagaimana watak kita. Untuk membentuk
persepsi ini, manusia mempunyai teori yang berbeda-beda, dari teori yang
primitif-inrasional, sampai pandangan ilmiyah, seperti psicholog tentang ego
dan super ego, teori interaksi sosial tentang I dan Me, atau teori religius
tentang nafsu muthma’innah dan
sebagainya.(e) orientasi kegiatan, tentang suatu aktivitas, siapa seseorang
itu, dan apa yang dilakukan oleh seseorang. Biasanya, begitu itu dominan salah
satu, seperti sejak Orde Baru, bahwa birokrasi di suatu Perguruan Tinggi, harus
diangkat dari siapa orangnya, dan bukan mengambil apa yang harus dilakukan. Semua
itu, mempengaruhi pemisahan hadits dalam penilaian tasyri’ dan irsyad.
Persepsi sosial yang diterapkan pada
memilahan hadits tasyri’ dan irsyad, adalah proses menangkap
makna terhadap objek sosial dan kejadian alam dalam lingkungan. Prinsip yang
penting mengenai pesepsi sosial adalah (a) persepi dilakukan berdasarkan
pengalaman. (b) persepsi yang dilakukan melalui kepandaian menseleksi dari
berbagai dorongan indrawi. (c) penangkapan indrawi tidak pernah lengkap, maka
persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan. (d) persepsi dengan
mengorganisasikan rangsangan dari luar matan hadits untuk menerapkan tasyri’
dan irsyad berdasarkan konteksnya. Atas dasar itu, hadits tasyri’
dan irsyad yang dikonsep oleh ulama di Saudi Arabia, berbeda dengan
ulama di Amerika.
Begitulah salah satu model penerapan
ilmu sosial untuk membagi matan hadits menjadi tasyri’ atau irsyad.
Dasar pembagian itu ditetapkan melalui persepsi, yang dalam komunitas santri
disebut bidayah ijtihadiyah.
Meskipun dua model persepsi sudah
dianggap tepat, tetapi persepsi sering terkecoh, sehingga muncul istilah ilusi
perseptual. Misalnya, Rasulullah suatu ketika pergi ke pasar memakai jubah
putih. Maka muncul pertanyaan; Hadits itu termasuk tasyri’ atau irsyad?.
Persepsi yang benar menjawab, bahwa ukuran dan warna jubah Rasulullah adalah irsyad,
tetapi menutup aurat adalah tasyri’.Karena itu, pembagian hadits menjadi
tasyri’ dan irsyad itu bukan dikotomis, tetapi merupakan
pembidangan macam-macam hadits.
Sebenarnya, masih banyak permasalahan
Ilmu Hadits, baik riwayah atau dirayah yang perlu dipecahkan
untuk dikembangkan, tetapi semua itu memerlukan ketekunan. Kebanyakan ulama
hadits di Indonesia, termasuk disertasi yang ditulis oleh sarjana yang
mempelajarinya, hanya membahas tentang substansinya saja, dan belum pernah ada
ulama atau disertasi yang menampilkan kerangka berfikir dan metodalogi baru
untuk mengebangkan ilmu ini. Mudah-mudahan makalah yang singkat ini bisa dibuat
sebagai bahan diskusi lebih lanjut. Amin. Wallahu a’lam bi al-shawaab
(Penulis adalah Rektor
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon).-
.
[1] Penulis adalah Guru Besar Ilmu Tafsir Qur’an, Dosen Pascasarjaan
UIN SGD Bandung, dan Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Cirebon.
Model Pengembangan Ilmu Hadits
Reviewed by Chozin Nasuha
on
02.14
Rating:
Tidak ada komentar: