Abstrak Buku Diskursus Kitab Kuning
ABSTRAKS BUKU DISKURSUS KITAB
KUNING
Buku ini diangkat dari enam tulisan A. Chozin
Nasuha tentang 1. Tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, 2. Quo Vadis Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah, 3. K.H.A. Syathari Pemandu Kitab Kuning, 4. Gambaran Pesantren
Babakan Ciwaringin Cirebon, 5. K.H. Nasucha Pesantren Jatisari Plered Cirebon,
dan 6. Sejarah Singkat Buntet Pesantren Cirebon.
Tulisan itu bermaksud
mengimbangi sebagian pemikiran teman-teman yang sudah menaruh tulisan pada Buku
70 Tahun Prof. Dr. H.A. Chozin Nasuha. Melihat enam tulisan itu, seorang editor
tertarik untuk mendiskusikan isi “Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” dari uraian sebagai
doktrin, dikembangkan menjadi Ilmu.
Buku itu diawali Pengantar
Penulis yakni A. Chozin Nasuha, diteruskan Pengantar Deputi Rektor ISIF Farida
Mahri, Daftar Isi, dan Prolog yang ditulis oleh Wakhit Hasim. Tulisan dosen
IAIN Syekh Nurjati ini cukup panjang dan menarik untuk didiskusikan. Kemudian
di belakang semua itu disajikan enam tulisan A. Chozin Nasuha tersebut di atas.
Beberapa tulisan itu banyak yang uraiannya ditambah dan disempurnakan oleh
pemikiran editor tadi.
Buku itu dicetak oleh Pustaka
Sampu (Grup INSIST Press) Yogyakarta, dan sebagian besar buku itu ada di
kompleks Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Awalnya penulis senang,
karena buku itu dicetak. Tetapi setelah dibaca, ternyata beberapa tulisan dalam
buku itu banyak uraian yang penulis sendiri tidak paham. Lebih dari itu, banyak
juga kata-kata yang bisa dinilai salah. Antara lain :
- Dalam
halaman 83 ada kutipan hadits Rasulullah Saw. : Ana madinat al-‘ilm wa Aliyyun baabuha.
(Saya adalah gudang ilmu dan Ali adalah pintunya). Tulisan itu oleh
editor diganti menjadi : “penulis adalah gudang ilmu dan Ali adalah
pintunya”. Semua pergantian kata atau tambahan uraian seperti itu, editor sudah
yakin dan percaya diri tanpa harus bicara dengan penulisnya.
- Dalam
halaman 91 ada uraian yang bertentangan dengan realitas sejarah. Alinea
itu menulis bahwa penulis adalah salah satu santri KHA. Syathari di
Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Uraian itu tidak sejalan dengan
sejarah, karena KHA. Syathari yang pembangun dan pembina utama Pondok Pesantren
Arjawinangun itu tidak pernah menetap atau tinggal, dan apalagi
berdomisili di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.
- Dalam
halaman 107 ada tulisan “Zamzami
Amin, putera Kiyai Amin sepuh yang lain”. Kata-kata itu menjadikan pembaca
bingung karena semua penulis pesantren Babakan sepakat bahwa sebutan Kiayi
Amin sepuh itu cuma satu.
Lepas dari adanya kerancuan kata-kata seperti
itu, sebenarnya buku semacam ini bagus, karena belum banyak ditulis oleh tokoh-tokoh
santri. Buku ini selain ingin mengenalkan sosok kitab kuning, juga ingin
mendiskusikan penyajian “Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” dari sebuah
doktrin menjadi ilmu. Diskusi semacam itu bisa dimulai dari isi syair “mabadi
al-‘asyrah” yang di sini disajikan oleh Ahmad Zaini Dahlan. Isi syair itu
secara keilmuan tetap relevan untuk dibuat sebagai dasar falsafat ilmu, tetapi
perlu dilengkapi dengan unsur informasi dan metodologi. Dua kelengkapan itu,
baik sekali seandainya ditulis dalam
buku ini, oleh editor atau oleh siapa saja.
Di bawah ini penulis menyajikan
enam uraian yang ada dalam buku “Diskursus Kitab Kuning” tetapi tidak menambahkan
kata-kata penyempurnaan editor. Demikian agar pembaca dapat melihat kerancuan
dalam buku yang dicetak itu.
(1)
TOKOH AHL AL -SUNNAH
WA AL-JAMA’AH
Dulu, tulisan ini diharapkan menjadi
pengantar terbitnya buku Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja) yang
dicetak oleh Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu). Penulis
bermaksud bahwa buku organisasi ini pantas mengambil barakah dari ulama besar,
pengelola Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah di Makkah, yaitu al-Sayyid Ahmad
Zaini Dahlan. Tokoh ini adalah salah satu ulama kharismatik yang berkhidmat di
Masjid al-Haram sebagai imam shalat maktubah, dan sekaligus sebagai
mufti Makkah. Tokoh ini lahir di Makkah tahun 1232 H./1786 M. dan wafat di
Madinah tahun 1304 H/.1886 M. Ia seorang sayyid (habib) yang silsilah
nasabnya berderet melalui Syaikh Abdulqadir al-Jailani (w. 563 H/1167 M), dan
sampai pada Sahabat Ali ibn Abi Thalib
(w 41 H./ 661 M). Tetapi ada pemikiran dari beberapa penulis buku itu bahwa
tulisan semacam ini tidak perlu menjadi pengantar bagi buku yang sekarang
diberi nama “Membumikan Aswaja Pegangan
Para Guru NU”..
Dalam sejarahnya, Ahmad Zaini Dahlan berguru kepada beberapa
ulama besar di Makkah, Madinah dan tempat lain, antara lain pada al-Syaikh
Utsman ibn Hasan al-Dimyathi. Ia hafal al-Quran sejak usia muda, dan banyak
menghafalkan hadits Nabi Saw. Keilmuan yang dikuasai banyak sekali, terutama
tentang sejarah dan riwayat para ulama. Atas dasar itu banyak ilmuan yang
menilai bahwa Sayyid Ahmad Zaini adalah sejarawan besar waktu itu. Karangannya
banyak dicetak antara lain di Mesir, seperti Siirat al-Nabawiyah, tahun
1292 H., Al-Futuhat al-Islamiyah ba’da al-Futuhat al-Nabawiyah yang
dicetak baru tahun 1990 M. dalam dua jilid. Tarikh Duwal al-Islamiyah bi
al-Jadawil al-Mardliyah dicetak tahun 1306 H, Al-Fath al-Mubin fi
Fadlail al-Khulafa al-Rasyidin, dicetak tahun 1302 H .Ada kitab sejarah
yang dicetak tanpa diketahui tahun terbitnya, antara lain Talkhish Usd
al-Ghabah, ringkasan sejarah shahabat perawi hadits yang ditulis oleh Ibn
al-Atsir (w. 630 H/ 1232 M.), Talkhish al-Ishabah fi Ma’rifah al-Shahabah, yang
ditulis oleh Ibn Hajar al-Asqallani (w. 852 H/ 1421 M), dan Thabaqat
al-Ulama. Banyak lagi kitab-kitab yang berkaitan dengan berbagai ilmu yang
tidak ada kaitannya dengan sejarah, seperti Hasyiyah Tafsir al-Baidlawi, kitab tentang aurad, tentang peribadatan,
tentang tasawuf, tentang nahwu, balaghah, dan lain-lain. Di antara kitab
yang diambil barakah untuk buku Ahl al-Sunnah wa al-Jamaáh adalah Al-Durar
al-Saniyah fi Radd ‘ala al- Wahhabiyah, yang dicetak di Mesir tahun 1299 M.
dan kitab Fitnat al-Wahhabiyah, yang diterbitkan di Istanbul tahun 2001
M. yang dicetak bersama kitab Al-Shawa’iq al-Ilahiyah karya Syaikh
Sulaiman ibn Abdulwahhab (kakak dari Muhammad ibn Avdulwahhab al-Wahhabi).
Di samping memberikan fatwa
keagamaan dan menulis kitab, Ahmad Zaini Dahlan banyak mengaji dalam bentuk
tadris, baik di Masjid al-Haram, atau di mana beliau berada. Setiap Sayyid
Ahmad Zaini berhenti di suatu tempat, selalu dikerumuni oleh kaum muslimin
untuk memetik ilmu atau mengambil barakah. Karena itu hampir semua muqimin
di Makkah dari berbagai penjuru termasuk dari Asia Tenggara, bisa dipastikan
bahwa mereka sempat berguru kepada tokoh besar ini. Salah satu ulama Jawa yang
berguru kepadanya, adalah Syaikh Muhammad Nawawi Banten (senior) dan Kiyai
Shalih Ndarat Semarang (junior). Dua tokoh itu biografinya panjang, dan
kehidupannya mengambil pola pikir seperti amalan gurunya, yaitu menulis kitab
dan tadris (mengajar).
Ulama Indonesia yang berguru kepada
Syaikh Nawawi Banten antara lain Kiyai Muahamad Khalil Bangkalan, Madura, dan
ulama yang berguru kepada Kiyai Shalih Ndarat Semarang, adalah Syaikh Mahfuzh
ibn Abdillah ibn Abdul Mannan Termas Pacitan. Semua tokoh-tokoh tersebut banyak
berkarya terutama kitab-kitab yang ditulis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Jawa (Indonesia ). .
Ketika Sayyid Ahmad Zaini ziarah ke kuburan
Shahabat Ibn Abbas di Thaif, dia sempat
menulis kitab Syarah al-Ajurumihah, dengan nama “Mukhtashar Jiddan” dan
dalam kitab itu, dia menulis syaír tentang falsafat ilmu, sebagai
berikut :
ان مباد ي
كل فن عشرة
الحـــد
والموضو ع ثم الثمـــــرة
والفضل
والنسبة عين الواضع والا سم الاستمداد حكم الشارع
مسا ئل البعض ببعـض اكتفي ومن
دري الجميع حاز الشرفا
Dalam syarahnya, Ahmad Zaini
menerangkan, bahwa yang dimaksud (hadd) adalah definisi. Sehubungan kitab itu membahas
ilmu nahwu maka definisi yang diungkap adalah tentang ilmu nahwu: Nahwu
menurutnya adalah ilmu tentang berbagai kaidah yang dengan kaidah itu,
hukum-hukum kata (kalimat) dapat diketahui posisi susunannya, dari segi i’rab
dan hal yang berkaitan dengan itu. Sentral pembahasannya (maudlu’)
adalah bahasa Arab. Tujuan dan faidahnya (tsamarah) adalah pemeliharaan
kata dari kesalahan dan kekeliruan. Kegunaan dan faidahnya (ghayah) adalah
kehati-hatian menggunakan kalimat, agar tidak terjadi kesalahan arti, dan
sekaligus mengambil bantuan kehati-hatian itu untuk memahami kalam Allah
(al-Quran) dan kalam Rasulullah Saw.
Semua itu untuk mengambil faidah dan barakah dari kebesaran dua
kalimat-kalimat itu. Pegangan dasarnya (istimdad) adalah bahasa Arab fush-ha.
Keutamaan (fadl-luhu) adalah untuk mengangkat ilmu dikaitkan dengan
percontohan kata yang baik dan benar dalam redaksinya. Masalah (masail)
yang diangkatnya adalah kaidah, seperti fa’il itu dibaca rafa’ maf’ul
itu dibaca nashab dan sebagainya. Peletak pertama (al-wadli’) adalah Abul Aswad al-Duali atas perintah Shahabat Ali ibn Abi
Thalib. Nisbat atau kaitannya dengan ilmu lain adalah untuk memberikan
kejelasan. Namanya (al-ismu) adalah Ilmu Nahwu. Hukum mempelajari
ilmu nahwu menurut syara’ yang dibawakan oleh Kitab Kuning adalah fardlu
kifayah di berbagai tempat. Demikian Ahmad Zaini memberikan syarah
(komentar) terhadap tiga syair tadi. Karena syair itu ditulis dalam
kitab ilmu nahwu, maka semua contoh-contohnya adalah tentang ilmi nahwu.
Sebenarnya, syair itu dapat diterapkan
pada ilmu apa saja, dan ditulis di sini untuk mengungkap pola pikir saintifik
yang mengusung naturalisasi dan rasionalisasi ilmu agama. Demikian itu
diharapkan muncul dan berkembang di kalangan kaum santri. Gagasan itu
mudah-mudahan bisa dianggap sebagai munculnya pembaharuan pemikiran. Dilihat
dari munculnya gagasan itu, Sayyid Ahmad Zaini bisa disebut sebagai tokoh yang
mendahului pemikiran Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh dari segi tahun.
Tetapi karena Ahmad Zaini hidup di Makkah yang kota ibadah, maka perkembangan berikutnya
tidak sepesat seperti pemikiran ulama di Mesir waktu itu.. Untuk itu, gagasan
Ahmad Zaini yang akan mengembangkan ilmu agama tidak ada yang meneruskan, baik
di Makkah atau di tempat lain. Kekurangan yang perlu ditambahkan pada isi syair
itu, menurut santri di kampus cma satu, yaitu tentang epistemologi.
Berbeda dengan tulisan Cik Hasan
Bisri dalam buku “Lima
Belas Jurus Penataan Ilmu”. Dia mengatakan bahwa sepuluh pilar yang
disebutkan oleh Ahmad Zaini Dahlan tadi lebih komprehensip dari pada landasan
ilmu yang menjadi pokok bahasan dalam falsafat ilmu yang dikembangkan oleh
ilmuan di perguruan tinggi, yaitu. (ontologi, epistemologi, dan aksiologi).
Meskipun begitu, sepuluh pilar tadi, oleh Cik Hasan Bisri perlu ditambah dua
pilar lagi, yaitu pilar ‘informasi’ dan pilar ‘metodologi’. Pilar informasi
adalah unsur teori, hipotesa, sampai postulat dan aksioma, sedangkan pilar
metodologi adalah motoda analisis dan model analisis.
Di antara pemikir santri, ada yang
mengatakan bahwa syair tadi sudah membawa konsep ontologi (had, maudlu’,) dan
menyajikan konsep seperti aksiologi, yaitu (al-tsamarat). Jadi
kekurangan pilar dalam syair itu menurut santri hanya satu, yaitu epistemologi,
seperti tersebut tadi.
Menurut ahli ilmu, epistemologi
adalah metoda keilmuan yang bisa dibuat sebagai alat untuk mengembangkan suatu
ilmu. Kaum santri di kampus banyak yang berbicara, bahwa epistemologi itu
berasal dari bahasa Yunani, epistem berarti pengetahuan dan logos
berarti ilmu. Istilah ini masuk ke dalam pemikiran kaum muslimin melalui
terjemahan buku-buku Yunani, Fersia ,
India dan
lain-lain
Epistemologi yang dibicarakan di
sini terdiri atas tiga persoalan pokok, yaitu (a) Apa sumber-sumber
pengetahuan, yang dalam syair di atas disebut fann. Dari mana
sumber fann yang benar dan bagaimana kita menghasilkan sumber itu. (b)
Apa sifat dasar fann itu? Apakah ada dunia lain yang benar di luar pemikiran
kita, seperti sulap atau sihir misalnya? Kalau itu ada apakah kita dapat
mengetahui? Pertanyaan itu mengarah pada problem phenomena dan
naumena. (c) Apakah sumber fann yang kita kembangkan itu benar (valid)
atau tidak benar. Bagaimana kita membedakan antara fann yang benar dan fann
yang tidak benar?. Point yang disebut akhir ini bisa mengarah pada verifikasi.
Tiga pertanyaan itu merupakan objek formal dari
epistemologi, sekaligus merupakan objek
formal dari falsafat ilmu. Selain itu, ketiga-tiganya sebagai perspektif untuk
melihat objek formal yang oleh Ahmad Zaini disebut fann. Dari tiga
pertanyaan itu dikenal juga istilah hakikat ilmu, atau struktur fundamental
ilmu, yang isinya itu persoalan pokok dalam falsafat ilmu yang awalnya
disinggung oleh syair Ahmad
Zaini.
Dalam rangka membangun wacana
keilmuan terutama sebagai upaya pengem-bangan lebih lanjut, problematika
filsafat ilmu dapat diidentifikasi menjadi beberapa hal, (1) Mempelajari
struktur fundamental suatu ilmu, sehingga ilmuan dapat membedakan antara ilmu
fiqh, ilmu nahwu, ilmu tasawuf dan sebagainya dengan melihat hakikatnya
masing-masing. Point ini oleh santri di kota
disenut ontologi, yang oleh syair itu mendekati sebutan maudlu. (2)
Mempelajari struktur logis suatu ilmu (fann) berhubungan dengan
pandangan dunianya. Artinya mengolah ilmu fiqh berbeda dengan mengolah ilmu
tasawuf, keduanya berbeda lagi dengan mengolah ilmu balaghah atau ilmu nahwu,
dan begitulah seterusnya. (3) Sesuai dengan sifat heuristik filsafat,
filsafat ilmu berusaha mencari trobosan baru agar suatu ilmu (fann)
dapat survive, marketable, aktual, berguna, berkembang, kontekstual dan
seterusnya. Artinya materi ilmu yang disampaikan sejak ratusan tahun yang lalu
yang ditulis oleh Kitab Kuning itu dapat dikembangkan terus, dengan
epistemologi baru, sehingga materi ilmu tadi dapat memecahkan masalah yang
muncul sekarang. Suatu contoh, teori fiqhiyah atau teori ‘uruf yang dulu
diterapkan pada seribu tahun yang lalu dinilai bagus, belum tentu isi fiqh dan
isi ‘uruf tadi sesuai dengan kondisi sekarang. Karena itu, unsur fiqhiyah
termasuk konsep Aswaja dapat direformasi sedemikian rupa, sehingga konsepnya
sesuai dengan kebutuhan sekarang. (4) Melakukan kritik membangun terhadap
pemikiran yang dimunculkan oleh Kitab Kuning, sehingga terjadi diskusi atau
seminar tentang ilmu tertentu (fann) yang ditawarkan oleh para ahli,
sehingga muncul berbagai konsep keilmuan baru yang bagus-bagus.
Uraian tadi adalah pembukaan tentang
falsafat ilmu yang diawali oleh syair yang dikutip oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam kitab Syarah
al-Juruniyah, sebagaimana tersebut di atas. Kemudian pemikiran seperti itu,
oleh santri kota
ditambah dengan pemikiran Barat. Atas dasar itu muncul pertanyaan, apakah tidak
ada epistmologi yang muncul dari kaum santri itu sendiri?
Jawabannya ada, antara lain kitab
karangan Muhammad ‘Abid al-Jabiri yang berjudul : Bun-yah al-Aql al-‘Arabi dicetak
di Beirut tahun
1993. Kitab imi membahas tentang epistemologi al-Islam, dalam bentuk tiga
model, yaitu al-bayan, al-rfan, dan al-burhan. Pemikir muslim kelahiran
Maroko 1936 ini menyajikan kitab tadi sebagai bagian dari agenda besarnya,
yaitu Naqd al-Aql al-Arabi (Kritik Nalar Arab). Karena bentuknya kritik
maka isi kitab itu terkesan propokatif. Apalagi kelihatan, bahwa kecenderungan
al-Jabiri sendiri mengambil berfikir al-burhani, dari pada berfikir al-bayani
atau al-irfani. Padahal al-bayan dan al-irfan itu
banyak dipakai oleh kaum santri termasuk untuk hujjah Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah.
Ad. 1. Epistemologi al-bayani. Bayan
berarti penjelasan (explanation), yaitu menjelaskan suatu maksud dari
pembicaraan dengan menggunakan kata yang paling baik (komunikatif). Ushul-fiqh
mengulas, bahwa bayan adalah upaya menyingkap makna dari perkataan
(kalam) serta menjelaskan secara rinci terhadap hal-hal yang tersembunyi kepada
mukallafin. Aturan penafsiran wacana dalam bentuknya yang baku , pertama kali
dilakukan oleh al-Imam al-Syafi’iy (w.204 H). ketika menerapkan teori al-bayan
kepada teks al-Quran. Di situ ada lima
tingkatan (1) bayan (dari teks al-Quran) yang tidak memerlukan
penjelasan (2) bayan yang sebagian penjelasannya meakai al-sunnah.
(3) bayan yang semua memerlukan penjelasan al-sunnah (4) bayan
yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah. Maka untuk itu bayan
ini memunculkan ijma’ (5) bayan yang penjelasannya dilakukan melalui qiyas
Secara epistemologis, sumber al-bayan
adalah Nash/Teks/Wahyu (Otoritas Teks), al-Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salafi),
dan al-Ilm al-Tauqifi). Karena al-bayan sangat berpijak pada teks, maka
yang menonjol dalam epistemologi al-bayani adalah tradisi memahami dan
menjelaskan pada teks zhahir (tekstualis). Metodanya adalah ijtihadiyah,
istinbathiah, istitsnaiyah (pengecualian), istidlaliyah, dan
qiyas, (qiyas al-ghaib ala al-syahid). Tradisi epistemologi bayani dalam
fiqh, kalam, balaghah dan nahwu dalam penyajianya memakai kerangka teori
sebagai media analisa, yaitu lafaz dan makna, ushul dan furu’ dan tentang
jauhar (substansi) dan ‘aradl (aksidensi). Pendekatan yang
dipergunakan oleh al-bayani adalah Lughawiyah (bahasa) dan Dilalah
Lughawiyah.
Ad. 2. Epistemologi al-Irfani. Irfan
dalam bahasa Arab diambil dari kata ‘arafa yang semakna dengan ma’rifat.
Al-irfan berbeda dengan al-ilm (ma’lum) karena kata ini didapatkan
melalui transformasi (naql) atau liwat rasionalitas (aql),
Sedangkan al-irfan (ma’rifat) didapatkan melalui pengalaman, setelah
fisik dan dlamir orang itu mujahadah. Dalam konsep Psikologi, al-irfan
itu bekerja atau metoda berfikir dengan menggunakan otak kanan
Dalam sejaranya, epistemologi ini
sudah ada sejak zaman Persia
dan Yunani kuno, sebelum datang teks-teks keagamaan Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Model ini baru masuk di kalangan kaum muslimin pada abad ke 3 H, atau 10 M.
sejalan dengan perkembangan doktrin ma’rifat (gnosis) yang diketahui
sebagai pengetahuan batin, terutama tentang Tuhan. Irfaniyun berpendapat
bahwa mengetahui Tuhan (ma’rifat) tidak bisa dilakukan melalui indra (sense,
al-hissi) dan akal (otak kiri) tetapi liwat pengalaman intuitif akibat
persatuan antara al-arif dan al-ma’ruf (al-ittihad).
Sumber-sumber ilmu ini adalah experimence
(pengalaman) hidup yang otentik,
yang sesungguhnya, yang merupakan pelajaran tak ternilai harganya.
Selain experimence, sumber irfani juga al-Ru’ya al-Musyahadah,
direct experimence, al-ilm al-hudluri, dan preverbal; prological knowledge.
Ketika manusia mengetahui alam semesta yang mengagumkan dalam lubuk hatinya,
terlihatlah adanya Zat Yang Maha Kuasa. Untuk mengetahui hal ini, seseorang
tidak perlu mengetahui turunnya “teks”. Tetapi dengan pengalaman pengetahuan batin
yang amat mendalam, otentik, fithri, hanafiyah al-samhah dan hampir
tidak dapat dikatakan oleh logika dan tidak bisa diungkapkan oleh bahasa.
Itulah yang disebut direce experimence, ilmu hudluri dalam tradisi
isyraqiyah, sebagai penemuan Syahrawardi.
Metoda yang dipergunakan oleh kaum irfaniyun
adalah al-dzauqiyah al-laduniyah atau penghayatan batin, yaitu suatu
proses yang sifatnya itu spiritual yang susah digambarkan langkah-langkah
konkretnya. Masalah ini, oleh psicholog disebut berfikir dengan menggunakan
otak kanan, dan meninggalkan otak kiri. Otak menurut mereka ada dua, yaitu otak
kiri dan otak kanan. Otak kiri biasa dipergunakan untuk mengolah ilmu kalam dan
ilmu fiqh, sedangkan otak kanan dipergunakan untuk mengolah ilmu tasawuf. Meskipun
begitu, Ulama shufi (irfaniyun) menguraikan ilmunya dengan tiga langkah,
yaitu Pertama mereka disebut penyandang waktu, yaitu pendaki (al-salik)
dengan aktifitas spiritual seperti melakukan taubat, zuhud, ridla
dan sebagainya, yang dalam teori ini disebut ghaflah. Kedua penyandang
irfani (al-salik) berada di tengah jalan antara ghaflah dan ahwal,
Yaitu setelah usaha shufi (irfani) berhasil, yaitu taubat dari
segala dosa sudah diterima oleh Allah, kehidupan al-zahid, al-wari’
al-ridla dan sebagainya sudah dilaksanakan dengan penuh keikhlasan, maka
Allah menurunkan al-ahwal tadi. Ketiga penyandang anfas
yaitu setelah shufi (irfani) mencapai puncak perjalanan spiritual,
yang tidak semua orang dapat melaksanakan. Orang yang sampai pada tingkat ini
disebut wishal atau mukasyafah, bahkan bisa mencapai al-fana
(ekstasi), atau ittihad (penyatuan)
dan musyahadah (penyaksian). Tingkat ketiga ini, kaum santri menyebutnya
wali, yang dalam tradisi Aswaja disebut al-‘arif bi Allah,
Ad. 3. Epistemologi al-Burhani, yang
dalam bahasa Arab diberi makna argumen yang jelas (al-bayyinah dan
al-fashl). Pemiikiran ini, mulanya diambil dari filsafat Aristoteles yang
oleh al-Jabiri dimasukkan ke dalam sistem pengetahuan (nizham ma’rifi) yang
menggunakan metoda tersendiri yang memiliki pandangan dunia tertentu tanpa
bersandarkan pada pengetahuan yang lain.
Burhani baik sebagai metoda
atau sebagai pandangan dunia, Aristoteles membahas dalam karyanya, Organon dengan
sebutan analitis (tahlili). Yaitu suatu metoda yang menguraikan
pengetahuan, sampai ditemukan dasar dari asal usulnya. Sedangkan muridnya yang
bernama Alexander Aphrodisi menggunakan karya itu dengan istilah logika (manthiq)
dan ketika masuk dunia Islam, metoda itu disebut burhani.
Tokoh-tokoh burhani berfikir
dengan cara falsafi, yang hakikat sebenarnya adalah universal. Dalam analisa
itu, suatu konsep diangkat dari realitas yang beroposisi sebagai otoritatif.
Sedangkan bahasa, hanya dipakai sebagai penegasan. Al-Farabi berkata, bahwa andaikan
konsepsi intelektual itu adanya pada kata-kata (bahasa dan bukan makna) maka
yang banyak tersusun adalah kata-kata, dan bukan konsep. Pemikiran al-Farabi
ini berbeda dengan konsep bayani, yang epistemologinya diangkat dari
kata-kata.
Jadi setiap ilmu burhani
berpola dari nalar burhani, dan nalar burhani bermula dari proses
abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas, sehingga muncul makna, sedang
makna itu sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan
dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata. Dengan redaksi lain,
kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berfikir di samping sebagai
simbol pernyataan makna.
Secara struktural, proses yang
dimaksud tadi terdiri atas tiga hal, pertama proses experimentasi, yakni
pengamatan terhadap realitas, kedua proses abstraksi, yakni terjadinya
gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran, ketiga expresi yaitu
mengung-kapkan realitas dalam bentuk kata-kata. Berfikir model ini bisa disebut
mengikuti pola pikir Aristoteles, atau model Ilmu Manthiq umat Islam yang
dikembangkan sejak zaman awal Abbasiyah sampai sekarang. Tetapi al-Jabiri
sendiri menilai bahwa setiap burhani pasti memakai silogisme manthiqi dan tidak
semua silogisme itu burhani.
Sumber (origin) epistemologi burhani
adalah realitas (al-waqi’) fisik, sosial, atau humanitas, di samping al-ilm
al-hushuli. Dengan kata lain, sumber pengembangan ilmu melalui epistemologi
bayani, dapat diangkat dari realitas empirik, atau diangkat dari perpustakaan. Sedangkan metodanya
memakai abstraksi (al-maujudah al-bariah, min al-maddah) dan bahtsiyyah,
tahliliyyah, tarkibiyah, naqdiyyah. (al-muhakamah al-‘aqliyyah). Kalau
konsep burhani itu seperti itu, maka pendekatan epistemologinya adalah filosofis,
saintifik. Demikian, antara lain ungkapan al-Jabiri.
Seandainya kaum santri berusaha untuk
melengkapi falsafat ilmu seperti tersebut di atas, maka mereka akan cepat
menguasai, karena dasar-dasar epistemologinya sudah dikaji melalui Kitab Kuning.
Mereka mempelajari ushul fiqh, maka ilmu ini bisa dibuat sebagai dasar
epistemologi bayani. Mereka mempelajari ilmu Tasawuf, maka ilmu ini bisa
dibuat sebagai dasar epistemologi irfani. Mereka mempelajari ilmu
Manthiq, maka ilmu ini bisa dibuat sebagai dasar epistemologi burhani.
Kalau falsafat ilmu ini dikaitkan
pada “ Ahli al-Sunnah wa al-Jamaah” (Aswaja) yang ada dan beredar di
kalangan kaum santri, maka muncul pertanyaan. Apakah Aswaja itu sebagai ilmu,
atau sebagai doktrin keagamaan. Kalau kaum santri memahami dan mengembangkan
syair Sayyid Ahmad Zaini, dan diteruskan dengan mengikuti pemikiran al-Jabiri,
dan atau Cik Hasan Bisri maka Aswaja yang dibuat akidah keagamaan itu,
bisa berkembang menjadi sebuah ilmu.(insya Allah, Amin). Tetapi
kalau pemikiran dan uraian Aswaja itu seperti tulisan-tulisan yang sudah
dicetak dan disebarluaskan, maka menurut akademisi santri, bahwa semua uraian
Aswaja itu masih bersifat doktrin. Untuk pengem-bangkannya, pembaca dapat
membuka A. Chozin Nasuha tentang Quo vadis Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Wallaahu a’lam bi al-shawaab.
(2)
QUO VADIS AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH
- Pembukaan.
Di Indonesia, banyak tulisan dan
buku-buku yang menguraikan tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah (Aswaja). Antara lain tulisan Hadlrat al-Syaikh KHM. Hasyim Asy’ari, dan yang paling akhir adalah Aswaja yang ditulis
oleh Pimpinan Pusat Pergunu (Persatuan Guru Nahdlatul Ulama) pilihan anggauta
team penulis buku MEMBUMIKAN
ASWAJA. Penulis buku ini terdiri
dari beberapa sarjana dari Jember. Buku itu dicetak di Surabaya bulan Juni
2012, dan diedarkan pada Rakernas NU tanggal 6-8 Juli 2012 di Pesantren Kempek
Palimanan Cirebon. Ketika buku itu dibedah dan didiskusikan oleh mahasiswa
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon ,
muncul pertanyaan: Apakah Aswaja itu sebagai doktrin saja atau dapat juga
dibuat sebagai ilmu (science). Dilihat dari materinya, buku-buku itu
banyak mengutip materi dari ilmu Kalam, ilmu Fiqh dan ilmu Tasawwuf. Kemudian
rangkuman itu dibuat sebagai dasar pengamalan keagamaan untuk kaum muslimin.
Melihat keadaan seperti itu, berarti Aswaja yang ada dalam buku tadi adalah
doktrin. Tetapi beberapa penulisnya menilai bahwa Aswaja dapat disebut sebagai
ilmu, karena di dalamnya ada uraian materi yang rasional dan disajikan secara
sistematis. Lepas dari penilaian mana yang dianggap tepat, diskusi ISIF
memberikan catatan, bahwa sampai saat ini buku-buku Aswaja itu semua berisi
doktrin. Meskipun begitu, Aswaja dapat dikembangkan terus sampai menjadi ilmu
tersendiri, melalui penelitian yang panjang dan lama, dengan menggunakan
teori-teori ilmu sosial dan budaya. Aswaja dapat dipelajari dari berbagai segi,
antara lain dengan mempelajari teks-teks yang ada, dan dari segi lain mempelajari amalan masyarakat terhadap konsep
itu. Dengan kata lain, studi ini akan mempelajari Aswaja dari segi konteks.
Penelitian itu dimaksudkan untuk mencari teori-teori baru, yang bisa menunjang
gagasan di atas. Sebenarnya, pemikiran itu berangkat dari gagasan yang
disampaikan oleh Hadirat al-Syaikh KH.Muhamad Hasyim Asyári, yang
mempopulerkan gagasan al-Dahlawi tentang ‘nasionalisasi pemahaman Agama’.
Gagasan itu diulang lagi oleh Gus Dur dengan sebutan ‘Islam Pribumi’.
- Aswaja,
Kitab Kuning dan Tradisi Keilmuan
Munculnya pemikiran ISIF bahwa
Aswaja dapat berkembang menjadi ilmu, itu didorong antara lain oleh dua hal
pokok, yaitu pemikiran kritis dan kesadaran adanya kesenjangan, antara Aswaja
yang ideal dengan Aswaja secara historis. Meskipun dua model Aswaja itu tidak
berbarengan, tetapi bisa dijadikan sebagai dasar masuknya Aswaja menjadi model
keilmuan tertentu dalam Islam. Pekerjaan ini sangat panjang, karena masih
banyak memerlukan penelitian dengan berbagai pendekatan filosofis, yuridis,
teologis, logis, atau pendekatan historis, antropologis, sosiologis,
psikologis, fenomenologis, dan lain sebagainya. Dari segi lain, pendekatan itu
dapat digabungkan seperti pendekatan filosofis dengan antropologis, yang sering
disebut pendekatan interdisipliner, dan begitulah seterusnya. Penelitian itu
perlu dilakukan terus-menerus, sampai menemukan berbagai teori yang banyak, dan
bervariasi.
Pemikiran kritis yang dimaksudkan di
sini adalah kajian dinamis dan eksploratif atas Aswaja yang mengalami
kritalisasi, berwatak normatif dan mapan bahkan berstatus sebagai doktrin
kehidupan. Konsep itu mengutip materi dari Kitab Kuning dari satu segi, dan
dari segi lain mengajukan penalaran atau optimalisasi daya berfikir. Hal itu
sangat mungkin dilakukan, karena isi Kitab Kuning itu berasal dari upaya
penalaran terhadap al-Quran dan al-Hadits, yang kemudian terakumulasi dan
terformalisasi secara sistematis dan kasifikatif. Dengan demikian, Kitab Kuning
pada dasarnya adalah merupakan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran dan
al-Hadits, melalui proses pemikiran yang panjang atau secara teknis disebut ijtihadi.
Dalam Kitab Kuning tadi, ada ajaran yang mengandung pemahaman yang harus
diterima secara bulat (taken for
granted) yang menjadi dogma (akidah) dan bersifat qath’iy (given),
dan sebagian lagi berisi pemikiran yang beragam yang selanjutnya menjadi ilmu
yang bersifat zhanni. Bagian yang kedua inilah yang harus disentuh
dengan pemikiran kritis, dan bagian inilah materi yang paling banyak diuraikan
dalam kitab-kitab fiqh.
Kesenjangan antara Aswaja ideal
dengan Aswaja realitas yang dilihat secara historis-antropologis, itu terjadi
relevansi dan diferensiasi yang jelas. Aswaja secara teori (doktrin) di satu
sisi itu harus diamalkan, tetapi amalan Aswaja secara praktek tidak persis
sama. Dengan ucapan sederhana, terjadi perbuatan dari tokoh-tokoh pengamal
Aswaja yang tidak mencerminkan amalan doktrin Aswaja yang tercatat dalam buku.
Gambaran kontradiksi itu seperti mereka mengembangakan amalan Aswaja dengan
mentolelir pemikiran Syi’ah, Mu’tazilah, Ibadliyah, atau mentolelir juga
pemikiran fiqh dan tasawuf yang kontemporer, yang bisa terjadi kontradiksi
dengan buku Aswaja yang ada. Hal ini bisa terjadi, mungkin karena ketidak
disiplinan tokoh-tokoh itu pada kitab-kitab Aswaja tadi, atau karena materi
yang ada dalam buku-buku Aswaja tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi
perkembangan masyarakat. Atas dasar itu konsep Aswaja yang ada dianggap tidak
responsif terhadap kehidupan dan pemikiran umat Islam yang terus berkembang.
Dua faktor tersebut terinspirasi dari
premis bahwa umat Islam khususnya penulis buku Aswaja tertentu sedang berada
dalam kondisi kejumudan pemikiran dan keter-belakangan di hampir segala bidang
kehidupan (iptek, politik, sosial, ekonomi, budaya, kesehatan gizi, akademisi,
komunikasi, dan sebagainya), paling tidak penulis tadi tidak mendorong dan
tidak melandasi perubahan struktural ajaran Aswaja, yang kemudian dikenal dengan
perkembangan ilmu (science). Ilmu pada sebenarnya memiliki watak
kontemplatif dan futuristik. Karena itu, ilmu dapat membentuk pembangunan
kembali (rekonstruksi) terhadap buku Aswaja yang ada, bahkan ilmu dapat
menawarkan ajaran, pemikiran, tradisi yang ada (klasik) menjadi standard
modernisme, dan menjadi Aswaja yang lebih kontekstual dan transformatif. Ilmu
dalam ajaran tersebut mengembangan pemikiran berdasarkan penafsiran ulang
terhadap teks-teks yang sudah ada. Dengan kata lain, ilmu dapat menyajikan
pembaharuan total (dekonstruksi) terhadap konsep Aswaja yang ada, dan
memberikan alternatif lain yang berbeda dengan konsep yang sudah ada.
Pemikiran yang dicetuskan oleh ISIF
tadi, merupakan keinginan yang masih jauh dari gagasan atau dari gerakan yang
ada dalam kelembagaan yang terorganisir, atau jauh dari pola pikir yang
sekaligus sebagai langkah pemikiran umat Islam. Karena itu keinginan tadi masih
memerlukan tindak lanjut melalui telaah dan diskusi ilmiah yang tepat dan
akurat, untuk mengupayakan pengujian pemikiran secara ilmiah, sehingga menjadi
ide yang layak direalisasikan. Pemikiran semacam itu sangat baik jika itu dapat
dikompromikan dengan model-model pemikiran keilmuan Kitab Kuning.
C. Dasar-dasar Keilmuan
Kitab Kuning
Kitab Kuning dalam pemikiran Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan (1212-1304 H/1786-1886 M) yang ditulis dalam kitabnya, Syarah
al-Ajurumiyyah mengatakan bahwa uraian pengetahuan (knowledge) dapat
menigkat menjadi ilmu (science), apabila dilengkapi dengan sepuluh
dasar, sebagaimana isi syair di bawah ini.
ان مبادي
كــل فن عشـرة
الحـــــد والـمو ضوع ثم
الثمـرة
والفضل والنسبة عين الواضع والاسم الاستمداد حكم
الشارع
مسائل البعض ببعض
اكــتـفي ومن دري الجميع حاز الشرفـــا
Artinya:
Dasar-dasar fan (ilmu)
itu ada sepuluh. 1 Definisi 2, Tema sentral pembahasan, 3. buah (faidah). Term
ini oleh filsafat ilmu disebut aksiologi 4.Keutamaan (keunggulan) 5.
Kaitannya dengan ilmu lain. 6. Tokoh peletak dasar 7. Nama ilmu, 8. Sandaran berfikirnya, 9.
Hukum syara’, (sebagai pendukung ilmu tadi) dan 10. Permasalahan
unsur-unsur yang dipecahkan parsialnya. Barangsiapa yang mengetahui semuanya
itu, dia adalah orang mulia (terhormat)
- Ulasan isi sya’ir untuk Aswaja
Kalau syair itu dikaitkan pada konsep Aswaja,
maka ada dua model ulasan. Yaitu (a) Aswaja Amali (praktisi), yang diuraikan
sebagai petunjuk (doktrin) bagi kaum muslimin, agar mereka mudah mengamalkan
Islam yang dibawakan oleh Rasulullah Saw. dan oleh penafsiran ulama. (b) Aswaja
Ilmi, yang diuraikan secara metoda keilmuan, yang kadang-kadang berbeda konsep
di antara umat Islam, karena perbedaan kerangka berfikir (teori) dan
metodologi. Syair itu dapat sejalan dan relevan dengan konsep Aswaja Ilmi.
Dalam buku dan kitab-kitab
agama, definisi Aswaja sudah banyak ditulis oleh berbagai aliran dalam Islam.
Tetapi perbedaan yang menyolok adalah konsep Aswaja dalam aliran ortodok
(tekstualis) dengan aliran rasionalis (takwil). Selain itu, ada juga perbedaan
konsep yang datang dari berbagai aliran, mazhab, kerangka berfikir, bahkan dari
ilmu-ilmu sosial dan budaya. Meskipun begitu, semua ilmuan sadar bahwa definisi
itu suatu pemikiran yang bersifat ijtihadi yang semuanya diambil dari
teks hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ahli-ahli hadits kenamaan, yang
semuanya memiliki otoritas yang terpercaya.
Dari segi lain, kalau Aswaja itu akan
dibuat sebagai ilmu menurut Falsafat Ilmu, maka secara akademis perlu menurunkan tiga unsur, yaitu (1)
ontologi, (hadd, maudlu) (2) aksiologi semacam (tsamarah) dan
lain-lain yang ada pada syair itu, (3) cara pengembangan ilmu (epistemologi).
Unsur inilah yang menentukan apakah uraian itu ilmiah atau tidak ilmiah. Biasanya,
falsafat ilmu menyebutkan unsur itu menjadi ontologi, epistemologi, dan
aksiologi.
Uraian di bawah ini akan
menjelaskan isi syair di atas yang membawakan sepuluh (10) unsur konsep
falsafat ilmu yang diuraikan oleh Kitab Kuning. Tetapi unsur itu, kalau disebut
‘falsafat ilmu’ baru menyajikan semacam tentang ontologi dan aksiologi saja,
belum menjelaskan tentang epistemologi secara rinci. Karena itu, isi syair tadi
akan ditambah satu uraian lagi, sebagai kelengkapannya. Untuk memudahkan uraian
itu, akan dijelaskan tentang uraian isi syair yang ditafsirkan oleh Aswaja
Amali dan Aswaja Ilmi. Kalau konsep dalam syair itu disebut sebagai “paradigma”
maka dapat dianggap sebagai paradigma awal, yang perlu diteruskan dengan unsure
informasi dan metodologi. Selain itu, perlu kerangka berfikir, dengan analisa
yang tajam, sampai terbentuklah paradigma Aswaja yang baru.
.Rincian isi filsafat ilmu syair
di atas.
(1). Hadd (definisi). Definisi
Aswaja banyak ditulis oleh para ahli, antara lain oleh Al-Baihaqi, al-Ghazali,
Ibn Taymiyah, Ibn Hazm, al-Baghdadi, al-Syahrastani, Ali Sami al-Nasyar, Ahmad
Amin, Harun Nasution dan lain-lain. Demikian definisi menurut Aswaja Ilmi.
Sedangkan definisi Aswaja Amali sudah dirumuskan oleh beberapa ulama NU dan
sudah ditulis dalam beberapa buku. Perbedaannya ada pada kemauan seseorang,
apakah dia akan mengambil Aswaja aliran mukhathiah atau Aswaja aliran mushawwibah.
Aliran pertama menilai bahwa semua definisi yang sudah tertulis dalam Kitab-kitab
Kuning itu yang benar cuma satu, yaitu definisi Aswaja yang ditulis oleh
Kitab Kuning yang dinilai mu’tabarah saja,
atau definisi Aswaja yang sudah ditulis oleh ulama tertentu seperti buku
tulisan KH Ali Maksum, KH Saifudin Zuhri, dan buku-buku lain,. atau Aswaja yang
diuraikan oleh tokoh-tokoh besar seperti KH Bashori Alwi, KH.Asep Saifudin
Abdul Halim, tokoh-tokoh Muhamadiyah, tokoh Persis, dan lain-lain. Konsep itu
adalah program teologis yang sudah dicanangkan oleh para ulama tadi
untuk membina umatnya. Sedangkan aliran kedua (mushawwibah) biasa
diper-gunakan oleh definisi Aswaja Ilmi, yang dikembangkan di kampus-kampus,
seperi pemikiran Harun Nasution, Nurcholihs Madjid, atau seperti Masdar Farid
Mas’udi dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa definisi Aswaja itu konsep,
yang nilainya itu zhan. Semua definisi didasarkan pada hadits Nabi, qaul
shahabat, dan komentar al-salaf al-shalih. Karena itu, teori mushawwibah,
yang didukung oleh ilmuan, tidak memastikan bahwa konsep (definisi) yang
benar itu cuma satu.
(2). Maudlu’(tema pokok, atau subject
matter).. Tema Aswaja itu sama dalam pemikiran Amali dan pemikiran Ilmi,
yaitu masalah-masalah akidah, fiqhiyah dan tashawuf. Bedanya, kalau pemikiran
Aswaja Amali dibatasi untuk mengikuti ijtihad tokoh-tokoh tertentu saja, dan
mengutip dalil-dalil yang hanya mendukung pemikiran tokoh-tokoh itu saja.
Sedangkan pemikirian Aswaja Ilmi tidak membatasi diri pada tokoh-tokoh tetentu,
tetapi mengambil semua dalil dan kerangka berfikir yang disajikan secara
akademis oleh para ulama di luar pemikiran Aswaja Amali.
(3) Al-Tsamarat (beberapa buah,
atau faidah ilmu). Pada konsep semacam aksiologi ini, ada sedikit
perbedaan antara Aswaja Amali dan Aswaja Ilmu.
Aswaja Amali mengatakan bahwa buah ilmu adalah untuk menyelamatkan umat
dari kesalahan beribadah dan berperilaku, agar selamat di dunia dan akhirat.
Sedangkan Aswaja Ilmi, di samping untuk menyelamatkan umat, juga berfikir agar
faidah Aswaja secara keilmuan, dapat berkembang terus.
(4) Al-Fadllu (keutamaan Aswaja).
Keutamaan ini sama menurut Aswaja Amali dan Aswaja Ilmi. Yaitu keutamaan konsep
Aswaja lebih mudah diamalkan oleh kaum muslimin baik orang alim atau orang
awam, dalam bidang akidah, fiqhiyah, atau tasawuf, dari pada konsep keilmuan
lain yang hanya menyajikan uraian yang bersifat teori saja.
(5). Al-Nisbat (kaitan Aswaja
dengan ilmu lain). Di sini sama antara pemikiran Aswaja Amali dan Aswaja Ilmi,
yaitu konsep Aswaja merupakan dasar-dasar agama, sedangkan lainnya baik ilmu
keislaman atau yang lain, itu sebagai pendukung. Aswaja bagi umat Muhammad
adalah primer dan ilmu-ilmu keduniaan yang lain, seperti politik, ekonomi,
budaya dan lain-lain adalah sekunder.
(6) Al-Wadli’(peletak istilah Aswaja) Tokoh yang
pertama kali meletakkan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai kelompok
aliran dalam Islam, itu banyak versi. Antara lain (a) Ketika terjadi perang
Shifin, Ibn Umar.(w. 74 H) mengajak umat Islam agar mendahulukan kepentingan
Islam dari pada berpolitik, hingga dia tidak memihak Ali atau Mu’awiyah.
Beberapa penulis menilai bahwa inilah benih-benih munculnya kelompok Aswaja (b)
Ketika terjadi beberapa aliran (firqah), seperti Syi’ah, Khawarij,
Murjiah, Qadariyah, Jabariah, dan lai-lain, muncul pemikiran moderat. yang
tidak mengkafirkan umat Islam yang saling membunuh dalam perang saudara.
Pemikiran itu diprakarsai oleh Hasan al-Bashri (w.110 H). Tokoh ini oleh
sebagian ulama disebut pencetus Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (c) Sebagian ulama
mengatakan bahwa tokoh pertama yang mempopulerkan istilah Aswaja itu Abu Hasan
al-Asy’ari (w.324 H- 935 M) yang mengonsep tentang ilmu Kalam (akidah). Kemudian
oleh para ulama NU konsep itu ditambah lagi bahwa Aswaja di samping akidah juga
fiqh mazhab empat dan tasawuf Al-Junaidi dan al-Ghazali (d) Abdul Malik ibn
Marwan (w. 86 H) mencetuskan kata-kata “Nahnu jama’ah wahidah tahta raayat
Allah” (Kita adalah satu jama’ah yang satu di bawah panji Allah). Selain
itu, Abdul Malik juga memproklamirkan konsep empat khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali. Semua itu khalifah yang sah. Begitu itu merupakan usaha untuk
menyatukan umat sesudah wafatnya Utsman ibn Affan. Melihat kejadian di atas,
berarti peletak istilah Aswaja adalah bervariasi.
(7) Al-ismu (nama suatu ilmu).
Nama Aswaja sama menurut aliran amali dan aliran ilmi, yaitu Aswaja adalah jam’iyah yang menghimpun
semua umat Islam yang berakidah, berfiqih, dan bertasawuf Islami, yang tidak
mengikuti aliran zindiqah menurut pendapat al-Ghazali.
(8) Al-Istimdad (dalil dan sandaran
berfikir untuk menyusun Aswaja). Dalil dan kerangka berfikir Aswaja antara
Aswaja Amali dan Aswaja Ilmi agak berbeda, meski keduanya sama-sama mengambil
legitimasi dari hadits Rasulullah Saw.dan dari pendapat para ulama.
Aswaja.Amali mengambil hadits yang mengatakan bahwa: Umat Muhammad akan
tepecah menjadi 73 golongan. Semua akan masuk neraka, kecuali satu
golongan, yaitu maa ‘alaihi ana wa ashhabi. Sedangkan Aswaja Ilmi, di
samping hadits tadi, mengutip juga hadits Nabi yang menceritakan bahwa Umat Muhammad
yang jumlahnya lebih dari 70 firqah itu, akan masuk sorga semua, kecuali
firqah Zanadiqah. Mereka adalah firqah (tersendiri) sebagaimana
diuraikan oleh al-Ghazali dalam kitabnya, Faishal al-Tafriqah. Dua
hadits yang kelihatan kontradiktif, itu oleh al-Ghazali diuraikan bagus sekali
dalam kitab tadi. Selain itu Aswaja Amali hanya mengambil Ihya Ulumuddin dan
kitab yang mendukung doktrinnya saja, sedangkan Aswaja Ilmi, mengutip
kitab-kitab al-Ghazali dan kitab-kitab yang lain lebih banyak lagi.
(9) Hukum
Syara’(penilaian hukum agama terhadap Aswaja).Penilaian ini dapat dianggap sama
antara pemikiran Aswaja Amali dan Aswaja Ilmi, yaitu fardlu ‘ain untuk
megamalkan materi Aswaja tulisan tokoh-tokoh Amali, dan fardlu kifayah
untuk mempelajari Aswaja yang diuraikan oleh Aswaja Ilmi. Demikian satu
pendapat yang ada.
(10) Masail al-ba’dl (permasalahan
parsial tentang konsep Aswaja yaitu ilmu Kalam, ilmu Fiqh dan ilmu Tasawuf).
Kedua model Aswaja (amali dan ilmi) itu cara pemecahannya berbeda, meskipun.
secara metodologis, dan alatnya sama, yaitu pendekatan akal untuk ilmu kalam,
pendekatan perasaan (dzuq) untuk ilmu tasawuf dan pendekatan perbuatan
fisik (af’al al-mukallafin) untuk ilmu fqh. Tetapi penerapannya berbeda
antara amali dan ilmi, karena perbedaan sikap. Yaitu mukhathiah bagi
Aswaja Amali, dan mushawwibah bagi Aswaja Ilmi, sebagaimana disebutkan
di atas.
Sepuluh pilar itu, dianggap cukup
menurut kelompok Aswaja Amali, tetapi menurut Aswaja Ilmi, 10 (sepuluh) pilar
itu perlu ditambah lagi untuk pengembangannya. Menurut Cik Hasan Bisri dalam
bukunya, Limabelas Jurus Penataan Ilmu mengatakan, bahwa kesepuluh pilar
itu lebih komprehensip dari pada landasan ilmu yang menjadi pokok bahasan dalam
falsafat ilmu yang diperkenalkan oleh Jujun S. Suryasumantri (1984) yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Kalau falsafat ini diterapkan pada isi syair
itu, maka pilar yang dapat diterima hanya dataran ontologi dan aksiologi saja.
Karena itu gagasan Aswaja menjadi pemikiran ilmiah itu perlu ditambah satu pilar lagi, yaitu epistemologi.
. Kata epistemology berasal dari
bahasa Yunani epistem yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti ilmu. Kalau itu dikaitkan pada Aswaja, terdapat tiga persoalan pokok,
yaitu (1) Apa sumber-sumber (istimdad)
Aswaja tadi, ditambah uraian mana sumber Aswaja yang benar, dan mana sumber
yang tidak benar. (2) Apa dasar Aswaja itu, digali dari konsep atau dari pemikiran
biasa yang kita pergunakan, atau dasar itu diambil dari sesuatu yang aneh
seperti sulap atau sihir atau plintiran. Kalau model itu ada, apakah itu dapat
diketahui oleh umum atau hanya diketahui secara khusus. Itu adalah persoalan
yang mengarah pada problem fenomena dan naumena. (3) Apakah
Aswaja yang kita rumuskan secara ijtihadiyah itu sudah benar (valid).
Bagaimana cara kita membedakan antara yang benar dan yang tidak benar. Dalam
falsafat ilmu, kebenaran ilmiah besifat relatif, kondisional, dan tergantung
pada ijma’ para ilmuan. Konsep inilah sejalan dengan aliran mushawibah,
yang menilai bahwa ilmu,
termasuk uraian Aswaja itu semuanya zhann atau ijtihadi.
Kalau sepuluh pilar itu diterapkan
pada pemikiran Cik Hasan Bisri, maka perlu dua pilar lagi, yaitu pilar ke 11 dan
pilar ke 12. Pilar ke 11 merupakan kelengkapan
unsur informasi yaitu dari hipotesis dan teori sampai postulat dan aksioma. Sedang
pilar ke12 adalah kelengkapan metodologi yang sesuai dengan dasra-dasar
pengembangan Aswaja.
- Tambahan
materi untuk membentuk Aswaja sebagai ilmu
Dalam rangka membangun Aswaja sebagai
ilmu, diperlukan beberapa tambahan, antara lain :
(1) Mempelajari struktur fondemental Aswaja,
yakni hakikat Aswaja itu sendiri, yang dalam syair di atas disebut had dan
maudlu’Aswaja. Dua unsur tadi merupakan sumbangan pada epistemologi yang
menitik beratkan pada perspektif apa yang akan dipergunakan oleh Aswaja.
Artinya, bisa terjadi beberapa ilmu memakai objek formal yang sama, seperti
ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu agama pada umunya. Semua dapat dipelajari
melalui dasar-dasar epistemologi Aswaja. Dari sisi lain, struktur fundamental
juga bisa dipelajari sebagai paradigma keilmuan (asumsi filosofis) yang
bisa dilihat konsistensi kerja atau konsep atau teori keilmuan. Paradigma dan
teori keilmuan adalah dua hal yang mendasari falsafat keilmuan. Dari sini jelas
bahwa falsafat ilmu identik dengan kerangka teori.
Perkembangan selanjutnya banyak
model penelitian yang mengungkap teori baru, tetapi sangat sedikit bahkan
hampir tidak ada penelitian yang menghasilkan teori-teori untuk Aswaja yang
baru. Beberapa Muktamar NU pada masa Gus Dur banyak menyajikan masalah fiqhiyah
yang diangkat dari pranata sosial. Tetapi keputusannya belum optimal, di
samping sarjana NU yang menamatkan S3 di dalam dan di luar negeri, belum ada
disertasi yang berani mengungkapkan teori Aswaja Indonesiawi yang baru, yang
menarik untuk didiskusikan oleh ilmuan sejagat.
(2) Mempelajari struktur logis Aswaja, yang
berhubungan dengan pandangan dunianya. Artinya terkait dengan logika apa yang
bermain di belakang Aswaja itu, karena bisa dilihat apa konsekuensi sosiologis
yang ditimbulkannya, atau konsekuensi politis, atau konsekuensi birokratis dan
lain-lain. Di sini falsafat ilmu memperoleh masukan dari sejarah ilmu dan
sosiologi ilmu, sehingga wajar jika Aswaja memiliki kateristik yang berbeda
dengan ilmu lain, seperti ilmu nahwu, atau ilmu hadits dan lain-lain. Banyak
ilmuan santri yang beranggapan bahwa ilmu Kalam yang ada dalam unsur Aswaja itu
memakai demonstratif model Aristoteles (manthiqi). Tetapi Yosep
van Ess mengatakan bahwa pola pikir logika ilmu Kalam itu Stoik[1]
yang bercorak jadali. Dengan kata lain berbeda antara penilaian santri
yang mengamalkan Aswaja dengan penilaian ilmuan yang mengamati karakteristik
Aswaja, dengan ilmu-ilmu lain. Kalau ilmu Kalam dalam unsur Aswaja itu
strukturnya bersifat jadali maka apakah masalah fiqhiyah yang menjadi
unsur Aswaja juga seperti ziarah kubur, tahlil, pengiriman ganjaran kepada
orang yang sudah mati dan lain-lain itu sama seperti struktur ilmu Kalam, atau
berbeda. Dengan melihat struktur logis suatu ilmu, maka dapat dipahami
tipe-tipe argumentasi Aswaja dan sekaligus sebagai landasan filosofis logis
dalam membuat argumen ilmiah pada sisi lain.
(3) Sifat falsafat adalah heuristik
yang jika itu diterapkan pada falsafat ilmu yang ada pada Aswaja, maka
kerjanya adalah mencari trobosan baru agar uraian Aswaja yang disajikan tetap
survive, marketable, aktual, berguna, dan selalu dimanfaatkan terus oleh banyak
orang, sesuai perkembangan zaman. Trobosan yang perlu diperjuangkan agar Aswaja
tetap dikembangkan, seorang ustaz bukan harus mengutip materi-materi dari Kitab
Kuning saja, atau menyajikan interpretasi baru, tetapi dia harus banyak
melakukan penelitian di lapangan, dan dia harus berani merubah pemikiran untuk
mendiskusikannya. Memang hal yang satu ini telah menyita perhatian yang besar
di kalangan ahli-ahli falsafat ilmu. Tetapi bagi seorang ustaz atau dosen
sangat baik jika berusaha menyajikan sesuatu yang lebih sempit seperti tentang
konsep, teori, metoda, pendekatan, objek kajian, dan hal-hal baru lainnya, dari
pada uraian yang ke sana
kemari, tetapi tidak jelas arahnya. Falsafat ilmu tidak berhubungan dengan
kerja teknis kegiatan ilmiah, karena hal semacam itu menjadi pekerjaan
metodologi. Atas dasar itu harus disadari bahwa filsafat itu penting bagi
pemangku ilmu dan penulisnya. Apa pun uraian yang disajikan selalu berfikir
falsafati, karena.falsafat bisa menanamkan kebiasaan dan melatih akal pikiran
untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide yang segar yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Falsafat ilmu menjadi alat intelektual yang sangat
penting untuk Aswaja dan untuk ilmu-ilmu agama lainnya. Ada uraian lain, bahwa orang yang .menghindari
falsafat dapat dipastikan bahwa dia akan mengalami kekurangan gizi, yang dalam
tempat lain, disebut bahwa orang itu telah membunuh intelektual atau egonya
sendiri.
(4) Perlu kajian kritis
(kritisisme) yang didapatkan mlalui penelitian untuk memahami duduk persoalan
yang muncul setiap saat. Apa pun makna yang dapat difahami, bahwa kritik adalah
sifat atau dasar falsafat. Karena itu falsafat ilmu tidak henti-hentinya
melakukan kritik terhadap setiap ilmu (plus Aswaja) dan menelusuri perkembangannya.
Terutama diarahkan pada keselarasan tiga aspek, yaitu epistemologis,.
metafisika, dan aksiologis
.
- Metodologi
pengembangan Aswaja
Banyak pilihan metoda untuk
mengembangkan suatu ilmu, tetapi pengembangan Aswaja untuk menjadi ilmu, lebih
tepat menggunakan metoda dialektika. Yaitu cara berfikir tentang permasalahan
dengan memberikan interpretasi pada proses hubungan dinamika, dan kontradiksi. Ada yang berpendapat bahwa
metoda ini dibuat sebagai seni berdebat yang disusun oleh Socrates, Plato, dan
Aristoteles yang kemudian dikembang-kan terus menjadi Ilmu Manthiq oleh
Abdullah ibn al-Muqaffa’ (w.109 H-727 M). Tokoh Fersia ini menjadi penulis
milik Negara bagi Khalifah Abu Ja’far al-Mansur. Dalam perkembangan
selanjutnya, Falsafat Kantian (w.1084 M) menyajikan gagasan dengan judul Kritik
Atas Rasio Murni. yang isinya memperdamaikan hubungan antara rasio dan
pengalaman. Jika falsafat ini diterapkan pada Aswaja, terjadi dialektika antara
rasio dengan empirisisme. Rasio mengambil pemikiran dari dalil-dalil al-Quran,
al-hadits dan amalan al-salaf al-shalih yang terlepas dari semua
pengalaman, yang oleh tokoh modernis mengklaim dirinya ‘Kembali pada
Quran-Hadits’. Langkah itu disebut sebagai unsur apriori. Sedangkan
empirisisme yang berasal dari pengalaman atau dari hasil penelitian tentang
Aswaja di lapangan misalnya, itu oleh ilmuan disebut sebagai unsur aposteriori.
Pikiran rasional dan kenyataan empirik itu dapat berhubungan timbal-balik
secara dialektika.
Dalam perkembangan selanjutnya,
dialektika dianggap sebagai bagian dari ilmu logika dengan cara membedakan
antara yang benar dan yang salah, dalam rangka memperoleh mufakat. Dialektika
juga dapat diartikan bercakap-cakap dengan melibatkan banyak orang yang
mempertentangkan suatu masalah dengan berkata-kata sendiri sebagai monolog.
Kedua makna itu dapat dipergunakan untuk mengembang-kan Aswaja sebagai ilmu.
Dasar filsafatnya adalah idealisme, subjektifitas, pikiran sama dengan
kenyataan, atau sebaliknya (kenyataan pemikiran orang lain sesuai dengan rasio
sendiri). Dengan kata lain, kenyataan adalah representasi pemikiran
masing-masing individu yang kemudian menampakkan diri dalam proses sejarah
realitas (dunia) dan pikiran bergerak aktif, berproses, terjadi kontradiksi,
dan segala sesuatu itu berubah. Meskipun begitu, realitas dapat menyeimbangkan
bagian-bagiannya. Unsur-unurnya bersifat sementara, tetapi setelah berada dalam
kondisi, mencapai totalitas. Dasar metodanya adalah menolak metoda
generalisasi, khususnya metodologi ilmu posistivistik, jika itu diterapkan
untuk mengembangkan Aswaja sebagai ilmu.
Metoda dialektika untuk Aswaja dapat
disarikan menjadi tiga langkah yaitu (1) pengakuan terhadap konsep Aswaja yang
sudah ada, yang didasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan, bahwa Umat
Muhammad (umat Islam) akan terpecah menjadi lebih dari 70 firqah, yang
selamat (masuk sorga) adalah satu, dan seterusnya. (2) penolakan terhadap
pemikiran pertama sebagai akibat dari tidak adanya persamaan pemikiran (dasar
ijtihadi) dan pengambilan teks hadits yang berbeda dengan teks hadits
pertama. Rasulullah ber- sabda bahwa : Akan terpecah umatku (umat Islam) menjadi
lebih dari 70 firqah. Semua akan masuk sorga kecuali kelompok Zanadiqah.
Ia adalah satu firqah. (3)
Perdebatan konsep Aswaja di atas, diakhiri dengan lahirnya adaptasi, koherensi,
dan kesesuaian secara menyeluruh di antara beberapa konsep Aswaja sehingga
melahirkan konsep Aswaja yang baru.
Pergulatan tiga pemikiran tadi bisa
dibuat sebagai dialektika tesis, antitesis, dan sintesis. Merumuskan tiga hal
itu tidak mudah, karena semua pemikiran dibuat sebagai akidah yang dipatenkan,
dan sudah didoktrinkan oleh setiap kelompok kepada masyara-katnya. Meskipun
begitu, semua ilmuan sadar bahwa konsep Aswaja yang ijtihadi itu pada
umumnya bersifat abstrak, konseptual, sekaligus relatif, statis, dan
sebagainya. Untuk mengembangkan ilmu, semua yang dianggap statis, mulai
memperoleh masukan baru sehingga lahirlah komponen kedua yaitu pengingkaran.
Pengingkaran inilah yang kemudian disebut antitesis. Secara fenomenologis tesis
yang menjadi akidah akan terjadi pengertian umum, sehingga menimbulkan berbagai
antitesa, seperti dorongan objektivitas dengan subjektivitas, diri dengan diri
yang lain, bentuk dengan isi, pemahaman satu hadits Nabi dengan riwayat hadits
yang lain, dan sebagainya. Dengan sendirinya semua itu akan menemukan
keseimbangan tertentu, melalui diskusi yang terus-menerus, sehingga tejadinya
kontradiksi tidak diakhiri dengan kembali kepada masalah awal, atau ke tesis
yang semula saja Kontradoksi berarti terjadinya pergulatan antara tesis dengan
antitesis yang dengan sendirinya harus diselesaikan pada tingkat sintesis.
Metoda dialektika pada hakikatnya
adalah sebagai model pertentangan segala sesuatu untuk mencapai sesuatu yang
dianggap benar secara keilmuan. Kontradiksi di sini bukan berarti pertentangan
dikotomis seperti kita dan bukan kita, lelaki dan perempuan, benar dan tidak
benar, tetapi lebih bersifat pembidangan. Pertentangan dua pemikiran bukan
sesuatu yang saling mengeksklusifkan, tetapi merupakan unsur yang esensial, dan
dengan sendirinya bersifat saling melengkapi. Tanpa mendiskusikan sesuatu
kontradiksi, ilmu untuk Aswaja tidak akan maju.
Dalam metoda dialektika, tidak
pernah terjadi stabilitas yang sesungguhnya. Makna yang akhir memperoleh
penolakan baru, dan penolakan ini ditolak lagi oleh makna pertama dan begitulah
seterusnya, sehingga melingkar membentuk sirkulasi tanpa akhir. Setiap sintesis
terjadi stabilitas, tetapi stabilitas selalu bersifat sementara. Ketika terjadi
suatu sintesis, maka tesis dan antitesis dianggap tidak ada atau sebaliknya
diangkat ke tataran yang lebih tinggi. Tampaknya, ketika Aswaja doktrin akan
diangkat menjadi Aswaja sebagai ilmu, akan terjadi seperti itu. Pemikiran
akidah tekstualis Ahmad ibn Hanbali terjadi kontradiksi dengan akidah
al-Asyári. Pemikiran Aswaja yang ditulis oleh K.H. Ali Maksun misalnya
dipertemukan dengan konsep Aswaja yang ditulis oleh Ibn Taymiyah. Hadits Aswaja
yang dikutip oleh tokoh-tokoh Aswaja Jawa Timur, ditemukan dengan hadits Aswaja
yang dikutip oleh al-Ghazali dalam artikelnya, Faifhal al-Tafriqah. Dari
semua pertemuan yang didiskusikan itu, akan muncul sintesa yang baru. Sintesa
ini akan menjadi tesis dan ditentang oleh antitesis lagi dan begitulah
seterusnya.
Prinsip-prinsip metoda dialektika
pada dasarnya sama dengan hermeneutika, baik dalam kaitannya dengan
antarhubungan unsur, maupun proses pencarian makna. Secara praktis kedua metoda
juga mengindroduksi cara kerja dalam bentuk lingkaran. Bedanya, kalau metoda
hermeneutis seolah-olah berhenti pada dataran tekstual, sedangkan metoda
dialektika di samping mempelajari isi teks juga masuk ke dalam jaringan
struktur sosial, sebagai konstruksi intersubjektivitas. Hasil penelitian Aswaja
tentang pemahaman para tokoh misalnya itu tetap abstrak dan dangkal (zhan)
tanpa integrasi ke dalam keseluruhan pemikiran konsep-konsep Aswaja yang ada
dan berkembang. Itulah salah satu model bentuknya “ilmu”. Meskipun begitu, kedua
metoda, hermeneutika dan dialektika yang disertai dengan hasil penelitian tetap
dipergunakan bersama-sama untuk melengkapi perkembangan Aswaja menjadi ilmu.
- P
e n u t u p
Dari uraian di atas dapat dipelajari
bahwa Aswaja memiliki konsep sebagai gagasan, ideologi, kepentingan (interest)
dari berbagai kelompok yang tidak terpisahkan dari suatu keinginan
paradigmatis. Pada awalnya, Aswaja merupakan sebuah konsep yang uraiannya
banyak diperebutkan oleh berbagai kelompok dalam Islam. Mereka sama-sama
mengklaim bahwa dirinya adalah kelompok yang paling benar dan memiliki
otoritas, untuk mengembangkan isi dan uraiannya. Meskipun begitu, uraian yang
disajikan oleh mereka tetap bersifat doktrin yang menyajikan berbagai
dalil-dalil keagamaan pilihannya. Terkadang uraian itu menarik dan suatu ketika
normatif dan apologis. Uraian semacam itu kurang menarik bagi ilmuan dan
akademisi, karena kebiasaan mereka adalah mencari uraian yang membangun teori
dalam suatu paradigma. Mereka sendiri ingin terlibat dalam pembahasan dan
mengkritisi model-modelnya. Tetapi keinginan itu masih memerlukan pemikiran,
dan langkah-langkah yang lebih serius lagi, karena Aswaja yang banyak ditulis
oleh para pakar itu lebih diarahkan untuk pembinaan masyarakat awam, dan sangat
sedikit yang diangkat dari hasil sebuah penelitian.
Jika ilmuan dan akademisi
menginginkan perubahan struktur berfikir di kalangan penulis-penulis Aswaja
yang ada, maka mereka harus terus melakukan komunikasi, diskusi-diskusi bebas,
dan membangun wacana, serta langkah yang terpenting adalah melakukan penelitian
praktis emansipatoris. Salah satu teori untuk melaksanakan keinginan itu,
ilmuan dan akademisi dapat menerapakan metoda dialektika, di samping penerapan
Teori Kritis. Metoda dan teori yang dapat membuat teori “Islam Indonesiawi”
ini, insya Allah dapat membuat Aswaja dari dataran doktrin menjadi ilmu.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Daftar Bacaan :
Abdul Aziz, Konsepsi Ahlis
Sunnah wal-Jama’ah dalam Bidang Akidah dan Syari’ah, Pekalongan 1996, Bahagia.
Abu Hanifah, Al-Fiqh al-Akbar, 1980,
Published in the Journal al-Bayan.
Abu Zahrah, Muhammad, Tarih
al-Madzahib al-Fiqh, Kairo, Mathbaah al-Madani
Abdurrahman Wahid, Islam dan Masyarakat Bangsa dalam
Majalah Pesantren No. 3, Jakarta , 1989. P3M.
--------------------Pergulatan
Negara Agama dan Kebudayaan, Jakarta ,
2001, Desentara.
Aceng Abdul Aziz dkk. Islam Ahlis
Sunnah wal-Jama’ah di Indonesia, Jakarta ,
2007, Pustaka Ma’arif.
Ahmad Shiddiq, K.H. , Khitthah
Nahdliyah, 1980 Surabaya ,
Balai Buku.
Ahmad Zaini Dahlan, al-Sayyaid, Syarah
‘ala Matn al-Ajurumiyah, Surabaya
tth. Maktabah Muhammad ibn Nabhan,
Ali Shari’áti, Islam dalam
Perspektuf Sosiologi Agama (Terj. Ibnu Muhammad) Bandung , 1983, Iqra.
Ali Sami al-Nasyar, Manahij
al-Bahts ‘inda Mufakkiriy al-Islam, Kairo, Dar al-Fikr.
-----------------------Nasy
al-Fikr al-Islamiy, Kairo, Dar al-Fikr.
Ali Maksum K.H., Hujjah Ahl
al-Sunnah wa al-Jana’ah, (Ahmad Sa’id Red..) Kudus, Mathba’ah Menara.
Baihaqi, al-, Al-I’tiqad ‘ala
Mazhab al-Salaf, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Kairo, 1948, Al-Salam
al-Alamiyah.
Cik Hasan Bisri, Model Penelitian
Fiqh Jilid I, Jakarta ,
2003, Edisi Pertama, Prenada Media.
-------------------- Limabelas
Jurus Penataan Ilmu, Kado Ulang Tahun ke 40 untuk Masyarakat Ilmiah UIN
Bandung.
Clifford Geetrtz, Abangan, Santri
Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta ,
1981,
Pstaka Jaya.
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum
Islam, Cet ke I, Ciputat, 1997, Logos.
Ghazali, Al-Imam al- Faishal
al-Tafriqah bain al-Islam wa al-Zindiqah, Editor
Sulaiman Dunia, Mesir, 1961, Dar
al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah.
Hallaq Woel B., Sejarah
Teori Hukum Islam Pengantar Ushul Fiqh Mazhab Sunni, (Terj. Kusnadiningrat
dkk) Jakara, Raja Grafindo Persada.
Hasyim Asy’ari, Hadratussyaikh
K.H. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Jombang, Turats Islami.
--------------------, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama , Kudus 1069
Menara.
Hasyim Latif, Nhdlatul Ulama
Penegak Panji Ahlis Sunnah wal-Jamaáh, Surabaya , 1979, Peng. NU Jawa Timur.
Hiroko Harikoshi, Kiyai dan
Perubahan Sosial,Jakarta ,
1987, P3M.
Ibn Taymiyah, Majmuk al-Fatawa, Mesir,
Harf Tandhihiyah al-Ma’klmat.
Jujun S. Suriasumantri, Falsafat
Ilmu, Suatu Pengantar Populer, Jakarta ,
1984, Penerbit Sinar Harapan.
Koentjaraningrat, (Redaksi) Model-model
Penelitian Masyarakat Jakarta , 1077, Cet. Ke II,
Gramedia.
Majdi ibn Muhammad ibn Asyur, Al-Tsawabit
wa al-Mughayyirat Dubay, Dar
al-Buhuts li Dirasat al-Islamiyah wa al-Turats.
Mangunwijoyo, Teknologi dan Dampak
Kebudayaannya, Jakarta , 1983, Yayasan Obor Indonesia .
Mansour Faqih, dkk. Pendidikan
Populer Membangun Kesadaran Kritis, Jakarta ,
2001, Roadbook insist.
Maleong Lexy, Metodologi
Penelitian Kwalitatif, Bandung ,
1993, Remaja Rondakarya.
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta , Cet ke II, 2005 Belukar.
Mushthafa Bisri, Risalah Ahlis
Sunnah wal-Jama’ah, Kudus, 1967 Al-Ibriz.
Saifuddin Zuhri, Menghidupkan
Nilai Ahlis Sunnah wal-Jama’ah dalam Politik, Jakarta , 1076, Pucuk Pimpinan IPNU.
Shaleh Fauzan, Prinsip-prinsip
Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Terj. Abu Aasia) Riyadl, Dar al-Qasm.
Syahrastani, al-, Al-Milal wa
al-Nihal, Mesir, al-Maktabah al-Syamilah.
Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlis
Sunnah wal Jama’ah, Jakarta ,
1997, Pustaka Tarbiyah.
Selo Sumardjan, Perubahan Sosial
di Yogyakarta, Yogyakarta Cetakan ke I, 1981 Gajah Mada Perss.
Van Bruineessen, Martin, Kitab
Kuning Pesantren dan Tharekat : Tradisi Islam di Indonesia, Bandung , 1995, Mizan.
Zakki Mubarak, Al-Tasaawwuf
al-Islamiy fi al-Adaba wa al-Akhlaq, Kairo, Dar al-Kutub.
.
(3) KHA. SYATHARI PEMANDU KITAB KUNING
A. Pembukaan
Tulisan ini tidak menceritakan
riwayat hidup KHA. Syathari dalam perjalanan mempelajari Kitab Kuning,
tetapi hanya menjelaskan apa Kitab Kuning yang dikelola oleh pendiri
Pesantren Arjawinangun itu. Tokoh ini banyak menguasai wawasan Kitab Kuning,
tetapi dari mana ia mempelajari kitab-kitab itu. Dalam sanad kitab-kitabnya, ia
belajar membaca al-Qurán, pertama dari ayah dan dari ibunya, yaitu KH Syanawi
bin Abdullah bin Muhammad Syalabi, dan Nyai Arbiyah bint Abdul Aziz ibn Arjaen,
yang memiliki silsilah dengan raja-raja di Banten. Tetapi apa hanya membaca
al-Quran saja, atau ada kitab yang ia pelajari dari ayah itu. Ketika masih
kanak-kanak Kiyai Syathari belajar di Pesantren Babakan Ciwaringin asuhan Kiyai
Ismail bin Kiyai Adzra’I Sepuh. Kemudian pindah ke Pesantren Ciwedus Desa
Timbang Kecamatan Cilimus Kuningan, yang diasuh oleh Kiyai Shaubari. Dari sini
Kiyai Syathari meneruskan belajar di Madrasah Manbúl Ulum di Solo, sambil
belajar kitab kuning dari KH Idris di Pesantren Jamsaren Solo. Kemudian Kiyai
Syathari pindah ke Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh oleh K.H.M. Hasyim
Asy’ari, dan mengambil barakah dari KH. Khalil Bangkalan Madura, yang hanya
beberapa minggu saja, karena ulama besar ini wafat. Dari sini Kiyai Syathari
pulang ke Lontangjaya, tetapi tidak dijelaskan, kitab-kitab apa yang dipelajari
dari kiyai-kiyai di beberapa pesantren itu. .
B.
Definisi Kitab Kuning
Sebutan Kitab Kuning (KK)
tidak jelas, dari mana asal-usulnya. Apalagi belum ada Kamus atau Encyclopedia
yang menguraikan tentang konsep itu.. Ada
sangkaan bahwa istilah itu muncul dari orang Barat yang menyebutkan kitab yang
dipelajari oleh kaum muslimin di pesantren di Indonesia . Salah satu Sarjana
Belanda, Martin van Bruinessen menulis buku berjudul “ Kitab Kuning, Pesantren
dan Tharekat”. Selain itu A. Qadri Azizi, mengenalkan Wadad Qadli kelahiran
Libanon yang menjadi Guru Besar Islamic Thouht di Chicago. Profesor ini
menyebut istilah al-Auraq al-Shafra untuk KK itu. Begitu pula seorang
tokoh Saudi Arabia yang
bekerja di Jakarta ,
menyebut KK itu dengan istilah al-Kutub al-Shafra. Berbeda lagi
dengan ucapan beberapa tokoh Nahdliyin, yang mengatakan bahwa KK itu
disebut al-Kutub al-Mu’tabarah. Dengan demikian, jelaslah bahwa KK
adalah nama sebuah kitab yang dipopulerkan oleh penulis dan pembaca, yang
isinya menguraikan ilmu-ilmu agama yang dicetak dalam beberapa kitab yang
umumnya memakai ketas kuning.
Ciri-cirinya ada yang menguraikan,
bahwa KK adalah kitab-kitab berbahasa Arab, yang tidak menggunakan tanda baca,
dan biasanya ditulis dengan menggunakan kertas kuning. Kitab-kitab itu, dulu
ditulis tangan dalam kertas kuning yang sekarang disebut papyrus.
Kemudian kitab-kitab itu mulai dicetak dan digandakan oleh berba-gai percetakan
sampai sekarang. Tetapi kapan kitab-kitab itu mulai dicetak.
.
Qadri A. Azizi mengatakan bahwa Dinasti Muhammad Ali Pasya (1769-1849 M)
di Mesir adalah lembaga pertama yang berusaha mencetak beberapa judul KK.
Berbeda dengan Harun Nasution yang menulis bahwa beberapa kitab agama yang
pertama dicetak adalah beberapa KK oleh Ibrahim Mutafarrika (1674-1744 M) pada
masa Daulat Usmani di Turki, termasuk mencetak al-Qurán di Istanbul . Lepas dari penilaian mana yang
benar, tetapi banyak sekali KK yang dicetak oleh berbagai percetakan, dengan
tidak mencantumkan tahun penerbitan. Dari segi lain, banyak juga KK yang
ditulis oleh tokoh zaman dulu, tetapi baru diterbitkan sekarang, bahkan masih
banyak karangan ulama yang masih ditulis tangan (makhthuthat). Meskipun
begitu ada usaha dari kaum muslimin yang sudah memasukan KK ke dalam micro
film dan semacamnya. Dengan uraian Harun Nasution dan A.Qadri Azizi
itu menun-jukkan bahwa Turki atau Mesir
adalah Negara Islam pertama yang mempelopori percetakan KK, yang kemudian
disusul oleh beberapa Negara termasuk percetakan KK di India, Indonesia dan lain-lain..
Sebagian santri mengatakan bahwa
semua KK selalu mengacu pada penjabaran terhadap al-Qurán dan al-Hadits, atau
paling tidak KK itu selalu mengambil legitimasi dari dua sumber ajaran itu.
Dengan demikian, KK tidak hanya menguraikan masalah ibadah saja, tetapi
juga menguraikan tentang fiqh, tawhid, tafsir, hadits, atau akhlak
dan lain-lain. KK menyajikan juga uraian tentang sejarah, sastra, peradaban,
filsafat, mistisisme, politik dan pranata social, termasuk ilmu metodologi
seperti ilmu manthiq, ushul fiqh, ushul al-tafsir, nahwu, balaghah dan
lain-lain. Dengan demikian ada dua model yang ada pada KK. Yaitu (1) KK yang
berisi kelompok ajaran, dan (2) KK yang berisi kelompok bukan ajaran. Kelompok
pertama terbagi menjadi dua, yaitu (a) ajaran dasar, sebagai mana terdapat
dalam al-Qur’an dan al-Hadits, (b) ajaran yang timbul dari penafsiran dan
interpretasi ulama terhadap ajaran dasar itu. Sedangkan kelompok kedua adalah
konsep atau teori yang datang dari luar Islam, tetapi masuk ke dalam komunitas
Islam. Konsep itu sebagai hasil perkembangan sejarah umat Islam itu sendiri.
Contohnya seperti lembaga-lembaga kemasyarakatan, rekayasa teknologi, dan aneka
kebudayaan, termasuk metodalogi keilmuan dalam pendidikan, komunikasi dan
lain-lain. Selain teks al-Qurán dan teks al-Hadits, semua KK itu didapatkan
melalui ijtihad dan pemikiran. Karena itu, tidak perlu takut bagi santri
mengulas masalah yang sifatnya pemikiran, meskipun itu tercatat dalam KK.
C.
Perkembangan Kitab Kuning
Ilmu-ilmu dalam KK adalah informasi
yang pertama kali disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada para shahabat, dengan
penyampaian yang dilakukan secara lisan ke lisan (syafawiyah). Demikian,
karena mereka belum banyak mengenal tulis- menulis, kecuali beberapa shahabat
saja.
Selain sunnah Rasulullah,
ilmu juga berkembang dari beberapa sikap dan pemikiran para sahabat Nabi
terhadap sunnah Rasulullah itu. Pemikiran semacam itu saling berbeda
antara satu sahabat dengan sahabat yang
lain. Suatu contoh, Umar ibn al-Khattab.adalah tokoh besar yang tidak
banyak menghafalkan teks-teks hadits Nabi, tetapi ijtihadnya banyak mengetahui
dasar-dasar keadilan, kebersamaan manusiawi, kemerdekaan individu, dan
lain-lain yang dibuat sebagai dasar maqashid al-syariáh. Pemikiran
semacam itu banyak diikuti oleh para sahabat lain, seperti Ibn Masúd dan
murid-muridnya yang mengembangkan keilmuan di Irak. Kerangka berfikir semacam
itu berkembang terus sampai muncullah tokoh-tokoh besar semacam Abu Hanifah,
Abu Yusuf dan tokoh rasionalis lainnya.
Pemikiran seperti itu berbeda dengan
puteranya sendiri yaitu Abdullah ibn Umar. Tokoh ini banyak menghafalkan hadits
Nabi. dan menyebarkan teks-teks itu kepada murid-muridnya..Ia bersama Aisyah,
Zaid ibn Tsabit dan lain-lain banyak mengikuti amalan Rasulullah secara
tekstualis..Dengan demikian, tokoh ini terkenal dengan sebutan tokoh tekstualis.
Kerangka berfikir itu banyak diikuti oleh murid-muridnya di Madinah, antara
lain Nafi’, Urwah, Abul Aliyah dan lain-lain.. Dalam sejarahnya Nafi’ itu bukan
orang Arab, tetapi sangat terkesan pada pola pikir Ibn Umar. Karena itu sanad
hadits Ibn Umar yang paling shahih adalah melalui tokoh ini. Dari sanad
Nafi’ kemudian turun ke al-Imam Malik.
Di antara dua tokoh di atas, muncul
sahabat Ibn Abbas yang mengembangkan ilmu di Makkah dan Thaif. Tokoh ini banyak
belajar pada sahabat besar terutama Umar
ibn al-Khattab dan Ali ibn Abi Thalib. Tokoh ini banyak mempelajari tradisi Jahiliyah
dan amalan tokoh-tokoh Hunafa. Ia juga mempelajari kisah-kisah Israiliyat
dari tokoh-tokoh Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam. Pengetahuan itu
diramu sedemikian rupa untuk dikaitkan dengan penafsiran ayat-ayat al-Qurán. Ia
termasuk budayawan besar waktu itu, dan bergumul dengan murid-murid yang
berfikir jalan tengah, yaitu berfikir antara teks dan realitas. Kerangka
berfikir semacam itu, banyak diikuti oleh murid-muridnya seperti Said ibn
Jubair, Ikrimah,dan lain-lain.Tokoh ini diikuti pula oleh beberapa tokoh
Quraisy, bahkan menurut sebagian ahli Fiqh, bahwa al-Syafi’í sebelum merantau
ke Madinah, Irak dan Mesir pikirannya selalu didasarkan pada pola pikir Ibn
Abbas semacam itu.
Di antara shahabat besar lagi
adalah Ali ibn Abi Thalib. Tokoh ini diperdebat-kan oleh orang-orang
sesudahnya, sampai terjadi penilaian pro dan kontra. Nama besar pribadi Ali
sering disebut orang, untuk memberikan legitimasi pemikiran keagamaan. Banyak
orang yang meriwayatkan hadits Nabi liwat Ali sehingga mencapai jumlah 686
matan hadits. Setelah diteliti, ternyata hanya 50 hadits saja yang dijamin
shahih Begitu pula banyak sekali khutbah, doá, nasihat, dan kata-kata hikmah
yang diatas namakan Ali ibn.Thalib. Ali adalah tokoh besar yang oleh Rasulullah
dikatakan: Ana Madinat al-Ilmi wa Aliyyun Baabuha. (Saya adalah gudang
ilmu, sedang Ali adalah pintunya). Ali juga mempunyai andil besar dalam
Islam dan tokoh kharusmatik di kalangan shahabat Ansor dan Muhajirin.
Tetapi kebesaran Ali itu, tidak harus dikultuskan seperti pemikiran Syiáh
Ghulat. Dari Ali ini muncullah beberapa mazhab keagamaan yang semuanya
disebut Syiáh. Mazhab Syiáh yang paling dekat dengan Sunni adalah Syiah
Zaidiyah. Selain itu muncul juga Syiah Ítsna Asyariyah, dan Syiáh
Ismailiyah. Selain itu, ada Syi’ah yang tidak diakui oleh Syiah lainnya,
yaitu semua Syiáh Ghulat sabagaimana tersebut di atas. Selain
tokoh-tokoh tersebut, masih banyak para shahabat Nabi yang menuangkan pemikiran
(mazhab) keagamaan tersendiri seperti Zaid ibn Tsabit, Muaz ibn Jabal,
Abu Darda, Abu Dzar al-Ghifari dan lain-lain.
Pemikiran para sahabat Nabi banyak
diikuti dan dikembangkan oleh murid-muridnya yang oleh KK disebut tabiin.
Para tabiín bukan hanya terdiri dari
orang-orang Arab, tetapi juga orang-orang bukan Arab (ájami). Terkadang
kelompok ini, oleh KK disebut mawali. Pergulatan para sahabat
dengan mawali itu memiliki dampak yang sangat positif, terutama
berkaitan dengan tradisi keilmuan. Kalau zaman dulu, tokoh-tokoh ilmuan disebut
qurra, tetapi setelah banyak mawali, ilmuan itu disebut faqih atau
fuqaha. Dengan demikian, gagasan Umar ibn al-Khattab yang dititik
beratkan pada pengolahan maqashid al-Syariáh, lebih berkembang dan lebih
maju dari pada pemikiran tokoh-tokoh yang mengandalkan hafalan.
Atas dasar itu, keilmuan agama Islam
di daerah-daerah banyak dikembangkan oleh tokoh-tokoh mawali, sebelum
munculnya mujtahid mutlaq. Para ilmuan ini oleh KK disebut fuqaha sabáh
(faqih raksasa yang tujuh).Perlu diketahui bahwa selain Said ibn al-Musayyab di
Madinah, maka hampir semua fuqaha adalah mawali, seperti Atha ibn
Abi Rabah di Makkah, Thawus di Yaman, Yahya ibn Katsir di Yamamah, Makhul di
Siria (Syam), Athiah di Khurasan, Hasan al-Bashri di Basrah, dan al-Nakha’í di
Kufah. Kemudian sejarah berikutnya menulis, bahwa tokoh-tokoh tafsir, hadits,
fiqh, kalam, qiraát, sejarah, tasyri’, filsafat, mistisisme, dan lain-lain
termasuk ilmu-ilmu metodologi, itu hampir semua dikembangkan oleh tokoh-tokoh mawali.
Selain itu, tokoh-tokoh kharismatik seperti Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali
Abi Thalib, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar al-Shiddiq, dan Salim ibn Abdullah
ibn Umar al-Khattab itu ibu-ibu mereka adalah mawali terhormat, puteri-puteri
Yazdajird. Dari uraian itulah ilmu agama Islam mulai berkembang sampai
sekarang.
Sejarawan mengakui bahwa pengumpulan
hadits Nabi yang dipelopori oleh Khalifah Umar Abdulaziz, adalah dasar bagi
munculnya ilmu-ilmu agama (al-ulum-al-diniyah). Dari kodifikasi hadits
itu, tercabanglah ilmu yang lain terutama tafsir al-Qurán, sejarah, dan fiqh.
Setelah memakan waktu, berkembanglah ilmu-ilmu lain yang satu sama lain mulai
terkodifikasi. Tafsir al-Qurán muncul dengan diikuti oleh ulum al-Qurán yang
masih terpisah-pisah. Tetapi sebelum itu, Khalil ib Ahmad al-Farahidi (712-778
M) telah berhasil menyempurnakan penulisan huruf-huruf al-Qurán dengan
bacaannya. Sibawaih telah berhasil menyusun ilmu nahwu, dan banyak ulama yang
memiliki andil besar bagi keilmuan KK seperti Al-Ashmuí, Al-Jahizh, Ibn
Qutaibah, al-Mubarrad dan lain-lain.
Sejarawan juga mengakui, bahwa
pertumbuhan ilmu yang paling pesat adalah terjadi pada masa Abbasiyah di
Baghdad, yang dimulai dari Khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Sekretaris Negara
dalam kerajaan itu adalah Abdullah ibn al-Muqaffa’ (w. 727 M), seorang filosof
yang menghimpun beraneka macam ilmu dari beberapa penjuru dunia, dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada waktu itu, buku-buku yang diterjemahkan
bukan hanya falsafat, tetapi segala macam ilmu, budaya, social dan eksakta.
Ilmu-ilmu itu mulanya diambil dari Byzantium ,
dan diambil juga dari berbagai penjuru dunia termasuk Alexandria di Mesir, dari
Fersia dan dari India .
.Kemudian ilmu-ilmu itu diedarkan ke berbagai daerah muslim untuk dipelajari
dan dikembangkan terus, sampai bermunculan tokoh-tokoh yang menulis berbagai
karangan dalam berbagai ilmu. Kegiatan semacam itu berjalan lebih dari satu
abad, dan lebih menyolok lagi pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun. Dalam
kitabnya, Al-Fahrasat, Ibn al-Nadim menulis bahwa macam-macam karangan
yang dikembngkan waktu itu, merupakan ledakan dahsyat, tidak saja
terjadi pada penulisan berbagai ilmu, tetapi juga diskusi keilmuan, penawaran
paradigma, kerangka berfikir, kontekstuaisasi ilmu, kreatifitas, dan penemuan
lainnya.
Kemajuan ilmu dan peradaban yang amat
pesat itu, tidak hanya terjadi di daerah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, tetapi
juga di wilayah lain. Daulat Fathimiyah di Mesir (909-1171 M) yang menganut
Mazhab Syiáh, dulu telah berhasil mendirikan Perguruan Tinggi di Kairawan (Tunisia ).
Dari sini, mereka berhasil mendirikan kota Kairo
di Mesir pada tahun 972 M. Di kota
Nil ini, dibangunlah sebuah masjid dan perguruan tinggi Al-Azhar yang masyhur
itu. Masjid dan perguruan tinggi yang dibangun oleh Jauhar al-Siqli ini hidup
terus sampai sekarang dan selalu dimanfa-atkan oleh seluruh kaum muslimin di
dunia. Jauhar Siqli (Cicilia) adalah perdana menteri Fathimiyah yang paling
populer dalam sejarahnya.
Begitu pula Dinasti Umayyah di
Spanyol (759-1031 M) telah berhasil membangun sebuah masjid di Kardova
(Qurthubbah). Kota ini dan sekitarnya, seperti Granada dan Sville
(al-Syibli) adalah merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam di barat,
sebagai tandingan Islam di Baghdad dan Kairo. Kalau di Baghdad terdapat Bait
al-Hikmah dan Madrasah Nizhamiyah, dan di Kairo terdapat Dar al-Hikmah dan
al-Azhar, maka di Kordova ini dibangunlah Universitas Kardova yang didirikan
oleh Abdurrahman III (929-961 M). Universitas ini memiliki perpustakaan yang
diisi ratusan ribu kitab dalam ratusan ribu judul. Orang-orang Barat yang
terdidik dan muncul sebagai ilmuan waktu itu, semua lulusan lembaga ini.
D.
Model-Model Penyajian Kitab Kuning
Di kalangan kaum santri ada
penilaian, bahwa KK memiliki empat macam metoda. Yaitu (1) deduktif (istinbathi).
Metoda ini dipakai oleh para peneliti, dan dipakai juga untuk menjabarkan
dalil-dalil keagamaan (al-Qurán dan al-Hadits) menjadi fiqh, tawhid, akhlaq,
konsep-konsep ibadah, social kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Metoda ini
banyak dipakai oleh Ilmu Ushul-Fiqh aliran mutakallimin
sebagaimana dilakukan oleh mazhab al-Syafií, Hanbali, dan Syiáh Itsna
Asyariyah.
(2) Induktif (istiqraí). Metoda ini dipergunakan oleh banyak
peneliti untuk ke-pentingan berbagai ilmu, termasuk ilmu agama, dan
dipergunakan pula oleh Ilmu Ushul
Fiqh aliran rakyu. Metoda ini
mempelajari kasus-kasus keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat, kemudian
dicarikan dalil-dalilnya untuk konsep keagamaan tersebut. Dari sini
muncullah konsep fiqh, akhlaq, ulum
al-Qurán, social, politik, dan lain-lain. Tokoh-tokoh Ushul Fiqh yang mendekati penggunaan metoda ini antara lain Hanafiyah, Malikiyah, dan Mazhab Mu’tazilah.
(3) Genetika (takwini). Metoda ini
mengajak pembaca agar berfikir dengan melihat kejelasan sebab-sebab terjadinya
masalah, atau melihat geografi seseorang dikaitkan dengan konteks kegiatanya.
Metoda ini awalnya dicetuskan oleh Al-Bukhari
(810-870 M.) ketika meneliti sanad
hadits. Berdasarkan pekerjaan itu
al-Bukhari menurunkan penilaian, apakah hadits itu shahih atau dla’if. Model ini diikuti oleh setiap tokoh hadits yang muncul sesudahnya.
Kalau kita melihat model deduktif dan induktif, maka metoda itu sudah
dipopulerkan oleh falsafat Yunani. Sedangkan metoda takwini baru muncul dan
ditemukan oleh dunia Islam, dan sekarang berkembang lebih luas lagi termasuk
model histiografi, etnolgari, dan lain-lain.
(4) Dialektika (jadali). Metoda ini oleh KK disebut Adab al-Bahts wa al-Mun-zharah. Biasanya metoda ini muncul dari pertanyaan
atau sesuatu yang dipertanyakan. Dasar-dasar model ini banyak dilakukan oleh
KK, seperti al-Ghazali menulis kitab Tahafut
al-Falasifah ketika ia mengkritik
pemikiran para filosof. Begitu pula Ibn
Rusyd dengan kitabnya, Tahafut
al-Tahafut, menulis untuk
mengeritik karya al-Ghazali itu. Atau seperti Ibn Taymiyah yang mengeritik
kerangka berfikir para filosouf dalam kitabnya, Al-Radd ála al-Manthiqiyyin. Selain
itu ada beberapa ulama yang menulis fiqh
muqarin yang di dalamnya
menyajikan dialog antar ulama, seperti karya Abu Ishaq al-Syairazi (1002-1083
M) dalam kitabnya, Al-Muhazdab dan perbandingan Ushul-Fiqh dalam kitabnya,
Al-Luma’.
Model-model KK dilihat dari kreatifitas
penulisnya, terbagi menjadi sembilan macam, yaitu (1) Kitab yang menyajikan
gagasan baru yang belum pernah disajikan oleh orang lain, seperti kitab Al-Risalah karya al-Syafií yang menyajikan kerangka berfikir fiqh. Atau seperti Al-Jami al-Bayan karya Ibn Jarir al-Thabari, yang meng-angkat hadits, qaul shahabat,
sejarah, dan menciptakan kerangka berfikir (ijtihad) untuk tafsir
al-Qurán. Atau contoh lagi seperti karya al-Jahizh dari Mu’tazilah yang menulis
tafsir rakyu yang filosofis dengan penyajian maudluí, dalam kitabnya al-Hayawan. Atau contoh lagi seperti pemikiran Washil ibn Atha, Abu Hasan
al-Asyári, dan lain-lain. (2) KK yang muncul sebagai pelengkap dan penyempurna
gagasan baru seperti kitab Ilmu
Nahwu karya Sibawaih yang
menyempurnakan gagasan Abul Aswad al-Duáli, Yahya ibn Ya’mur dan tokoh-tokoh
yang mendahului Sibawaih. Atau contoh lagi seperti kitab Ihya Ulum al-Din karya al-Ghazali, yang mensistemati-kan ajaran tasawwuf yang waktu itu
belum sempurna, lalu dikaitkan dengan Ilmu Fiqh sehingga muncul sebuah ilmu
yang lengkap dengan istilah baru, fiqh
suvistik. (3) Kitab yang
membawakan komentar (syarah) terhadap kitab lain yang sudah ada.
Penyusunan syarah, biasanya ditulis oleh ulama mutakhir
seperti kitab Fath al-Bari karya Ibn Hajar al-Asqallani yang
memberikana komentar (syarah) terhadap kitab Al-Jami al-Shahih karya
al-Bukhari. Atau seperti al-Nawawi yang menulis syarah untuk Kitab Shahih
Muslim, dan lain-lain. (4) Kitab yang meringkas karangan yang panjang, untuk
dijadikan karangan singkat tetapi padat. Karya ini oleh KK disebut kitab mukhtashar seperti Kitab Alfiyah Ibn
Malik yang meringkas Kitab Al-Kafiyah tentang Ilmu Nahwu. Atau seperti Lubb al-Ushul karya
Zakaria al-Anshari, yang meringkas Kitab Jamúl Jawami’karya
al-Subki, dan lain-lain. (5) KK yang materinya mengutip dari beberapa KK yang
sudah ada, kemudian dijadikan satu kitab tersendiri. Model ini banyak macam,
tetapi yang hebat adalah karya Al-Aufi yang menghimpun berbagai ilmu yang
bertalian dengan maa haul al-Qurán, kemudian dijadikan satu kitab dengan nama Ulum al-Qurán. Atau seperti Al-Ramahurmuzi yang menghimpun beberapa ilmu yang membahas
tentang eksistensi hadits, dan dirangkum jadi satu karangan dengan nama Ulum al-Hadits. Dan ada lagi karya yang dinilai sederhana, karena hanya mengutip
tulisan beberapa tokoh untuk dijadikan sebagai satu kitab tertentu, seperti
kitab kumpulan doa dan zikir. (6) Kitab yang memperbaharui sistematika
penulisan, sehingga menjadi kitab yang menarik dan enak dibaca. Karya ini
sering dilakukan oleh ulama mutakhir, yang memperbarahui sistematika
kitab-kitab ulama mutaqaddimin, seperti kitab-kitab karya al-Sayuthi,
Zakaria al-Anshor, Ibn Hajar, al-Ramli dan lain-lain. (7) Kitab kritik dan
koreksi, atau kitab tandingan terhadap kitab yang sudah ada, seperti Kitab Mi’yar al-Ilm karya al-Ghazali yang meluruskan kaidah-kaidah manthiqiyah yang telah ada dan disesuaikan dengan pola pikir umat Islam pada
umumnya. Dengan demikian, Ilmu
Manthiq yang helenis itu dapat diterima oleh dunia Islam. (8) KK yang penulisnya lebih dari
satu orang, seperti Kitab Tafsir
al-Jalalain yang ditulis oleh Al-Mahalli dan al-Sayuthi
Atau lagi peperti Kitab al-Majmu’ (Syarah al-Muhazdab) yang ditulis pertama oleh Al-Nawawi,
kemudian diteruskan oleh al-Subki, dan diteruskan lagi oleh Najib Muthií. Tiga
tokoh itu jarak waktunya sangat jauh, dan satu sama lain tidak pernah ketemu.
(9) KK yang diberi makna bahasa Jawa, atau Sunda, atau lainnya, dan diberi
ulasan dengan bahasa itu, seperti KK yang diajarkan di beberapa pondok pesantren.
Atau termasuk model ini, kitab-kitab ulasan yang ditulis oleh tokoh tertentu
dan dicetak. Santri-santri Cirebon
mengatakan bahwa karangan itu disebut Kitab Jembret. KK ini
banyak dipakai oleh para kiyai Majlis Ta’lim di berbagai daerah. Dan termasuk model ini
adalah kitab yang ditulis dengan bahasa Indonesia ,
yang materinya diambil dari KK, kemudian dijadikan sebagai karangan tersendiri,
seperti buku-buku Hasbi al-Shiddiqi, Hamka, Quraisy Shihab dan lain-lain yang
beredar di beberapa Sekolah Tinngi Agama Islam.
E. Kitab Kuning Yang Dipasarkan KHA.
Syathari
Suatu ketika KHA Syathari (Kiyai) menerima banyak tamu yang kebanyakan
wali santri. Waktu itu Kiyai berkata, bahwa
pesantrennya diproyeksikan untuk men-didik santri pemula (pewinian). Perkataan itu terbukti bahwa pesantrennya didatangi oleh santri-santri tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah ala Pesantren. Padahal waktu itu,
Departemen Agama RI sudah membentuk lembaga tinggi untuk
pesantren, yang diberi nama “Pesantren
Luhur”. Mungkin sekarang disebut Ma’had Ali. Atas dasar itu KK yang diajarkan oleh Kiyai Syathari tidak memerlukan
KK yang besar.
Keadaan seperti itu, ditunjang oleh beberapa keadaan. Antara lain, (1)
Santri yang datang adalah anak-anak yang berumur 10-20 an tahun. Kebanyakan
mereka adalah anak petani desa, yang kadang-kadang disebut santri gledeg. Jika musim panen, banyak mereka yang
datang, tetapi jika musim hujan, sebagian mereka banyak yang pulang. (2) Toko
kitab baik di kota
atau di pasar, hanya menyediakan KK yang kecil-kecil yang bisa dijangkau oleh
daya beli santri. Kalau KK besar itu ada, maka omsetnya sangat sedikit sehingga
susah bagi Kiyai untuk membentuk satu kelas yang lebih tinggi. Apa lagi waktu
itu, photo copi belum ada.(3) Orang awam yang tidak
terdidik sama sekali, memiliki jumlah yang sangat besar, sehingga hampir semua
desa di daerah agraris banyak yang membutuhkan santri yang siap pakai. Yaitu
santri yang bisa menjadi imam shalat, khutbah jumat, membaca al-Qurán, memimpin
tahlil, dan imam marhabanan dan semacamnya.. Dengan demikian, santri yang
targetnya seperti itu tidak memerlukan studi KK yang lebih besar, dan tidak
memerlukan pendidikan yang lama. (4) Para
santri yang pendidikannya dilanjutkan ke Makkah, Madinah, atau Mesir dan pulang
dengan membawa KK yang besar, terkadang memiliki kultur yang tidak cocok dengan
kaum agraris tersebut. Akibatnya, mereka ada yang mengalihkan orientasi seperti
melamar menjadi pegawai negeri, mengejar kursi DPR, atau membuat travel untuk
mengurus jamaah haji, umrah dan bisnis lainnya. Karena itu, program yang
dicanangkan oleh Kiyai Syathari dengan keadaan seperti itu dinilai sangat
tepat, yang oleh masyarakat agraris disebut ilmu manfaat.
KK yang diajarkan oleh Kiyai Syathari cukup bervariasi dan mencukupi
kehidupan keagamaan, yang oleh kaum santri disebut fardlu áin. KK yang
diajarkan oleh Kiyai Syathari selama saya menjadi santri (1950-1963) adalah
membaca al-Qurán, tajwid, tafsir al-Qurán, hadits, mushthalah al-hadits,
tawhid, fiqh, ushul fiqh, nahwu-sharaf, balaghah, kitab-kitab mauízhah,
shalawat dan zikir. .
Setiap waktu shubuh Kiyai Syathari selalu shalat berjamaáh, dan setelah
itu mengajarkan membaca al-Qurán. Pengajian ini diikuti oleh sebagian santri,
terutama mereka yang dipesan oleh ibu dan bapaknya, agar dia mengaji al-Qurán.
Pelajaran itu dimulai dari bacaan peshalatan, juz Ämma sampai khatam, baru
belajar al-Qurán dari al-Fatihah, Surat
al-Baqarah dan seterusnya sampai khatam al-Qurán. Menurut pengamatan penulis,
santri yang bisa khatam al-Qurán hanya 50-60 %, sisanya banyak yang tidak
khatam, karena banyak faktor, anatara lain tidak lama di pesantren. Penulis
sendiri khatam al-Qurán setelah 5 tahun, yang belajar sehabis shalat shubuh.
Tafsir al-Qurán yang diajarkan oleh Kiyai Syathari adalah Tafsir al-Jalalain, dan jika khatam, kitab itu diulang lagi.
Penulis mengkhatamkan kitab itu hampir dua setengah kali. Cara mengajarnya,
Kiyai membacakan kitab itu kira-kira satu setengah, atau dua halaman, dan pada
hari berikutnya, salah satu santri diberi tugas untuk membacakan lembaran itu
seperti bacaan Kiyai. Kitab itu dibacakan setiap habis shalat ‘Isya, dan
digabungkan waktunya dengan pembacaan kitab lain. Meskipun Kiyai hanya
mengajarkan al-Jalalain tetapi Kiyai sering menyebutkan nama tafsir
lain, terutama Tafsir al-Baidlawi, al-Thabari, dan anehnya, Tafsir al-Kasyaf
juga dipuja oleh Kiyai. Tafsir
al-Jalalain dan beberapa kitab
lainnya, diajarkan pula kepada masyarakat di pengajian mingguan setiap hari Minggu
dari jam delapan pagi sampai zhuhur.
Kitab tajwid, seperti Hidayat
al-Shibyan, Tukhfat al-Athfal, dan Nazham al- Jazariyah, penulis tidak menerima langsung dari
Kiyai, tetapi didapatkan melalui
guru-guru Madrasah Wathaniyah di prsantren itu juga. Meskipun begitu, penulis
pernah diajar Nazham tentang Makharij al-Huruf oleh
Kiyai, dan penulis pernah mendengar Kiyai mengajarkan Kitab Siraj al-Qari karya al-Syathibi, kepada pengajian Minggu
itu.
Kitab hadits, yang penulis dengar dari
Kiyai adalah al-Arbaín
al-Nawawiyah, Bulugh al-Maram, Riyadl al-Shalihin,
Al-Jami’al-Shaghir, dan Shahih al-Bukhari. Sedangkan Shahih Muslim penulis dapatkan dari KH Ahmad Asyári di
Pesantren Poncol Bringin Salatiga. Meskipun begitu, penulis diberi sanad kitab-kitabnya, ketika Kiyai sakit menjelang wafat. Waktu itu penulis
merasa heran, mengapa Kiyai setelah membaca Nazham Burdah kok langsung
memberikan sanad yang ditulis oleh KH Mahfuz Termas itu kepada
penulis. Kebingungungan penulis menerima kitab yang sangat tipis itu
bertanya-tanya: Apa maksud Kiyai menyerahkan kitab itu. Penulis adalah salah
satu dari jutaan manusia yang selalu berharap agar Kiyai tetap menyebarkan
agama, alias umur Kiyai lebih panjang lagi. Dalam kaitan itu Kiyai sendiri
dalam sakitnya yang sangat sadar itu, pernah berkata : Saya masih ingin mengembangkan agama. Penulis pun menerima buku sanad itu, tetapi cuma menduga bahwa Kiyai sudah percaya pada diri penulis
untuk mengembangkan sebagian ilmunya, sekemampuan mungkin.
Mushthalah al-Hadits, yang diajarkan
oleh Kiyai kepada penulis, hanya Nazham
al-Baiquni dan tidak ada tambahan
lain. Itu pun pada waktu Kiyai membacakan kitab Bulugh al-Maram. Dengan
demikian, penulis belum banyak mengetahui Ulum al-Hadits. Meskipun
begitu, ketika penulis sempat tiggal di rumah Kiyai beberapa bulan sebelum
direnovasi, penulis menemukan kitab Nuzhat
al-Nazhar Syarh Nukhbat al-Fikar karya
Ibn Hajar al-Asqallani. Kitab itu kecil tetapi lengkap dan menyajikan
permasalahan secara sistematis. Berangkat dari buku itu, penulis membaca kitab
yang berkaitan dengan ilmu itu, antara lain Muqaddimah Irsyad al-Sari karya
al-Qasthallani, al-Taqrib karya Al-Nawawi, dan syarahnya, Tadrib al-Rawi karya Al-Sayuthi, Manhaj
Dzawi al-Nazhar karya Syaikh
Mahfudz Termas, dan Qawaíd
al-Tahdits karya Jamaluddin
al-Qasimi. Berkat bimbingan dari kitab-kitab itu, penulis mulai mengenal ilmu
hadits..
Ilmu Tawhid, yang Kiyai ajarkan kepada santri antara lain, Nazham Aqidah al-Awam, Nazham Kharidat al-Bahiyah,
Kifayat al-Awam, dan Al-Dasuqi. Itu
semua penulis ikuti, dan kitab-kitab lain penulis dapatkan dari madrasahnya
seperti Sanusiyah, al-Hushun
al-Hamidiyah dan lain-lain.
Melihat kitab-kitab itu, para santri baru bisa mempelajari dasar-dasar tauhid terapan, dan belum mempelajari Ilmu
Kalam. Meskipun begitu, Kiyai
banyak cerita tentang kitab-kitab yang ditulis oleh al-Asyári seperti Maqalat al-Islamiyyin, Al-Ibanah dan lain-lain. Lebih dari itu, Kiyai juga
mengenalkan beberapa pemikiran al-Maturidzi, al-Juwaini, al-Baqillani dan
lain-lain. Cuma sayang kitab-kitabnya tidak dipasarkan di beberapa toko kitab
waktu itu. Yang menarik di sini adalah, Kiyai tidak senang pada pemikiran
Mu’tazilah, Syiáh, dan Salafi yang ekstrim. Tetapi anehnya, Kiyai tidak mau menyalahkan
pemikiran mereka, dan tidak mau mengkafirkan, atau menilai bid’ah, khurafat dan sebagainya. Barangkali itulah
benih-benih sikap plularis yang dikembangkan oleh beberapa tokoh
Pesantren Dar al-Tawhid Arjawinangun sekarang.
Ilmu Fiqh yang Kiyai ajarkan kepada santri, antara lain Fath al-Qarib, Iqna’, Fath al-Muín, Tahrir,
Fath al-Wahhab dan Nazham Zubad. Tetapi
kitab yang disebut akhir ini penulis tidak mengikuti. Penulis mengamati bahwa
pesantren Kiyai Syathari dan madrasahnya adalah lembaga pendidikan yang paling
banyak mengajarkan kirab-kitab fiqh, terutama kitab yang mudah dijangkau oleh
masyarakat.
Dalam suatu kajian’, Kiyai pernah menerangkan bahwa ulama fiqh dan ulama
hadits itu terbagi menjadi dua keompok, yaitu mutaqaddimin dan mutaakhkhirin. Batasan mutaqaddimin dalam hadits adalah ulama yang hidup sejak
zaman tabiín, sampai ulama yang hidup pada tahun tiga ratusan Hijriyah. Sisanya
disebut ulama mutakhirin. Sedangkan mutaqaddimin dalam ilmu
fiqh adalah ulama yang hidup sejak zaman tabiín (fuqaha sabáh) sampai
ulama yang hidup di awal abad lima .
Kiyai bercerita bahwa Al-Ghazali (w 505 H) adalah penutup ulama fiqh mutaqaddimin, dan sekaligus sebagai pemula ulama fiqh mutaakhirin. Dalam kaitan
itu, Kiyai Syathari adalah tokoh yang paling banyak mengajarkan kitab-kitab
ulama mutaakhirin, kecuali Shahih al-Bukhari. Kitab
ini pun ulasan Kiyai selalu mengambil materi dari tulisan ulama mutakhirin, terutama Ibn Hajar al-Asqallani dan al-Qasthallani. Dengan demikian,
Kiyai Syathari adalah tokoh yang senang membaca kitab-kitab ulama mutakhirin.
Ketika mulai membaca kitab Fath
al-Wahhab, Kiyai mengatakan bahwa
ulama (Syafiíyah) pada pintar (alim) karena mempelajari kitab-kitab fiqh yang
terjadi dalam satu rumpun. Yang dimaksud rumpun itu ialah sekelompok karangan
yang materi dan kerangka berfikirnya, satu sama lain sama. Tentu saja kitab
yang pertama dikutip dan diulas oleh ulama yang muncul berikutnya. Dalam
sejarah, tercatat bahwa kitab Al-Muharrar
karya Al-Rafií adalah
kitab yang pertama kali dikutip dan ditulis ulang oleh Al-Nawawi dengan
kitabnya, Minhaj al-Thalibin. Kitab ini amat laris karena menyajikan
ulasan yang kini dianggap lebih cocok dengan ulama pesantren. Kemudian kitab
al-Nawawi itu dikutip lagi oleh banyak ulama, dan ditulis ulang dengan judul
kitab yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh itu antara lain, (a) Al-Mahalli mengutip
kitab al-Nawawi itu dan diulas dalam kitab tulisannya, Kanz al-Raghibin, kemudian kitab ini diberinya hasyiyah dengan nama yang populer, Qalyubi.
(b) Zakaria al-Ansori,
mengulas kitab al-Nawawi itu dengan nama Manhaj al-Thullab, kemudian
kitab ini diringkas sendiri dan ringkasan itu diberi nama kitab Fath al-Wahhab. (c) Ibn Hajar al-Haitami mengolah kitab al-Nawawi itu dan ditulis ulang
dengan nama Tuhfat al-Muhtaj. (d) Al-Ramli mengutip kitab al-Nawawi tadi
dan ditulis ulang dengan nama Nihayat
al-Muhtaj. (e) Al-Syarbini
mengutip kitab Nawawi itu, dan ditulis ulang dengan nama Mughni al-Muhtaj. Melihat keadaan seperti itu, maka para ilmuan mengatakan bahwa itu
adalah kitab satu rumpun.
Sebenarnya, rumpun kitab semacam itu, tidak terjadi pada ulama mutaakhirin saja, tetapi ulama mutaqaddimin juga pernah membuat rumpun semacam itu.
Hanya saja bentuknya berbeda. Ulama mutaakhirin disebut satu rumpun karena
mengandal-kan tulisan (kutipan), sedangkan ulama mutaqaddimin disebut
serumpun berdasarkan paradigma atau kerangka berfikir yang sama, sekalipun
kesimpulan berbeda. Rumpun semacam itu, oleh para ilmuan disebut taqlid manhaji. Suatu contoh, Kitab
al-Umm karya al-Syafií, yang masuk
Indonesia
setelah negara ini merdeka lama. Kitab al-Umm tidak ditulis oleh
al-Imam al-Syafi’í sendiri tetapi didiktekan kepada
murid-muridnya. Karena itu, Al-Umm
yang ditulis oleh Al-Muzani,
berbeda dengan Al-Umm yang ditulis oleh al-Buwaithi. Al-Umm yang ditulis oleh keduanya, berbeda lagi dengan Al-Umm yang ditulis oleh al-Qaffal, dan begitulah seterusnya. Meskipun begitu,
ulama bersepakat bahwa Al-Umm yang catatannya lengkap adalah tulisan
Rabi’ibn Sulaiman al-Muradi. Atas dasar itu, kitab inilah yang sekarang dicetak
.
Ushul Fiqh yang diajarkan oleh Kiyai sangat sedikit dibandingkan dengan
kitab-kitab fiqh. Penulis belajar Ushul
Fiqh dari Kiyai Syathari hanya dua
kitab, yaitu Lathaif al-Isyarat
Syarh Waraqat al-Juwaini karya
Hamid ibn Ali al-Qudsi, dan Ghayat
al-Wushul Syarh Lubb al-Ushul karya
Zakaria al-Anshori. Meskipun begitu, uraian perdebatan yang sering terjadi
dalam kitab ini, Kiyai Syathari sering menye-butkan kitab Al-Mustashfa karya Al-Ghazali dan Al-Muwafaqat
karya Al-Syathibi. Dulu penulis
tidak mengerti apa maksud Kiyai menyebutkan dua kitab itu. Sekarang mengerti
bahwa dua kitab itu memiliki aliran yang berbeda. Mustashfa al-Ghazali
mengambil Ushul Fiqh aliran mutakallimin
(semacam deduktif), sedangkan Al-Muwafaqat Al-Syathibi mengambil Ushul Fiqh aliran rakyu (semacam induktif).
Dengan demikian, perdebatan fiqhiyah akan sangat menarik apabila kerangka
berfikirnya dituangkan.
Sebenarnya Kiyai Syathari juga mengajarkan Al-Luma’ karya Abu Ishaq
al-Syairazi, dan Al-Asybah wa
al-Nazhair karya al-Sayuthi.
Tetapi dua kitab itu diajarkan di pengajian mingguan. Pengajian yang
diselenggarakan setiap hari Minggu itu, umumnya diikuti oleh santri-santri
senior yang sudah tinggal di daerahnya masing-masing, sebagaimana sudah
disebutkan di atas. Pengajian yang menelan waktu empat jam itu, dibacalah
kitab-kitab Tafsir al-Jalalain,
Siraj al-Qari karya al-Syathibi, Shahih al-Bukhari, Al-Iqna’ karya al-Syarbini, dan setelah khatam,
Kiyai Syathari mengajarkan kitab Kifayat
al-Akhyar karya al-Dimasyqi, dan
entah apa lagi. Penulis tidak mengamati terus pengajian itu, karena penulis
pindah belajar. Diduga Jamú
al-Jawami’ karya Al-Subki dan al-Mizan al-Kubra karya al-Sya’rani pernah diajarkan dalam
pengajian itu.
Nahwu dan Sharaf yang diajarkan oleh Kiyai Syathari kepada santri adalah
Al-Ajrumi-yah, Al-Awamil, Nazham
Durrat al-Yatimah, Minhat al-I’rab,
dan Matan Alfiyah. Kitab-kitab lain seperti Nazham al-Syabrawi, Nazham al-Maqshud dan Nazham al-Imrithi penulis
pelajari dari Madrasah Wathaniyah. Penulis pernah mendengar, Kiyai Syathari
mengajarkan kitab Lamiyyat al-Afál
karya Ibn Malik, kepada santri
senior yang sudah mengkhatamkan Alfiyah. Penulis belum mengikuti, dan pada
tahun berikutnya, kitab itu tidak diajarkan lagi. Penulis berpendapat, bahwa
pelajaran ilmu Nahwu dalam pesantren ini cukup tinggi terutama pada masa Kiyai
Syathari yang madrasahnya sangat dinamis. Madrasah itu banyak dikelola oleh santri
senior. Sarana madrasah waktu itu sederhana karena semua siswa harus duduk di
atas lantai. Ruang kelas yang dimiliki oleh pesantren hanya tujuh lokal, santri
harus masuk bergantian dari siang sampai sore. Itu pun tempat belajar masih
kurang, maka serambi tajug dan ruang pondok dipakai untuk sekolah.
Balaghah yang diajarkan oleh Kiyai kepada santri adalah Nazham Jauhar al- Maknun karya Abdurrahman al-Ahdlari, dan Uqud al-Juman karya al-Sayuthi. Kitab pertama saya dapatkan ketika Kiyai mengajarkan
kitab-kitab Bulugh al-Maram, Al-Tahrir, dan Al-Arudl. Sedangkan kitab kedua, saya mengaji bersama santri senior setiap malam
Minggu, yang pagi harinya mereka mengikuti pengajian mingguan. Pengajian dua kitab itu, sampai sekarang penulis belum
bisa mengembangkan.
Sealin kitab-kitab tersebut di atas, Kiyai Syathari juga mengajarkan
beberapa kitab maui-zhah untuk santri, seperti Kitab al-Syifa, Nazham al-Burdah, Dalail
al-Khairat, Al-Adzkiya, Syuáb al-Iman, dan syaír Munfarijah. Yang jelas
Kiyai Syathari belum pernah mengajarkan kitab-kitab tasawwuf seperti Al-Hikam, Minhaj al-Abidin, Ihya
Ulum al-Din. Al-Futuhat al-Makkiyah, Fushush al-Hikam dan entah apa lagi. Penulis tidak mengerti
apakah Kiyai segan untuk mengajarkan kitab-kitab itu, atau tidak ada usul dari
santri, atau karena penulis sendiri tidak tahu. Wallahu a’lam.
Selain Kiyai Syathari, para Qariín di
pesantren itu banyak juga yang mengajarkan beberapa kitab seperti Irsyad al-Ibad, Risalat al-Muáwanah, Nashaih
a-Diniyah, Durrat al-Nashihin, Madarij al-Suúd, Úqud al-Lujjain, dan kitab-kitab fiqh seperti
Bafadlal, Riyadl al-Badiáh, Isád
al-Rafiq dan lain-lain.
F. Komentar tentang Kitab Kuning
(1) Kelompok yang mengatakan
bahwa KK adalah dokumentasi agama yang sudah final, dan harus diterima tanpa reserve. Demikian ini tampak pada penganut mazhab fiqh tertentu terhadap
teks-teks fiqhnya. Atau penganut mazhab kalami tertentu terhadap
pemikiran aqidah imamnya. Fanatisme mereka terhadap
teks-teks itu sangat kuat dan tidak mau dikritik. Ketika disebut bahwa
teks-teks itu pemikiran, dan bukan dalail
qathí, mereka menjawab bahwa
teks-teks itu disusun oleh imam-imam panutan dan jika diikuti, mereka tidak
akan menyesatkan umat. Kalau teks-teks itu mau dirubah, silakan bikin teks-teks
tandingan, dan pasarkan kepada masyarakat.
Panatisme seperti itu, muncul karena tiga hal, yaitu (a) Orientasi
pemikiran mereka hanya menitik beratkan pada ilmu-ilmu terapan, terutama pada
fiqh, tawhid, dan ilmu agama lainnya. Mereka berkata bahwa mempelajari ilmu itu
untuk dimalkan dan difatwakan, bukan untuk didiskusikan. Akibat keyakinan
seperti itu lemahlah kreatifitas mereka dalam menerapkan fiqh dan ilmu agama,
terutama ketika mereka harus berhadapan dengan realitas sosial. (b). Metoda
pengajaran yang mereka dapatkan, tidak diprogramkan sesuai kebutuhan, tetapi
ditentukan oleh suatu kitab tertentu, dengan makna utawi, iku, apa, siapa, apane, drapon, dan sebagainya, yang suatu
ketika cocok dengan perkembangan masyarakat dan suatu ketika tidak cocok. Semua
itu dilakukan dalam rangka menacari barakah. Metoda pengajaran seperti itu diterapkan
kepada semua lapisan anak didik, dari pelajar yang paling kecil, sampai pelajar
senior yang sudah dididik belasan tahun. Selain itu, semua ilmu agama yang
ditawarkan kepada pelajar, selalu menggunakan metoda seperti itu, dan tidak
membedakan antara ilmu syariát, thariqat, akhlak, ilmu-ilmu metodologi,
mauízhah, wirid dan atau ilmu lainnya. Dengan kata lain, semua ilmu yang
diajarkan, tidak digambarkan mabda
yang dalam perkembangan sekarang,
disebut falsafat ilmu (ontologi,
epistemologi dan aksiolog). (c). Materi pelajaran mereka dibatasi pada kitab-kitab yang oleh
kelompok tertentu disebut al-kutub
al-mu’tabarah. Dengan kata lain,
mereka mengkotak-kotak ilmu, berdasarkan pemikiran teologis, mazhab fiqh, dan
pemikiran keagamaan yang berkaitan dengan tajdid, gerakan feminisme
dan lain sebagainya. Berdasarkan tiga pemikiran itulah KK harus dipertahankan
sampai kiamat shughro.
(2) Kelompok yang menolak KK
secara apriori, dan mengatakan bahwa KK itu berisi pemikiran yang jarang diberi
dalil Qurán atau Hadits. Materi yang termaktub di dalam setiap lembaran (korasan), sudah ketinggalan zaman karena disusun pada masa lalu yang sangat
klasik. Selain itu, konsep kehidupan yang disajikan KK tidak mampu mengantarkan
manusia muslim menuju hidup yang layak di abad modern ini. Sebenarnya, mereka
masih membutuhkan isi dan materi KK tetapi mereka tidak mampu menguasai, maka
serta-merta mereka mencari pemecahan paling mudah, yaitu memodernkan KK dengan
mencari karya terjemahan dan penguasaan inti kandungannya saja. Ironisnya,
sikap itu dilatarbelakangi oleh ketidak tahuan mereka terhadap isi KK secara keseluruhan.
Mereka tidak mau tahu bahwa Muhammad Abduh, yang terkenal di Indonesia
sebagai mujaddid abad dua puluh itu menganjurkan
murid-muridnya agar mendalami kitab Al-Muwafaqat
karya Al-Syathibi. Begitu pula
Rasyid Ridla yang Wahhabi itu, ketika menulis Tafsir Al-Manar banyaklah
mengutip ulasan Tafsir Ibn Katsir.
Buya Hamka, ketika menulis Tasawwuf Modern banyak mengutip pemikiran al-Ghazali yang ditulis dalam Kitab Kuning,
dan lain-lainnya. Kalau tindakan kelompok kedua ini dibenarkan, maka akan
berujung pada pendangkalan pengetahuan agama kaum muslimin.
(3) Kelompok yang berusaha untuk
mencari pemecahan KK lebih kompleks, karena persoalannya rumit dan menyentuh
banyak sisi, sehingga tidak mudah untuk dijawab dengan serba gampang. Salah
satu usaha beberapa cendekiawan santri, adalah kontekstualisai KK. Tetapi apa
kontekstualisasi itu, dan bagaimana metodanya, masih memerlukan usaha yang
lebih ulet lagi. Secara singkat, KK harus dikaji dari segi teks dan dari segi
konteks. Pendekatan yang bisa dipakai untuk studi teks adalah berfikir teologis,
filosofis, yuridis, dan logis. Sedangkan pendekatan yang dipakai untuk studi
konteks adalah pemikiran historis, antropologis, dan sosiologis. Keberhasilan
kelompok ketiga ini memerlukan studi yang lebih tinggi lagi.
G. P e n u t u p
Semua santri mengakui bahwa Kiyai Syathari dengan pesantrennya telah
banyak berperan dalam memelihara keilmuan Agama dari generasi ke generasi, dan
menjaga kesinambungan dalam memasuki babak baru. Di samping itu, Kiyai Syathari
juga berperan sebagai tokoh keilmuan yang berhasil menyeleksi orang-orang
berbakat untuk menjadi manusia muslim yang berprestasi. Peran tersebut sampai
sekarang, belum tergantikan oleh tokoh-tokoh penerus, terutama dalam kharisma,
ma’únah, istiqamah, dan ketekunannya dalam membina ilmu dan umat..
Untuk mempertahankan eksistensi kelembagaannya, beberapa tahun sesudah
Kiyai Syathari wafat, penulis bersama teman-teman luar pesantren mencoba
membuka Madrasah Aliyah yang sejajar dengan Aliyah Negeri. Tetapi sekarang,
lembaga ang diberi nama Madrasah Aliyah Nusantara ini belum maju sekali, baik
dari segi kwalitas atau dari segi kwantitas. Tetapi manfaatnya besar sekali,
karena putera-puteri keluarga kiyai sekarang pada ikut ujian negara liwat
madrasah ini, sehingga mereka dapat meneruskan sekolah ke Timur Tengah. Dalam
Majalah Istiqro terbitan Kementerian Agama RI ,
pernah ditulis, bahwa pesantren ini telah membuka Ma’had Ali. Tetapi lembaga
yang megah itu belum pernah berhasil, yang bisa dibanggakan oleh masyarakat.
Karena itu, apa yang harus dikembangkan oleh pesantren itu tadi? Wallahu a’lam bi al-shawab.-
(4) GAMBARAN PESANTREN BABAKAN CIWARINGIN
.
A. Pembukaan
Membuka Google
dengan key word Pesantren Babakan Ciwaringin, banyak sekali tulisan
tentang sejarah tokoh dan perjalanan pesantrennya. Dari uraian itu, Institut
Studi Islam Fahmina (ISIF) mencoba mengaitkan tulisan itu dengan anjuran Kiyai
Amin sepuh: “Jika keluarga Babakan mendapat kesusahan, hadiahkanlah Al-fatihah
kepada lima orang tokoh, antara lain “Kiyai Abdul Lathif, dan Kiyai Nur
Shamad.” Tokoh pertama orang tua Kiyai Nawawi sepuh yang dikuburkan di Desa
Pemijahan Kecamatan Plumbon. Sedang tokoh kedua adalah ayah Nyai Maryam.(istri
Kiyai Nawawi). Dari segi lain, Fuad Amin sering cerita tentang Syaikh Maulana
Ibrahim (Faqih Ibrahim) yang dikuburkan di Desa Cipager Telaga Majalengka. Dua
cerita itu tidak pernah ditelusuri oleh para petulis, termasuk oleh Zamzami
Amin ketika menulis buku berjudul “Kaban Kana”. Tampaknya tulisan mereka amat
sedikit mengaitkan dengan ilmu sejarah. Sejarah yang paling masuk akal adalah
penyusunan uraian yang kronologis dalam priodesasi waktu (tahun). Dalam uraian
tentang objektivitas waktu, sering terjadi manipulasi data, yang sering muncul
dari keinginan seorang penulis untuk menceritakan legenda atau untuk meng-ambil
legitimasi dari seorang tokoh yang populer.
.
B. Pendirian Pesantren Babakan Ciwaringin.
Berangkat dari tulisan Munif Alaska, bahwa Pesantren Babakan Ciwaringin
diba-ngun oleh Kiyai Jatira pada tahun 1127 H./1705 M. atau tulisan Satria Muda
bahwa pesantren Kiyai Jatira dibangun pada tahun 1715 M. Kedua tulisan itu
mungkin dikuutip dari dongeng lisan ke lisan. Dalam buku; Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Azyumardi Azra, menulis tentang Abdul Muhyi
(w. 1728 M.) Tokoh ini berpendidikan Gresik Jawa Timur kemudian berguru kepada
Abdul Rauf al-Sinkili (w. 1693 M) di Aceh.
Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Abdul Muhyi mengembara ke
berbagai tempat di Jawa Barat dan kemudian dia menetap di Pamijahan
Tasikmalaya.
Dalam pengembaraan itu, mula-mula Abdul Muhyi (w. 1149 H atau 1728 M)
mengunjungi kaum muslimin di Darma Kuningan, kemudian ke Pamengpek Garut dan
akhirnya dia menetap di Pamijahan Tasikmalaya, seperti uraian tersebut di atas.
Tokoh ini memiliki delapan belas putera-puteri dari empat istri. Salah satu
keturuanan tokoh ini adalah Maulana Ibrahim (Faqih Ibrahim) yang sering
diceritakan oleh K.H. Fuad Amin.
Untuk memperluas informasi, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) bersama
NU Kabupaten dan Kotamadya Cirebon mengundang Martin van Bruinessen untuk
diskusi tentang sejarah pesantren. Guru Besar Universitas Utrecht Negeri
Belanda ini banyak mengadakan pengamatan budaya keagamaan di Indonsia, dan
ditulis untuk disebarkan. Dalam buku ‘Kitab Kuning, Pesantren, dan Thariqat’.
Martin menulis, bahwa pesantren awal paling terkenal adalah pesantren di Banten
yang ada di lereng Gunung Karang. Dia mengutip tulisan G.W.J. Drewes bahwa
salah satu dari teks Islam awal berbahasa Jawa adalah disusun oleh kiyai dari
pesantren itu. Tokoh utamanya Jayengresmi belajar pada tahun 1630 atau awal
1640 an, pada seorang guru keturunan Arab, Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar.
Pernyataan orientalis Belanda ini membingunkan, karena pesantren pertama kok
muncul di Banten. Padahal dia juga menulis; adanya teks Islam berbahasa Jawa
dari pesantren itu. Pernyataan semacam itu menggambarkan bahwa pelajaran di
pesantren itu menggunakan bahasa Jawa. Pesantren di mana pun memberikan makna
terhadap Kitab Kuning memakai bahasa Jawa (utawi, iku, apa, siapa, ing, dan
sebagainya). Dari sini jelas bahwa pesantren yang pertama di Indonesia adalah
dari Jawa, meskipun Kesultanan Banten lebih giat mengembangkan pesantren,
sebagaimana uraian Martin. Tarik menarik (mana yang benar) antara tulisan
orientalis tadi atau sejarah pesantren yang ditulis oleh sarjana lain. Dengan kata
lain, kapan sebenarnya pesantren di Nusantara itu muncul dan berkembang?.Martin
dalam tulisannya bisa difahami bahwa pesantren berkembang di Jawa Barat itu
sesudah Belanda menjajah Nusantara, tahun 1596 M. Sedangkan buku Syaikh Haji
Abdul Muhyi (Mengembangkan Agama Islam di Sekitar Jawa Barat) menulis,
bahwa tahun 1527 (sebelum Belanda mejajah Indonesia), Islam sudah berkembang di
Darma Kuningan, dibawakan oleh Sunan Gunung Jati. Lebih awal dari itu, Syaikh
Datuk Kahfi, sudah mengembangkan Islam dengan membangun pesantren di sebelah
utara kota Cirebon, dan pembukaan pesantren di Kabupaten Krawang oleh Syekh
Qurra tahun 1416 M. Uraian ini sejalan dengan uraian Prof. Dr. Mulyanto Sumardi
MA, yang menulis bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di
Indonesia.
Kembali kepada Kiyai Jatira, bahwa pelajaran pesantren Babakan waktu
itu, bersifat reriungan (halqah) baik dalam bentuk amalan wirid
atau thariqat atau pelajaran shalat jama’ah dan sebagainya.
Suasana itu belum memiliki kurikulum model pesantren yang mempelajari Kitab
Kuning.
C. Perjalanan Pesantren Babakan
Pesantren Babakan
dalam perjalanannya dapat dibagi menjadi tiga priode, yaitu (1) Priode pengamalan thariqat dan
tasawuf yang dikembangkan dengan budaya dan kultur Jawa seperti dibawakan oleh
Kiyai Jatira. Priode ini tidak banyak diceritakan oleh orang-orang tua,
sampai priode Kiyai Kiyai Nawawi sepuh. Meskipun begitu, ada tulisan yang
mengulas kegiatan Kiyai Jatira, sebagaimana ditulis oleh Ade Fauzi (Santri IKA
1999-2005). Tetapi tulisan itu perlu dibantu informasi dan analisa yang lebih
jeli lagi.
Kiyai Nawawi sepuh setelah menikah dengan Ny. Maryam (w. 1800 H) mulai
menglola pesantren Babakan dengan bentuk pendidikan, karena beberapa pemuda
banyak yang mulai belajar ilmu agama (santri). Pada masa itu, Belanda mendekati
kiyai dengan propokasi dan mengajak agar kiyai penglola pesantren, sebaiknya
pasip dan tidak ambisi untuk memiliki kekayaan dan pemerintahan Indonesia.
Mengembang kan ilmu agama itu lebih penting dari segalanya.
(2) Priode pengembangan ilmu agama klasik, dari zaman Kiyai Nawawi sepuh
(belum nikah) sekitar tahun 1720 an sampai Kiyai Amin sepuh wafat. (1392 H-1972
M). Dalam tempat lain, priode ini muncul sejak pemberontakan bangsa Indonesia
terhadap penjajahan Belanda, seperti pemberontakan kiyai dan santri Cirebon dan
sekitarnya, pada Perang Kedongdong 1802-1806, Perang Diponegoro di Jawa
1825-1830, Perang Padri di Sumatera Barat 1821-1835, Perang Tengku Umar di
Aceh, 1873-1908, dan banyak lagi para kiyai dan santri yang berjuang melawan
penjajah Belanda di tempat-tempat lain. Pertempuran semacam ini oleh sejarah
disebut Perang Lokal. Peperangan para kiyai dan santri yang akhir adalah Perang
10 November 1945 di Surabaya. Perang itu, bangsa kita melawan Inggris, Belanda
dan sekutu-sekutunya. Peperangan ini dinilai sangat berat, karena menghadapi
sekutu Barat pemenang Perang Dunia ke Dua. Tetapi semangat kiyai dan santri
untuk berperang kuat sekali karena didorong oleh isi Resolusi Juhad K.H. Hasyim
Asy’ari, dan isi Resolusi Jihad NU., 22 Oktober 1945. Dengan kata lain perang
itu bukan didorong oleh strategi militer atau dorongan senjata yang dianggap
sepadan dengan senjata sekutu, tetapi hanya karena semangat kiyai dan santri
yang yakin akan dapat mengusir penjajah. Senjata kiyai dan santri diawali
dengan semangat takbir ‘Allahu Akbar’. Berkat perjuangan santri yang
menggelorakan takbir itulah Allah mencurahkan rahmat yang besar sekali,
sehingga Alhamdulillah bangsa Indonesia mendapat kemenangan dalam pertempuran
itu. (Buka google dengan key word: Resolusi Jihad K.H. Hasyim
Asy’ar, goodle dengan key word Perang 10 November 1945) dan
beberapa artikel yang ada dalam internet. Baca juga pidato Bung Tomo yang
menggugah semangat santri dalam perang tadi. Belanda dan sekutu menerima
kekalahan, dan mereka angkat kaki dari bumi Indonsia. Langkah berikutnya
Belanda masuk lagi ke Indonesia dengan harapan dapat menjajah kembali. Kasus
ini berjalan terus sampai berakhir di tahun 1949. Setelah itu, Indonesia aman
dan demokrasi mulai berkembang dengan pimpinan Presiden Soekarno. Bersamaan
dengan itu, lembaga-lembaga pesantren di mana-mana mulai difokuskan pada
pengembangan keagamaan umat Islam seperti meningkatkan ibadah kepada Allah,
meningkatkan akhlak mulia, mengembangkan pergaulan masyarakat dengan rasa aman
dan sejahtera, gotong-royong menghilangkan kebodohan dengan mempelajari Kitab
Kuning..
(3) Priode peningkatan kehidupan pribadi dan keinginan sejahtera bagi
pemuda melalui pelajaran ilmu di pesantren. Gagasan seperti itu dikembangkan
terus oleh Orde Baru dimulai dari tahun 1966 dan dikuatkan dengan hasil Pemilu
1971, sampai tahun 1998. Ketika Prof. Dr. H.A. Mukti Ali menjadi Menteri Agama
RI, (1972), dia membangkitkan pesantren agar tidak hanya mempelajari Kitab
Kuning saja, tetapi ditambah mempelajari keterampilan. Pendidikan pesantren
tidak hanya memproduksi ilmuan klasik, tetapi santri juga mampu mensejahterakan
dirinya, dan mensejahterah-kan masyarakat umum. Dia menganjurkan studi di
pesantren ditambah dengan mengajarkan keterampilan seperti pertanian,
peternakan dan lain-lain. Tetapi sampai akhir jabatannya, Mukti Ali tidak ada
satu pesantren pun yang tertarik melaksanakan gagasan itu. Dalam kaitan ini
Mahbub Junaidi berkata bahwa Mukti Ali adalah Mentri Agama R.I. yang
memproduksi telur, tetapi semua gabug, alias tidak ada yang berbuah.
Langkah berikutnya, banyak pesantren yang membuka sekolah formal seperti
Tsanawiyah, Aliyah, SLTP, SLTA, SMK, dan Sekolah Tinggi. Pesantren Babakan yang
jauh dari jalan raya itu, pernah memdirikan beberapa perguruan tinggi. Pada
tahun 1972 an K.H. Fuad Amin membuka Perguruan Tinggi Agama Islam al-Ghazali,
tetapi punah. Pada tahun yang berdekatan, K.H. Hariri Sanusi membuka Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan, tetapi juga punah. Kemudian tahun-tahun
berikutnya, KH. Yahya Masduqi yang dibantu oleh orang luar membuka perguruan
tinggi bernama ‘Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Ali’ (STAIMA) disusul oleh
Dr. Afandi Mukhtar membangun Sekolah Tinggi Agama Islam al-Biruni. Ditambah
pada tahun 2012-2014, Direktirat Pesantren Kementerian Agama RI, membuka Ma’had
Ali yang setingkat dengan Strata Dua tentang Ilmu Ushul Fiqh. Penglolaannya
diserahkan kepada pesantren Babakan, dengan pengarahan IAIN Syaikh Nur Jati
Cirebon. .
Pesantren model ini justru banyak dibanjiri oleh santri, sementara
pesantren yang hanya mengandalkan kharisma kiyai menjadi surut, bahkan banyak
yang bubar alias gulung tikar, setelah kiyai itu wafat. Contohnya seperti
pesantren Kiyai Shalih nDarat di Semarang, pesantren Kiyai Nur Qiyam di Banada
Leuwimunding, atau pesantren Kiyai Nasuha (Jadd Chozin min Abih) di
Jatisari Plered (yang dalam tempat lain ditulis Sukunsari) dan lain-lain.
Pesantren Babakan sekarang mengambil model pengembangan sekolah formal seperti
itu. Desa Babakan yang penuh dengan barakah dan sinaran ilmu agama itu tetap
didatangi oleh putera-puteri dari berbagai penjuru. Insya Allah keadaan seperti
itu akan berjalan terus sampai ratusan generasi. Allahumma, Amin. .
D. Keluarga Kiyai Pesantren Babakan
Untuk mengambil barakah, tulisan ini
menjelaskan bahwa Kiyai Nawawi sepuh menikah dengan Nyai Maryam (w. 1800 M.)
binti Kiyai Nur Shamad ibn Faqih Ibrahim ibn Abdul Muhyi Pamijahan (w.1728 M.).
Kiyai Nur Shamad yang dikubur di sisi masjid Leuwimunding itu, banyak dikirim
bacaan Al-fatihah oleh Kiyai Amin sepuh, ketika ada mushibah, seperti
tersebut di atas. Kiyai Nur Shamad selain melahirkan Ny. Maryam, dia juga berputra Kiyai Nur Qiyam yang mendirikan
pesantren di Banada Leuwimunding, dan Kiyai Thuba (Thuban) yang dikuburkan di
Sukamenak, Parungjaya, Leuwimunding.
Pernikahan Kiyai Nawawi sepuh dengan Nyai Maryam bint Nur Shamad itu
memiliki putera-puteri lima orang, yaitu Nyai Khalifah, Nyai Mutimmah I, Kiyai
Adzra’i I (sepuh) Nyai Halimah I (sepuh), dan Nyai Syarifah. Semua putra-putri
itu juga berketurunan, maka Kiyai Nawawi sepuh memiliki putera, cucu, buyut,
dan seterusnya banyak sekali. Tetapi di antara mereka, banyak anak cucu yang
keluar dari Babakan, untuk mencari ma’isyah. Atas dasar itu, banyak sekali
orang yang cerita bahwa dirinya adalah keturunan Pesantren Babakan. Tulisan ini
hanya menyajikan beberapa tokoh saja, antara lain :
1, Nyai Khalifah. Tokoh ini memiliki dua putera, yaitu Kiyai Syarqawi
dan Nyai Khadijah. Kiyai Syarqawi mempunyai beberapa putera, antara lain Kiyai
Muhammad Nawawi II yang biasa disebut Ki Glembo, dan Ny. Khadijah. Ki Glembo
memiliki banyak putera. Antara lain: a). Adzra’i II, berputera dua orang, yaitu
Ny. Mu’inah, isyri Kiyai Sayuthi ibn Jahari ibn Adzra’i I, dan Ny. Masturah,
istri KHA Syathari pendiri Pesantren Arjawinangun. b). Rafi’i pembangun
Pesantren Dalail al-Khairat di Desa Kalitengah. Tokoh ini memliki putera
Anwar Rafi’i, Amin, Makki Rafi’i, dan Aminah. c) Kiyai Syafi’i hidup di
Gegesik, dan beberapa putera lagi tidak dapat diuraikan di sini. Kiyai Syarqawi
juga memiliki adik kandung bernama Khadijah. Tokoh ini juga banyak memiliki
putera-puteri, antara lain Ny. Fathimah, Ki Arsyad, Ki Nur (Budur) dan beberapa tokoh lagi, yang tidak dapat
diuraikan di sini. Begitu juga Ki Gelembo ibn Kiyai Syarqawi juga memiliki adik
kandung yang namanya tidak banyak diuraikan. Tokoh ini memiliki dua orang
putri, yaitu Nyai Mutimmah II (istri Kiyai Harun Pesantren Kempek) dan Ny.
Hasanah istri Ki Dawud. Tokoh ini adalah orang pertama yang membangun pesantren
putri di Babakan.
2.
Nyai Mutimmah I bint Kiyai Nawawi sepuh mempunyai lima putera-puteri, antara
lain a). Nyai Barmawi, tinggal di Parakan Urang. b). Kiyai Abdullah
Lontangjaya. Tokoh ini mempunyai banyak putera, antara lain Kiyai Syanawi (ayah
K.H.A. Syathari), Nyai Aliyah istri K.H. Amin sepuh, dan ada yang nikah dengan
putra Buntet Pesantren. c) Abdurrahman ayah Aqib Lontangjaya dan beberapa tokoh
lain yang susah dilacak. d). Nyai
Mukminah, berputera antara lain Kiyai Munawi, Ny. Hafshah, Ny. Muthi’ah, dan
lain-lain. Semua bertekurunan, tetapi tidak mampu diuraikan dalam tulisan ini.
3 Kiyai Adzra’i bin Kiyai Nawawi
sepuh memiliki dua istri, yaitu A). Nyai Halimah II (istri tua) dan B). Ratu Murtaja (istri muda). Nyai Halimah
II ( istri A) memiliki empat putera, yaitu a). Kiyai Jahari, b). Kiyai Ibrahim
c). Kiyai Abdul Rasyid, dan d). Nyai Maryam II. Ad. a) Kiyai Jauhari memiliki
lima putera, yaitu Thaha di Gempol, Suqimah (Jaddah Fuad Sya’ban min abih),
Sayuthi Sukamenak Leuwimunding (Jadd Chozin min ummih), Abdul Mu’thi,
dan Abdullah. Ad. b) Kiyai Ibrahim di Panjalin, Ad. c) Kiyai Abdul Rasyid
melahirkan putra antara lain Marfu’, Ma’ruf’, Marwa, dan Maria (Ibu Kiyai
Amin Sepuh). Dari sederet itu banyak sekali tokoh yang tidak bisa
diceritakan. Ad. d). Ny. Maryam II sendiri tidak dapat ditelusuri.
Pernikahan Kiyai Adzra’i I (sepuh) dengan Nyai Ratu Murtaja (istri muda)
memiliki lima putera, yaitu Kiyai Ismail, Nyai Murli’ah, Kiyai Abdulah
al-Fannan, Nyai Saimah dan Nyai Marinah. Lima putera itu adalah b1) Kiyai
Ismail. Tokoh ini tidak miliki putera /puteri, b2) Ny Murli’ah memiliki banyak
putera/puteri antara lain Ny. Maimunah, Ky. Munajat, Ny. Shafiyah, Ny. Asiyah,
dan Ny. Muthi’ah. Semua tokoh-tokoh tersebut memiliki putera/puteri yang
banyak, yang tidak mampu diuraikan di sini. b3) Abdullah al-Fannan memiliki dua
istri. Istri kesatu diambil dari Ranjeng, melahirkan beberapa putera/puteri
antara lani Nyai Ummi Kaltsum (Istri Ki Muhammad Amin, benih lahirnya Pesantren
Babakan Kidul). Istri kedua bernama Ratu Maria melahirkan beberapa orang,
antara lain bernama Muhammad Nawawi III.
b4) Ny. Saimah memiliki dua
putera/puteri yaitu Ny. Murtasih dan Ky. Mudlar. b5) Ny. Marinah memiliki
banyak putra/puteri antara lain, Ny Juwairiyah, Ny. Raihanah, Ny. Saudah (Istri
Ky. Kamali yang melahirkan antara lain Ky. Idris Kamali, Ky. Duri, Ky. Nur
al-Zhalam, Ky. Ali Kamali), Selain itu Ky. Tarmidzi Galagamba, dan Ky.
Syaubari, juga keturunan dari rumpun ini. Sayang tulisan ini tidak dapat
merinci secara detail.
4.
Ny. Halimah I bint Kiyai Nawawi sepuh. Tokoh ini tinggal di Galagamba dan
memiliki banyak putera/puteri yang tersebar. Antara lain Ny. Khairiyah di
Gempol, Ky. Hasan di Cemeti, Ny. Kafiyah di Tegalgubug, dan Ny. Hanifah yang
melahirkan Kiyai Muhammad Amin. Tokoh ini menikah dengan Ny. Kultsum bint
Abdulah al-Fannan ibn Adzra’i sepuh, melalui istri muda, Yaitu Ny. Murtaja.
Pernikahan Ky.Muhammad Amin (Ki Madamin) dengan Ny. Kultsum melahirkan Ny.
Shulaha, Ky.Shalihin, Ny. Munjiyah, Ny Afini, Ny. Sujinah dan Ky. Bulqin. Semua berkeluarga tetapi tidak
bisa diuraikan di sini lebih lanjut.
5.
Nyai Syarifah. Tokoh ini mempunyai tiga putera, yaitu a).Nyai Aminah, b). Nyai
Saimah, dan c). Kiyai Umar Madra’i. Nyai Syarifah bint Nawawi sepuh bertempat
tinggal sampai wafat di Penjalin. KH. Syarif Utsman Yahya Kempek, yang
menitipkan kuburan ayah ibunya kepada orang Penjalin, itu diduga berasal dari
tokoh ini. Kalau Ayip Utsman berkata bahwa embahnya bernama Kiyai Said, maka
Kiyai Said adalah putera Nyai Hanifah bint Nyi Halimah I bint Kiyai Nawawi
sepuh. Demikian karena Kiyai Jauhari yang menikah dengan Nyai Lamirah, yang
wafat dan dikuburkan di Sukamenak itu tidak memiliki putera yang bernama Kiyai
Said. .
Demikian kutipan informasi dari silsilah yang ditulis dengan huruf Arab
dan diberi harakat model pesantren. Kalau informasi itu benar, berarti keluarga
yang berketurunan Pesantren Babakan, dapat dilacak melalui nama-nama tersebut,
sementara banyak lagi nama-nama yang tidak tercatat dalam tulisan itu. Tulisan
ini bisa dianggap sebagai informasi 20 atau 30 persen dari cerita tentang
keluarga Pesantren Babakan Ciwaringin.
Kalau urutan pengasuh pesatren Babakan ditulis, maka pengasuh pertama
adalah Kiyai Nawawi sepuh dengan Nyai Maryam bint Nur Shamad. Setelah wafat,
pesantren diasuh oleh Kiyai Adzra’i sepuh ibn Nawawi sepuh dengan dua istri,
Nyai Halimah II dan Nyai Murtaja. Setelah wafat, pesantren diasuh oleh Kiyai
Isma’il ibn Adzra’i I dari istri muda. Demikian karena Kiyai Jahari ibn Adzra’i
I dari istri tua, meninggalkan Babakan untuk ikut pada adik Nyai Maryam, yaitu
Kiyai Thuban ibn Kyai Nur Shamad di Sukamenak. Kiyai Ismail tidak memiliki
putera, tetapi memelihara Ny. Aliyah bint Abdullah Lontangjaya. Setelah Kiyai
Isma’il wafat, pesantren diasuh oleh Ky. Amin sepuh karena pernikahannya dengan
Ny. Aliyah tadi. Setelah Kiyai Amin sepuh wafat, pesangtren dikelola oleh K.H.
Fathoni Amin. Pada masa ini, pesantren Babakan mulai membuka pendidikan formal,
antara lain Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri yang difasilitasi oleh K.H.
Hariri Sanusi. Setelah Kementerian Agama R.I. menegerikan Madrasah Tsanawiyah
dan Aliyah, maka pesantren Babakan mulai membuka sekolah-sekolah formal seperti
itu. Bahkan K.H. Fuad Amin membuka Sekolah Persiapan IAIN (SPIAIN) yang
ijazahnya setingkat dengan Madrasah Aliyah. Tetapi sekolah ini ditarik dari
Babakan untuk dikembangkan di Indramayu.
Setelah K.H. Fathoni wafat, para kiyai di Babakan banyak sekali dan
mulai bermunculan dengan membuka pesantren tersendiri, dengan model penglolaan
yang berbeda-beda. Berkat keadaan itu, santri putera dan puteri di Pesantren
Babakan sekarang mencapai jumlah lebih dari seribu lima ratus santri.
E. Perkembangan Pesantren
Pesantren Babakan
dan pesantren lain yang dibangun oleh keluarga (sanak-famili) banyak yang
berkembang dan banyak yang punah. Di antara pesatren yang berkembang adalah
(1) Pesantren Babakan sendiri
yang klimaksnya dipimpin oleh Kiyai Amin sepuh, terutama pada tahun 1948 sampai
tahun 1972. Kitab-kitab yang diajarkan oleh Kiyai Amin antara lain Fatul
Muin, Fathul-Qarib, Sullam Taufiq, dan Safinah al-Najat. Sedang kitab-kitab
tauhid adalah Qathr al-Ghaits, Tijan al-Darari, Kifayat al-Awam dan
Al-Dasuqi. Pelajaran pesantren ditambah Kiyai Sanusi mengajarkan kitab
Al-Ajrumiyah yang diberi penjelasan dengan mengutip materi dari kitab Nahwu
yang besar-besar. Menurut K.H. Abdullah Amin, bahwa ayahnya selalu
mengajarkan sembilan kitab, antara lain kitab yang disebutkan tadi. Jika salah
satu kitab itu khatam, maka pada waktu lain kitab itu diulang lagi dengan
santri yang berbeda. Sementara kitab-kitab besar seperti Jam’ul Jawami’,
Ihya Ulum al-Din, atau Shahih al-Bukhari waktu itu belum dikhatamkan
di pesantren ini. Meskipun begitu, perkembangan pesantren besar sekali, jauh
melebihi pesantren Kiyai Shalih nDarat di Semarang, pesantren Kiyai Nasuha di
Jatisari Plered., dan lain-lain, yang sekarang sudah bubar alias gulung tikar.
Pada masa klimaksnya, (1947-1975)
pesantren Babakan sudah dibanjiri oleh santri lebih dari 600 (enam ratus) an
dalam satu tempat. Lebih besar lagi setelah pesantren Babakan membuka sekolah
yang berbeda-beda, negeri atau swasta, dan berjalan sampai sekarang.
(2) Pesantren Kempek Palimanan.
Pesantren ini dibangun oleh Kiyai Harun ibn Nyai Hafshah binti Nyai Khadijah
bint Nyai Khalifah bint Kiyai Nawawi sepuh. Ayah Kiyai Harun adalah Kiyai Abdul
Jalil yang wafat di Kedongdong Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon. Tokoh ini
deret sesepuhnya adalah penyebar agama Islam dari Pekalongan, yang jasadnya
dikubur di Desa Wonobodro Batang Pekalongan. Pesantren ini diteruskan oleh K.H.
Umar putera Ky. Harun, dan dikembangkan juga oleh mematu Ky Harun, terutama KH.
Nashir dan K.H. Aqil Siraj, dan
diteruskan oleh para puteranya.
(3) Pesantren Dar al-Tawhid
Arjawinangun. Pesantren ini dibangun oleh K.H.A. Syathari ibn Muhammad Syanawi,
ibn Kiyai Abdullah ibn Nyai Mutimmah binti Kiyai Nawawi sepuh. Sedangkan Ummu
Syathari adalah Nyai Arbiyah bint Kiyai Abdul Aziz ibn Kiyai Arjaen dan
seterusnya, berderet sampai pada Sultan Banten. Pesantren ini, kecil jika
dibandingkan dengan Pesantren Babakan. Akan tetapi kitab-kitab yang diajarkan
di pesantren ini lebih komprehensip dan bervariasi. Pada tahun 1960 an
pesantren ini sudah mengajarkan Fath al-Wahhab, Ghayat al-Wushul, Shahih
al-Bukhari, Alfiyah Ibn Malik, Uqud al-Juman, Al-Syifa, Siraj al-Qari dan
lain-lain. Semua itu dibawakan oleh KHA. Syathari sendiri dalam waktu dan tahun
yang berbeda-beda. Lebih dari itu, sejak tahun 1931 Pesantren ini sudah membuka
studi klasikal dalam bentuk madrasah, bernama Madrasah Wathaniyah. .
(4) Pesantren Winong Gempol. Pesantren ini
dikelola oleh Kiyai Mustahdi, tetapi awalnya dirintis oleh ayahnya, Kiyai
Hasbullah ibn Nyai Hafshah, sama seperti silsilah Kiyai Harun Kempek tersebut.
(5) Beberapa pesantren di Tegalgubung, Ujungsemi,
dan sekitarnya termasuk beberapa pesantren di Susukan, Candangpinggan dan
lain-lain yang tidak dapat disebutkan di sini. Ahmad Khairul Fahmi menyajikan
informasi tambahan adanya pesantren di Ajibarang. Hal itu wajar, karena banyak
putera-puteri Babakan yang nikah dengan beberapa orang yang terpencar di
beberapa tempat.
Sedangkan pesantren yang punah yang dapat disajikan di sini, antara lain
(1) Pesantren Kiyai Abbullah ibn Nyai Mutimmah bint Kiyai Nawawi sepuh di
Lontangjaya. (2) Pesantren Penjalin yang terakhir dikelola oleh Kiyai Sya’ban
ibn Nyai Suqimah, binti Kiyai Jahari ibn Kiyai Adzra’i ibn Kiyai Nawawi sepuh.
(3) Pesantren Dalail al-Khairat di Desa Kalitengah yang dibangun oleh
Kiyai Adzra’i II dan Kiyai Rafi’i putra-putra Kiyai Muhammad Nawawi Glembo, ibn
Kiyai Syarqawi ibn Nyai Khalifah bint Kiyai Nawawi sepuh. (4) Pesantren Gombang
yang pernah dikelola oleh Kiyai Ali Kamali ibn Nyai Saodah bint Nyai Marinah
bint Kiyai Adzra’i ibn Kiyai Nawawi sepuh. Sedang ayah Kiyai Kamali adalah sama
seperti ayah pendiri pesantren Kempek, dan banyak lagi beberapa pesantren lain,
baik yang berkembang atau yang sudah punah. Semua tidak mumpu diceritakan dalam
tulisan ini, termasuk kisah yang menarik tentang Pesantren Balerante Palimanan.
Secara historis, munculnya pesantren dapat dilacak dengan masuknya
tasawuf dan thariqat di Nusantara. Tetapi sebelum thariqat
berkembang, sudah banyak orang Islam di Nusantara menjelang abad 10 Masihi,
dengan adanya kerajaan kecil Perlak, dilanjutkan abad ke 13 M., oleh Kerajaan
Samudera Pasai di Aceh. Mulai saat itu tasawuf mulai berkembang bahkan selama
abad 14 dan 15 M. Islam secara berangsur-angsur menyebar ke pantai utara
Jawa sampai ke Maluku. Dalam sejarah, Islam yang masuk Pulau Jawa mengambil
corak pemikiran shufistik, terutama al-Ghazali dan Ibn Arabi. Corak amalan
Islam yang dipengaruhi tasawuf al-Ghazali selanjutnya, berkembang menjadi thariqat.
Thariqat yang muncul pertama adalah Thariqat Qadiriyah yang
dibangun oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (1078-1168 M) di Asia Tengah, yaitu
Thibristan, tempat kelahiran dan pembukaan praktek awal thariqatnya, terus
berkembang di Baghdad, Turki, Saudi Arabia sampai Indonesia. Selain itu
bermunculan juga berbagai thariqat, seperti Thariqat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair,
Thariqat Syahrawardiyah di Afrika Utara, Sudan, dan Negeria, Thariqat Sanusiyah
di Aljazair dan Tunisia, Thariqat Syazaliyah di Sudan, Thariqat Syathariyah di
India, Indonesia dan lain-lain. Semua thariqat itu berkembang terus dengan
pesat sekali melalui murid-murid yang biasa disebut khalifah. Perkembangan itu
diharapkan untuk menyebarkan beberapa thariqat ke berbagai pelosok yang
jauh-jauh. Dalam sejarah Islam juga disebutkan, bahwa setelah khalifah
Abbasiyah runtuh oleh bangsa Mongol tahun 1258 M., tugas memelihara kesatuan
Islam dan penyebarannya, itu beralih ke tangan kaum shufi, dengan gerakan
thariqat, termasuk pengembangan Islam di Indonesia.
Kembali kepada persoalan pesantren, bahwa pengamalan thariqat
pada awalnya dilakukan bersama-sama dalam bentuk halqah. Sebuah thariqat
terdiri atas mursyid, atau khalifahnya, yang dikerumuni oleh pengikut
thariqat, dan berkumpul di suatu tempat yang disebut ribath (zawiyah).
Lembaga ini merupakan tempat latihan, atau amalan tasawuf, yang disebut mujahadah
sambil mempelajari Kitab-kitab Kuning.
Zawiyah, dulu disebut sanggar, padepokan, atau pertapaan, atau surau dan
lain-lain, yang pernah dikembangkan oleh Kiyai Jatira di Babakan. Hampir
semuanya berbasis agama, baik Hindu, Budha, dan lain-lain. Ketika masuk dalam
Islam, lembaga semacam itu dipergunakan sebagai sarana pendidikan. Di situ
mulai muncul istilah mushalla, langgar, maunasah, tajug, surau dan lain-lain,
dan dalam langkah berikutnya lembaga itu berkembang menjadi pesantren.
Dengan demikian, pesantren pada awalnya
tidak mengajarkan Islam yang akademik dengan mengajarkan Quran-Hadits secara
tektual dan kontekstual, tetapi berangkat dari ajaran Islam yang berjalan
dengan penuh pergumulan dengan budaya Arab sendiri, dicampur dengan kebudayaan
Persia, termasuk kebudayaan Hindu-Budha India. Dengan adanya pengamalan
sosiologis dan kultur antar bangsa seperti itu kultur pesantren terbentuk.
Ketika sarjana Belanda, Pegeaul dan de Graaf mengadakan penelitian di
Indonesia, dia menulis bahwa pesantren merupakan jenis pusat Islam penting
kedua di samping masjid. Mereka menduga bahwa pesantren ialah sebuah komunitas
independen yang tempatnya di kampung-kampung, dan berasal dari lembaga sejenis
zaman pra Islam, mandala, dan asyrama.
Metode dan model
pengembangannya, pesantren melihat kuatnya pelajaran sastra yang tinggi dalam
tradisi Hindu-Budha, yang disertai dengan suluk yang indah dan merdu. Pesantren
mengadopsi budaya seperti itu, sehingga banyak mengajarkan ilmu dengan metoda syair
dan nazhaman. Nazham Aqidatul Awam atau Kharidatul Bahiyah
disampaikan untuk mengajarkan aqidah, Nazam al-Zubad untuk ilmu
fiqh, nazham Hidayatus Shibyan atau Jazariyah untuk ilmu tajwid,
nazham Imrithi atau Alfiyah untuk ilmu nahwu, nazham al-Jauhar
al-Maknun atau Uqudul Juman untuk balaghah, nazham Burdah
untuk menambah kecintaan kepada Rasulullah, nazham al-Baiquni untuk ilmu
Dirayah Hadits, nazham Siraj al-Qari untuk qiraat sab’ah. Bahkan
tidak hanya itu, tetapi banyak contoh nahwiyah atau balaghah, mengutip Syair-syair
Jahili seperti karya Imri al-Qais, karya ‘Antarah, karya Umayyah ibn Abi
Shalt, karya Zuhair dan lain-lain Lebih
asyik lagi ketika terdengar suara tarhiman sebelum waktu shubuh,
tersentuhlah jiwa Ki Dalang bagaikan tersentuh
oleh suluk Pandawa Lima, menjelang kedatangan Dwarawati.
Kultur pesantren seperti itu menggambarkan tidak terjadi diskontuinitas
masyarakat dengan masa lalunya. Lepas dari apa namanya, yang jelas pesantren
tetap hidup sejak dari beberapa abad yang lalu, sampai sekarang. Kaum tani dan
berbagai kelompok lain tetap tertarik mengirimkan putera-puteri untuk dididik
di pesantren.
F. Tantangan perkembangan Pesantren.
Kultur keilmuan
pesantren yang santun dan berkembang selama berabad-abad itu mulai ditentang
dan dijadikan musuh oleh berbagai kelompok. Antara lain (1) Kelompok yang
mengembangkan budaya keagamaan yang berbeda dengan budaya keagamaan pesantren.
(2) Kelompok penjajah Indonesia yang ingin melestarikan jajahannya. (3) Kelompok
intelek yang mengklaim bahwa dirinya tokoh modernis yang menentang pesantren
yang dianggap tidak modern. Tokoh semacam itu tidak senang pada pesantren, dan
membantai kaum muslimin yang berfikir pluralis (mushawwibah). .
Ad.1.
Penantang pertama tentang perkembangan Islam model pesantren adalah ke-lompok
padri (kelompok pemuda) Minangkabau yang diawali oleh Haji Miskin, Haji
Abdurrahman, Haji Muhammad Arif, dan beberapa pemuda sepulangan mereka dari
Makkah tahun 1802 M. Klompok ini dipengaruhi oleh pemikiran dan gerakan
Wahhabi, yang doktrinnya kembali kpada Qur’an Hadits, dan boleh menganiaya umat
Islam yang berbeda dengan pikirannya. Kemudian gerakan yang dikelola oleh
delapan orang itu diorganisir dengan ketua Nan Ranceh. Kelompok ini berusaha
memaksa orang Islam lain, agar berbudaya seperti mereka. Dalam usaha awalnya,
mereka mengajak Tuanku Nan Tuo yang banyak dikerumuni oleh santri, agar ikut
pemikiran dan gerakan mereka. Tetapi ajakan itu tidak disetujui. Tokoh besar ini
menyajikan nasehat bahwa pemikiran keagamaan yang bersifat pemikiran (zhanniyat)
itu tidak boleh dipaksakan kepada orang Islam lain. Semua amalan manusia baik
amal shalih atau amal buruk itu dicatat oleh Allah dan akan dibuka di
akhirat nanti. Semua amal kita adalah ikhtiyariyah yang pada dasarnya
tidak menyimpang dari akidah (sunnah) Rasulullah Saw. dan para
shahabatnya. Karena Tuanku Nan Tuo berfikir seperti itu, maka oleh mereka tokoh
ini disebut Rahib Tuo. Sejak saat itu dikotomi kelompok tua dan muda mulai
diciptakan dan disebarkan dengan teror ke mana-mana. Peristiwa yang paling
tragis adalah ketika mereka mengajak musyawarah keagamaan dengan para pangeran
Kerajaan Pagaruyung yang bermazhab Syafi’i dan pengamal thariqat. Ketika
kelompok ini tidak mendukung keinginan gerakan puritan padri, maka seluruh
anggauta kerajaan dianiaya dan tempat permusyawaratan itu dibakar, hanya
beberapa bangsawan yang dapat meloloskan diri dari kekejaman mereka.
Amalan keislaman masyarakat Minangkabau waktu itu, suka membaca barzabji
bersama-sama, dan ketika sampai pada “ asyraqal badru” mereka berdiri.
Jika memasuki bulan Ramadlan, mereka melaksanakan shalat tarawih 20
rakaat. Jika ada umat Islam yang wafat, mereka melaksanakan tahlil
bersama-sama, dan banyak lagi amalan umat Islam yang oleh mereka dianggap tidak
sejalan dengan Quran-Hadits. Semua itu oleh puritan padri dihukumi bid’ah,
khurafat, bahkan sesat dan menyesatkan (dlal dan mudlil). Puritan
padri tidak hanya melaksanakan da’wah dan pendidikan, tetapi juga menyusun
kekuatan seperti tentara, untuk menyerang orang-orang Islam yang amalnya
berbeda dengan budaya keagamaan mereka. Ulama yang banyak menjadi korban
kekejaman mereka adalah keluarga Kerajaan Pagaruyung seperti trersebut tadi.
Para pemuda Pagaruyung siap membalas serangan puritan padri yang sombong dan
sadis itu, tetapi para ulama kerajaan ini melarang, jangan sampai ada orang
yang membunuh orang Islam lain yang secara lahiriyah membaca syahadat..
Sementara di Yogyakarta, Kiyai Haji Ahmad Dahlan pada tahun 1912
memebentuk organisasi Muhammadiyah. Gerakan ini tidak hanya terpengaruh oleh
Wahhabi, tetapi juga ingin mengembangkan pemikiran Muhammad Abduh. Tetapi tokoh
yang berfikir Islam pluralis dan berakidah mendekati Mu’tazilah itu, oleh Muhamadiyah
harus difilter dan disaring melalui pemikiran Rasyid Ridla. Murid Muhammad
Abduh ini memakai pembaharuan Wahhabi. Dengan demikian organisasi yang
memproklamirkan diri sebagai mujaddid atau pembaharu Islam, itu bisa
dipertanyakan. Lebih dari itu, pada tahun 1925 puritan Minangkabau yang
dipimpin oleh K.H. Abdulkarim Amrullah bergabung dengan puritan yang ada di
Yogyakarta. Tidak hanya itu, tetapi pada tahun 1930 di Palembang kedatangan
Haji Ridwan dari Kota Gede Yogyakarta yang menuduh bid’ah dan khurafat
terhadap amalan umat Islam di Palembang.. Ulama dan kaum muslimin di kota
Sriwijaya ini dipenuhi oleh amalan zikir, tahlil, mauludan, thariqat, dan
semacamnya.
Gerakan itu ditunjang oleh pemerintahan Orde Baru yang mengolah negara
dengan paradigma modernisasi. Rezim yang menguasai semua lapisan pemerintahan
itu meng-himpun orang-orang pinter agar menyusun program kerja yang rasional,
sistematis, dan menarik. Kelompok itu umumnya bukan santri yang orang-orang
tuanya memiliki andil besar pada kemerdekaan Indonesia, tetapi mengambil
orang-orang yang sejalan dengan keinginan mereka. Kemudian program ini mereka
sosialisasikan melalui sebuah partai yang dibangunnya. Semua pejabat negara,
dan semua pegawai negeri diharuskan masuk organisasi ini, dan mereka diwajibkan
untuk mengajak semua penduduk Indonesia memuja-muja partai ini. Waktu itu,
Majlis Ulama diserahkan kepada Buya HAMKA, Menterti Agama diserahkan kepada
Prof. Dr. H.A. Mukti Ali. Dengan langkah itu ulama di daerah-daerah dicurigai
jika tidak mendukung partai ini. Semua pejabat termasuk penglola perguruan
tinggi Islam, yang dianggap tidak modernis seperti Rektor, Dekan, dan beberapa
dosen akan diganti oleh orang-orang lain yang dianggap modernis. Ketika partai
itu ditawarkan kepada masyarakat pada Pemilihan Umum tahun 1971 dan tahun 1977 diduga
masyarakat tidak akan memilih partai itu, maka pemerintah melakukan intimidasi
dengan mengerahkan berbagai lapisan masyarakat untuk memenangkan partai itu.
Ad. 2.
Kelompok yang menginginkan agar mayoritas umat Islam di kawasan Nusantara itu
bersatu dengan Belanda, dan penjajah tetap menguasai Nusantara.Untuk itu
Belanda menumbuhkan politik ‘adu domba’. Ketika melihat puritan padri
Minangkabau mau membantai umat Islam yang berbeda dengan kultur keagamaannya (khilafiyah)
maka Belanda membuka langkah berkooperasi terang-terangan dengan kelompok ini.
Snouck Hurgronye adalah indolog paling menonjol dalam soal ini. Ketika dia
ditugaskan di Aceh agar berbuat sesuatu yang menguntungkan Belanda, dia pura-pura
mengeritik penelitian der Keinderen, dan LWC van den Berg yang tidak menulis
pertentangan antara dua umat Islam yang berbeda mazhab, dengan sebutan:
“Pertentangan antara kaum adat dan umat Islam”. Menurut Hurgronye banyak sekali
pertentangan antara adat dan Islam. Dia menulis dalam bukunya De Atjehers (terbit
1893) bahwa para Sultan Kerajaan Islam di Aceh sama sekali tidak menguasai
hukum Islam. Tindakan mereka banyak yang bertentangan dengan syariat Islam.
Tulisan Hurgronye ini, kemudian banyak dikutip oleh penulis-penulis berikutnya.
BJO. Scherike seorang ilmuan yang ditugaskan oleh Belanda untuk studi
lapangan saat perang padri selesai, banyak sejalan dengan pemikiran Hurgronye.
Begitu juga Van der Kroep, keduanya melihat Islam, walaupun secara umum orang
Indonesia disebut penganut agama Islam, tetapi dalam kenyataannya mereka jauh
berbeda dengan ajaran Nabi Muhammad. Karena itu, Islamisasi di Indonesia dapat
disebut berjalan setengah hati. Akibatnya, Islam di Indonesia bercampur dengan kepercayaan
lokal. Begitu juga Harry J. Benda menulis bahwa ketika Islam masuk Indonesia,
dipaksa untuk menye-suaikan diri dengan tradisi yang sudah berabad-abad
umurnya, baik tradisi penduduk asli atau tradisi Hindu-Budha, sehingga Islam
kehilangan kemurnian doktrinnya. Selain itu, banyak lagi tulisan-tulisan
orientalis dan ilmuan Belanda yang menceritakan kultur mayoritas kaum muslimin
di Indonesia, dengan uraian seperti itu.
Mengingat buku-buku yang menguraikan seperti itu banyak sekali, bahkan
bisa dijadikan sebagai rujukan bagi ilmuan yang mempelajari sejarah, atau
politik, atau kebudayaan, dan atau studi Islam di Indonesia. Pandangan stereo
type yang penuh bias semacam itu berkembang terus sehingga menjadi teori-teori
akademis di Indonesia. Teori itu kemudian dikutip oleh ilmuan, untuk artikel,
skripsi, tesis, disrtasi dan sebagainya. Mereka mengutip tulisan apa adanya,
karena mereka tidak mampu mengadakan penelitian; Mengapa kaum santri tidak mau
berkooperation dengan penjajah Belanda?.
Ad 3. Sebenarnya, banyak sekali
kritikan terhadap pandangan orientalis dan Indonesianis tentang berbagai uraian
yang bias. Tetapi banyak juga ilmuan Indonesia yang mengangkat organisasinya
sebagai ideologi keagamaan, sehingga tidak menerima adanya perbedaan pemikiran
dalam Islam (khilafiyah). Ketika IAIN Jakarta membuka Pascasarjana tahun
1982, dan Harun Nasution sebagai penglolanya, banyak ilmuan yang diundang untuk
menjadi dosen. Antara lain Prof Dr. H.M.
Rasyidi dan Prof Dr. Deliar Noor. Tokoh yang disebut pertama banyak membantai
keilmuan dalam Islam yang berbeda dengan pendapat dirinya, terutama pemikiran
Harun Nasution dan Nurcholis Madjid. Sebenarnya, pemikiran Deliar Noor juga
sama seperti pemikiran Rasyidi tadi, tetapi disajikan dengan hati-hati. Dia
berkata bahwa tulisan Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, jangan diajarkan pada mahasiswa tingkat satu.
Dalam buku Gerakan Modern Islam di Indonesia, Deliar Noor menulis
bahwa Islam di Indonesia berwatak shufistik yang kuat mempertalikan hubungan
Tuhan dengan para guru, dengan paham shufi panteis (wahdat al-wujud).
Dia merasa paham sekali, bahwa wahdal al-wujud Ibn Arabi itu sama
seperti panteisme. Pemikiran ini kata Deliar sangat bertentangan dengan ajaran
Islam. Namun ajaran itu mendapat lahan yang subur di tengah Islam Nusantara sejak
Islam datang ke sini, disebarkan oleh tabeat alam pemikiran masyarakat
Nusantara yang telah terpengaruh Hindu-Budha selama berabad-abad. Kedudukan
kiyai atau guru terhormat menurut Deliar Noor berasal dari warisan agama
Hindu-Budha, bahkan kelanjutan dari zaman animisme yaitu berkaitan posisi
seorang dukun, sementara selalu saja kiyai adalah seorang dukun. Percampuran
antara peribadatan Islam dengan adat dan tradisi itu mewarnai Islam Indonesia
selama ini. Terhadap orang-orang yang berziarah ke makam Syaikh Burhanuddin
Ulakan Minangkabau, Deliar Noor menilai bahwa pembacaan shalawat, pujian kepada
Rasulullah Saw, tahlil, dan membaca Dalail al-Khairat itu merupakan
kelanjutan tradisi para dukun yang tersebar di Sumatera zaman sebelum Islam,
yang melakukan pujian terhadap dewa-dewa agama Hindu. Ketidak murnian Islam
Masyarakat Nusantara ini menjadi sorotan studi mereka, akibatnya mereka perlu
diislamkan secara benar.
G. Pemikiran Institut Studi Islam Fahmina
(ISIF)
Perguruan Tinggi Islam yang bercorak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
ini mempunyai visi dan misi ke-Islaman Indonesiawi yang tidak diuraikan di
sini. Tulisan ini hanya melihat diskusi bangsa Indonesia tahun 1935 antara guru
saya, Takdir Alisyahbana yang berfikir beda dengan Ki Hajar Dewantara dan Dr.
Soetomo. Guru saya berpendapat bahwa kultur Islam Nusantara harus diganti
dengan kebudayaan Barat, agar bangsa Indonesia menjadi maju. Sementara Ki Hajar
Dewantara dan Soetomo menghendaki agar kebudayaan Timur, terutama sistem nilai
dan pendidikan pesantren dibuat sebagai basis pendidikan Indonesia meredeka.
Kedua pemikir ekstrimis itu mewarnai perkembangan kebudayaan Indonesia sampai
sekarang.
Perkembangan
berikutnya, setelah kekuasaan Orde Baru berakhir, dan cengkeraman
militer terhadap rakyat Indonesia mulai longgar, muncul gerakan ekstrimis baru
yang tidak senang pada nilai-nilai Pancasila, karena melestarikan Bhineka
tunggal Ika. Kelompok ini menolak keragaman sosial-budaya dalam Islam dan
menganggap bahwa konsep pemahaman dalam Islam itu cuma satu (tunggal). Mereka
menolak Pancasila sebagai ideolgi negara, dengan keinginannya mendirikan negara
Islam dengan sebutan “khalifah”.
Gerakan semacam itu berbeda dengan pemikiran yang memilah-milah
persoalan dalam Islam. Kitab Kuning ada yang menulis bahwa kehidupan manusia di
dunia ini terdiri dari hak dan kebebasan, atas tiga bidang (1) Bidang hak dan
otoritas manusia sesama manusia untuk menentukan segalanya, seperti memilih
tempat tinggal, mengatur lalu lintas dan sebagainya (2) Bidang hak dan otoritas
Allah seluruhnya yang harus dilakukan oleh manusia, seperti ibadah shalat,
puasa dan ibadah mahdlah lainnya (3) Bidang hak dan otoritas manusia
digabungkan dengan hak dan otoritas Allah, untuk menentukan tindakan manusia.
Contohnya seperti pernikahan atau jual beli dan sebagainya. Pernikahan dari
satu segi adalah hak manusia, karenanya dia bebas memilih pasangan dan teknis
lainnya. Tetapi dari segi lain, dalam pernikahan itu ada hak Allah, karena di
dalamnya ada syariat halal dan haram. Bidang hak dan otoritas yang nomer tiga
ini adalah pembidangan model yang paling banyak..
Pengkelompokkan tiga bidang tadi tidak dapat dirumuskan secara
kwantitatif karena bentuknya berkebang sesuai perkembangan komunikasi dan
teknologi. Terkadang perkembangan semacam itu dapat mewarnai ijtihad fiqhiyah.
Dalam ilmu sosial, Driyarkara membagi nilai menjadi empat, yaitu nilai
kultural, nilai kesosialan, nilai kesucian dan nilai keagamaan. Kalau itu
diterapkan pada persoalan fiqhiyah, maka (1) nilai kultural adalah nilai yang paling
profan dan sangat longgar toleransinya, seperti pemakaian mode, kesenian,
olahraga dan semacamnya. (2) nilai kesosi-alan yang umunya bernilai profan,
tetapi ada sekelompok umat yang menilainya
sakral, seperti politik kenegaraan, pendidikan, da’wah, dan pergaulan
kemanusiaan lainnya. (3) nilai kesucian, yang disebut ibadah. Bidang ini paling
tidak terbagi menjadi dua, yaitu a) ibadah fi’liyah seperti shalat,
puasa, atau hajji, baik fardu atau sunnah. Ibadah model ini sakral maka harus
dilaksanakan seperti amalan Rasulullah saw. b) ibadah qauliyah seperti
perintah Allah agar kaum muslimin membaca shalawat Nabi, (Surat al-Ahzab ayat
56), membaca dzikir (Surat Thaha ayat 124) membaca tahlil (Ali Imran 191),
membaca tasbih (Thaha 130), dan banyak sekali anjuran dalam al-Quran, agar umat
Islam mempebanyak zikir, tasbih, dan shalawat kepada Rasulullah. Anjuran itu
oleh Rasulullah saw. dikuatkan dengan hadits-hadits Nabi, agar diamalkan
sebanyak-banyaknya. Tetapi Rasulullah saw. sendiri tidak mengatur cara
membacanya. Karena itu umat Islam dibenarkan membaca shalawat, zikir, dan
tasbih sebanyak-banyaknya, dengan duduk, dengan berdiri, atau terlentang, dan
atau dengan duduk dulu terus berdiri seperti ‘baca barzanji’, atau membacanya
dengan kolektif seperti upacara tahlil, thariqat dan sebagainya. (4)
nilai keagamaan, yang dalam Islam disebut akidah Islamiyah. Nilai ini
dirumuskan dalam rukum iman yang enam, dan rukun Islam yang lima. Akidah
semacam itu sangat sakral, maka inti-inti yang tertanam dalam hak asasi dan
emosi keagamaan itu, tidak dibenarkan adanya toleransi atau campur tangan orang
lain.
H. Penutup
Pesantren Babakan
bukan pesantren tertua atau termuda. Diduga pesantren ini sudah diteliti oleh
banyak orang, tetapi informasi yang dipublikasikan sangat terbatas. Dulu
pesantren tidak diperhitungkan sama sekali oleh ilmuan di berbagai kota, bahkan
jasa pemuda-pemuda pesantren yang gugur dalam perjuaangan kemerdekaan Indonesia
pun, seperti tidak dihargai. Suatu contoh nama-nama jalan di kota-kota tidak
ada yang bernama pesantren, atau nama santri yang gugur dalam perjuangan
melawan penjajah Belanda. Nama-nama yang terpasang di berbagai kota itu adalah
nama pejabat tertentu, yang sebenarnya tidak ikut memberantas Belanda. Memang
ada nama-nama pejuang seperti Husni Tamrin di Jakarta, Mohammad. Thoha,
Mohammad Ramadlan di Bandung, dan nama-nama lain, tetapi hanya bersifat lokal,
dibandingkan dengan nama-nama tentara misalnya. Padahal semua orang tahu bahwa
tentara dibentuk oleh Presiden RI tahun 1947 yaitu setelah Belanda terusir dari
bumi Indonesia.
Ketika terjadi perang Kedongdong, perang di Garut atau perang melawan
Belanda di tempat lain, itu banyak para kiyai dan santri yang berperang, dan
tidak sedikit mereka yang gugur dalam pertempuran itu. Tetapi tidak ada ilmuan
yang tertarik untuk mengangkat penelitian sejarahnya.. Kalau kita membuka arsip
nasional di Jakarta, banyak sekali informasi yang dapat dibuat tulisan, dengan
menyebut nama-nama kiyai, dan atau santri. Tetapi informasi (arsip) yang
ditulis oleh Belanda itu hanya menguntungkan dirinya, dan atau orang yang
kooperation dengan Belanda waktu itu.. Ilmuan kita belum tertarik meneliti
sejarah seperti itu dengan teori keilmuan yang memadai. Mereka lebih senang
mengutip tulisan orang-orang Belanda yang sebenarnya semua itu bias secara
keilmuan.
Demikian tulisan ini bukan sejarah atau kronologi pesantren Babakan
Ciwaringin, tetapi cuma informasi keilmuan dan komentar yang dapat dipergunakan
untuk meneliti pesantren itu, atau untuk
meneliti pesantren pada umumnya.
Wallaahu
a’lam bi al-shawaab.
.
(5) K.H. NASHUHA
PESANTREN JATISARI PLERED CIREBON
Na
KH. Nasuha dalam keluarga
Berangkat dari sosok Kiyai Ta’rif di Pamijen
Desa Sampih Sindanglaut memiliki putera-puteri, antara lain Masrifah dan
Maisarah. Masrifah nikah dengan Kiyai Zayadi (ayah Kiyai Nasuha) dan Nyai
Maisarah nikah dengan Kiyai Shalih ibn Muta’ad (Pendiri Pesantren Benda Kerep).
Kultur dua tokoh itu sama yaitu bersikap non cooperation dengan penjajah
Belanda. Mereka lebih senang hidup di kampung untuk membina umat, dari pada
hidup di kota yang selalu diawasi oleh penjajah Belanda. Pernikahan Kiyai
Zayadi dengan Nyai Masrifah melahirkan lima orang anak, yaitu Maimunah, Nashuha,
Isma’il, Abdul Mannan dan Bunyamin. Semua tidak diketahui tanggal lahirannya,
tetapi ada informasi bahwa umur Nasuha kurang dari enam puluh tiga tahun dan
adik-adiknya berumur lebih dari enam puluh tiga tahun, bahkan Abdul Manan
(putera ke empat) berumur lebih dari tujuh puluh tahun. Nasuha wafat sebelum
tahun 1930 M. Isma’il wafat sesudah tahun 1930, Bunyamin wafat tahun1942
dan Abdul Manan wafat tahun 1950 an M.
Setelah putera-puteri itu dewasa, Kiyai
Zayadi menikah lagi dengan Nyai Asri dari Losari dan tinggal di Losari. Setelah
wafat Kiyai Zayadi dimakamkan di Desa Asem Sindanglaut. Dari pernikahan itu
lahir lima orang putera-puteri lagi yaitu Maulani, Syarif, Fathimah, Madinah,
dan Rouhilah. Dengan demikian Nasuha bersaudara lima orang, dan saudara seayah
saja lima orang lagi.
Putera-puteri Kiyai Zayadi juga
berkeluarga. Maimunah menikah dengan Sufya (Yusuf Yahya, seorang habib dari
Majalengka). Pernikahan itu melahirkan tujuh putera-puteri, yaitu Muhammad,
Karimah, Hanifah (Gelang), Hasanah, Zainah (Jikeng), Junaidi dan Kufah.
Nashuha menikah dengan Aminah, dan dari
pernikahan itu lahir tiga putera dan tiga puteri, yaitu Halimah (Istri Kiyai
Muhammad ibn Yusuf Yahya), Salamah, Khalil, Abdul Hafizh, Zuhrah, Raudlah dan
Abdurrasyid (w). Nasuha nikah juga dengan Muri’ah bint Abdul-Qahhar, tetapi
masih muda, maka istri yang melahirkan pertama adalah Aminah. Kemudian Muri’ah
melahirkan empat orang anak, yaitu Ahmad Jawahir, Harmalah, Muslimah, dan
Abdul-Muiz (ayah Ahmad Chozin /penulis artikel ini). Setelah usia lima puluhan
tahun, Kiyai Nasuha menikah lagi dengan Nyai Sa’idah dari Kalitengah, tetapi
dia wafat mendahului Kiyai Nasuha, dan tidak memiliki putera/puteri. Dengan
demikian Kiyai Nasuha memiliki putera-puteri sebelas orang dari dua istri saja.
Isma’il menikah dengan Rahmah bint Buyut
Talang (KH.Abdullah Faqih) berputera dua orang puteri, yaitu Qana’ah dan
Hannah. Qanaah menikah dengan Junaidi ibn Yusuf Yahya (tidak punya putera) dan
Hannah menikah dengan Ahmad Jawahir ibn Nasuha. Dari pernikahan itu Kiyai
Isma’il memiliki banyak cucu yang sekarang menjadi penerus pesantren Kiyai
Isma’il.
Abdul Mannan menikah dengan Ny. Sa’diyah
bint K.H. Ilyas dan tidak berketurunan, tetapi dia memelihara Abdul-Hafizh ibn
Nashuha yang kemudian dinikahkan dengan keponakan Ny. Sa’diyah.
Bunyamin beristri pertama Ny. Jauharah
bint Amin ibn Yusuf Wotbogor Indramayu. Amin adalah menantu Kiyai Shalih Benda
Kerep. Pernikahan Bunyamin dengan Jauharah memiliki lima putera yaitu Amnah,
Fanani, Abdul-Hannan, Abdullah dan Abdul Mughni. Setelah Nyai Jauharah wafat
Bunyamin nikah lagi dengan adik istri (turun ranjang) bernama Sumaimah bint
Amin Yusuf, dan tinggal di Penggung dekat lapangan udata Cirebon. Dari
pernikahan itu lahir Qanaah, Maziyah (Fathimah), Abdul Karim, Abdul Aziz (w),
Abdurrahman (w) Anah, dan Fathurrahman.
Nashuha dalam
perkembangan
Kehidupan Nashuha bersama
saudara-saudaranya sangat sederhana terutama setelah Kiyai Zayadi menikah lagi
dan bertempat tinggal di Losari. Tidak lama kemudian Nashuha pergi belajar di
Pesantren di Pekalongan, ada yang bercerita di Kenayagan ada yang cerita di
Kertijayan. Kehidupan di Pesantren itu, Nashuha banyak dibantu oleh
Abdul-Qahhar (calon mertua) dari Desa Panembahan Weru, seorang pedagang yang
memiliki kekayaan di Bandung. Tidak ada penjelasan bahwa Nasuha belajar lagi di
pesantren lain. Informasi yang ada hanya cerita bahwa Nasuha belajar di
pesantren selama belasan tahun.
Nashuha menikah dengan Muri’ah bint
Abdul-Qahar yang waktu itu masih kecil, sehingga Nasuha sempat menjalankan
ibadah haji dan tinggal di Makkah beberapa bulan. Sepulangnya dari
Makkah-Madinah, Nasuha mendapat nama Haji Anwar. Tetapi sampai wafat, nama itu
tidak dikenal. Berbeda dengan adiknya, Isma’il ibn Zayadi yang beberapa bulan
di Makkah sempat berguru kepada al-Sayyid Abu Bakar ibn Muhammad Syatha
al-Dimyathi al-Makki. Setelah pulang dan mukim di daerah Cirebon, K.H. Nasuha
dan K.H/ Ismail bergumul akrab dengan Kiyai Thalhah Kalisapu, pengembang
Thariqat Qadiriyah Naqsayabandiyah. Dulu thariqat yang berkembang di
Cirebon cuma Syathariyah, kemudian disusul Thariqat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah sehingga akhirnya thariqat mu’tabarah di
Cirebon mulai banyak dan bervariasi.
Dalam sejarahnya, Kiyai Nasuha (kakak)
mengembangkan pesantren di Jatisari Plered hanya mengajarkan al-Quran dan kitab
klasik saja, sedangkan Kiyai Ismail (adik) di Cipeujuh di samping mengajarkan
kitab klasik, juga mengembangkan thariqat Qadiriyah-Naqsyabadiah. Berangkat
dari itu, pesantren Kiyai Nasuha menjadi besar dengan warna Kitab Klasik saja,
sedang pesantren Kiyai Ismail menjadi besar di samping mengajarkan al-Quran dan
kitab klasik, juga mengembangkan Thariqat Qadiriyah dan wirid shalawat yang
dilembagakan. Karena tambahan itu Kiyai Isma’il dapat disebut mursyid
sebuah thariqat. Berangkat dari itu, pesantren Kiyai Ismail dikerumuni oleh
kaum muslimin dari berbagai daerah. Mereka bukan santri pelajar al-Quran dan
kitab kuning saja, tetapi untuk ijazah thariqat dan membaca shalawat. Sejak itu
Kiyai Ismail menerima tamu yang berbeda-beda, dan dilayani oleh orang yang
berbeda-beda pula. Pelajaran al-Quran diasuh oleh Kiyah Ahmad Jawahir ibn
Nasuha (menantu) pelajaran kitab klasik diasuh oleh Kiyai Ubaid, suami Nyai
Anah bint Maimunah Yusuf Yahya, dan ijazah thariqat dilayani oleh Kiyai Isma’il
sendiri.
Profil
Kiyai Nashuha
Kiyai Nasuha berbadan kurus, lemah fisik, dan
tidak berbadan seperti olahragawan. Dilihat dari sudut lain, badan itu tampak
sederhana seperti orang yang selalu melakukan riyadlah. Meskipun begitu,
badan Kiyai Nasuha bersih, wajah bersinar dan kelihatan seperti orang yang
tenang penuh optimis dan tidak mengeluh. Menurut pembantu Kiyai Nasuha yang
hidup sampai tahun enam puluhan berkata, bahwa: Jika hendak gilir ke istri
ketiga, Kiyai Nasuha berjalan kaki dari Jatisari ke Kalitengah sekitar satu
setengah kilo meter, lambat dan melangkah sabar sekali.
Jika
menjadi imam shalat jum’at atau shalat maktubah pada umumnya, Kiyai Nasuha
tampak berwibawa. Ketika shalat jum’ah atau shalat jama’ah bersama santri,
Kiyai Nasuha membaca surat al-Quran yang pendek-pendek. Surat yang sering
dibaca dalam shalat Jumu’ah, sesudah surat al-Fatihah, adalah Surat al-Dhuha
dan Surat al-Syarh. Begitu juga jika shalat maktubah, Kiyai Nasuha membaca
surat al-Falaq dan al-Nas atau surat al-Ma’un dan al-Kautsar untuk shalat
Maghrib. Tetapi jika melaksanakan shalat sendiri terutama di waktu malam,
shalat Kiyai Nasuha panjang sekali dan waktunya tidak bisa ditunggu.
Dilihat dari profesinya, Kiyai Nasuha
menekuni pekerjaan yang didasarkan pada beberapa keahlian antara lain mahir
membaca dan menguasai isi kitab-kitab klasik. Begitu itu menimbulkan kharisma
tersendiri yang siap memasuki lapangan profesi sebagai pengasuh pesantren.
Dengan kata lain Kiyai Nasuha dapat dinilai sebagai kiyai profesional, yaitu
tokoh yang menekuni suatu pekerjaan berdasarkan kemampuan, keahlian, dan teknik
pengajaran kitab-kitab klasik.
Secara
keilmuan, Kiyai Nasuha adalah guru (al-ustaz atau al-syaikh) yang mampu
mengelola kitab klasik yang diterapkan pada anak didik (santri). Penerapan
kitab-kitab tadi dilakukan melalui tahapan yang sejalan dengan usia dan
kemampuan santri, baik mereka itu sudah mengkhatamkan al-Quran, atau sedang
mempelajari untuk dikhatamkan. Banyak santri yang belajar membaca al-Quran
digabung dengan mempelajari kitab-kitab klasik. Kitab-kitab yang diajarkan
waktu itu, antara lain tentang akidah, fiqih, dan sentuhan ilmu tasawuf. Semua
kitab-kitab itu sudah dikuasai oleh Kiyai Nasuha dan disiapkan untuk dituangkan
pada santri secara korikuler.
Secara ekonomis, Kiyai Nasuha adalah
petani yang penuh tawakkal pada Allah, dan bukan petani profesional. Kehidupan
umat waktu itu sangat sederhana dan tidak banyak keperluan seperti kehidupan
sekarang. Sawah milik, sebagai hasil warisan dari Nyai Sa’idah Kalitengah juga
banyak dikelola oleh orang lain dengan cara bagi hasil. Tanah Jatisari yang
ditempati bersama keluarga dan pondok pesantren adalah tanah pemberian dari
Haji Abdul Ghani Kanggraksan melalui Haji Ali. Dengan kata lain Kiyai Nasuha
adalah tokoh yang menjalani kehidupan yang sangat sederhana.
Dari
segi profil, Kiyai Nasuha memiliki kepribadian yang mantap, stabil, arif dan
berwibawa, serta berakhlak karimah, sehingga wajar ia menjadi teladan bagi
santri. Berangkat dari konsep itu, Kiyai Nasuha memiliki sikap kepribadian yang
mantap dan meyakinkan, sehingga dibuatnya sebagai sumber inspirasi bagi santri,
terutama mereka yang belajar bertahun-tahun di tempat itu. Dari segi lain,
Kiyai Nasuha menguasai materi yang ada dalam kitab-kitab yang diajarkan kepada
santri. Kitab-kitab tentang akidah antara lain Qathr al-Ghats, Tijan
al-Darari, Syarah al-Sanusiah dan Kifayat al-Awam. Kitab-kitab fiqh
yang diajarkan antara lain Safinat al-Najat, Sullam al-Taufiq, Fath
al-Qarib dan Fath al-Mi’in. Di belakang kitab Fathul Mu’in
ada qashidah tentang tasawuf bernama Azkiya, yang ditulis oleh Zainuddin
ibn Abdul Aziz kakek penulis Fathul Mu’in. Qashidah itu membahas
thariqat yang menyentuh tasawwuf. Dengan demikian, inti belajar kitab di
pesantren Kiyai Nasuha adalah akidah, fiqh dan dasar tasawuf. Dalam tempat
lain, ada santri yang mengajukan sorogan kitab al-Ajurumiyah, dan oleh
Kiyai Nasuha juga dilayani. Secara keilmuan, kitab-kitab yang diajarkan oleh
Kiyai Nasuha waktu itu, sederhana sekali jika dibandingkan dengan pesantren
yang berkembang setelah Indonesia merdeka. Pengajian kitab-kitab yang sederhana
itu kemudian diamalkan oleh K.H. Amin sepuh di pesantren Babakan Ciwaringin
Cirebon. Bedanya, kalau Kiyai Nasuha (guru) mengajarkan kitab-kitab itu dengan
metoda sorogan, sedangkan Kiyai Amin (murid) mengajarkan kitab-kitab itu dengan
metoda bandongan.
Metoda sorogan atau talaqqi (istilah yang biasa dipergunakan oleh
beberapa ulama di masjid Al-Azhar Kairo) adalah cara belajar santri (murid)
menghadap guru satu persatu untuk menerima pelajaran dari satu kitab tertentu.
Metoda sorogan di pesantren, biasanya santri membaca ulang satu materi kitab
yang sudah dibacakan oleh kiyai lengkap dengan lafaz makna sesuai kemapuan santri.
Bagi santri yang rajin, cepat selesai menguasai isi kitab itu, sementara santri
yang tidak rajin agak lama mengkhatamkan satu kitab. Kitab yang dipelajari oleh
santri lelaki biasanya menggunakan kitab klasik yang belum diberi makna (kitab
kosong). Sedangkan kitab klasik yang diajarkan kepada santri puteri memakai
kitab yang sudah diberi makna dengan bahasa jawa, yang ditulis dengan huruf
Arab pegon. Kitab-kitab itu antara lain Safinat al-Najat, Sullam al-Taufiq
dan Bafadlal (Minhaj al-Qawim). Selain itu santri puteri ada yang
mempelajari kitab-kitab fiqh bahasa Jawa yang ditulis oleh Kiyai Shalih ibn
Umar (Ndarat) Semarang.
Metoda
bandongan banyak dilakukan oleh ulama yang mengajarkan ilmu di Masjid al-Haram
di Makkah-Madinah, dan dipergunakan juga oleh sebagian ulama di pesantren di
Jawa. Tekniknya sama, yaitu kajian satu kitab dengan cara; santri atau
sekelompok santri menyimak pembacaan kitab dari guru (Kiyai atau al-Syaikh).
Kemudian santri mencatat makna kalimat yang diajarkan oleh kiyai tadi. Bedanya
kalau metoda bandongan di Makkah, santri mencatat makna dengan bahasa Arab,
sehingga bentuknya seperti hasyiyah atau ta’liqat. Sedang santri
di Jawa mencatat makna dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon. Penerapan
makna seperti itu sudah banyak dilakukan oleh para ulama sejak dari Syaikh
Datuk Kahfi di Cirebon, Sunan Ampel, Sunan Giri dan murid-muridnya. Struktur
bahasa yang dipergunakan tadi adalah pengambilan makna dari bahasa Arab menjadi
bahasa Jawa. Bentuk makna tadi tidak melepaskan struktur nahwu dan sharaf,
dengan bantuan kata-kata: utawi, iku, apa, siapa, ing, hale, apane dan
sebagainya.
Kitab-kitab yang dipelajari di pesantren,
biasanya terdiri atas kitab-kitab berbahasa Arab, yang ditulis dengan tidak
memakai syakal (fathah, kasrah dlammah, tasydid, sukun dan
sebagainya), serta tidak memakai titik, koma, dan semua tanda baca. Kitab itu
umumnya dicetak dalam kertas kuning. Kitab-kitab yang dipelajari oleh santri
biasanya kitab kosong (tidak ada makna) dan oleh kiyai diberi makna bahasa jawa
tadi. Studi model inilah salah satunya dilakukan oleh Kiyai Nasuha di pesantren
Jatisari, dan oleh beberapa kiyai pada umumnya.
Selain
pengasuh pesantren, Kiyai Nasuha juga memiliki kemampuan berkomunikasi dan
bergaul dengan masyarakat. Kiyai Nasuha juga menghadiri undangan dan hajatan
masyarakat terutama famili, tetangga, wali murid, dan masyarakat di sekitar
pesantren. Dalam hajatan itu, banyak terjadi jika Kiyai Nasuha belum hadir,
hajatan tidak berani dimulai. Fenomena itu dianggap sebagai dasar barakah, dan
Kiyai Nasuha serta pesantrennya dipandang sebagai sumber barakah untuk hajatan
itu.
Kembali kepada kitab-kitab klasik yang diajarkan oleh Kiyai Nasuha, itu
semua berisi akidah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah yang sejalan dengan
kebutuhan masyarakat. Begitu juga kitab-kitab fiqh yang diajarkan itu semua
membahas permasalahan fiqhiyah mazhab Syafi’i yang praktis, yang siap
dipraktekkan oleh masyarakat.
Pelajaran akidah yang dibawakan oleh
kitab-kitab itu adalah pemikiran Al-Asy’ari dan Al-Maturidzi yang menjelaskan
sifat-sifat Allah yang wajib diketahui oleh setiap orang. Sifat-sifat itu ada
dua puluh, yaitu wujud, qidam, baqa dan seterusnya. Begitu juga
sifat-sifat yang mustahil bagi Allah seperti Allah tidak ada, tidak
qadim, tidak kekal dan seterusnya. Semua sifat-sifat Allah baik yang wajib atau
yang mustahil bahkan sifat Allah yang jaiz itu semua diuraikan
dalam kitab-kitab itu dengan argumentasi yang filosofis. Pelajaran seperti itu
menimbulkan keyakinan (akidah) bagi santri yang mempelajari kitab. Sehubungan
konsep itu menjadi akidah bagi umat Islam Indonesia, maka sifat dua puluh
banyak dibuat nazham yang indah, dan dilagukan oleh santri untuk
menunggu imam menjelang shalat berjamaah. Lebih dari itu, banyak juga ibu-ibu
yang melagukan nazham itu untuk merayu dan menenangkan anak
asuhannya.
Selain akidah, Kiyai Nasuha juga
mengajarkan syari’at Islam yang mengatur peribadatan umat, melalui kitab-kitab
yang diprogramkan. Uraian yang terpenting dari kitab-kitab itu adalah tentang
rukun Islam yang lima, yaitu tentang shalat, zakat, puasa dan ibadah haji.
Pelajaran shalat, kitab itu menguraikan definisi shalat, syarat-syarat yang
perlu disiapkan untuk shalat, rukun dan model-model shalat, seperti wajib,
sunnah dan lain sebagainya. Begitu juga pembahasan tentang zakat, tentang puasa
dan tentang ibadah haji. Demikian itulah isi yang diuraikan oleh Safinat
al-Najat dan Bafadlal, serta kitab-kitab fiqh lainnya. Kajian itu disebut
fiqih ibadah yang mengatur peribadatan (ubudiyat) kaum muslimin. Kalau
studi itu diteruskan mengkaji Fathul Qarib atau Fathul Muin, maka
uraian fiqh ditambah lagi tentang hukum jual-beli (perdagangan) dan hal-hal
yang bertalian dengan hukum ekonomi (mu’amalat), diteruskan dengan
membahas pernikahan (munakahat) dan terakhir dua kitab itu membahas
tentang jenis-jenis pidana Islam (jinayat).
Setelah pelajaran akidah dan syariat itu selesai, santri mulai
mempelajari dasar-dasar thariqat dan tasawuf. Studi ini dimulai oleh tuntunan
kitab Sullam al-Taufiq, dan diteruskan dengan mempelajari Nazham
Adzkiya. Pelajaran itu belum menyentuh dasar-dasar tasawuf dan belum
mengajarkan suatu thariqat secara praktis. Atas dasar itu, pengajian Kiyai
Nasuha ditekankan pada pemantapan akidah Islamiyah, dan tuntunan fiqh praktis
untuk menjalankan syari’at Islam, berdasarkan Mazhab al-Syafi’i. Kajian itu
disebut dasar-dasar Islam yang fardlu ‘ain atau ajaran dasar yang wajib
diketahui oleh setiap umat Islam di Indonesia.
Pesantren Kiyai Nashuha
Belum
ada uraian lengkap tentang berdiri, kegiatan dan kelanjutan pesantren Kiayi
Nasuha. Informasi yang tercatat sebagai dasar tulisan ini, antara lain Haul
Buntet Pesantren Cirebon yang selalu menceritakan riwayat K.H. Abbas (sesepuh
Buntet). Tokoh ini belajar pada Kiyai Nasuha di Jatisari Plered Cirebon. Selain
itu, sejarah K.H. Dimyahti Pesantren Cidahu Pandegelang, yang ditulis oleh
puteranya sendiri, bahwa tokoh kharismatik ini waktu mudanya berguru kepada
K.H. Nasuha di Jatisari Plered Cirebon, dan K.H. Hasan di Sukunsari. Ketika
penulis berada di Desa Mangir Indramayu, ada cerita bahwa tokoh yang membina
keagamaan masyarakat di sini adalah murid K.H. Nasuha dari pesantren Jatisai.
Sementara cerita lisan yang terdengar pada tahun 1960-1980 adalah beberapa
nenek dan kakek dari desa-desa Kalitengah, Panembahan, Setu dan Weru, bercerita
bahwa pada masa mudanya mereka berguru (ngjaji) di pesantren Jatisari.
Fenomena yang ditemukan di Jatisari
sekarang adalah sebuah tajug (mushalla) yang tidak besar dan tidak kecil, yang
diduga bisa dipadatkan untuk shalat jamaah sampai 150 an orang. Di sebelah
selatan tajug itu ada rumah Kiyai Nasuha bersama Nyia Muri’ah, dan di sebelah
selatan timur, ada rumah Kiyai Nasuha bersama Nyai Aminah. Di tengah dua rumah
itu ada rumah besar yang dibelakangnya ada beberapa kamar. Rumah itu, dulu
ditempati oleh Nyai Halimah bint Kiyai Nasuha dan dibuatnya sebagai pesantren
puteri. Sedangkan di sebelah utara tajug, ada tanah luas yang dulu ditempati
untuk pondok pesantren putera. Bangunannya terdiri dari gubug-gubug pagar
dengan atap welit yang dibangun oleh santri sendiri, dan sekarang sudah habis
semua. Bangunan pondok tiga kamar yang ada sekarang, itu dibangun oleh keluarga
sesudah Kiyai Nasuha wafat.
Secara keilmuan, pesantren adalah lembaga pendidikan tradisonal yang ada
di Indonesia, yang hidup sampai sekarang. Pendidikan itu memiliki tradisi lisan
yang kuat (sorogan atau bandongan), juga memiliki tradisi keilmuan yang
tertulis dalam Kitab Klasik (Kitab Kuning). Dari segi lain, pesantren adalah
lembaga pembinaan kepribadian yang tumbuh dengan disertai akhlak yang mulia.
Kegiatan itu membentuk kepribadian yang memiliki niali-nilai keislaman yang
tampil dalam pola pikir, pola sikap dan perilaku yang semuanya anti penjajah
Belanda. Tokoh yang memiliki predikat seperti itu disebut kiyai yang biasa
diikuti oleh santri. Seorang kiyai lebih menonjol setelah tokoh itu sudah
melaksanakan ibadah haji, atau mukim di Makkah. Tokoh-tokoh semacam itu
kehidupan dan kegiatannya selalu dicurigai oleh pemerintah Belanda. Kecuali
orang Islam yang menyatakan dirinya kooperasi (pro) dengan penjajah Belanda,
atau beberapa penghulu yang kehidupannya dibantu oleh administrasi Belanda,
untuk mengatur keagamaan masyarakat.
Pada tahun 1810 Gubernur Jenderal
Daendels mengeluarkan aturan agar para kiyai yang akan melakukan perjalanan
dari satu tempat ke tempat lain supaya membawa surat semacam paspor. Peraturan
ini dimaksudkan agar Belanda dapat mengawasi mereka untuk tidak berbuat
kegiatan yang dianggap merugikan kepentingan penjajah Belanda.
Dari segi lain, Raffles mengakui bahwa
setiap kiyai di nusantara ini oleh penduduk dianggap sebagai orang pinter yang
memiliki kharisma yang kuat dan bernilai tinggi. Kharisma semacam itu amat
mudah dipergunakan untuk mengadakan gerakan kemasyarakatan dan dapat mengganggu
kepentingan penjajah. Pengalaman Raffles ini menunjukkan bahwa kiyai terutama
penglola pesantren pada dasarnya aktif dalam berbagai pemberontakan, yang
terkenal dengan sebutan ‘anti penjajah’.
Pada tahun 1825 Belanda mengeluarkan
resolusi yang membatasi jumlah jamaah haji dengan mengeluarkan paspor haji yang
harganya mahal sekali. Kemudian pada tahun 1852, Duymaer van Twist mencabut
resolusi itu tetapi memerintahkan semua aparat Belanda dan semua pimpinan
daerah jajahan agar mengawasi secara ketat terhadap semua kiyai, baik sudah
menjalankan ibadah haji atau akan menjalankan ibadah haji. Pada masa kondisi
semacam itulah Nasuha menuntut ilmu di luar daerah Cirebon dan mengembangkan
amal shalih. Kemudian pada tahun berikutnya, sekitar tahun 1870 an K.H. Nasuha
membangun pengajian yang sangat sederhana, dan langkah berikutnya, pengajian
itu berkembang menjadi pesantren yang didatangi oleh pemuda-pemudi dari
daerah-daerah Brebes, Cirebon, Indramayu, Krawang dan sebagainya.
Dasar
keinginan pendidikan pesantren adalah santri dapat menguasai akidah Islamiyah
dan dapat melaksanakan Syariat Islam, sebagaimana sudah diuraikan di atas.
Ucapan semacam itu kelihatan sederhana tetapi memiliki dasar filosofi yang
tinggi. Apalagi jika filosofis itu ditunjang oleh pembentukan kultur masyarakat
yang dinilai sopan, jujur, taat beragama, tidak rakus, dan hidup ber-akhlak
dalam suasana yang aman dan sejahtera. Filosofi semacam itu, dulu disebut
budaya santri.
Pesantren Kiyai Nasuha, secara keilmuan
tidak mencantumkan tujuan dan tidak menyajikan program kerja yang tertulis
jelas yang dipublikasikan pada masyarakat. Tetapi secara kemanusiaan Kiyai
Nasuha memiliki keinginan besar agar santrinya kelak menjadi pengembang agama
Islam pada masyarakat yang lebih luas. Keinginan yang secara adminstratif tidak
dipublikasikan itu bisa disebut sebagai tujuan akhir dari pesantren Kiyai Nasuha.
Karena itu segala bentuk kegiatan yang diadakan di pesantren Jatisari sejak
dari shalat maktubah berjama’ah, mengaji al-Quran, mengaji kitab kuing, baca
Barzanji, atau Burdah dan lain-lain untuk marhabanan setiap malam jumat,
itu semua diadakan di pesantren itu. Semua itu diprogramkan seperti kurikulum
pesantren, sehingga semua kegiatan itu diamalkan oleh semua santri di pesantren
itu.
Kiyai Nasuha disebut pengasuh
pesantren, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan dengan bentuk pengajaran,
pendidikan, dan bimbingan, terhadap anak didik (santri) di pesantren itu.
Pengajaran dianggap sebagai usaha yang menjadikan anak didik (santri) dari
tidak mengetahui sesuatu menjadi tahu. Berangkat dari rumah, santri belum dapat
membaca al-Quran, atau membaca dan memahami isi Kitab Kuning. Tetapi dengan
pengajaran itu santri dapat membaca al-Quran dan dapat mengetahui beberapa
masalah agama yang dibutuhkan.
Pendidikan Kiyai Nasuha adalah pengarahan atau penunjukkan terhadap anak
didik (santri) berangkat dari kegelapan akidah Islamiyah dan kebodohan syari’at
Islamiyah, menuju kecerahan dan pengertahuan. Pendidikan ini meliputi beberapa
hal yang memperluas pengetahuan anak didik, baik untuk dirinya sendiri atau
untuk memperluas cakrawala yang dikembangkan pada masyarakat.
Bimbingan Kiyai Nasuha sering
berbentuk nasihat dan suatu ketika berbentuk tuntunan tingkah laku.
Maksudnya untuk membantu kehidupan santri agar dapat menjalankan ibadah kepada
Allah, dan melakukan akhlak yang mulia untuk bergaul dengan sesama dan
masyarakat. Meskipun begitu bimbingan di pesantren memerlukan keahlian
tersendiri, karena menghadapi anak didik bervariasi dari santri pemula yang
belajar membaca al-Quran, sampai mereka yang sudah lama belajar kitab. Prinsip
dasarnya adalah sama yaitu kasih sayang kepada anak didik, menghargai
kepribadian, dan memonitor perkembangan anak didik menuju cita-cita.
Kiyai Nasuha memahami penampilan santri
yang datang untuk mencari ilmu di pesantren itu. Kebanyakan mereka adalah
putera-puteri petani yang orang tuanya penglola sawah. Para santri banyak yang
datang pada musim panen, dan banyak yang pulang pada musim hujan. Sawah pada
masa itu hanya ditaman padi satu kali, dan sebagian petani ada yang menanam
palawija. Pertanian waktu itu sangat subur sehingga kehidupan petani makmur dan
sejahtera. Meskipun begitu, budaya petani tidak bisa dilupakan oleh masyarakat,
yaitu bergembira di musim panen dan bekerja keras di musim hujan.
Kiyai Nasuha memperhatikan santri yang
datang kebanyakan berumur 13 tahun keatas sampai ada yang berumur 25 tahun.
Mereka belajar di pesantren itu sampai ada yang mukim 6 atau 7 tahun bahkan ada
yang betah sampai lebih dari tahun itu, terutama mereka yang datang sejak umur
muda. Melihat fenomena itu, Kiyai Nasuha memahami tingkah laku dan cara
berfikir mereka, sehingga penerapan pelajaran pun disesuaikan pula dengan
keadaan mereka. Model ini hampir sama dengan penglolaan pesantren di
Pekalongan, ketika Kiyai Nasuha menjadi santri.
Pada dasarnya, semua santri secara
kodrati memerlukan pendidikan dan bimbingan dari Kiyai dan dari santri senior
bagi santri pemula. Semua itu memiliki potensi yang satu sama lain berbeda,
sehingga perlu dikembangkan dengan cara yang berbeda-beda pula. Meskipun begitu
semua santri memiliki watak yang sama, yaitu menghendaki kehidupan
bermasyarakat mejadi baik. Dalam kehidupan itu semua santri memerlukan
pengembangan yang timbul dari hubungan timbal balik antar sesama santri dan
saling mempengaruhi satu pengalaman dengan pengalaman yang lain. Dengan
demikian, pesantren adalah salah satu model upaya transformasi dan transmisi
nilai sosial dengan budaya masyarakat pada generasi berikutnya.
Kurikulum dan metodologi yang
diterapkan di pesantren K.H. Nasuha Jatisari sangat sederhana, sebagaimana
sudah diceritakan di atas. Akan tetapi daya keberhasilan belajar di pesantren
Jatisari tadi cukup baik karena ditunjang oleh beberapa faktor, terutama
lingkungan. Jatisari adalah kampung sederhana yang terletak di sebelah utara
jalan raya (Cirebon-Bandung) sekitar 300 meter. Di antara jalan raya dan
kampung itu ada beberapa kebun dan perumahan masyarakat. Pesantren dibangun di
atas tanah itu, yang keadaanya subur dan lingkungan penduduknya rukun, damai,
dan familier. Di sebelah barat pesantren adalah perumahan masyarakat, di
sebelah utara pesantren adalah kebun dan dulu banyak tanah kosong, di sebelah
timur pesantren dulu sawah, dan di sebelah selatan adalah perumahan kiyai.
Masyarakat yang ada di sekitar pesantren umumnya orang awam yang sangat
menghargai kehidupan santri. Berkat itu banyak santri yang merasa betah belajar
di pesantren itu. Selain itu, keamanan di pesantren baik sekali, sehingga jika
santri melaksanakan shalat jum’ah di masjid yang jaraknya sekitar 300 meter,
semua kekayaan santri ditinggalkan di gubug-gubug pesantren, tetapi keadaan aman meskipun itu ditinggalkan sampai
beberapa jam.
Kesuburan tanah Jatisari waktu itu
iklimnya menyenangkan dan udaranya bagus. Kesuburan tanahnya membuat sumur yang
digali untuk santri dan masyarakat subur sekali dan tidak pernah kering
meskipun pada musim kemarau. Pohon-pohon di sekitar pesantren subur dan hijau
royo-royo, menjadikan santri betah hidup di daerah itu. Begitulah gambaran
singkat tentang pesantren Jatisari yang dibangun oleh Kiyai Nasuha, dengan
bantuan masyarakat.
P e n u t
u p
Pesantren Jatisari subur dan populer di
kalangan masyarakat, selama empat puluh tahunan, sebelum dan sesulah Kiyai
Nasuha wafat, yaitu tahun 1910-1930 dan beberapa tahun sesudahnya. Pada waktu
pesantren Jatisari diasuh oleh Kiyai Muhamad (menantu Kiyai Nasuha), dan
pesantren puteri diasuh oleh Nyai Halimah bint Kiyai Nasuha, suasana pesantren
masih ramai. Waktu itu kewibawaan pesantren masih besar tergambar jika bulan
puasa, masyarakat di Jatisari dan sekitarnya tidak berani membuka puasa sebelum
kentongan Jatisari berbunyi. Meskipun begitu pesantren Jatisari yang diasuh
oleh Kiyai Muhammad mulai berkurang, dan banyak santri putera yang meninggalkan
Jatisari untuk belajar di tempat lain. Setelah Kiyai Muhammad wafat, pesantren
Jatisari diasuh oleh Kiyai Khalil ibn Nasuha, dan keadaan pesantren lebih sepi
lagi, sehingga dapat disebut bahwa itu “awal gulung tikar”. Sementara santri
puteri yang diasuh oleh Nyai Zainah bint Muhammad masih ramai, tetapi setelah Nyai Zainah wafat
santri puteri juga mulai bubar. Dengan demikian pesantren Jatisari sekarang
hanya dikenal nama dalam suatu sejarah kecil, dan tidak bisa disebut sebagai
pondok pesantren idola bagi umat. Penghuni rumah-rumah Kiyai Nasuha sekarang
hanya ada cucu dan cicit Kiyai Nasuha dari anak-anak perempuan. Wallahu
a’lam bi al-shawab.
(Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam
Fahmina, Cirebon).
Wallahu a’lam bi al-shawab.
(6)
SEJARAH SINGKAT BUNTET PESANTREN CIREBON
Raden Abdul Hadi seorang pemuda
keturunan sultan Cirebon menikah dengan Ratu Randulawang Anjasmoro dari
Kerangkeng. Pernikahan itu menurunkan empat orang putera, yaitu Muqayyim,
Ismail, Yahya, dan Nyai Alfan. Mereka semua ulama kharismatik dan aktif
mengembangkan ilmu Agama Islam. Kiyai Muqayyim kelak mendirikan Pesantren di
Buntet Mertapada, Kiyai Ismail mendirikan Pesantren di Pesawahan Sindanglaut,
dan Nyai Alfan dinikah oleh Kiyai Ardi Sela. Tokoh ini terkenal digjaya yang
banyak membantu aktifitas Kiyai Muqayyim, dan keturunannya banyak yang
mengelola pesantren Buntet. Sedang Yahya tidak banyak diceritakan.
Dalam satu cerita, Muqayyim lahir tahun 1770 dan dididik
oleh ayahanya sampai menjadi pemuda yang menguasai ilmu agama. Di samping itu,
dia banyak membaca
kitab-kitab
Arab pegon tulisan para wali yang ada di Keraton, sehingga dia menjadi ilmuan
agama dan menguasai teknik pengembangan Agama. Karena kepinteran itulah Kiyai
Muqayyim diangkat menjadi penasehat ilmu agama bagi Sultan Khairuddin I (Sultan
Kanoman). Kiyai Muqayyim sangat berpihak pada kepentingan rakyat, dan tidak
berfikir untuk membantu penjajah Belanda (non cooperation). Melihat gelagat
seperti itu Belanda curiga atas aktifitas Kiyai Muqayyim. Maka melihat
kecurigaan itu Kiyai Muqayyim keluar dari istana dan mencari tempat untuk
membangun pesantren, dan Buntet itulah tempatnya.
Setelah Belanda mengetahui Kiyai Muqayyim
menghimpun pemuda (santri) dan dibina di Buntet, Belanda berusaha untuk
membubarkan himpunan itu dengan senjata, sehingga beberapa santri
meninggal.Sebelum itu Kiyai Muqayyim dan beberapa santri sudah meninggalkan
Buntet menuju Pesawahan Sindanglaut. Di Pesawahan itulah Kiyai Ismail ibn Abdul
Hadi (adik Kiyai Muqayyim) sedang merintis pesantren, dan perencanaan itu
didukung oleh Kiyai Ardi Sela. Rencana itu kemudian diketahui juga oleh Belanda
sehingga tiga tokoh bersaudara itu harus bertahan dan membela diri.
Alhamdulillah, Allah melindungi mereka selamat dari rekayasa Belanda dan mereka
berhasil membangun sebuah pesantren.
Langkah berikutnya, Kiyai Ismail tetap di
Pesawahan, Kiyai Muqayyim dan Kiyai Ardi Sela berangkat ke Tuk Sindanglaut dan
mengadakan aktifitas seperti biasa. Belanda juga mengetahui aktifitas Kiyai
Muqayyim di Tuk, maka atas anjuran Kiyai Ardi Sela agar Kiyai Muqayyim pindah
tempat dan menyamar sebagai rakyat biasa, dengan meninggalkan daerah Cirebon.
Kiyai Muqayyim berangkat ke Pemalang dan tinggal di rumah Kiyai Abdussalam,
seorang Lebe di Desa Beji. Tokoh ini kelak akan menjadi penggerak pemuda
(santri) di daerah Pemalang untuk mengikuti perang Diponegoro tahun 1825-1830.
Sebelum terjadinya perang itu Kiyai Muqayyim sudah banyak cerita kepada Kiyai
Abdussalam tentang kekejaman Belanda di Cirebon, terutama kepada ulama dan
santri. Kiyai Muqayyim tinggal di Pemalang
beberapa tahun, sampai masyarakat tahu bahwa Kiyai Muqayyim adalah seorang
ulama yang memiliki kharisma yang besar. Dalam waktu yang tidak lama, penguasa
Belanda di Cirebon mengambil langkah yang lunak dan memasang startegi yang
seolah-olah Belanda bersahabat dengan kiyai. Atas dasar itu Belanda
mempersilahkan Pangeran Santri alias Pengeran Muhammad ibn Pangeran Khairuddin
untuk pulang dari pengasingannya di Ambon. Begitu juga Kiyai Muqayyim bisa
pulang dari Pemalang, ketika penyakit tha’un melanda masyarakat Cirebon. Waktu
itu Kiyai Muqayyim mengajarkan dua buah syair penolak penyakit tha’un (kolera)
dan akhirnya dua syair itu banyak dibaca oleh santri menjelang shalat
berjama’ah. Mendengar akan kedatangan Kiyai Muqayyim di Cirebon lagi, santri
dan pengamal thariqat Syathariyah semakin senang. Sesampainya di Buntet
Pesantren, Kiyai Muqayyim banyak mengadakan riyadlah mengamalkan
Thariqat Syathariyah bersama masyarakat. Ibadah Kiyai Muqayyim tekun sekali dan
banyak taqarrub ilaa Allah. Dalam waktu yang tidak lama, yaitu di tahun
1802-1806 Kiyai Muqayyim mendengar pemberontakan santri yang disebut Perang
Kedongdong. Medan perang itu berlokasi di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan
sebelah barat-utara Pesantren Babakan Ciwaringin. Para santri yang ada di
pesantren daerah Cirebon, Majalengka, Indramayu dan sekitarnya ikut bertempur
dalam perang itu. Kadang-kadang perang pada siang hari dan kadang-kadang malam.
Dalam pertempuran itu, hizib, wirid dan semua kedigjayaan santri
dikerahkan. Dalam pertempuran yang dahsyat itu, pihak Belanda mengalami
kekalahan dan kerugian besar sekali, banyak tentara Belanda yang mati terutama
ketika diserang oleh santri di malam hari. Selain banyak kematian,
pabrik-pabrik gula Belanda di daerah-daerah Cirebon sebelah timur sampai
Kadipaten juga berhenti dan tidak berproduksi. Usia Kiyai Muqayyim waktu itu
sudah 62-66 tahun. Akan tetapi semangatnya besar sekali sehingga semua santri
dan pengamal thariqat yang dibimbingnya dikerahkan untuk memenangkan santri
dalam perang itu. Secara realitas, kemenangan dalam perang lokal itu ada di
pihak santri. Tetapi di belakang kemenangan itu santri tidak menindak lanjuti,
dan para kiyai kembali ke kegiatan semula. Melihat keadaan itu semua
administrasi pemerintahan kita tetap dipegang oleh penjajah Belanda. Tidak lama
kemudian Kiyai Muqayyim wafat dan dikuburkan di Desa Tuk Sindanglaut,
berdekatan dengan kuburan Kiyai Ardi Sela.
Kiyai Muqayyim meninggalkan lima orang
putera-puteri, yaitu Kiyai Muhajir, Nyai Sungeb, Nyi Raisah, Nyai Thayyibah,
dan Nyai Khalifah. Semua tidak dapat diceritakan dengan leluasa tetapi ada
riwayat singkat, bahwa Nyai Khalifah memiliki puteri bernama Nyai Aisyah. Tokoh
ini awalnya dinikah oleh Kiyai Jalalain ibn Muhammad Imam ibn Ardi Sela.
(pernikahan tunggal buyut). Tetapi tidak memiliki putera. Kiyai Jalalain
menikah lagi dengan Nyai Sharfiyah, dan dari pernikahan itu, lahir Kiyai
Anwaruddin (Ki Kriyan), Kiyai Kilir, Kiyai Abror, dan Kiyai Muntaha.
Aisyah bint Khalifah bint Muqayyim nikah lagi dengan Raden Muta’ad (1785-1852) ibn Raden Muhammad Muridin ibn
Nashruddin, ibn Ali Pasya (Sultan Gebang) keturunan Sunan Gunung Jati. Dari
perniakahan itu lahir sepuluh putera puteri, antara lain Nyai Rohilah (istri Ki
Kriyan), Kiyai Shalih Zamzami (pendiri Pesantren Benda-kerep), dan Kiyai Abdul
Jamil (penerus kiyai Buntet Pesantren). Tiga tokoh besar itu memiliki aktifitas
yang berbeda, tetapi memiliki maksud yang sama yaitu membina masyarakat dan
mengembangkan agama Islam. Cerita singkat tiga tokoh itu adalah :
1.
Kiyai Kriyan. Tokoh menantu Kiyai Muta’ad ini masa kecilnya mengaji al-Quran
dan belajar agama dari orang-orang tuanya. Setelah dewasa dia pergi ke
pesan-tren di Kaliwungu Semarang, belajar ilmu kepada Kiyai Asy’ari. Setelah
pulang, Kiyai Kriyan diangkat menjadi penghulu kesultanan Cirebon dan bersama
keluarga tinggal di Keraton. Kiyai Kriyan bukan hanya ilmuan besar, tetapi juga
seorang shufi pengamal Thariqat Syatahriyah. Meskipun dia tinggal di Keraton
yang mewah tetapi dia seorang zahid, wira’i, tawakkal, ridla, tekun beribadah
dan banyak riyadlah untuk taqarrub ila Allah. Melihat fenomena
itu, beberapa santri berpendapat bahwa Kiyai Kriyan adalah wali. Ma’unat
yang dimiliki terkadang oleh santri disebut karamah. Antara lain,
Belanda tidak menaruh curiga pada aktifitas Kiyai Kriyan, tidak seperti kecurigaan mereka pada Kiyai Muqayyim dulu.
Keadaan itu menjadikan Kiyai Kriyan bebas keluar-masuk Buntet Pesantren dan
memberikan bimbingan sepuas-puasnya.
2.
Kiyai Shalih. Ulama dan pendiri pesantren Bendakerep ini adalah tokoh yang
berfikir simpel, menuntun santri agar berakhlak karimah, dan mengajarkan ilmu
agama yang sangat sederhana. Selain mengajarkan bacaan al-Quran, pesantren
ini mengajarkan juga beberapa kitab
kuning yang kecil-kecil, dan oleh gurunya agar isi kitab itu diamalkan. Sejak
dulu sampai sekarang pesantren ini tidak mau membuka madrasah atau sekolah.
Selain itu beberapa tokoh mereka, melarang mengamalkan agama dicampur dengan
teknologi ciptaan manusia.Atas dasar itu banyak sekali tokoh mereka yang
melarang menggunakan ‘pengeras suara’ untuk khutbah Jum’at. Dalam satu riwayat
tokoh ini pengamal Thariqat Syathariyah seperti Kiyai Muqayyim Kiyai Muta’ad,
Kiyai Kriyan, dan ulama besar lainnya. Dalam satu riwayat, thariqat itu
diturunkan kepada anak cucu. Ketika mendengar keturunan saudara kandungnya ada
yang mengamalkan Thariqat Tijaniyah, maka pesantren Bendakerep berreaksi keras
menolak thariqat itu, sampai terjadi gondok-gontokan, terutama dibawakan oleh
Yai Zaini bin Muslim bin Shalih. Dari segi lain, Pesantren Bendakerep meskipun
letaknya dekat dengan kota Cirebon, tetapi dulu lokasinya susah ditempuh oleh
kendaraan. Kampung itu sunyi sekali, tetapi tenang bagi santri yang mencari
ilmu. Belanda juga mengetahui kegiatan di pesantren itu, dan ingin membubarkan.
Tetapi strategi mereka berubah menghadapi kiyai dengan cara sopan santun,
tetapi menipu dan menerapkan adu domba. Pembesar Belanda, antara lain Residen
Cirebon bernama Van der Plas sering bertemu Kiyai Shalih dan bicara untuk
membujuk, agar Kiyai tidak perlu menghimpun dunia, karena dunia adalah bagaikan
bangkai yang diburu oleh anjing. Ulama yang sukses adalah mereka yang hidup di
lereng gunung, dan kampung yang jauh dari komunitas umat. Kiyai pasti teringat
bahwa Nabi Musa AS. bermunajat dan mendengar kalam Allah di atas gunung Sinai.
Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu dari Allah di Guwa Hira di atas gunung, dan
banyak lagi model cerita-cerita keagamaan, yang sasarannya adalah tipu muslihat
agar kiyai pasif dan tidak mengarahkan santri untuk menyerang penjajah. Maksud
mereka agar tokoh bangsa kita tidak tertarik untuk mengelola negerinya sendiri.
Kalau ada kiyai yang hendak bergerak, dan menampakkan kebenciannya kepada
Belanda, maka mereka didatangi dengan sopan santun, untuk dilunakkan hatinya.
3.
Kiyai Abdul Jamil. Tokoh ini lahir tahun 1842 di Buntet Pesantren. Adik kandung
Kiyai Shalih Bendakerep ini pada masa kecil belajar ilmu agama pada ulama yang
ada di Buntet. Setelah dewasa dia belajar ilmu fiqih pada Kiyai Murtadlo di
Pesantren Mayong Jepara, dan belajar ilmu tauhid pada Kiyai Ubaidah di Tegal.
Setelah menjadi pemuda, Abdul Jamil berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah
haji dan mencari ilmu. Waktu itu, perjalanan dari nusantara ke Makkah dan
sebaliknya sudah mudah, karena mulai tahun 1869 terusan Suez dibuka. Kapal Api
milik Belanda yang membawa hasil bumi, gula, dan rempah-rempah dari kepulauan
nusantara ke Eropa berjalan terus, paling tidak tiga atau empat kali dalam satu
tahun. Perjalanan kapal selalu mampir di Pulabuhan Jeddah untuk mengisi air dan
keperluan lain. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan beberapa
pemuda untuk ibadah haji atau untuk muqim mencari ilmu di Makkah/Madinah atau
di Mesir. Ada dugaan keras bahwa Abdul Jamil muqim di Makkah beberapa bulan
atau beberapa tahun itu, bertemu dan bergaul dengan Nasuha ibn Zayadi (pendiri
pesantren Jatisari Plered) dan adiknya, Isma’il ibn Zayadi (pendiri pesantren
Cipeujeuh Sindanglaut). Pada waktu itu halaqah di Masjid al-Haram yang
banyak dikerumuni oleh muqimin dari Jawa adalah pengajian Sayyid Abu Bakar ibn
Muhammad Syatha al-Dimyathi.
Setelah pulang, K.H.Abdul Jamil yang berusia 30 an dinikahkan dengan
putri Kiyai Kriyan yang bernama
Sa’diyah, dan tinggal di kompleks Kraton. Karena puteri ini masih kecil, maka
K.H. Abdul Jamil dinikahkan lagi dengan Qari’ah bint K.H. Syathari (penghulu
landrat Cirebon). Pernikahan K.H. Abdul Jamil dengan Qariah melahirkan 4
putera, yaitu Abbas, Akyas, Anas dan Ilyas, dan 4 puteri yaitu Yaqut, Mu’minah,
Nadlrah, dan Zamrud. Sedang pernikahannya dengan Sa’diyah bint Kiyai Kriyan,
K.H. Abdul Jamil melahirkan 5 putra, yaitu Syakirah, Mundah, Ahmad Zahid (ayah
K.H. Izzuddin Buntet), Nyai Enci dan Halimah.
Dalam sejarahnya, Buntet Pesantren mengalami perkembangan yang
berliku-liku dari zaman Kiyai Muqayyim sampai zaman kemerekaan. Kiyai Muqayyim
adalah pendiri pesantren, tetapi tidak selamanya tinggal di Buntet, karena
dikejar-kejar oleh Belanda. Meskipun Kiyai Muqayyim wafat di Buntet, tetapi
lembaga ini mengalami fatrah yang lama. Apalagi putera pertama Kiyai Muqayyim
sendiri yang bernama Raden Muhajir tidak diketahui ceritanya. Maka Buntet
Pesantren perkembangannya ditata ulang oleh Kiyai Muta’ad (w. 1852) ibn Muridin
ibn Ali Basya (Pangeran Gebang). Sehubungan Raden Muta’ad menikah dengan Nyai
Aisyah bint Khalifah bint Muqayyim, maka dia termasuk keluarga besar Buntet
Pesantren. Program Kiyai Muta’ad selain pengamalan Thariqat Syatahriyah juga
membentuk majlis ta’lim. Dalam majlis itu Kiyai Muta’ad mengajarkan membaca
al-Quran, dan mempelajari beberapa masalah fiqhiyah. Pada waktu itu, baik ayat
al-Quran atau masalah-masalah fiqhiyah selalu diajarkan dengan memakai tulisan
tangan. Begitu itu karena cetakan al-Quran atau kitab agama belum banyak
beredar di Cirebon. Padahal dalam catatan sejarah, Ibrahim Mutafarriqa di Turki
sudah mencetak al-Quran dan beberapa kitab klasik (kitab kuning) sekitar tahun
1720 an. Begitu juga pemerintahan Muhammad Ali di Mesir (1769-1849 M) sudah mencetak
beberapa judul Kitab Kuning. Tetapi pemerintah Belanda tidak mengimport
barang-barang semacam itu. Karena itu, keperluan belajar al-Quran atau kitab
kuning di Buntet dan sekitarnya harus ditulis tangan. Dalam penglolaan Buntet
Pesantren seperti itu Kiyai Muta’ad bersama jamaahnya selalu mengamalkan
Thariqat Syathariyah untuk wirid sesudah shalat jama’ah maktubah. Berkat amalan
itu, Buntet Pesantren mulai hidup lagi, setelah tertata ulang. Kiyai Muta’ad
wafat dalam usia 67 tahun dan dikuburkan di Tuk Sindanglaut, berdekatan dengan
kuburan Kiyai Muqayyim dan Kiyai Ardi Sela.
Sesudah Kiyai Muta’ad wafat, Buntet Pesantren dikelola oleh Kiyai Abdul
Jamil ibn Muta’ad. Pesantren pada masa itu berkembang lebih pesat, didukung
oleh Haji Ali dari Kanggraksan Cirebon mewaqafkan tanah dan dibangunkannya
sebuah masjid di atasnya. Tidak hanya itu tetapi di sekitar masjid, disediakan
tanah yang disiapkan untuk dibangun pondok pesantren. Maka pada langkah
berikutnya Kiyai Abdul Jamil yang dibantu oleh sanak saudara dan masyarakat itu
mulai membangun pondok untuk menampung santri yang berdatangan dari luar
daerah. Masyarakat tahu bahwa K.H. Abdul Jamil memiliki suara yang bagus dalam
membaca al-Quran, maka santri Buntet waktu itu sering disebut ahli qiraat
(al-Quran). Pengajian di Buntet Pesantren bukan hanya Qiraat al-Quran, tetapi
juga kitab yang membahas ilmu agama. Tokoh-tokoh yang membantu pengajian itu,
antara lain K.H. Abdul Mun’im, K.H. Abdul Mu’thi, Kiyai Tarmidzi dan lain-lain.
Tidak hanya itu, Kiyai Abdul Jamil bersama masyarakat membangun jalan dan
jembatan yang menghubungkan pondok pesantren dengan masyarakat. Pembangunan
jalan itu disingkronkan dengan program Belanda yang membangun kali (saluran
air) untuk keperluan pertanian, dan penanaman tebu di sekitar pesantren untuk
mengisi pabrik gula.
Dalam
buku berjudul “Perlawanan dari Tanah Pengasingan” yang ditulis oleh H. Ahmad
Zaini Hasan dicertakan bahwa Kiyai Abdul Jamil sepulangnya dari Makkah
dipanggil Haji Den Jamil (Raden Abdul Jamil) dan berhasil menghimpun para kiyai
di lingkungan keluarganya, haji, saudagar/pedagang dan lain-lain untuk
membangun dan menata kembali sarana fisik serta aktivitas pesantren. Pada masa
itu, santri Buntet Pesantren putera-puteri mencapai 700 yang datang dari Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Sulawesi, dan Singapore, kata buku
itu. Setiap bulan puasa, Pesantren Buntet dikerumuni para santri dari tanah
Jawa dan luar Jawa yang mengaji pasaran. Dengan demikian masyhurlah nama Syaikh
Abdul Jamil dan Pesantren di Buntet Astanajapura Cirebon.
Dalam
buku itu ditulis pula bahwa pada tahun 1882 Belanda membentuk lembaga bernama
‘Presterraden’ yang diharapkan bisa mengawasi gerakan dan perkembangan aksi
yang dilakukan oleh santri/pesantren. Untuk mengantisipasi aktifitas lembaga
itu K,H. Abdul Jamil bersama ulama lain mengambil beberapa langkah, yaitu (1)
Fatwa Ciremai yang isinya a). Mengharamkan para santri menjadi pegawai Belanda,
b). Mengharamkan bangsa kita berperilaku dan berpakaian seperti Belanda dan
bergaya priyayi seperti orang Islam yang bersikap cooperation dengan penjajah
Belanda. c) Pembentukan budaya santri yang diisi dengan amalan thariqat, (2)
Mengadakan pengajian di beberapa tempat untuk menumbuhkan perasaan jihad fi
sabilillah. (3) Memutuskan a) Membentuk santri agar bersikap mandiri dan tidak
bergantung pada orang lain, b). Menumbuhkan pesaraan nasionalis dengan doktrin hubb
al-wathan min al-iman. c). Mengadakan latihan fisik, bela diri. (4)
Mengadakan shilaturrahmi kepada kiyai/ulama terutama mereka yang pejuang
kemeredekaan. (5) Gerakan Riyadlah, dan (6) Mengorganisir pengamal
thariqat, untuk ikut berjuang dan membantu berdirinya negara di nusantara ini.
(Diringkas dari halaman 41-51).
Meskipun Buntet Pesantren banyak didatangi oleh santri dari berbagai
daerah, sebagaimana diceritakan di atas tetapi putera-putera K.H. Abdul Jamil
diberangkatkan juga untuk belajar di pesantren lain, baik sebelum K.H., Abdul
Jamil wafat, maupun sesudahnya. K.H. Abdul Jamil wafat pada pagi Shubuh hari
Selasa tanggal 23 Rabi’ul Tsani 1339 H. Atau tahun 1919 M, dan dikuburkan di
Pesarean Buntet Pesantren.
Setelah K.H. Abdul Jamil wafat, Buntet Pesantren diasuh oleh para putera
yang dipimpin oleh Raden Abbas ibn Abdul Jamil. Pada masa kecil, Raden Abbas
bersama adik-adiknya diasuh dan dididik oleh ayahnya. Setelah menjelang dewasa,
Den Abbas dikirimkan ke Pesantren di Jatisari Weru Plered yang diasuh oleh K.H.
Nasuha ibn Zayadi. (Ulama ini ditulis dalam artikel tersendiri). Dalam pesantren
ini Raden Abbas mengkhatamkan kitab fiqh dan tawhid, antara lain Fathul
Mu’in. Dalam tahun itu pula Raden Abbas belajar juga pada K.H. Hasan di
Sukunsari Weru Plered. Kemudian Den Abbas pindah ke pesantren Giren Tegal untuk
pelajar ilmu tauhid pada ulama sepuh, K.H. Ubaidah. Kemudian Den Abbas
meneruskan belajar ilmu hadits dan ilmu tafsir al-Quran pada K.H. Hasyim
Asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang.
Sepulangnya dari tafaqquh fi al-diin, Raden Abbas mulai mengelola
Pesantren Buntet dan menikah pertama dengan Nyai Hafizhoh. Setelah lahir putera
pertama, Raden Abbas berangkat ke Makkah untuk ibadah haji dan mencari ilmu.
Dalam kisah ini, Raden Abbas bersama Gus Abdul Wahhab Hasbullah dari Jombang
berjumpa dan mengambil barakah dari ulama kharismatik, K.H. Mahfuzh ibn
Abdillah ibn Abdul Mannan dari Pesantren Termas Pacitan yang mukim di Makkah.
Setelah pulang dan menetap di Buntet, K.H. Abbas pernikahannya dengan Nyai
Hafizhoh melahirkan 4 orang putera, yaitu Kiyai Mustahdi, Kiyai Abdul Razak,
Kiyai Mustamid, dan Nyai Sumaryam. Sedang pernikahannya dengan Nyai Lanah, K.H.
Abbas melahirkan enam orang lagi, yaitu Raden Abdullah ibn Abbas, Nyai Qismatul
Maula, Nyai Sukaenah, Nyai Maimunah, Raden Nahdluddin, dan Nyai Munawwarah.
Profil K.H. Abbas adalah ulama yang tampak
sederhana berakhlak mulia dan sangat dermawan. Meskipun dia termasuk keturunan
Syarif Hidayatullah, tetapi dia tetap hormat pada habib-habib (habaib)
yang ada di Jawa. Ketika mereka bertamu kepada K.H. Abbas, mereka dihormati
seperti tamu istimewa. Begitu itu, karena K.H. Abbas adalah tokoh yang sangat
cinta kepada Rasulullah Saw. Kalau yang datang itu habib palsu misalnya, K.H.
Abbas tetap menghormati dengan niat yang suci, sambil mencurahkan rasa cinta
kepada Rasulullah Saw. Akhlak seperti itu banyak dilakukan oleh ulama pencinta
Rasulullah, pengamal Nazam Burdah seperti Yai Khalil Madura, Mbah Ma’shum
Lasem, atau Mbah Yai Syathari Arjawinangun dan lain-lain.
Meskipun penampilan K.H. Abbas sopan santun, lemah lembut, dan berakhlak
mulia, tetapi sikapnya terhadap Belanda keras sekali dan tidak mau kompromi.
Semua santri dididik dengan tekun agar mereka anti penjajah, dan berusaha agar
Belanda, Jepang, dan semua penjajah bubar dari tanah nusantara tercinta ini.
K.H. Abbas juga mambentuk dan memimpin Hizbullah di daerah Cirebon bagian
timur. Dia sering melatih santri untuk bela diri, dan mereka disiapkan untuk
melawan penjajah jika terjadi pertempuran. Beberapa cerita tentang K.H. Abbas
yang bersikap anti penjajah itu luas sekali tetapi andil yang besar bagi
kemerdekaan Indonesia adalah dia bersama beberapa tokoh dari Cirebon mengikuti
Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy’ari. Pada tanggal 22 Oktober 1945 para ulama dan
santri se Jawa-Madura kumpul di Surabaya untuk merumuskan Resoluis Jihad. Waktu
itu para kiyai dan santri sudah berkumpul, maka utusan dari Termas Pacitan usul
agar rapat segera dimulai. K.H. Hasyim Asy’ari menjawab : Nanti sebentar lagi
teman-teman dari Cirebon akan datang. Mereka adalah K.H. Abbas Buntet, KH. Amin
Babakan Ciwaringin, K.H.A. Syathari Arjawinangun, K.H. Syamsuri Walantara, dan
empat orang lagi yang penulis belum dapatkan nama-namanya. Apa isi Resolusi
Jihad itu? (Buka Google dengan key word Resolusi Jihad K.H.
Hasyim Asy’ari) dan baca semua artikel yang mengiringi tulisan INSISTS itu.
Inti Resolusi Jihad adalah kesepakatan para kiyai dan santri untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan segalanya diatur oleh
bangsa Indonesia sendiri. Sementara Belanda dan sekutu Barat tidak senang
munculnya kemerdekaan negara-negara jajahan seperti itu. Mereka menggalakkan
perang dengan mengerahkan pasukan tempur yang kuat sekali untuk menghabisi
kekuatan bangsa Indonesia. Maka terjadilah perang 10 November 1945 itu. (Buka Google
dengan key word Perang 10
November 1945). Menurut cerita sejarah, bahwa perang ini meskipun waktunya
tidak lama, tetapi beban santri dan komunitas ahli thariqat menilai lebih berat
dari pada Perang Kedongdong (1802-1806), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang
Imam Bonjol (1831-1838), Perang Tengku Umar di Aceh (1873-1908), dan
perang-perang lokal lainnya. Semua perang-perang tadi, santri dan bangsa kita
hanya menghadapi Belanda, sedang perang 10 November 1945 santri dan pemuda lain
harus perang menghadapi sekutu Inggris pemenang Perang Dunia Kedua, Netherland
Indies Cifil Adminitration (NICA). Tidak hanya itu, mereka mengerahkan
tentara juga dari negara jajahannya (India/Pakistan). Semua diberi persenjataan
yang lengkap dan canggih, serta dibantu oleh pesawat terbang yang memutahkan
bom dari udara di atas kota medan pertempuran. Pada waktu itu, penduduk
Surabaya dan santri pejuang banyak yang mati syahid, bahkan puluhan ribu.
Mereka dalam sejarah itu sering disebut ‘Arek-arek Surabaya’. Padahal
kebanyakan mereka adalah santri yang datang dari beberapa pesantren dari
Jawa-Madura. Buka Google dengan key word: Peristiwa 10 November
1945, dan baca juga pidato Bung Tomo selaku pimpinan perang waktu itu.
Secara
perhitungan akal, santri dan bangsa kita tidak akan menang menghadapi musuh
yang sangat kuat itu. Tetapi berkat bacaan ‘takbir’ yang disuarakan
berkali-kali oleh santri, serta niat mereka sangat ikhlas dan bersedia mati
untuk mengangkat agama Allah di bumi nusantara ini, maka alhamdulillah
pertempuran itu dimenangkan oleh bangsa kita, sehingga semua penjajah angkat
kaki dari bumi yang indah dan penuh barakah ini.
Dalam artikel ‘Sejarah Perjuangan dan Sejarah Terbentuknya TNI’
diceritakan bahwa: Negara Indonesia pada awal berdirinya sama sekali tidak
mempunyai kesatuan tentara. (Buka Google dengan key ward:
Pembentukan TIN 1945-1947). Dengan demikian perhitungan Perang 10 November 1945
itu bukan didasarkan atas perhitungan militer, tetapi hanya didorong oleh
‘Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asyari dan Resolusi Jihad NU’. Ada cerita lisan
bahwa pada pertempuran itu Ziya’ al-Haq dari Pakistan bersama teman-temannya
ditugaskan oleh sekutu untuk menghabiskan musuh mereka di Jawa. Tetapi setelah
menghadapi musuh yang selalu menteriakkan ‘Allahu Akbar’ Ziya’ al-Haq dan
kawan-kawannya diam, tidak mau meneruskan peperangan lebih lanjut. Barangkali
itulah salah satu rahmat Allah yang tampak kelihatan, yang dicurahkan
kepada santri dan bangsa kita. Karena itu wajar kalau dalam Pembukaan UUD 1945
dicantumkan kata-kata:‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’ dan
seterusnya, untuk mengenang perjuangan kiyai dan santri.
Mempelajari sejarah Indonesia seperti itu, berarti andil para kiyai dan
santri pada kemerdekaan Indonesia sangat besar.Apa lagi waktu itu beberapa
tokoh Islam modern banyak yang menyatakan dirinya cooperation dengan penjajah
Belanda. Atas dasar itu wajar kalau ada ulama yang usul kepada Presiden pilihan
rakyat, agar menjadikan tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional. Tetapi
perjuangan santri dengan usul yang simpatik itu, dunilai oleh pembesar Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) bahwa itu sinting.
Begitulah kegiatan K.H. Abbas dan santri untuk kemerdekaan Indonesia.
Tokoh ini di samping pejuang kemerdekaan juga seorang pendidik santri yang
kreatif. Pada tahun 1928 K.H. Abbas membuka marasah untuk santri yang
inspirasinya diambil dari Pesantren Tebuireng Jombang. Madrasah itu disebut
Madrasah Abna al-Wathan yang terdiri dari enam kelas, dengan kurikulum
berjenjang. Enam kelas itu terdiri atas kelas-kelas Tahdiri, Shifir Awwal,
Shifir Thani, Qismul Awwal, Qismul Tsani, dan Qismul Tsalis. Dengan munculnya
madrasah itu, Buntet Pesantren semakin besar dan bersemarak. Semua kelas di
awal jam pelajaran sambil menunggu guru, semua murid secara bersama-sama
membaca nazham yang sudah diajarkan. Satu kelas membaca Nazham
Aqidatul Awam, kelas lain membacakan Nazham Kharidatul Bahiyah,
kelas lain lagi membacakan Nazham Jazariyah, kelas lainnya lagi
membacakan Nazham ‘Imrithi dan lain sebagainya. Setelah 28 tahun
madrasah hidup di Buntet Pesantren, maka di tahun 1946 K.H. Abbas Abdul Jamil
wafat, dan dikuburkan di Pemakaman Buntet Pesantren.
Kembali akan kehadiran madrasah di pesantren, Buntet 1928, dan
Arjawinangun 1931 itu banyak sekali ulama di beberapa daerah yang tidak setuju.
Studi di madrasah memakai papan tulis, ditulis dengan kapur dan sebagainya, itu
sama seperti model studinya Belanda. Dalam madrasah itu beberapa ayat-ayat
al-Quran ditulis dengan memakai kapur. Setelah papan tulis itu dihapus, remukan
kapur tadi diinjak-injak oleh orang yang berjalan kaki di lantai madrasah. Maka
berarti ayat-ayat al-Quran diinjak-injak oleh orang. Demikian salah satu alasan
orang yang tidak setuju adanya model pendidikan madrasah di pesantren.
Untuk
melayani kaum muslimin yang berfikir seperti itu, K.H. Anas ibn Abdul Jamil
membangun pesantren di Blok Kilapat Desa Mertapada Kulon yang diberi nama
Pesantren Sidamuliya. Pesantren ini tidak membuka madrasah, tetapi hanya
pengajian kitab kuning dengan metoda sorogan atau metoda bandongan. Kompleks
Pesantren Sidamuliya ini kelihatan sederhana karena hanya ada bangunan masjid,
rumah kiyai dan bangunan pondok tiga kamar untuk santri.
Begitulah cerita singkat tentang sejarah Buntet Pesantren dari
kelahiran, sampai Indonesia merdeka (Yaitu tahun 1740 an sampai 1945).
Berikutnya perlu ada artikel lagi tentang Sejarah Buntet Pesantren, dari tahun
1946 sampai 2014. Artikel itu menguraikan posisi dan kegiatan Buntet Pesantren
dari tahun ke tahun. Antara lain tentang (1) Sesudah Indonesia merdeka, Belanda
masuk ke Indonesia lagi untuk menjajah kembali sampai berakhir tahun 1949. (2)
Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno dengan model demokrasi ‘terpimpin’
yang membuka partai berdiskusi dan bergerak bebas, sampai berakhir munculnya G 30 S (PKI). (3) Kekuasaan Orde
Baru, yang diawali oleh demonstrasi mahasiswa KAMI/KAPI yang menuntut
pembubaran PKI serta ormas-ormasnya, dan seterusnya. (Buka juga Google dengan
key ward: Sejarah Indonesia (1966-1998). (4) Pemerintahan tokoh-tokoh besar
B.J. Habibi, Gus Dur, Megawati dan SBY, (1998-2014). Semua itu mempunyai model
penglolaan negara dari segi-segi sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan,
dan sebagainya, yang dapat dikaitkan dengan sejarah perkembangan Buntet
Pesantren.
Sementara tokoh Buntet yang perlu diuraikan dalam sejarah itu antara
lain K.H. Mustahdi, K.H. Mustamid, K.H. Abdullah, K.H. Ahmad Zahid, dan
beberapa ulama senior yang sudah wafat. Tokoh junior Buntet Pesantren yang
sudah wafat juga dapat diuraikan seperlunya. Tokoh junior yang sudah wafat dan
kenal penulis antara lain K.H. Izzuddin, K.H. Fuad Hasyim, dan K.H. Fahim
Royandi. Sedangkan tokoh junior yang masih hidup lebih banyak lagi, di antara
yang akrab dengan penulis adalah Drs. K.H. Hasanuddin Kriyani, dan Ny. Hj. Ani
Yuliani bint Abdullah ibn Abbas. Tokoh ini akrab dengan istri penulis, Hj.
Azzah Zumrud. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina, Cirebon).-
[1] Stoik adalah kepercayaan yang mengatakan
bahwa akal yang meresapi alam semesta, dan orang-orang yang bijaksana harus
melakukan disiplin terhadap dirinya (ikhtiar) dan menerima nasibnya.
Abstrak Buku Diskursus Kitab Kuning
Reviewed by Dewa Rubungan
on
21.54
Rating:
Tidak ada komentar: