Top Ad unit 728 × 90

Terbaru

recent

Abstrak Buku Diskursus Kitab Kuning






ABSTRAKS BUKU DISKURSUS KITAB KUNING

       Buku ini diangkat dari enam tulisan A. Chozin Nasuha tentang 1. Tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, 2. Quo Vadis Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, 3. K.H.A. Syathari Pemandu Kitab Kuning, 4. Gambaran Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, 5. K.H. Nasucha Pesantren Jatisari Plered Cirebon, dan 6. Sejarah Singkat Buntet Pesantren Cirebon.
      Tulisan itu bermaksud mengimbangi sebagian pemikiran teman-teman yang sudah menaruh tulisan pada Buku 70 Tahun Prof. Dr. H.A. Chozin Nasuha. Melihat enam tulisan itu, seorang editor tertarik untuk mendiskusikan isi “Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” dari uraian sebagai doktrin, dikembangkan menjadi Ilmu.  
      Buku itu diawali Pengantar Penulis yakni A. Chozin Nasuha, diteruskan Pengantar Deputi Rektor ISIF Farida Mahri, Daftar Isi, dan Prolog yang ditulis oleh Wakhit Hasim. Tulisan dosen IAIN Syekh Nurjati ini cukup panjang dan menarik untuk didiskusikan. Kemudian di belakang semua itu disajikan enam tulisan A. Chozin Nasuha tersebut di atas. Beberapa tulisan itu banyak yang uraiannya ditambah dan disempurnakan oleh pemikiran editor tadi.  
       Buku itu dicetak oleh Pustaka Sampu (Grup INSIST Press) Yogyakarta, dan sebagian besar buku itu ada di kompleks Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Awalnya penulis senang, karena buku itu dicetak. Tetapi setelah dibaca, ternyata beberapa tulisan dalam buku itu banyak uraian yang penulis sendiri tidak paham. Lebih dari itu, banyak juga kata-kata yang bisa dinilai salah. Antara lain :

  1. Dalam halaman 83 ada kutipan hadits Rasulullah Saw.  : Ana madinat al-‘ilm wa Aliyyun baabuha. (Saya adalah gudang ilmu dan Ali adalah pintunya). Tulisan itu oleh editor diganti menjadi : “penulis adalah gudang ilmu dan Ali adalah pintunya”. Semua pergantian kata atau tambahan uraian seperti itu, editor sudah yakin dan percaya diri tanpa harus bicara dengan penulisnya.

  1. Dalam halaman 91 ada uraian yang bertentangan dengan realitas sejarah. Alinea itu menulis bahwa penulis adalah salah satu santri KHA. Syathari di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Uraian itu tidak sejalan dengan sejarah, karena KHA. Syathari yang pembangun dan pembina utama Pondok Pesantren Arjawinangun itu tidak pernah menetap atau tinggal, dan apalagi berdomisili di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

  1. Dalam halaman 107  ada tulisan “Zamzami Amin, putera Kiyai Amin sepuh yang lain”. Kata-kata itu menjadikan pembaca bingung karena semua penulis pesantren Babakan sepakat bahwa sebutan Kiayi Amin sepuh itu cuma satu.        

       Lepas dari adanya kerancuan kata-kata seperti itu, sebenarnya buku semacam ini bagus, karena belum banyak ditulis oleh tokoh-tokoh santri. Buku ini selain ingin  mengenalkan sosok kitab kuning, juga ingin mendiskusikan penyajian “Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” dari sebuah doktrin menjadi ilmu. Diskusi semacam itu bisa dimulai dari isi syair “mabadi al-‘asyrah” yang di sini disajikan oleh Ahmad Zaini Dahlan. Isi syair itu secara keilmuan tetap relevan untuk dibuat sebagai dasar falsafat ilmu, tetapi perlu dilengkapi dengan unsur informasi dan metodologi. Dua kelengkapan itu, baik sekali seandainya ditulis  dalam buku ini, oleh editor atau oleh siapa saja.
       Di bawah ini penulis menyajikan enam uraian yang ada dalam buku “Diskursus Kitab Kuning” tetapi tidak menambahkan kata-kata penyempurnaan editor. Demikian agar pembaca dapat melihat kerancuan dalam buku yang dicetak itu.       


(1) TOKOH AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH
                                                    

          Dulu, tulisan ini diharapkan menjadi pengantar terbitnya buku Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja) yang dicetak oleh Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu). Penulis bermaksud bahwa buku organisasi ini pantas mengambil barakah dari ulama besar, pengelola Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah di Makkah, yaitu al-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Tokoh ini adalah salah satu ulama kharismatik yang berkhidmat di Masjid al-Haram sebagai imam shalat maktubah, dan sekaligus sebagai mufti Makkah. Tokoh ini lahir di Makkah tahun 1232 H./1786 M. dan wafat di Madinah tahun 1304 H/.1886 M. Ia seorang sayyid (habib) yang silsilah nasabnya berderet melalui Syaikh Abdulqadir al-Jailani (w. 563 H/1167 M), dan sampai  pada Sahabat Ali ibn Abi Thalib (w 41 H./ 661 M). Tetapi ada pemikiran dari beberapa penulis buku itu bahwa tulisan semacam ini tidak perlu menjadi pengantar bagi buku yang sekarang diberi nama  “Membumikan Aswaja Pegangan Para Guru NU”..
          Dalam sejarahnya,  Ahmad Zaini Dahlan berguru kepada beberapa ulama besar di Makkah, Madinah dan tempat lain, antara lain pada al-Syaikh Utsman ibn Hasan al-Dimyathi. Ia hafal al-Quran sejak usia muda, dan banyak menghafalkan hadits Nabi Saw. Keilmuan yang dikuasai banyak sekali, terutama tentang sejarah dan riwayat para ulama. Atas dasar itu banyak ilmuan yang menilai bahwa Sayyid Ahmad Zaini adalah sejarawan besar waktu itu. Karangannya banyak dicetak antara lain di Mesir, seperti Siirat al-Nabawiyah, tahun 1292 H., Al-Futuhat al-Islamiyah ba’da al-Futuhat al-Nabawiyah yang dicetak baru tahun 1990 M. dalam dua jilid. Tarikh Duwal al-Islamiyah bi al-Jadawil al-Mardliyah dicetak tahun 1306 H, Al-Fath al-Mubin fi Fadlail al-Khulafa al-Rasyidin, dicetak tahun 1302 H .Ada kitab sejarah yang dicetak tanpa diketahui tahun terbitnya, antara lain Talkhish Usd al-Ghabah, ringkasan sejarah shahabat perawi hadits yang ditulis oleh Ibn al-Atsir (w. 630 H/ 1232 M.), Talkhish al-Ishabah fi Ma’rifah al-Shahabah, yang ditulis oleh Ibn Hajar al-Asqallani (w. 852 H/ 1421 M), dan Thabaqat al-Ulama. Banyak lagi kitab-kitab yang berkaitan dengan berbagai ilmu yang tidak ada kaitannya dengan sejarah, seperti Hasyiyah Tafsir al-Baidlawi, kitab tentang aurad, tentang peribadatan, tentang tasawuf, tentang nahwu, balaghah, dan lain-lain. Di antara kitab yang diambil barakah untuk buku Ahl al-Sunnah wa al-Jamaáh adalah Al-Durar al-Saniyah fi Radd ‘ala al- Wahhabiyah, yang dicetak di Mesir tahun 1299 M. dan kitab Fitnat al-Wahhabiyah, yang diterbitkan di Istanbul tahun 2001 M. yang dicetak bersama kitab Al-Shawa’iq al-Ilahiyah karya Syaikh Sulaiman ibn Abdulwahhab (kakak dari Muhammad ibn Avdulwahhab al-Wahhabi). 
           Di samping memberikan fatwa keagamaan dan menulis kitab, Ahmad Zaini Dahlan banyak mengaji dalam bentuk tadris, baik di Masjid al-Haram, atau di mana beliau berada. Setiap Sayyid Ahmad Zaini berhenti di suatu tempat, selalu dikerumuni oleh kaum muslimin untuk memetik ilmu atau mengambil barakah. Karena itu hampir semua muqimin di Makkah dari berbagai penjuru termasuk dari Asia Tenggara, bisa dipastikan bahwa mereka sempat berguru kepada tokoh besar ini. Salah satu ulama Jawa yang berguru kepadanya, adalah Syaikh Muhammad Nawawi Banten (senior) dan Kiyai Shalih Ndarat Semarang (junior). Dua tokoh itu biografinya panjang, dan kehidupannya mengambil pola pikir seperti amalan gurunya, yaitu menulis kitab dan tadris (mengajar).
           Ulama Indonesia yang berguru kepada Syaikh Nawawi Banten antara lain Kiyai Muahamad Khalil Bangkalan, Madura, dan ulama yang berguru kepada Kiyai Shalih Ndarat Semarang, adalah Syaikh Mahfuzh ibn Abdillah ibn Abdul Mannan Termas Pacitan. Semua tokoh-tokoh tersebut banyak berkarya terutama kitab-kitab yang ditulis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa (Indonesia).          .
          Ketika Sayyid Ahmad Zaini ziarah ke kuburan Shahabat Ibn Abbas di Thaif, dia  sempat menulis kitab Syarah al-Ajurumihah, dengan nama “Mukhtashar Jiddan” dan dalam kitab itu, dia menulis syaír tentang falsafat ilmu, sebagai berikut :

 ان  مباد ي  كل  فن    عشرة      الحـــد   والموضو ع   ثم  الثمـــــرة                                       
والفضل    والنسبة   عين الواضع      والا سم الاستمداد حكم الشارع
 مسا ئل البعض ببعـض اكتفي      ومن  دري  الجميع   حاز الشرفا                                              

            Dalam syarahnya, Ahmad Zaini menerangkan, bahwa yang dimaksud (hadd)  adalah definisi. Sehubungan kitab itu membahas ilmu nahwu maka definisi yang diungkap adalah tentang ilmu nahwu: Nahwu menurutnya adalah ilmu tentang berbagai kaidah yang dengan kaidah itu, hukum-hukum kata (kalimat) dapat diketahui posisi susunannya, dari segi i’rab dan hal yang berkaitan dengan itu. Sentral pembahasannya (maudlu’) adalah bahasa Arab. Tujuan dan faidahnya (tsamarah) adalah pemeliharaan kata dari kesalahan dan kekeliruan. Kegunaan dan faidahnya (ghayah) adalah kehati-hatian menggunakan kalimat, agar tidak terjadi kesalahan arti, dan sekaligus mengambil bantuan kehati-hatian itu untuk memahami kalam Allah (al-Quran) dan kalam Rasulullah Saw.  Semua itu untuk mengambil faidah dan barakah dari kebesaran dua kalimat-kalimat itu. Pegangan dasarnya (istimdad) adalah bahasa Arab fush-ha. Keutamaan (fadl-luhu) adalah untuk mengangkat ilmu dikaitkan dengan percontohan kata yang baik dan benar dalam redaksinya. Masalah (masail) yang diangkatnya adalah kaidah, seperti fa’il itu dibaca rafa’ maf’ul itu dibaca nashab dan sebagainya. Peletak pertama (al-wadli’) adalah Abul Aswad al-Duali atas perintah Shahabat Ali ibn Abi Thalib. Nisbat atau kaitannya dengan ilmu lain adalah untuk memberikan kejelasan. Namanya (al-ismu) adalah Ilmu Nahwu. Hukum mempelajari ilmu nahwu menurut syara’ yang dibawakan oleh Kitab Kuning adalah fardlu kifayah di berbagai tempat. Demikian Ahmad Zaini memberikan syarah (komentar) terhadap tiga syair tadi. Karena syair itu ditulis dalam kitab ilmu nahwu, maka semua contoh-contohnya adalah tentang ilmi nahwu.    
          Sebenarnya, syair itu dapat diterapkan pada ilmu apa saja, dan ditulis di sini untuk mengungkap pola pikir saintifik yang mengusung naturalisasi dan rasionalisasi ilmu agama. Demikian itu diharapkan muncul dan berkembang di kalangan kaum santri. Gagasan itu mudah-mudahan bisa dianggap sebagai munculnya pembaharuan pemikiran. Dilihat dari munculnya gagasan itu, Sayyid Ahmad Zaini bisa disebut sebagai tokoh yang mendahului pemikiran Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh dari segi tahun. Tetapi karena Ahmad Zaini hidup di Makkah yang kota ibadah, maka perkembangan berikutnya tidak sepesat seperti pemikiran ulama di Mesir waktu itu.. Untuk itu, gagasan Ahmad Zaini yang akan mengembangkan ilmu agama tidak ada yang meneruskan, baik di Makkah atau di tempat lain. Kekurangan yang perlu ditambahkan pada isi syair itu, menurut santri di kampus cma satu, yaitu tentang epistemologi.
            Berbeda dengan tulisan Cik Hasan Bisri dalam buku “Lima Belas Jurus Penataan Ilmu”. Dia mengatakan bahwa sepuluh pilar yang disebutkan oleh Ahmad Zaini Dahlan tadi lebih komprehensip dari pada landasan ilmu yang menjadi pokok bahasan dalam falsafat ilmu yang dikembangkan oleh ilmuan di perguruan tinggi, yaitu. (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Meskipun begitu, sepuluh pilar tadi, oleh Cik Hasan Bisri perlu ditambah dua pilar lagi, yaitu pilar ‘informasi’ dan pilar ‘metodologi’. Pilar informasi adalah unsur teori, hipotesa, sampai postulat dan aksioma, sedangkan pilar metodologi adalah motoda analisis dan model analisis.
          Di antara pemikir santri, ada yang mengatakan bahwa syair tadi sudah membawa konsep ontologi (had, maudlu’,) dan menyajikan konsep seperti aksiologi, yaitu (al-tsamarat). Jadi kekurangan pilar dalam syair itu menurut santri hanya satu, yaitu epistemologi, seperti tersebut tadi.  
           Menurut ahli ilmu, epistemologi adalah metoda keilmuan yang bisa dibuat sebagai alat untuk mengembangkan suatu ilmu. Kaum santri di kampus banyak yang berbicara, bahwa epistemologi itu berasal dari bahasa Yunani, epistem berarti pengetahuan dan logos berarti ilmu. Istilah ini masuk ke dalam pemikiran kaum muslimin melalui terjemahan buku-buku Yunani, Fersia, India dan lain-lain  
           Epistemologi yang dibicarakan di sini terdiri atas tiga persoalan pokok, yaitu (a) Apa sumber-sumber pengetahuan, yang dalam syair di atas disebut fann. Dari mana sumber fann yang benar dan bagaimana kita menghasilkan sumber itu. (b) Apa sifat dasar fann itu? Apakah ada dunia lain yang benar di luar pemikiran kita, seperti sulap atau sihir misalnya? Kalau itu ada apakah kita dapat mengetahui? Pertanyaan itu mengarah pada problem phenomena dan naumena. (c) Apakah sumber fann yang kita kembangkan itu benar (valid) atau tidak benar. Bagaimana kita membedakan antara fann yang benar dan fann yang tidak benar?. Point yang disebut akhir ini bisa mengarah pada verifikasi.
              Tiga pertanyaan itu merupakan objek formal dari epistemologi, sekaligus  merupakan objek formal dari falsafat ilmu. Selain itu, ketiga-tiganya sebagai perspektif untuk melihat objek formal yang oleh Ahmad Zaini disebut fann. Dari tiga pertanyaan itu dikenal juga istilah hakikat ilmu, atau struktur fundamental ilmu, yang isinya itu persoalan pokok dalam falsafat ilmu yang awalnya disinggung oleh  syair Ahmad Zaini.
             Dalam rangka membangun wacana keilmuan terutama sebagai upaya pengem-bangan lebih lanjut, problematika filsafat ilmu dapat diidentifikasi menjadi beberapa hal, (1) Mempelajari struktur fundamental suatu ilmu, sehingga ilmuan dapat membedakan antara ilmu fiqh, ilmu nahwu, ilmu tasawuf dan sebagainya dengan melihat hakikatnya masing-masing. Point ini oleh santri di kota disenut ontologi, yang oleh syair itu mendekati sebutan maudlu. (2) Mempelajari struktur logis suatu ilmu (fann) berhubungan dengan pandangan dunianya. Artinya mengolah ilmu fiqh berbeda dengan mengolah ilmu tasawuf, keduanya berbeda lagi dengan mengolah ilmu balaghah atau ilmu nahwu, dan begitulah seterusnya. (3) Sesuai dengan sifat heuristik filsafat, filsafat ilmu berusaha mencari trobosan baru agar suatu ilmu (fann) dapat survive, marketable, aktual, berguna, berkembang, kontekstual dan seterusnya. Artinya materi ilmu yang disampaikan sejak ratusan tahun yang lalu yang ditulis oleh Kitab Kuning itu dapat dikembangkan terus, dengan epistemologi baru, sehingga materi ilmu tadi dapat memecahkan masalah yang muncul sekarang. Suatu contoh, teori fiqhiyah atau teori ‘uruf yang dulu diterapkan pada seribu tahun yang lalu dinilai bagus, belum tentu isi fiqh dan isi ‘uruf tadi sesuai dengan kondisi sekarang. Karena itu, unsur fiqhiyah termasuk konsep Aswaja dapat direformasi sedemikian rupa, sehingga konsepnya sesuai dengan kebutuhan sekarang. (4) Melakukan kritik membangun terhadap pemikiran yang dimunculkan oleh Kitab Kuning, sehingga terjadi diskusi atau seminar tentang ilmu tertentu (fann) yang ditawarkan oleh para ahli, sehingga muncul berbagai konsep keilmuan baru yang bagus-bagus.
          Uraian tadi adalah pembukaan tentang falsafat ilmu yang diawali oleh syair yang dikutip oleh  Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam kitab Syarah al-Juruniyah, sebagaimana tersebut di atas. Kemudian pemikiran seperti itu, oleh santri kota ditambah dengan pemikiran Barat. Atas dasar itu muncul pertanyaan, apakah tidak ada epistmologi yang muncul dari kaum santri itu sendiri?
          Jawabannya ada, antara lain kitab karangan Muhammad ‘Abid al-Jabiri yang berjudul : Bun-yah al-Aql al-‘Arabi dicetak di Beirut tahun 1993. Kitab imi membahas tentang epistemologi al-Islam, dalam bentuk tiga model, yaitu al-bayan, al-rfan, dan al-burhan. Pemikir muslim kelahiran Maroko 1936 ini menyajikan kitab tadi sebagai bagian dari agenda besarnya, yaitu Naqd al-Aql al-Arabi (Kritik Nalar Arab). Karena bentuknya kritik maka isi kitab itu terkesan propokatif. Apalagi kelihatan, bahwa kecenderungan al-Jabiri sendiri mengambil berfikir al-burhani, dari pada berfikir al-bayani atau al-irfani. Padahal al-bayan dan al-irfan itu banyak dipakai oleh kaum santri termasuk untuk hujjah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. 
           Ad. 1. Epistemologi al-bayani. Bayan berarti penjelasan (explanation), yaitu menjelaskan suatu maksud dari pembicaraan dengan menggunakan kata yang paling baik (komunikatif). Ushul-fiqh mengulas, bahwa bayan adalah upaya menyingkap makna dari perkataan (kalam) serta menjelaskan secara rinci terhadap hal-hal yang tersembunyi kepada mukallafin. Aturan penafsiran wacana dalam bentuknya yang baku, pertama kali dilakukan oleh al-Imam al-Syafi’iy (w.204 H). ketika menerapkan teori al-bayan kepada teks al-Quran. Di situ ada lima tingkatan (1) bayan (dari teks al-Quran) yang tidak memerlukan penjelasan (2) bayan yang sebagian penjelasannya meakai al-sunnah. (3) bayan yang semua memerlukan penjelasan al-sunnah (4) bayan yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah. Maka untuk itu bayan ini memunculkan ijma’ (5) bayan yang penjelasannya dilakukan melalui qiyas 
          Secara epistemologis, sumber al-bayan adalah Nash/Teks/Wahyu (Otoritas Teks), al-Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salafi), dan al-Ilm al-Tauqifi). Karena al-bayan sangat berpijak pada teks, maka yang menonjol dalam epistemologi al-bayani adalah tradisi memahami dan menjelaskan pada teks zhahir (tekstualis). Metodanya adalah ijtihadiyah, istinbathiah, istitsnaiyah (pengecualian), istidlaliyah, dan qiyas, (qiyas al-ghaib ala al-syahid). Tradisi epistemologi bayani dalam fiqh, kalam, balaghah dan nahwu dalam penyajianya memakai kerangka teori sebagai media analisa, yaitu lafaz dan makna, ushul dan furu’ dan tentang jauhar (substansi) dan ‘aradl (aksidensi). Pendekatan yang dipergunakan oleh al-bayani adalah Lughawiyah (bahasa) dan Dilalah Lughawiyah.
         Ad. 2. Epistemologi al-Irfani. Irfan dalam bahasa Arab diambil dari kata ‘arafa yang semakna dengan ma’rifat. Al-irfan berbeda dengan al-ilm (ma’lum) karena kata ini didapatkan melalui transformasi (naql) atau liwat rasionalitas (aql), Sedangkan al-irfan (ma’rifat) didapatkan melalui pengalaman, setelah fisik dan dlamir orang itu mujahadah. Dalam konsep Psikologi, al-irfan itu bekerja atau metoda berfikir dengan menggunakan otak kanan
         Dalam sejaranya, epistemologi ini sudah ada sejak zaman Persia dan Yunani kuno, sebelum datang teks-teks keagamaan Yahudi, Nasrani, dan Islam. Model ini baru masuk di kalangan kaum muslimin pada abad ke 3 H, atau 10 M. sejalan dengan perkembangan doktrin ma’rifat (gnosis) yang diketahui sebagai pengetahuan batin, terutama tentang Tuhan. Irfaniyun berpendapat bahwa mengetahui Tuhan (ma’rifat) tidak bisa dilakukan melalui indra (sense, al-hissi) dan akal (otak kiri) tetapi liwat pengalaman intuitif akibat persatuan antara al-arif dan al-ma’ruf (al-ittihad).    
          Sumber-sumber ilmu ini adalah experimence (pengalaman) hidup yang otentik,  yang sesungguhnya, yang merupakan pelajaran tak ternilai harganya. Selain experimence, sumber irfani juga al-Ru’ya al-Musyahadah, direct experimence, al-ilm al-hudluri, dan preverbal; prological knowledge. Ketika manusia mengetahui alam semesta yang mengagumkan dalam lubuk hatinya, terlihatlah adanya Zat Yang Maha Kuasa. Untuk mengetahui hal ini, seseorang tidak perlu mengetahui turunnya “teks”. Tetapi dengan pengalaman pengetahuan batin yang amat mendalam, otentik, fithri, hanafiyah al-samhah dan hampir tidak dapat dikatakan oleh logika dan tidak bisa diungkapkan oleh bahasa. Itulah yang disebut direce experimence, ilmu hudluri dalam tradisi isyraqiyah, sebagai penemuan Syahrawardi.
          Metoda yang dipergunakan oleh kaum irfaniyun adalah al-dzauqiyah al-laduniyah atau penghayatan batin, yaitu suatu proses yang sifatnya itu spiritual yang susah digambarkan langkah-langkah konkretnya. Masalah ini, oleh psicholog disebut berfikir dengan menggunakan otak kanan, dan meninggalkan otak kiri. Otak menurut mereka ada dua, yaitu otak kiri dan otak kanan. Otak kiri biasa dipergunakan untuk mengolah ilmu kalam dan ilmu fiqh, sedangkan otak kanan dipergunakan untuk mengolah ilmu tasawuf. Meskipun begitu, Ulama shufi (irfaniyun) menguraikan ilmunya dengan tiga langkah, yaitu Pertama mereka disebut penyandang waktu, yaitu pendaki (al-salik) dengan aktifitas spiritual seperti melakukan taubat, zuhud, ridla dan sebagainya, yang dalam teori ini disebut ghaflah. Kedua penyandang irfani (al-salik) berada di tengah jalan antara ghaflah dan ahwal, Yaitu setelah usaha shufi (irfani) berhasil, yaitu taubat dari segala dosa sudah diterima oleh Allah, kehidupan al-zahid, al-wari’ al-ridla dan sebagainya sudah dilaksanakan dengan penuh keikhlasan, maka Allah menurunkan al-ahwal tadi. Ketiga penyandang anfas yaitu setelah shufi (irfani) mencapai puncak perjalanan spiritual, yang tidak semua orang dapat melaksanakan. Orang yang sampai pada tingkat ini disebut wishal atau mukasyafah, bahkan bisa mencapai al-fana (ekstasi), atau  ittihad (penyatuan) dan musyahadah (penyaksian). Tingkat ketiga ini, kaum santri menyebutnya wali, yang dalam tradisi Aswaja disebut al-‘arif bi Allah,   
          Ad. 3. Epistemologi al-Burhani, yang dalam bahasa Arab diberi makna argumen yang jelas (al-bayyinah dan al-fashl). Pemiikiran ini, mulanya diambil dari filsafat Aristoteles yang oleh al-Jabiri dimasukkan ke dalam sistem pengetahuan (nizham ma’rifi) yang menggunakan metoda tersendiri yang memiliki pandangan dunia tertentu tanpa bersandarkan pada pengetahuan yang lain. 
         Burhani baik sebagai metoda atau sebagai pandangan dunia, Aristoteles membahas dalam karyanya, Organon dengan sebutan analitis (tahlili). Yaitu suatu metoda yang menguraikan pengetahuan, sampai ditemukan dasar dari asal usulnya. Sedangkan muridnya yang bernama Alexander Aphrodisi menggunakan karya itu dengan istilah logika (manthiq) dan ketika masuk dunia Islam, metoda itu disebut burhani.
          Tokoh-tokoh burhani berfikir dengan cara falsafi, yang hakikat sebenarnya adalah universal. Dalam analisa itu, suatu konsep diangkat dari realitas yang beroposisi sebagai otoritatif. Sedangkan bahasa, hanya dipakai sebagai penegasan. Al-Farabi berkata, bahwa andaikan konsepsi intelektual itu adanya pada kata-kata (bahasa dan bukan makna) maka yang banyak tersusun adalah kata-kata, dan bukan konsep. Pemikiran al-Farabi ini berbeda dengan konsep bayani, yang epistemologinya diangkat dari kata-kata. 
         Jadi setiap ilmu burhani berpola dari nalar burhani, dan nalar burhani bermula dari proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas, sehingga muncul makna, sedang makna itu sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata. Dengan redaksi lain, kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berfikir di samping sebagai simbol pernyataan makna.
         Secara struktural, proses yang dimaksud tadi terdiri atas tiga hal, pertama proses experimentasi, yakni pengamatan terhadap realitas, kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran, ketiga expresi yaitu mengung-kapkan realitas dalam bentuk kata-kata. Berfikir model ini bisa disebut mengikuti pola pikir Aristoteles, atau model Ilmu Manthiq umat Islam yang dikembangkan sejak zaman awal Abbasiyah sampai sekarang. Tetapi al-Jabiri sendiri menilai bahwa setiap burhani pasti memakai silogisme manthiqi dan tidak semua silogisme itu burhani. 
           Sumber (origin) epistemologi burhani adalah realitas (al-waqi’) fisik, sosial, atau humanitas, di samping al-ilm al-hushuli. Dengan kata lain, sumber pengembangan ilmu melalui epistemologi bayani, dapat diangkat dari realitas empirik, atau diangkat  dari perpustakaan. Sedangkan metodanya memakai abstraksi (al-maujudah al-bariah, min al-maddah) dan bahtsiyyah, tahliliyyah, tarkibiyah, naqdiyyah. (al-muhakamah al-‘aqliyyah). Kalau konsep burhani itu seperti itu, maka pendekatan epistemologinya adalah filosofis, saintifik. Demikian, antara lain ungkapan al-Jabiri.
          Seandainya kaum santri berusaha untuk melengkapi falsafat ilmu seperti tersebut di atas, maka mereka akan cepat menguasai, karena dasar-dasar epistemologinya sudah dikaji melalui Kitab Kuning. Mereka mempelajari ushul fiqh, maka ilmu ini bisa dibuat sebagai dasar epistemologi bayani. Mereka mempelajari ilmu Tasawuf, maka ilmu ini bisa dibuat sebagai dasar epistemologi irfani. Mereka mempelajari ilmu Manthiq, maka ilmu ini bisa dibuat sebagai dasar epistemologi burhani.  
           Kalau falsafat ilmu ini dikaitkan pada “ Ahli al-Sunnah wa al-Jamaah” (Aswaja) yang ada dan beredar di kalangan kaum santri, maka muncul pertanyaan. Apakah Aswaja itu sebagai ilmu, atau sebagai doktrin keagamaan. Kalau kaum santri memahami dan mengembangkan syair Sayyid Ahmad Zaini, dan diteruskan dengan mengikuti pemikiran al-Jabiri, dan atau Cik Hasan Bisri maka Aswaja yang dibuat akidah keagamaan itu, bisa berkembang menjadi sebuah ilmu.(insya Allah, Amin). Tetapi kalau pemikiran dan uraian Aswaja itu seperti tulisan-tulisan yang sudah dicetak dan disebarluaskan, maka menurut akademisi santri, bahwa semua uraian Aswaja itu masih bersifat doktrin. Untuk pengem-bangkannya, pembaca dapat membuka A. Chozin Nasuha tentang Quo vadis Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah.
          Wallaahu a’lam bi al-shawaab.
   
          
        
(2) QUO VADIS AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH
                                      
  1. Pembukaan.
             Di Indonesia, banyak tulisan dan buku-buku yang menguraikan tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah (Aswaja). Antara lain tulisan Hadlrat al-Syaikh KHM. Hasyim Asy’ari, dan yang paling akhir adalah Aswaja yang ditulis oleh Pimpinan Pusat Pergunu (Persatuan Guru Nahdlatul Ulama) pilihan anggauta team penulis buku MEMBUMIKAN ASWAJA. Penulis buku ini terdiri dari beberapa sarjana dari Jember. Buku itu dicetak di Surabaya bulan Juni 2012, dan diedarkan pada Rakernas NU tanggal 6-8 Juli 2012 di Pesantren Kempek Palimanan Cirebon. Ketika buku itu dibedah dan didiskusikan oleh mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, muncul pertanyaan: Apakah Aswaja itu sebagai doktrin saja atau dapat juga dibuat sebagai ilmu (science). Dilihat dari materinya, buku-buku itu banyak mengutip materi dari ilmu Kalam, ilmu Fiqh dan ilmu Tasawwuf. Kemudian rangkuman itu dibuat sebagai dasar pengamalan keagamaan untuk kaum muslimin. Melihat keadaan seperti itu, berarti Aswaja yang ada dalam buku tadi adalah doktrin. Tetapi beberapa penulisnya menilai bahwa Aswaja dapat disebut sebagai ilmu, karena di dalamnya ada uraian materi yang rasional dan disajikan secara sistematis. Lepas dari penilaian mana yang dianggap tepat, diskusi ISIF memberikan catatan, bahwa sampai saat ini buku-buku Aswaja itu semua berisi doktrin. Meskipun begitu, Aswaja dapat dikembangkan terus sampai menjadi ilmu tersendiri, melalui penelitian yang panjang dan lama, dengan menggunakan teori-teori ilmu sosial dan budaya. Aswaja dapat dipelajari dari berbagai segi, antara lain dengan mempelajari teks-teks yang ada, dan dari segi lain  mempelajari amalan masyarakat terhadap konsep itu. Dengan kata lain, studi ini akan mempelajari Aswaja dari segi konteks. Penelitian itu dimaksudkan untuk mencari teori-teori baru, yang bisa menunjang gagasan di atas. Sebenarnya, pemikiran itu berangkat dari gagasan yang disampaikan oleh Hadirat al-Syaikh KH.Muhamad Hasyim Asyári, yang mempopulerkan gagasan al-Dahlawi tentang ‘nasionalisasi pemahaman Agama’. Gagasan itu diulang lagi oleh Gus Dur dengan sebutan ‘Islam Pribumi’.
         
  1. Aswaja, Kitab Kuning dan Tradisi Keilmuan
            Munculnya pemikiran ISIF bahwa Aswaja dapat berkembang menjadi ilmu, itu didorong antara lain oleh dua hal pokok, yaitu pemikiran kritis dan kesadaran adanya kesenjangan, antara Aswaja yang ideal dengan Aswaja secara historis. Meskipun dua model Aswaja itu tidak berbarengan, tetapi bisa dijadikan sebagai dasar masuknya Aswaja menjadi model keilmuan tertentu dalam Islam. Pekerjaan ini sangat panjang, karena masih banyak memerlukan penelitian dengan berbagai pendekatan filosofis, yuridis, teologis, logis, atau pendekatan historis, antropologis, sosiologis, psikologis, fenomenologis, dan lain sebagainya. Dari segi lain, pendekatan itu dapat digabungkan seperti pendekatan filosofis dengan antropologis, yang sering disebut pendekatan interdisipliner, dan begitulah seterusnya. Penelitian itu perlu dilakukan terus-menerus, sampai menemukan berbagai teori yang banyak, dan bervariasi. 
           Pemikiran kritis yang dimaksudkan di sini adalah kajian dinamis dan eksploratif atas Aswaja yang mengalami kritalisasi, berwatak normatif dan mapan bahkan berstatus sebagai doktrin kehidupan. Konsep itu mengutip materi dari Kitab Kuning dari satu segi, dan dari segi lain mengajukan penalaran atau optimalisasi daya berfikir. Hal itu sangat mungkin dilakukan, karena isi Kitab Kuning itu berasal dari upaya penalaran terhadap al-Quran dan al-Hadits, yang kemudian terakumulasi dan terformalisasi secara sistematis dan kasifikatif. Dengan demikian, Kitab Kuning pada dasarnya adalah merupakan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran dan al-Hadits, melalui proses pemikiran yang panjang atau secara teknis disebut ijtihadi. Dalam Kitab Kuning tadi, ada ajaran yang mengandung pemahaman yang harus diterima secara bulat  (taken for granted) yang menjadi dogma (akidah) dan bersifat qath’iy (given), dan sebagian lagi berisi pemikiran yang beragam yang selanjutnya menjadi ilmu yang bersifat zhanni. Bagian yang kedua inilah yang harus disentuh dengan pemikiran kritis, dan bagian inilah materi yang paling banyak diuraikan dalam kitab-kitab fiqh.   
          Kesenjangan antara Aswaja ideal dengan Aswaja realitas yang dilihat secara historis-antropologis, itu terjadi relevansi dan diferensiasi yang jelas. Aswaja secara teori (doktrin) di satu sisi itu harus diamalkan, tetapi amalan Aswaja secara praktek tidak persis sama. Dengan ucapan sederhana, terjadi perbuatan dari tokoh-tokoh pengamal Aswaja yang tidak mencerminkan amalan doktrin Aswaja yang tercatat dalam buku. Gambaran kontradiksi itu seperti mereka mengembangakan amalan Aswaja dengan mentolelir pemikiran Syi’ah, Mu’tazilah, Ibadliyah, atau mentolelir juga pemikiran fiqh dan tasawuf yang kontemporer, yang bisa terjadi kontradiksi dengan buku Aswaja yang ada. Hal ini bisa terjadi, mungkin karena ketidak disiplinan tokoh-tokoh itu pada kitab-kitab Aswaja tadi, atau karena materi yang ada dalam buku-buku Aswaja tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi perkembangan masyarakat. Atas dasar itu konsep Aswaja yang ada dianggap tidak responsif terhadap kehidupan dan pemikiran umat Islam yang terus berkembang.
          Dua faktor tersebut terinspirasi dari premis bahwa umat Islam khususnya penulis buku Aswaja tertentu sedang berada dalam kondisi kejumudan pemikiran dan keter-belakangan di hampir segala bidang kehidupan (iptek, politik, sosial, ekonomi, budaya, kesehatan gizi, akademisi, komunikasi, dan sebagainya), paling tidak penulis tadi tidak mendorong dan tidak melandasi perubahan struktural ajaran Aswaja, yang kemudian dikenal dengan perkembangan ilmu (science). Ilmu pada sebenarnya memiliki watak kontemplatif dan futuristik. Karena itu, ilmu dapat membentuk pembangunan kembali (rekonstruksi) terhadap buku Aswaja yang ada, bahkan ilmu dapat menawarkan ajaran, pemikiran, tradisi yang ada (klasik) menjadi standard modernisme, dan menjadi Aswaja yang lebih kontekstual dan transformatif. Ilmu dalam ajaran tersebut mengembangan pemikiran berdasarkan penafsiran ulang terhadap teks-teks yang sudah ada. Dengan kata lain, ilmu dapat menyajikan pembaharuan total (dekonstruksi) terhadap konsep Aswaja yang ada, dan memberikan alternatif lain yang berbeda dengan konsep yang sudah ada.
          Pemikiran yang dicetuskan oleh ISIF tadi, merupakan keinginan yang masih jauh dari gagasan atau dari gerakan yang ada dalam kelembagaan yang terorganisir, atau jauh dari pola pikir yang sekaligus sebagai langkah pemikiran umat Islam. Karena itu keinginan tadi masih memerlukan tindak lanjut melalui telaah dan diskusi ilmiah yang tepat dan akurat, untuk mengupayakan pengujian pemikiran secara ilmiah, sehingga menjadi ide yang layak direalisasikan. Pemikiran semacam itu sangat baik jika itu dapat dikompromikan dengan model-model pemikiran keilmuan Kitab Kuning.
   
     C.  Dasar-dasar Keilmuan Kitab Kuning
            Kitab Kuning dalam pemikiran Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (1212-1304 H/1786-1886 M) yang  ditulis dalam kitabnya, Syarah al-Ajurumiyyah mengatakan bahwa uraian pengetahuan (knowledge) dapat menigkat menjadi ilmu (science), apabila dilengkapi dengan sepuluh dasar, sebagaimana isi syair di bawah ini.
                 ان  مبادي  كــل  فن   عشـرة        الحـــــد  والـمو ضوع  ثم  الثمـرة
                 والفضل والنسبة  عين الواضع      والاسم الاستمداد حكم الشارع
                مسائل البعض  ببعض  اكــتـفي       ومن دري الجميع  حاز الشرفـــا
  Artinya:       
             Dasar-dasar fan (ilmu) itu ada sepuluh. 1 Definisi 2, Tema sentral pembahasan, 3. buah (faidah). Term ini oleh filsafat ilmu disebut aksiologi 4.Keutamaan (keunggulan) 5. Kaitannya dengan ilmu lain. 6. Tokoh peletak dasar  7. Nama ilmu, 8. Sandaran berfikirnya, 9. Hukum syara’, (sebagai pendukung ilmu tadi) dan 10. Permasalahan unsur-unsur yang dipecahkan parsialnya. Barangsiapa yang mengetahui semuanya itu, dia adalah orang  mulia (terhormat)
  
  1. Ulasan  isi sya’ir untuk Aswaja
           Kalau syair itu dikaitkan pada konsep Aswaja, maka ada dua model ulasan. Yaitu (a) Aswaja Amali (praktisi), yang diuraikan sebagai petunjuk (doktrin) bagi kaum muslimin, agar mereka mudah mengamalkan Islam yang dibawakan oleh Rasulullah Saw. dan oleh penafsiran ulama. (b) Aswaja Ilmi, yang diuraikan secara metoda keilmuan, yang kadang-kadang berbeda konsep di antara umat Islam, karena perbedaan kerangka berfikir (teori) dan metodologi. Syair itu dapat sejalan dan relevan dengan konsep Aswaja Ilmi.
           Dalam buku dan kitab-kitab agama, definisi Aswaja sudah banyak ditulis oleh berbagai aliran dalam Islam. Tetapi perbedaan yang menyolok adalah konsep Aswaja dalam aliran ortodok (tekstualis) dengan aliran rasionalis (takwil). Selain itu, ada juga perbedaan konsep yang datang dari berbagai aliran, mazhab, kerangka berfikir, bahkan dari ilmu-ilmu sosial dan budaya. Meskipun begitu, semua ilmuan sadar bahwa definisi itu suatu pemikiran yang bersifat ijtihadi yang semuanya diambil dari teks hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ahli-ahli hadits kenamaan, yang semuanya memiliki otoritas yang terpercaya.
         Dari segi lain, kalau Aswaja itu akan dibuat sebagai ilmu menurut Falsafat Ilmu, maka secara akademis  perlu menurunkan tiga unsur, yaitu (1) ontologi, (hadd, maudlu) (2) aksiologi semacam (tsamarah) dan lain-lain yang ada pada syair itu, (3) cara pengembangan ilmu (epistemologi). Unsur inilah yang menentukan apakah uraian itu ilmiah atau tidak ilmiah. Biasanya, falsafat ilmu menyebutkan unsur itu menjadi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
            Uraian di bawah ini akan menjelaskan isi syair di atas yang membawakan sepuluh (10) unsur konsep falsafat ilmu yang diuraikan oleh Kitab Kuning. Tetapi unsur itu, kalau disebut ‘falsafat ilmu’ baru menyajikan semacam tentang ontologi dan aksiologi saja, belum menjelaskan tentang epistemologi secara rinci. Karena itu, isi syair tadi akan ditambah satu uraian lagi, sebagai kelengkapannya. Untuk memudahkan uraian itu, akan dijelaskan tentang uraian isi syair yang ditafsirkan oleh Aswaja Amali dan Aswaja Ilmi. Kalau konsep dalam syair itu disebut sebagai “paradigma” maka dapat dianggap sebagai paradigma awal, yang perlu diteruskan dengan unsure informasi dan metodologi. Selain itu, perlu kerangka berfikir, dengan analisa yang tajam, sampai terbentuklah paradigma Aswaja yang baru. 
             .Rincian isi filsafat ilmu syair di atas.
             (1). Hadd (definisi). Definisi Aswaja banyak ditulis oleh para ahli, antara lain oleh Al-Baihaqi, al-Ghazali, Ibn Taymiyah, Ibn Hazm, al-Baghdadi, al-Syahrastani, Ali Sami al-Nasyar, Ahmad Amin, Harun Nasution dan lain-lain. Demikian definisi menurut Aswaja Ilmi. Sedangkan definisi Aswaja Amali sudah dirumuskan oleh beberapa ulama NU dan sudah ditulis dalam beberapa buku. Perbedaannya ada pada kemauan seseorang, apakah dia akan mengambil Aswaja aliran mukhathiah atau Aswaja aliran mushawwibah. Aliran pertama menilai bahwa semua definisi yang sudah tertulis dalam Kitab-kitab Kuning itu yang benar cuma satu, yaitu definisi Aswaja yang ditulis oleh Kitab Kuning yang dinilai  mu’tabarah saja, atau definisi Aswaja yang sudah ditulis oleh ulama tertentu seperti buku tulisan KH Ali Maksum, KH Saifudin Zuhri, dan buku-buku lain,. atau Aswaja yang diuraikan oleh tokoh-tokoh besar seperti KH Bashori Alwi, KH.Asep Saifudin Abdul Halim, tokoh-tokoh Muhamadiyah, tokoh Persis, dan lain-lain. Konsep itu adalah program teologis yang sudah dicanangkan oleh para ulama tadi untuk membina umatnya. Sedangkan aliran kedua (mushawwibah) biasa diper-gunakan oleh definisi Aswaja Ilmi, yang dikembangkan di kampus-kampus, seperi pemikiran Harun Nasution, Nurcholihs Madjid, atau seperti Masdar Farid Mas’udi dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa definisi Aswaja itu konsep, yang nilainya itu zhan. Semua definisi didasarkan pada hadits Nabi, qaul shahabat, dan komentar al-salaf al-shalih. Karena itu, teori mushawwibah, yang didukung oleh ilmuan, tidak memastikan bahwa konsep (definisi) yang benar itu cuma satu.    
               (2). Maudlu’(tema pokok, atau subject matter).. Tema Aswaja itu sama dalam pemikiran Amali dan pemikiran Ilmi, yaitu masalah-masalah akidah, fiqhiyah dan tashawuf. Bedanya, kalau pemikiran Aswaja Amali dibatasi untuk mengikuti ijtihad tokoh-tokoh tertentu saja, dan mengutip dalil-dalil yang hanya mendukung pemikiran tokoh-tokoh itu saja. Sedangkan pemikirian Aswaja Ilmi tidak membatasi diri pada tokoh-tokoh tetentu, tetapi mengambil semua dalil dan kerangka berfikir yang disajikan secara akademis oleh para ulama di luar pemikiran Aswaja Amali.  
             (3) Al-Tsamarat (beberapa buah, atau faidah ilmu). Pada konsep semacam aksiologi ini, ada sedikit perbedaan antara Aswaja Amali dan Aswaja Ilmu.  Aswaja Amali mengatakan bahwa buah ilmu adalah untuk menyelamatkan umat dari kesalahan beribadah dan berperilaku, agar selamat di dunia dan akhirat. Sedangkan Aswaja Ilmi, di samping untuk menyelamatkan umat, juga berfikir agar faidah Aswaja secara keilmuan, dapat berkembang terus.
             (4) Al-Fadllu (keutamaan Aswaja). Keutamaan ini sama menurut Aswaja Amali dan Aswaja Ilmi. Yaitu keutamaan konsep Aswaja lebih mudah diamalkan oleh kaum muslimin baik orang alim atau orang awam, dalam bidang akidah, fiqhiyah, atau tasawuf, dari pada konsep keilmuan lain yang hanya menyajikan uraian yang bersifat teori saja.
              (5). Al-Nisbat (kaitan Aswaja dengan ilmu lain). Di sini sama antara pemikiran Aswaja Amali dan Aswaja Ilmi, yaitu konsep Aswaja merupakan dasar-dasar agama, sedangkan lainnya baik ilmu keislaman atau yang lain, itu sebagai pendukung. Aswaja bagi umat Muhammad adalah primer dan ilmu-ilmu keduniaan yang lain, seperti politik, ekonomi, budaya dan lain-lain adalah sekunder.
              (6)  Al-Wadli’(peletak istilah Aswaja) Tokoh yang pertama kali meletakkan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai kelompok aliran dalam Islam, itu banyak versi. Antara lain (a) Ketika terjadi perang Shifin, Ibn Umar.(w. 74 H) mengajak umat Islam agar mendahulukan kepentingan Islam dari pada berpolitik, hingga dia tidak memihak Ali atau Mu’awiyah. Beberapa penulis menilai bahwa inilah benih-benih munculnya kelompok Aswaja (b) Ketika terjadi beberapa aliran (firqah), seperti Syi’ah, Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Jabariah, dan lai-lain, muncul pemikiran moderat. yang tidak mengkafirkan umat Islam yang saling membunuh dalam perang saudara. Pemikiran itu diprakarsai oleh Hasan al-Bashri (w.110 H). Tokoh ini oleh sebagian ulama disebut pencetus Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (c) Sebagian ulama mengatakan bahwa tokoh pertama yang mempopulerkan istilah Aswaja itu Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H- 935 M) yang mengonsep tentang ilmu Kalam (akidah). Kemudian oleh para ulama NU konsep itu ditambah lagi bahwa Aswaja di samping akidah juga fiqh mazhab empat dan tasawuf Al-Junaidi dan al-Ghazali (d) Abdul Malik ibn Marwan (w. 86 H) mencetuskan kata-kata “Nahnu jama’ah wahidah tahta raayat Allah” (Kita adalah satu jama’ah yang satu di bawah panji Allah). Selain itu, Abdul Malik juga memproklamirkan konsep empat khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Semua itu khalifah yang sah. Begitu itu merupakan usaha untuk menyatukan umat sesudah wafatnya Utsman ibn Affan. Melihat kejadian di atas, berarti peletak istilah Aswaja adalah bervariasi.
                 (7) Al-ismu (nama suatu ilmu). Nama Aswaja sama menurut aliran amali dan aliran ilmi, yaitu  Aswaja adalah jam’iyah yang menghimpun semua umat Islam yang berakidah, berfiqih, dan bertasawuf Islami, yang tidak mengikuti aliran zindiqah menurut pendapat al-Ghazali.
                 (8) Al-Istimdad (dalil dan sandaran berfikir untuk menyusun Aswaja). Dalil dan kerangka berfikir Aswaja antara Aswaja Amali dan Aswaja Ilmi agak berbeda, meski keduanya sama-sama mengambil legitimasi dari hadits Rasulullah Saw.dan dari pendapat para ulama. Aswaja.Amali mengambil hadits yang mengatakan bahwa: Umat Muhammad akan tepecah menjadi 73 golongan. Semua akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yaitu maa ‘alaihi ana wa ashhabi. Sedangkan Aswaja Ilmi, di samping hadits tadi, mengutip juga hadits Nabi yang menceritakan bahwa Umat Muhammad yang jumlahnya lebih dari 70 firqah itu, akan masuk sorga semua, kecuali firqah Zanadiqah. Mereka adalah firqah (tersendiri) sebagaimana diuraikan oleh al-Ghazali dalam kitabnya, Faishal al-Tafriqah. Dua hadits yang kelihatan kontradiktif, itu oleh al-Ghazali diuraikan bagus sekali dalam kitab tadi. Selain itu Aswaja Amali hanya mengambil Ihya Ulumuddin dan kitab yang mendukung doktrinnya saja, sedangkan Aswaja Ilmi, mengutip kitab-kitab al-Ghazali dan kitab-kitab yang lain lebih banyak lagi.
             (9) Hukum Syara’(penilaian hukum agama terhadap Aswaja).Penilaian ini dapat dianggap sama antara pemikiran Aswaja Amali dan Aswaja Ilmi, yaitu fardlu ‘ain untuk megamalkan materi Aswaja tulisan tokoh-tokoh Amali, dan fardlu kifayah untuk mempelajari Aswaja yang diuraikan oleh Aswaja Ilmi. Demikian satu pendapat yang ada.
             (10) Masail al-ba’dl (permasalahan parsial tentang konsep Aswaja yaitu ilmu Kalam, ilmu Fiqh dan ilmu Tasawuf). Kedua model Aswaja (amali dan ilmi) itu cara pemecahannya berbeda, meskipun. secara metodologis, dan alatnya sama, yaitu pendekatan akal untuk ilmu kalam, pendekatan perasaan (dzuq) untuk ilmu tasawuf dan pendekatan perbuatan fisik (af’al al-mukallafin) untuk ilmu fqh. Tetapi penerapannya berbeda antara amali dan ilmi, karena perbedaan sikap. Yaitu mukhathiah bagi Aswaja Amali, dan mushawwibah bagi Aswaja Ilmi, sebagaimana disebutkan di atas.
          Sepuluh pilar itu, dianggap cukup menurut kelompok Aswaja Amali, tetapi menurut Aswaja Ilmi, 10 (sepuluh) pilar itu perlu ditambah lagi untuk pengembangannya. Menurut Cik Hasan Bisri dalam bukunya, Limabelas Jurus Penataan Ilmu mengatakan, bahwa kesepuluh pilar itu lebih komprehensip dari pada landasan ilmu yang menjadi pokok bahasan dalam falsafat ilmu yang diperkenalkan oleh Jujun S. Suryasumantri (1984) yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Kalau falsafat ini diterapkan pada isi syair itu, maka pilar yang dapat diterima hanya dataran ontologi dan aksiologi saja. Karena itu gagasan Aswaja menjadi pemikiran ilmiah itu  perlu ditambah satu pilar lagi, yaitu epistemologi.
          . Kata epistemology berasal dari bahasa Yunani epistem yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Kalau itu dikaitkan pada Aswaja, terdapat tiga persoalan pokok, yaitu  (1) Apa sumber-sumber (istimdad) Aswaja tadi, ditambah uraian mana sumber Aswaja yang benar, dan mana sumber yang tidak benar. (2) Apa dasar Aswaja itu, digali dari konsep atau dari pemikiran biasa yang kita pergunakan, atau dasar itu diambil dari sesuatu yang aneh seperti sulap atau sihir atau plintiran. Kalau model itu ada, apakah itu dapat diketahui oleh umum atau hanya diketahui secara khusus. Itu adalah persoalan yang mengarah pada problem fenomena dan naumena. (3) Apakah Aswaja yang kita rumuskan secara ijtihadiyah itu sudah benar (valid). Bagaimana cara kita membedakan antara yang benar dan yang tidak benar. Dalam falsafat ilmu, kebenaran ilmiah besifat relatif, kondisional, dan tergantung pada ijma’ para ilmuan. Konsep inilah sejalan dengan aliran mushawibah, yang  menilai bahwa ilmu, termasuk uraian Aswaja itu semuanya zhann atau ijtihadi.
            Kalau sepuluh pilar itu diterapkan pada pemikiran Cik Hasan Bisri, maka perlu dua pilar lagi, yaitu pilar ke 11 dan pilar ke 12.  Pilar ke 11 merupakan kelengkapan unsur informasi yaitu dari hipotesis dan teori sampai postulat dan aksioma. Sedang pilar ke12 adalah kelengkapan metodologi yang sesuai dengan dasra-dasar pengembangan Aswaja. 

  1. Tambahan materi untuk membentuk Aswaja sebagai ilmu  
          Dalam rangka membangun Aswaja sebagai ilmu, diperlukan beberapa tambahan, antara lain :
             (1)   Mempelajari struktur fondemental Aswaja, yakni hakikat Aswaja itu sendiri, yang dalam syair di atas disebut had dan maudlu’Aswaja. Dua unsur tadi merupakan sumbangan pada epistemologi yang menitik beratkan pada perspektif apa yang akan dipergunakan oleh Aswaja. Artinya, bisa terjadi beberapa ilmu memakai objek formal yang sama, seperti ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu agama pada umunya. Semua dapat dipelajari melalui dasar-dasar epistemologi Aswaja. Dari sisi lain, struktur fundamental juga bisa dipelajari sebagai paradigma keilmuan (asumsi filosofis) yang bisa dilihat konsistensi kerja atau konsep atau teori keilmuan. Paradigma dan teori keilmuan adalah dua hal yang mendasari falsafat keilmuan. Dari sini jelas bahwa falsafat ilmu identik dengan kerangka teori.
           Perkembangan selanjutnya banyak model penelitian yang mengungkap teori baru, tetapi sangat sedikit bahkan hampir tidak ada penelitian yang menghasilkan teori-teori untuk Aswaja yang baru. Beberapa Muktamar NU pada masa Gus Dur banyak menyajikan masalah fiqhiyah yang diangkat dari pranata sosial. Tetapi keputusannya belum optimal, di samping sarjana NU yang menamatkan S3 di dalam dan di luar negeri, belum ada disertasi yang berani mengungkapkan teori Aswaja Indonesiawi yang baru, yang menarik untuk didiskusikan oleh ilmuan sejagat. 
              (2)  Mempelajari struktur logis Aswaja, yang berhubungan dengan pandangan dunianya. Artinya terkait dengan logika apa yang bermain di belakang Aswaja itu, karena bisa dilihat apa konsekuensi sosiologis yang ditimbulkannya, atau konsekuensi politis, atau konsekuensi birokratis dan lain-lain. Di sini falsafat ilmu memperoleh masukan dari sejarah ilmu dan sosiologi ilmu, sehingga wajar jika Aswaja memiliki kateristik yang berbeda dengan ilmu lain, seperti ilmu nahwu, atau ilmu hadits dan lain-lain. Banyak ilmuan santri yang beranggapan bahwa ilmu Kalam yang ada dalam unsur Aswaja itu memakai demonstratif model Aristoteles (manthiqi). Tetapi Yosep van Ess mengatakan bahwa pola pikir logika ilmu Kalam itu Stoik[1] yang bercorak jadali. Dengan kata lain berbeda antara penilaian santri yang mengamalkan Aswaja dengan penilaian ilmuan yang mengamati karakteristik Aswaja, dengan ilmu-ilmu lain. Kalau ilmu Kalam dalam unsur Aswaja itu strukturnya bersifat jadali maka apakah masalah fiqhiyah yang menjadi unsur Aswaja juga seperti ziarah kubur, tahlil, pengiriman ganjaran kepada orang yang sudah mati dan lain-lain itu sama seperti struktur ilmu Kalam, atau berbeda. Dengan melihat struktur logis suatu ilmu, maka dapat dipahami tipe-tipe argumentasi Aswaja dan sekaligus sebagai landasan filosofis logis dalam membuat argumen ilmiah pada sisi lain.
                 (3) Sifat falsafat adalah heuristik yang jika itu diterapkan pada falsafat ilmu yang ada pada Aswaja, maka kerjanya adalah mencari trobosan baru agar uraian Aswaja yang disajikan tetap survive, marketable, aktual, berguna, dan selalu dimanfaatkan terus oleh banyak orang, sesuai perkembangan zaman. Trobosan yang perlu diperjuangkan agar Aswaja tetap dikembangkan, seorang ustaz bukan harus mengutip materi-materi dari Kitab Kuning saja, atau menyajikan interpretasi baru, tetapi dia harus banyak melakukan penelitian di lapangan, dan dia harus berani merubah pemikiran untuk mendiskusikannya. Memang hal yang satu ini telah menyita perhatian yang besar di kalangan ahli-ahli falsafat ilmu. Tetapi bagi seorang ustaz atau dosen sangat baik jika berusaha menyajikan sesuatu yang lebih sempit seperti tentang konsep, teori, metoda, pendekatan, objek kajian, dan hal-hal baru lainnya, dari pada uraian yang ke sana kemari, tetapi tidak jelas arahnya. Falsafat ilmu tidak berhubungan dengan kerja teknis kegiatan ilmiah, karena hal semacam itu menjadi pekerjaan metodologi. Atas dasar itu harus disadari bahwa filsafat itu penting bagi pemangku ilmu dan penulisnya. Apa pun uraian yang disajikan selalu berfikir falsafati, karena.falsafat bisa menanamkan kebiasaan dan melatih akal pikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide yang segar yang dibutuhkan oleh masyarakat. Falsafat ilmu menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk Aswaja dan untuk ilmu-ilmu agama lainnya. Ada uraian lain, bahwa orang yang .menghindari falsafat dapat dipastikan bahwa dia akan mengalami kekurangan gizi, yang dalam tempat lain, disebut bahwa orang itu telah membunuh intelektual atau egonya sendiri. 
             (4) Perlu kajian kritis (kritisisme) yang didapatkan mlalui penelitian untuk memahami duduk persoalan yang muncul setiap saat. Apa pun makna yang dapat difahami, bahwa kritik adalah sifat atau dasar falsafat. Karena itu falsafat ilmu tidak henti-hentinya melakukan kritik terhadap setiap ilmu (plus Aswaja) dan menelusuri perkembangannya. Terutama diarahkan pada keselarasan tiga aspek, yaitu epistemologis,. metafisika, dan aksiologis
.
  1. Metodologi pengembangan Aswaja  
             Banyak pilihan metoda untuk mengembangkan suatu ilmu, tetapi pengembangan Aswaja untuk menjadi ilmu, lebih tepat menggunakan metoda dialektika. Yaitu cara berfikir tentang permasalahan dengan memberikan interpretasi pada proses hubungan dinamika, dan kontradiksi. Ada yang berpendapat bahwa metoda ini dibuat sebagai seni berdebat yang disusun oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles yang kemudian dikembang-kan terus menjadi Ilmu Manthiq oleh Abdullah ibn al-Muqaffa’ (w.109 H-727 M). Tokoh Fersia ini menjadi penulis milik Negara bagi Khalifah Abu Ja’far al-Mansur. Dalam perkembangan selanjutnya, Falsafat Kantian (w.1084 M) menyajikan gagasan dengan judul Kritik Atas Rasio Murni. yang isinya memperdamaikan hubungan antara rasio dan pengalaman. Jika falsafat ini diterapkan pada Aswaja, terjadi dialektika antara rasio dengan empirisisme. Rasio mengambil pemikiran dari dalil-dalil al-Quran, al-hadits dan amalan al-salaf al-shalih yang terlepas dari semua pengalaman, yang oleh tokoh modernis mengklaim dirinya ‘Kembali pada Quran-Hadits’. Langkah itu disebut sebagai unsur apriori. Sedangkan empirisisme yang berasal dari pengalaman atau dari hasil penelitian tentang Aswaja di lapangan misalnya, itu oleh ilmuan disebut sebagai unsur aposteriori. Pikiran rasional dan kenyataan empirik itu dapat berhubungan timbal-balik secara dialektika.
           Dalam perkembangan selanjutnya, dialektika dianggap sebagai bagian dari ilmu logika dengan cara membedakan antara yang benar dan yang salah, dalam rangka memperoleh mufakat. Dialektika juga dapat diartikan bercakap-cakap dengan melibatkan banyak orang yang mempertentangkan suatu masalah dengan berkata-kata sendiri sebagai monolog. Kedua makna itu dapat dipergunakan untuk mengembang-kan Aswaja sebagai ilmu. Dasar filsafatnya adalah idealisme, subjektifitas, pikiran sama dengan kenyataan, atau sebaliknya (kenyataan pemikiran orang lain sesuai dengan rasio sendiri). Dengan kata lain, kenyataan adalah representasi pemikiran masing-masing individu yang kemudian menampakkan diri dalam proses sejarah realitas (dunia) dan pikiran bergerak aktif, berproses, terjadi kontradiksi, dan segala sesuatu itu berubah. Meskipun begitu, realitas dapat menyeimbangkan bagian-bagiannya. Unsur-unurnya bersifat sementara, tetapi setelah berada dalam kondisi, mencapai totalitas. Dasar metodanya adalah menolak metoda generalisasi, khususnya metodologi ilmu posistivistik, jika itu diterapkan untuk mengembangkan Aswaja sebagai ilmu.
           Metoda dialektika untuk Aswaja dapat disarikan menjadi tiga langkah yaitu (1) pengakuan terhadap konsep Aswaja yang sudah ada, yang didasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan, bahwa Umat Muhammad (umat Islam) akan terpecah menjadi lebih dari 70 firqah, yang selamat (masuk sorga) adalah satu, dan seterusnya. (2) penolakan terhadap pemikiran pertama sebagai akibat dari tidak adanya persamaan pemikiran (dasar ijtihadi) dan pengambilan teks hadits yang berbeda dengan teks hadits pertama. Rasulullah ber- sabda bahwa : Akan terpecah umatku (umat Islam) menjadi lebih dari 70 firqah. Semua akan masuk sorga kecuali kelompok Zanadiqah. Ia adalah satu firqah.  (3) Perdebatan konsep Aswaja di atas, diakhiri dengan lahirnya adaptasi, koherensi, dan kesesuaian secara menyeluruh di antara beberapa konsep Aswaja sehingga melahirkan konsep Aswaja yang baru.
          Pergulatan tiga pemikiran tadi bisa dibuat sebagai dialektika tesis, antitesis, dan sintesis. Merumuskan tiga hal itu tidak mudah, karena semua pemikiran dibuat sebagai akidah yang dipatenkan, dan sudah didoktrinkan oleh setiap kelompok kepada masyara-katnya. Meskipun begitu, semua ilmuan sadar bahwa konsep Aswaja yang ijtihadi itu pada umumnya bersifat abstrak, konseptual, sekaligus relatif, statis, dan sebagainya. Untuk mengembangkan ilmu, semua yang dianggap statis, mulai memperoleh masukan baru sehingga lahirlah komponen kedua yaitu pengingkaran. Pengingkaran inilah yang kemudian disebut antitesis. Secara fenomenologis tesis yang menjadi akidah akan terjadi pengertian umum, sehingga menimbulkan berbagai antitesa, seperti dorongan objektivitas dengan subjektivitas, diri dengan diri yang lain, bentuk dengan isi, pemahaman satu hadits Nabi dengan riwayat hadits yang lain, dan sebagainya. Dengan sendirinya semua itu akan menemukan keseimbangan tertentu, melalui diskusi yang terus-menerus, sehingga tejadinya kontradiksi tidak diakhiri dengan kembali kepada masalah awal, atau ke tesis yang semula saja Kontradoksi berarti terjadinya pergulatan antara tesis dengan antitesis yang dengan sendirinya harus diselesaikan pada tingkat sintesis.
           Metoda dialektika pada hakikatnya adalah sebagai model pertentangan segala sesuatu untuk mencapai sesuatu yang dianggap benar secara keilmuan. Kontradiksi di sini bukan berarti pertentangan dikotomis seperti kita dan bukan kita, lelaki dan perempuan, benar dan tidak benar, tetapi lebih bersifat pembidangan. Pertentangan dua pemikiran bukan sesuatu yang saling mengeksklusifkan, tetapi merupakan unsur yang esensial, dan dengan sendirinya bersifat saling melengkapi. Tanpa mendiskusikan sesuatu kontradiksi, ilmu untuk Aswaja tidak akan maju.
           Dalam metoda dialektika, tidak pernah terjadi stabilitas yang sesungguhnya. Makna yang akhir memperoleh penolakan baru, dan penolakan ini ditolak lagi oleh makna pertama dan begitulah seterusnya, sehingga melingkar membentuk sirkulasi tanpa akhir. Setiap sintesis terjadi stabilitas, tetapi stabilitas selalu bersifat sementara. Ketika terjadi suatu sintesis, maka tesis dan antitesis dianggap tidak ada atau sebaliknya diangkat ke tataran yang lebih tinggi. Tampaknya, ketika Aswaja doktrin akan diangkat menjadi Aswaja sebagai ilmu, akan terjadi seperti itu. Pemikiran akidah tekstualis Ahmad ibn Hanbali terjadi kontradiksi dengan akidah al-Asyári. Pemikiran Aswaja yang ditulis oleh K.H. Ali Maksun misalnya dipertemukan dengan konsep Aswaja yang ditulis oleh Ibn Taymiyah. Hadits Aswaja yang dikutip oleh tokoh-tokoh Aswaja Jawa Timur, ditemukan dengan hadits Aswaja yang dikutip oleh al-Ghazali dalam artikelnya, Faifhal al-Tafriqah. Dari semua pertemuan yang didiskusikan itu, akan muncul sintesa yang baru. Sintesa ini akan menjadi tesis dan ditentang oleh antitesis lagi dan begitulah seterusnya.
            Prinsip-prinsip metoda dialektika pada dasarnya sama dengan hermeneutika, baik dalam kaitannya dengan antarhubungan unsur, maupun proses pencarian makna. Secara praktis kedua metoda juga mengindroduksi cara kerja dalam bentuk lingkaran. Bedanya, kalau metoda hermeneutis seolah-olah berhenti pada dataran tekstual, sedangkan metoda dialektika di samping mempelajari isi teks juga masuk ke dalam jaringan struktur sosial, sebagai konstruksi intersubjektivitas. Hasil penelitian Aswaja tentang pemahaman para tokoh misalnya itu tetap abstrak dan dangkal (zhan) tanpa integrasi ke dalam keseluruhan pemikiran konsep-konsep Aswaja yang ada dan berkembang. Itulah salah satu model bentuknya “ilmu”. Meskipun begitu, kedua metoda, hermeneutika dan dialektika yang disertai dengan hasil penelitian tetap dipergunakan bersama-sama untuk melengkapi perkembangan Aswaja menjadi ilmu.

  1. P e n u t u p
            Dari uraian di atas dapat dipelajari bahwa Aswaja memiliki konsep sebagai gagasan, ideologi, kepentingan (interest) dari berbagai kelompok yang tidak terpisahkan dari suatu keinginan paradigmatis. Pada awalnya, Aswaja merupakan sebuah konsep yang uraiannya banyak diperebutkan oleh berbagai kelompok dalam Islam. Mereka sama-sama mengklaim bahwa dirinya adalah kelompok yang paling benar dan memiliki otoritas, untuk mengembangkan isi dan uraiannya. Meskipun begitu, uraian yang disajikan oleh mereka tetap bersifat doktrin yang menyajikan berbagai dalil-dalil keagamaan pilihannya. Terkadang uraian itu menarik dan suatu ketika normatif dan apologis. Uraian semacam itu kurang menarik bagi ilmuan dan akademisi, karena kebiasaan mereka adalah mencari uraian yang membangun teori dalam suatu paradigma. Mereka sendiri ingin terlibat dalam pembahasan dan mengkritisi model-modelnya. Tetapi keinginan itu masih memerlukan pemikiran, dan langkah-langkah yang lebih serius lagi, karena Aswaja yang banyak ditulis oleh para pakar itu lebih diarahkan untuk pembinaan masyarakat awam, dan sangat sedikit yang diangkat dari hasil sebuah penelitian.
          Jika ilmuan dan akademisi menginginkan perubahan struktur berfikir di kalangan penulis-penulis Aswaja yang ada, maka mereka harus terus melakukan komunikasi, diskusi-diskusi bebas, dan membangun wacana, serta langkah yang terpenting adalah melakukan penelitian praktis emansipatoris. Salah satu teori untuk melaksanakan keinginan itu, ilmuan dan akademisi dapat menerapakan metoda dialektika, di samping penerapan Teori Kritis. Metoda dan teori yang dapat membuat teori “Islam Indonesiawi” ini, insya Allah dapat membuat Aswaja dari dataran doktrin menjadi ilmu.
            Wallahu a’lam bi al-shawab.




Daftar Bacaan :
            Abdul Aziz, Konsepsi Ahlis Sunnah wal-Jama’ah dalam Bidang Akidah dan Syari’ah,      Pekalongan 1996, Bahagia.
          Abu Hanifah, Al-Fiqh al-Akbar, 1980, Published in the Journal al-Bayan.
          Abu Zahrah, Muhammad, Tarih al-Madzahib al-Fiqh, Kairo, Mathbaah al-Madani
         Abdurrahman Wahid,  Islam dan Masyarakat Bangsa dalam Majalah Pesantren No. 3,  Jakarta, 1989. P3M.
         --------------------Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan, Jakarta, 2001, Desentara.
          Aceng Abdul Aziz dkk. Islam Ahlis Sunnah wal-Jama’ah di Indonesia, Jakarta, 2007, Pustaka Ma’arif.
          Ahmad Shiddiq, K.H. , Khitthah Nahdliyah, 1980 Surabaya, Balai Buku.
          Ahmad Zaini Dahlan, al-Sayyaid, Syarah ‘ala Matn al-Ajurumiyah, Surabaya tth. Maktabah Muhammad ibn Nabhan,
          Ali Shari’áti, Islam dalam Perspektuf Sosiologi Agama (Terj. Ibnu Muhammad) Bandung, 1983, Iqra.
           Ali Sami al-Nasyar, Manahij al-Bahts ‘inda Mufakkiriy al-Islam, Kairo, Dar al-Fikr.
           -----------------------Nasy al-Fikr al-Islamiy, Kairo, Dar al-Fikr.
          Ali Maksum K.H., Hujjah Ahl al-Sunnah wa al-Jana’ah, (Ahmad Sa’id Red..) Kudus, Mathba’ah Menara.
         Baihaqi, al-, Al-I’tiqad ‘ala Mazhab al-Salaf, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Kairo, 1948, Al-Salam al-Alamiyah.
          Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh Jilid I, Jakarta, 2003, Edisi Pertama, Prenada  Media.
          -------------------- Limabelas Jurus Penataan Ilmu, Kado Ulang Tahun ke 40 untuk Masyarakat Ilmiah UIN Bandung.
         Clifford Geetrtz, Abangan, Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, 1981,
Pstaka Jaya.
          Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Cet ke I, Ciputat, 1997, Logos.
          Ghazali, Al-Imam al- Faishal al-Tafriqah bain al-Islam wa al-Zindiqah, Editor
Sulaiman Dunia, Mesir, 1961, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah.
          Hallaq Woel B., Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar Ushul Fiqh Mazhab Sunni, (Terj. Kusnadiningrat dkk) Jakara, Raja Grafindo Persada.
          Hasyim Asy’ari, Hadratussyaikh K.H. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Jombang, Turats Islami.
          --------------------, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama , Kudus 1069 Menara.
           Hasyim Latif, Nhdlatul Ulama Penegak Panji Ahlis Sunnah wal-Jamaáh, Surabaya, 1979, Peng. NU Jawa Timur.
           Hiroko Harikoshi, Kiyai dan Perubahan Sosial,Jakarta, 1987, P3M.
           Ibn Taymiyah, Majmuk al-Fatawa, Mesir, Harf Tandhihiyah al-Ma’klmat.
          Jujun S. Suriasumantri, Falsafat Ilmu, Suatu Pengantar Populer, Jakarta, 1984, Penerbit Sinar Harapan.
          Koentjaraningrat, (Redaksi) Model-model Penelitian Masyarakat  Jakarta, 1077, Cet. Ke II, Gramedia.
          Majdi ibn Muhammad ibn Asyur, Al-Tsawabit wa al-Mughayyirat  Dubay, Dar al-Buhuts li Dirasat al-Islamiyah wa al-Turats.
          Mangunwijoyo, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Jakarta, 1983, Yayasan Obor Indonesia.
          Mansour Faqih, dkk. Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis, Jakarta, 2001, Roadbook insist.
          Maleong Lexy, Metodologi Penelitian Kwalitatif, Bandung, 1993, Remaja Rondakarya.
          Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Cet ke II, 2005 Belukar.
          Mushthafa Bisri, Risalah Ahlis Sunnah wal-Jama’ah, Kudus, 1967 Al-Ibriz.
          Saifuddin Zuhri, Menghidupkan Nilai Ahlis Sunnah wal-Jama’ah dalam Politik, Jakarta, 1076, Pucuk Pimpinan IPNU.
          Shaleh Fauzan, Prinsip-prinsip Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Terj. Abu Aasia) Riyadl, Dar al-Qasm.
          Syahrastani, al-, Al-Milal wa al-Nihal, Mesir, al-Maktabah al-Syamilah.
          Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Jakarta, 1997, Pustaka Tarbiyah.
          Selo Sumardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta Cetakan ke I, 1981 Gajah Mada Perss.
          Van Bruineessen, Martin, Kitab Kuning Pesantren dan Tharekat : Tradisi Islam di Indonesia, Bandung, 1995, Mizan.
          Zakki Mubarak, Al-Tasaawwuf al-Islamiy fi al-Adaba wa al-Akhlaq, Kairo, Dar al-Kutub.
                  
       
              .
    
 (3) KHA. SYATHARI PEMANDU KITAB KUNING
                                                                                                                            
A. Pembukaan
          Tulisan ini tidak menceritakan riwayat hidup KHA. Syathari dalam perjalanan mempelajari Kitab Kuning, tetapi hanya menjelaskan apa Kitab Kuning yang dikelola oleh pendiri Pesantren Arjawinangun itu. Tokoh ini banyak menguasai wawasan Kitab Kuning, tetapi dari mana ia mempelajari kitab-kitab itu. Dalam sanad kitab-kitabnya, ia belajar membaca al-Qurán, pertama dari ayah dan dari ibunya, yaitu KH Syanawi bin Abdullah bin Muhammad Syalabi, dan Nyai Arbiyah bint Abdul Aziz ibn Arjaen, yang memiliki silsilah dengan raja-raja di Banten. Tetapi apa hanya membaca al-Quran saja, atau ada kitab yang ia pelajari dari ayah itu. Ketika masih kanak-kanak Kiyai Syathari belajar di Pesantren Babakan Ciwaringin asuhan Kiyai Ismail bin Kiyai Adzra’I Sepuh. Kemudian pindah ke Pesantren Ciwedus Desa Timbang Kecamatan Cilimus Kuningan, yang diasuh oleh Kiyai Shaubari. Dari sini Kiyai Syathari meneruskan belajar di Madrasah Manbúl Ulum di Solo, sambil belajar kitab kuning dari KH Idris di Pesantren Jamsaren Solo. Kemudian Kiyai Syathari pindah ke Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh oleh K.H.M. Hasyim Asy’ari, dan mengambil barakah dari KH. Khalil Bangkalan Madura, yang hanya beberapa minggu saja, karena ulama besar ini wafat. Dari sini Kiyai Syathari pulang ke Lontangjaya, tetapi tidak dijelaskan, kitab-kitab apa yang dipelajari dari kiyai-kiyai di beberapa pesantren itu. .

B. Definisi Kitab Kuning
          Sebutan Kitab Kuning (KK) tidak jelas, dari mana asal-usulnya. Apalagi belum ada Kamus atau Encyclopedia yang menguraikan tentang konsep itu.. Ada sangkaan bahwa istilah itu muncul dari orang Barat yang menyebutkan kitab yang dipelajari oleh kaum muslimin di pesantren di Indonesia. Salah satu Sarjana Belanda, Martin van Bruinessen menulis buku berjudul “ Kitab Kuning, Pesantren dan Tharekat”. Selain itu A. Qadri Azizi, mengenalkan Wadad Qadli kelahiran Libanon yang menjadi Guru Besar Islamic Thouht di Chicago. Profesor ini menyebut istilah al-Auraq al-Shafra untuk KK itu. Begitu pula seorang tokoh Saudi Arabia yang bekerja di Jakarta, menyebut KK itu dengan istilah al-Kutub al-Shafra. Berbeda lagi dengan ucapan beberapa tokoh Nahdliyin, yang mengatakan bahwa KK itu disebut al-Kutub al-Mu’tabarah. Dengan demikian, jelaslah bahwa KK adalah nama sebuah kitab yang dipopulerkan oleh penulis dan pembaca, yang isinya menguraikan ilmu-ilmu agama yang dicetak dalam beberapa kitab yang umumnya memakai ketas kuning.
          Ciri-cirinya ada yang menguraikan, bahwa KK adalah kitab-kitab berbahasa Arab, yang tidak menggunakan tanda baca, dan biasanya ditulis dengan menggunakan kertas kuning. Kitab-kitab itu, dulu ditulis tangan dalam kertas kuning yang sekarang disebut papyrus. Kemudian kitab-kitab itu mulai dicetak dan digandakan oleh berba-gai percetakan sampai sekarang. Tetapi kapan kitab-kitab itu mulai dicetak.
     .  Qadri A. Azizi mengatakan bahwa Dinasti Muhammad Ali Pasya (1769-1849 M) di Mesir adalah lembaga pertama yang berusaha mencetak beberapa judul KK. Berbeda dengan Harun Nasution yang menulis bahwa beberapa kitab agama yang pertama dicetak adalah beberapa KK oleh Ibrahim Mutafarrika (1674-1744 M) pada masa Daulat Usmani di Turki, termasuk mencetak al-Qurán di Istanbul. Lepas dari penilaian mana yang benar, tetapi banyak sekali KK yang dicetak oleh berbagai percetakan, dengan tidak mencantumkan tahun penerbitan. Dari segi lain, banyak juga KK yang ditulis oleh tokoh zaman dulu, tetapi baru diterbitkan sekarang, bahkan masih banyak karangan ulama yang masih ditulis tangan (makhthuthat). Meskipun begitu ada usaha dari kaum muslimin yang sudah memasukan KK ke dalam micro film dan semacamnya. Dengan uraian Harun Nasution dan A.Qadri Azizi itu  menun-jukkan bahwa Turki atau Mesir adalah Negara Islam pertama yang mempelopori percetakan KK, yang kemudian disusul oleh beberapa Negara termasuk percetakan KK di  India, Indonesia dan lain-lain.. 
          Sebagian santri mengatakan bahwa semua KK selalu mengacu pada penjabaran terhadap al-Qurán dan al-Hadits, atau paling tidak KK itu selalu mengambil legitimasi dari dua sumber ajaran itu. Dengan demikian, KK tidak hanya menguraikan masalah ibadah saja, tetapi juga menguraikan tentang fiqh, tawhid, tafsir, hadits, atau akhlak dan lain-lain. KK menyajikan juga uraian tentang sejarah, sastra, peradaban, filsafat, mistisisme, politik dan pranata social, termasuk ilmu metodologi seperti ilmu manthiq, ushul fiqh, ushul al-tafsir, nahwu, balaghah dan lain-lain. Dengan demikian ada dua model yang ada pada KK. Yaitu (1) KK yang berisi kelompok ajaran, dan (2) KK yang berisi kelompok bukan ajaran. Kelompok pertama terbagi menjadi dua, yaitu (a) ajaran dasar, sebagai mana terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, (b) ajaran yang timbul dari penafsiran dan interpretasi ulama terhadap ajaran dasar itu. Sedangkan kelompok kedua adalah konsep atau teori yang datang dari luar Islam, tetapi masuk ke dalam komunitas Islam. Konsep itu sebagai hasil perkembangan sejarah umat Islam itu sendiri. Contohnya seperti lembaga-lembaga kemasyarakatan, rekayasa teknologi, dan aneka kebudayaan, termasuk metodalogi keilmuan dalam pendidikan, komunikasi dan lain-lain. Selain teks al-Qurán dan teks al-Hadits, semua KK itu didapatkan melalui ijtihad dan pemikiran. Karena itu, tidak perlu takut bagi santri mengulas masalah yang sifatnya pemikiran, meskipun itu tercatat dalam KK.

C. Perkembangan Kitab Kuning
          Ilmu-ilmu dalam KK adalah informasi yang pertama kali disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada para shahabat, dengan penyampaian yang dilakukan secara lisan ke lisan (syafawiyah). Demikian, karena mereka belum banyak mengenal tulis- menulis, kecuali beberapa shahabat saja.
            Selain sunnah Rasulullah, ilmu juga berkembang dari beberapa sikap dan pemikiran para sahabat Nabi terhadap sunnah Rasulullah itu. Pemikiran semacam itu saling berbeda antara satu sahabat dengan sahabat yang  lain. Suatu contoh, Umar ibn al-Khattab.adalah tokoh besar yang tidak banyak menghafalkan teks-teks hadits Nabi, tetapi ijtihadnya banyak mengetahui dasar-dasar keadilan, kebersamaan manusiawi, kemerdekaan individu, dan lain-lain yang dibuat sebagai dasar maqashid al-syariáh. Pemikiran semacam itu banyak diikuti oleh para sahabat lain, seperti Ibn Masúd dan murid-muridnya yang mengembangkan keilmuan di Irak. Kerangka berfikir semacam itu berkembang terus sampai muncullah tokoh-tokoh besar semacam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan tokoh rasionalis lainnya.
           Pemikiran seperti itu berbeda dengan puteranya sendiri yaitu Abdullah ibn Umar. Tokoh ini banyak menghafalkan hadits Nabi. dan menyebarkan teks-teks itu kepada murid-muridnya..Ia bersama Aisyah, Zaid ibn Tsabit dan lain-lain banyak mengikuti amalan Rasulullah secara tekstualis..Dengan demikian, tokoh ini terkenal dengan sebutan tokoh tekstualis. Kerangka berfikir itu banyak diikuti oleh murid-muridnya di Madinah, antara lain Nafi’, Urwah, Abul Aliyah dan lain-lain.. Dalam sejarahnya Nafi’ itu bukan orang Arab, tetapi sangat terkesan pada pola pikir Ibn Umar. Karena itu sanad hadits Ibn Umar yang paling shahih adalah melalui tokoh ini. Dari sanad Nafi’ kemudian turun ke al-Imam Malik.
          Di antara dua tokoh di atas, muncul sahabat Ibn Abbas yang mengembangkan ilmu di Makkah dan Thaif. Tokoh ini banyak belajar pada sahabat besar terutama  Umar ibn al-Khattab dan Ali ibn Abi Thalib. Tokoh ini banyak mempelajari tradisi Jahiliyah dan amalan tokoh-tokoh Hunafa. Ia juga mempelajari kisah-kisah Israiliyat dari tokoh-tokoh Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam. Pengetahuan itu diramu sedemikian rupa untuk dikaitkan dengan penafsiran ayat-ayat al-Qurán. Ia termasuk budayawan besar waktu itu, dan bergumul dengan murid-murid yang berfikir jalan tengah, yaitu berfikir antara teks dan realitas. Kerangka berfikir semacam itu, banyak diikuti oleh murid-muridnya seperti Said ibn Jubair, Ikrimah,dan lain-lain.Tokoh ini diikuti pula oleh beberapa tokoh Quraisy, bahkan menurut sebagian ahli Fiqh, bahwa al-Syafi’í sebelum merantau ke Madinah, Irak dan Mesir pikirannya selalu didasarkan pada pola pikir Ibn Abbas semacam itu.
            Di antara shahabat besar lagi adalah Ali ibn Abi Thalib. Tokoh ini diperdebat-kan oleh orang-orang sesudahnya, sampai terjadi penilaian pro dan kontra. Nama besar pribadi Ali sering disebut orang, untuk memberikan legitimasi pemikiran keagamaan. Banyak orang yang meriwayatkan hadits Nabi liwat Ali sehingga mencapai jumlah 686 matan hadits. Setelah diteliti, ternyata hanya 50 hadits saja yang dijamin shahih Begitu pula banyak sekali khutbah, doá, nasihat, dan kata-kata hikmah yang diatas namakan Ali ibn.Thalib. Ali adalah tokoh besar yang oleh Rasulullah dikatakan: Ana Madinat al-Ilmi wa Aliyyun Baabuha. (Saya adalah gudang ilmu, sedang Ali adalah pintunya). Ali juga mempunyai andil besar dalam Islam dan tokoh kharusmatik di kalangan shahabat Ansor dan Muhajirin. Tetapi kebesaran Ali itu, tidak harus dikultuskan seperti pemikiran Syiáh Ghulat. Dari Ali ini muncullah beberapa mazhab keagamaan yang semuanya disebut Syiáh. Mazhab Syiáh yang paling dekat dengan Sunni adalah Syiah Zaidiyah. Selain itu muncul juga Syiah Ítsna Asyariyah, dan Syiáh Ismailiyah. Selain itu, ada Syi’ah yang tidak diakui oleh Syiah lainnya, yaitu semua Syiáh Ghulat sabagaimana tersebut di atas. Selain tokoh-tokoh tersebut, masih banyak para shahabat Nabi yang menuangkan pemikiran (mazhab) keagamaan tersendiri seperti Zaid ibn Tsabit, Muaz ibn Jabal, Abu Darda, Abu Dzar al-Ghifari dan lain-lain.
            Pemikiran para sahabat Nabi banyak diikuti dan dikembangkan oleh murid-muridnya yang oleh KK disebut tabiin. Para tabiín bukan hanya terdiri dari orang-orang Arab, tetapi juga orang-orang bukan Arab (ájami). Terkadang kelompok ini, oleh KK disebut mawali. Pergulatan para sahabat dengan mawali itu memiliki dampak yang sangat positif, terutama berkaitan dengan tradisi keilmuan. Kalau zaman dulu, tokoh-tokoh ilmuan disebut qurra, tetapi setelah banyak mawali, ilmuan itu disebut faqih atau fuqaha. Dengan demikian, gagasan Umar ibn al-Khattab yang dititik beratkan pada pengolahan maqashid al-Syariáh, lebih berkembang dan lebih maju dari pada pemikiran tokoh-tokoh yang mengandalkan hafalan.
          Atas dasar itu, keilmuan agama Islam di daerah-daerah banyak dikembangkan oleh tokoh-tokoh mawali, sebelum munculnya mujtahid mutlaq. Para ilmuan ini oleh KK disebut fuqaha sabáh (faqih raksasa yang tujuh).Perlu diketahui bahwa selain Said ibn al-Musayyab di Madinah, maka hampir semua fuqaha adalah mawali, seperti Atha ibn Abi Rabah di Makkah, Thawus di Yaman, Yahya ibn Katsir di Yamamah, Makhul di Siria (Syam), Athiah di Khurasan, Hasan al-Bashri di Basrah, dan al-Nakha’í di Kufah. Kemudian sejarah berikutnya menulis, bahwa tokoh-tokoh tafsir, hadits, fiqh, kalam, qiraát, sejarah, tasyri’, filsafat, mistisisme, dan lain-lain termasuk ilmu-ilmu metodologi, itu hampir semua dikembangkan oleh tokoh-tokoh mawali. Selain itu, tokoh-tokoh kharismatik seperti Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali Abi Thalib, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar al-Shiddiq, dan Salim ibn Abdullah ibn Umar al-Khattab itu ibu-ibu mereka adalah mawali terhormat, puteri-puteri Yazdajird. Dari uraian itulah ilmu agama Islam mulai berkembang sampai sekarang.     
         Sejarawan mengakui bahwa pengumpulan hadits Nabi yang dipelopori oleh Khalifah Umar Abdulaziz, adalah dasar bagi munculnya ilmu-ilmu agama (al-ulum-al-diniyah). Dari kodifikasi hadits itu, tercabanglah ilmu yang lain terutama tafsir al-Qurán, sejarah, dan fiqh. Setelah memakan waktu, berkembanglah ilmu-ilmu lain yang satu sama lain mulai terkodifikasi. Tafsir al-Qurán muncul dengan diikuti oleh ulum al-Qurán yang masih terpisah-pisah. Tetapi sebelum itu, Khalil ib Ahmad al-Farahidi (712-778 M) telah berhasil menyempurnakan penulisan huruf-huruf al-Qurán dengan bacaannya. Sibawaih telah berhasil menyusun ilmu nahwu, dan banyak ulama yang memiliki andil besar bagi keilmuan KK seperti Al-Ashmuí, Al-Jahizh, Ibn Qutaibah, al-Mubarrad dan lain-lain. 
          Sejarawan juga mengakui, bahwa pertumbuhan ilmu yang paling pesat adalah terjadi pada masa Abbasiyah di Baghdad, yang dimulai dari Khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Sekretaris Negara dalam kerajaan itu adalah Abdullah ibn al-Muqaffa’ (w. 727 M), seorang filosof yang menghimpun beraneka macam ilmu dari beberapa penjuru dunia, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada waktu itu, buku-buku yang diterjemahkan bukan hanya falsafat, tetapi segala macam ilmu, budaya, social dan eksakta. Ilmu-ilmu itu mulanya diambil dari Byzantium, dan diambil juga dari berbagai penjuru dunia termasuk Alexandria di Mesir, dari Fersia dan dari India. .Kemudian ilmu-ilmu itu diedarkan ke berbagai daerah muslim untuk dipelajari dan dikembangkan terus, sampai bermunculan tokoh-tokoh yang menulis berbagai karangan dalam berbagai ilmu. Kegiatan semacam itu berjalan lebih dari satu abad, dan lebih menyolok lagi pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun. Dalam kitabnya, Al-Fahrasat, Ibn al-Nadim menulis bahwa macam-macam karangan yang dikembngkan waktu itu, merupakan ledakan dahsyat, tidak saja terjadi pada penulisan berbagai ilmu, tetapi juga diskusi keilmuan, penawaran paradigma, kerangka berfikir, kontekstuaisasi ilmu, kreatifitas, dan penemuan lainnya.
         Kemajuan ilmu dan peradaban yang amat pesat itu, tidak hanya terjadi di daerah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, tetapi juga di wilayah lain. Daulat Fathimiyah di Mesir (909-1171 M) yang menganut Mazhab Syiáh, dulu telah berhasil mendirikan Perguruan Tinggi di Kairawan (Tunisia). Dari sini, mereka berhasil mendirikan kota Kairo di Mesir pada tahun 972 M. Di kota Nil ini, dibangunlah sebuah masjid dan perguruan tinggi Al-Azhar yang masyhur itu. Masjid dan perguruan tinggi yang dibangun oleh Jauhar al-Siqli ini hidup terus sampai sekarang dan selalu dimanfa-atkan oleh seluruh kaum muslimin di dunia. Jauhar Siqli (Cicilia) adalah perdana menteri Fathimiyah yang paling populer dalam sejarahnya.
          Begitu pula Dinasti Umayyah di Spanyol (759-1031 M) telah berhasil membangun sebuah masjid di Kardova (Qurthubbah). Kota ini dan sekitarnya, seperti Granada dan Sville (al-Syibli) adalah merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam di barat, sebagai tandingan Islam di Baghdad dan Kairo. Kalau di Baghdad terdapat Bait al-Hikmah dan Madrasah Nizhamiyah, dan di Kairo terdapat Dar al-Hikmah dan al-Azhar, maka di Kordova ini dibangunlah Universitas Kardova yang didirikan oleh Abdurrahman III (929-961 M). Universitas ini memiliki perpustakaan yang diisi ratusan ribu kitab dalam ratusan ribu judul. Orang-orang Barat yang terdidik dan muncul sebagai ilmuan waktu itu, semua lulusan lembaga ini.

D. Model-Model Penyajian Kitab Kuning
          Di kalangan kaum santri ada penilaian, bahwa KK memiliki empat macam metoda. Yaitu (1) deduktif (istinbathi). Metoda ini dipakai oleh para peneliti, dan dipakai juga untuk menjabarkan dalil-dalil keagamaan (al-Qurán dan al-Hadits) menjadi fiqh, tawhid, akhlaq, konsep-konsep ibadah, social kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Metoda ini banyak dipakai oleh Ilmu Ushul-Fiqh aliran mutakallimin sebagaimana dilakukan oleh mazhab al-Syafií, Hanbali, dan Syiáh Itsna Asyariyah.
          (2) Induktif (istiqraí). Metoda ini dipergunakan oleh banyak peneliti untuk ke-pentingan berbagai ilmu, termasuk ilmu agama, dan dipergunakan pula oleh Ilmu Ushul Fiqh aliran rakyu. Metoda ini mempelajari kasus-kasus keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat, kemudian dicarikan dalil-dalilnya untuk konsep keagamaan tersebut. Dari sini muncullah  konsep fiqh, akhlaq, ulum al-Qurán, social, politik, dan lain-lain. Tokoh-tokoh Ushul Fiqh yang mendekati penggunaan metoda ini antara lain  Hanafiyah, Malikiyah, dan Mazhab Mu’tazilah.
           (3) Genetika (takwini). Metoda ini mengajak pembaca agar berfikir dengan melihat kejelasan sebab-sebab terjadinya masalah, atau melihat geografi seseorang dikaitkan dengan konteks kegiatanya. Metoda ini awalnya dicetuskan oleh Al-Bukhari  (810-870 M.) ketika meneliti sanad hadits. Berdasarkan pekerjaan itu al-Bukhari menurunkan penilaian, apakah hadits itu shahih atau dla’if. Model ini diikuti oleh setiap tokoh hadits yang muncul sesudahnya. Kalau kita melihat model deduktif dan induktif, maka metoda itu sudah dipopulerkan oleh falsafat Yunani. Sedangkan metoda takwini baru muncul dan ditemukan oleh dunia Islam, dan sekarang berkembang lebih luas lagi termasuk model histiografi, etnolgari, dan lain-lain.
          (4) Dialektika (jadali). Metoda ini oleh KK disebut Adab al-Bahts wa al-Mun-zharah. Biasanya metoda ini muncul dari pertanyaan atau sesuatu yang dipertanyakan. Dasar-dasar model ini banyak dilakukan oleh KK, seperti al-Ghazali menulis kitab Tahafut al-Falasifah ketika ia mengkritik pemikiran para filosof.  Begitu pula Ibn Rusyd dengan kitabnya, Tahafut al-Tahafut, menulis untuk mengeritik karya al-Ghazali itu. Atau seperti Ibn Taymiyah yang mengeritik kerangka berfikir para filosouf dalam kitabnya, Al-Radd ála al-Manthiqiyyin. Selain itu ada beberapa ulama yang menulis fiqh muqarin yang di dalamnya menyajikan dialog antar ulama, seperti karya Abu Ishaq al-Syairazi (1002-1083 M) dalam kitabnya, Al-Muhazdab dan perbandingan Ushul-Fiqh dalam kitabnya, Al-Luma’.
             Model-model KK dilihat dari kreatifitas penulisnya, terbagi menjadi sembilan macam, yaitu (1) Kitab yang menyajikan gagasan baru yang belum pernah disajikan oleh orang lain, seperti kitab Al-Risalah karya al-Syafií yang menyajikan kerangka berfikir fiqh. Atau seperti Al-Jami al-Bayan karya Ibn Jarir al-Thabari, yang meng-angkat hadits, qaul shahabat, sejarah, dan menciptakan kerangka berfikir (ijtihad) untuk tafsir al-Qurán. Atau contoh lagi seperti karya al-Jahizh dari Mu’tazilah yang menulis tafsir rakyu yang filosofis dengan penyajian maudluí, dalam kitabnya al-Hayawan. Atau contoh lagi seperti pemikiran Washil ibn Atha, Abu Hasan al-Asyári, dan lain-lain. (2) KK yang muncul sebagai pelengkap dan penyempurna gagasan baru seperti kitab Ilmu Nahwu karya Sibawaih yang menyempurnakan gagasan Abul Aswad al-Duáli, Yahya ibn Ya’mur dan tokoh-tokoh yang mendahului Sibawaih. Atau contoh lagi seperti kitab Ihya Ulum al-Din karya al-Ghazali, yang mensistemati-kan ajaran tasawwuf yang waktu itu belum sempurna, lalu dikaitkan dengan Ilmu Fiqh sehingga muncul sebuah ilmu yang lengkap dengan istilah baru, fiqh suvistik. (3) Kitab yang membawakan komentar (syarah) terhadap kitab lain yang sudah ada. Penyusunan syarah, biasanya ditulis oleh ulama mutakhir seperti kitab Fath al-Bari karya Ibn Hajar al-Asqallani yang memberikana komentar (syarah) terhadap kitab Al-Jami al-Shahih karya al-Bukhari. Atau seperti al-Nawawi yang menulis syarah untuk Kitab Shahih Muslim, dan lain-lain. (4) Kitab yang meringkas karangan yang panjang, untuk dijadikan karangan singkat tetapi padat. Karya ini oleh KK disebut kitab mukhtashar seperti Kitab Alfiyah Ibn Malik yang meringkas Kitab Al-Kafiyah tentang Ilmu Nahwu. Atau seperti Lubb al-Ushul karya Zakaria al-Anshari, yang meringkas Kitab Jamúl Jawami’karya al-Subki, dan lain-lain. (5) KK yang materinya mengutip dari beberapa KK yang sudah ada, kemudian dijadikan satu kitab tersendiri. Model ini banyak macam, tetapi yang hebat adalah karya Al-Aufi yang menghimpun berbagai ilmu yang bertalian dengan maa haul al-Qurán, kemudian dijadikan satu kitab dengan nama Ulum al-Qurán. Atau seperti Al-Ramahurmuzi yang menghimpun beberapa ilmu yang membahas tentang eksistensi hadits, dan dirangkum jadi satu karangan dengan nama Ulum al-Hadits. Dan ada lagi karya yang dinilai sederhana, karena hanya mengutip tulisan beberapa tokoh untuk dijadikan sebagai satu kitab tertentu, seperti kitab kumpulan doa dan zikir. (6) Kitab yang memperbaharui sistematika penulisan, sehingga menjadi kitab yang menarik dan enak dibaca. Karya ini sering dilakukan oleh ulama mutakhir, yang memperbarahui sistematika kitab-kitab ulama mutaqaddimin, seperti kitab-kitab karya al-Sayuthi, Zakaria al-Anshor, Ibn Hajar, al-Ramli dan lain-lain. (7) Kitab kritik dan koreksi, atau kitab tandingan terhadap kitab yang sudah ada, seperti Kitab Mi’yar al-Ilm karya al-Ghazali yang meluruskan kaidah-kaidah manthiqiyah yang telah ada dan disesuaikan dengan pola pikir umat Islam pada umumnya. Dengan demikian, Ilmu Manthiq yang helenis itu dapat diterima oleh dunia Islam. (8) KK yang penulisnya lebih dari satu orang, seperti Kitab Tafsir al-Jalalain  yang ditulis oleh Al-Mahalli dan al-Sayuthi Atau lagi peperti Kitab al-Majmu’ (Syarah al-Muhazdab) yang ditulis pertama oleh Al-Nawawi, kemudian diteruskan oleh al-Subki, dan diteruskan lagi oleh Najib Muthií. Tiga tokoh itu jarak waktunya sangat jauh, dan satu sama lain tidak pernah ketemu. (9) KK yang diberi makna bahasa Jawa, atau Sunda, atau lainnya, dan diberi ulasan dengan bahasa itu, seperti KK yang diajarkan di beberapa pondok pesantren. Atau termasuk model ini, kitab-kitab ulasan yang ditulis oleh tokoh tertentu dan dicetak. Santri-santri Cirebon mengatakan bahwa karangan itu disebut Kitab Jembret. KK ini banyak dipakai oleh para kiyai Majlis Ta’lim di berbagai daerah. Dan termasuk model ini adalah  kitab yang ditulis dengan bahasa Indonesia, yang materinya diambil dari KK, kemudian dijadikan sebagai karangan tersendiri, seperti buku-buku Hasbi al-Shiddiqi, Hamka, Quraisy Shihab dan lain-lain yang beredar di beberapa Sekolah Tinngi Agama Islam.

E. Kitab Kuning Yang Dipasarkan KHA. Syathari
          Suatu ketika KHA Syathari (Kiyai) menerima banyak tamu yang kebanyakan wali santri. Waktu itu Kiyai berkata, bahwa  pesantrennya diproyeksikan untuk men-didik santri pemula (pewinian). Perkataan itu terbukti bahwa pesantrennya didatangi  oleh santri-santri tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah ala Pesantren. Padahal waktu itu, Departemen Agama RI sudah membentuk lembaga tinggi untuk pesantren, yang diberi nama “Pesantren Luhur”. Mungkin sekarang disebut Ma’had Ali. Atas dasar itu KK yang diajarkan oleh Kiyai Syathari tidak memerlukan KK yang besar.
           Keadaan seperti itu, ditunjang oleh beberapa keadaan. Antara lain, (1) Santri yang datang adalah anak-anak yang berumur 10-20 an tahun. Kebanyakan mereka adalah anak petani desa, yang kadang-kadang disebut santri gledeg. Jika musim panen, banyak mereka yang datang, tetapi jika musim hujan, sebagian mereka banyak yang pulang. (2) Toko kitab baik di kota atau di pasar, hanya menyediakan KK yang kecil-kecil yang bisa dijangkau oleh daya beli santri. Kalau KK besar itu ada, maka omsetnya sangat sedikit sehingga susah bagi Kiyai untuk membentuk satu kelas yang lebih tinggi. Apa lagi waktu itu, photo copi belum ada.(3) Orang awam yang tidak terdidik sama sekali, memiliki jumlah yang sangat besar, sehingga hampir semua desa di daerah agraris banyak yang membutuhkan santri yang siap pakai. Yaitu santri yang bisa menjadi imam shalat, khutbah jumat, membaca al-Qurán, memimpin tahlil, dan imam marhabanan dan semacamnya.. Dengan demikian, santri yang targetnya seperti itu tidak memerlukan studi KK yang lebih besar, dan tidak memerlukan pendidikan yang lama. (4) Para santri yang pendidikannya dilanjutkan ke Makkah, Madinah, atau Mesir dan pulang dengan membawa KK yang besar, terkadang memiliki kultur yang tidak cocok dengan kaum agraris tersebut. Akibatnya, mereka ada yang mengalihkan orientasi seperti melamar menjadi pegawai negeri, mengejar kursi DPR, atau membuat travel untuk mengurus jamaah haji, umrah dan bisnis lainnya. Karena itu, program yang dicanangkan oleh Kiyai Syathari dengan keadaan seperti itu dinilai sangat tepat, yang oleh masyarakat agraris disebut ilmu manfaat.
           KK yang diajarkan oleh Kiyai Syathari cukup bervariasi dan mencukupi kehidupan keagamaan, yang oleh kaum santri disebut fardlu áin. KK yang diajarkan oleh Kiyai Syathari selama saya menjadi santri (1950-1963) adalah membaca al-Qurán, tajwid, tafsir al-Qurán, hadits, mushthalah al-hadits, tawhid, fiqh, ushul fiqh, nahwu-sharaf, balaghah, kitab-kitab mauízhah, shalawat dan zikir.     .       
          Setiap waktu shubuh Kiyai Syathari selalu shalat berjamaáh, dan setelah itu mengajarkan membaca al-Qurán. Pengajian ini diikuti oleh sebagian santri, terutama mereka yang dipesan oleh ibu dan bapaknya, agar dia mengaji al-Qurán. Pelajaran itu dimulai dari bacaan peshalatan, juz Ämma sampai khatam, baru belajar al-Qurán dari al-Fatihah, Surat al-Baqarah dan seterusnya sampai khatam al-Qurán. Menurut pengamatan penulis, santri yang bisa khatam al-Qurán hanya 50-60 %, sisanya banyak yang tidak khatam, karena banyak faktor, anatara lain tidak lama di pesantren. Penulis sendiri khatam al-Qurán setelah 5 tahun, yang belajar sehabis shalat shubuh.
           Tafsir al-Qurán yang diajarkan oleh Kiyai Syathari adalah Tafsir al-Jalalain, dan jika khatam, kitab itu diulang lagi. Penulis mengkhatamkan kitab itu hampir dua setengah kali. Cara mengajarnya, Kiyai membacakan kitab itu kira-kira satu setengah, atau dua halaman, dan pada hari berikutnya, salah satu santri diberi tugas untuk membacakan lembaran itu seperti bacaan Kiyai. Kitab itu dibacakan setiap habis shalat ‘Isya, dan digabungkan waktunya dengan pembacaan kitab lain. Meskipun Kiyai hanya mengajarkan al-Jalalain tetapi Kiyai sering menyebutkan nama tafsir lain, terutama Tafsir al-Baidlawi, al-Thabari, dan anehnya, Tafsir al-Kasyaf juga dipuja oleh Kiyai. Tafsir al-Jalalain dan beberapa kitab lainnya, diajarkan pula kepada masyarakat di pengajian mingguan setiap hari Minggu dari jam delapan pagi sampai zhuhur.
          Kitab tajwid, seperti Hidayat al-Shibyan, Tukhfat al-Athfal, dan Nazham al- Jazariyah, penulis tidak menerima langsung dari Kiyai, tetapi  didapatkan melalui guru-guru Madrasah Wathaniyah di prsantren itu juga. Meskipun begitu, penulis pernah diajar Nazham tentang Makharij al-Huruf oleh Kiyai, dan penulis pernah mendengar Kiyai mengajarkan Kitab Siraj al-Qari karya al-Syathibi, kepada pengajian Minggu itu.
           Kitab hadits, yang penulis dengar dari Kiyai adalah al-Arbaín al-Nawawiyah, Bulugh al-Maram, Riyadl al-Shalihin, Al-Jami’al-Shaghir, dan Shahih al-Bukhari. Sedangkan Shahih Muslim penulis dapatkan dari KH Ahmad Asyári di Pesantren Poncol Bringin Salatiga. Meskipun begitu, penulis diberi sanad kitab-kitabnya, ketika Kiyai sakit menjelang wafat. Waktu itu penulis merasa heran, mengapa Kiyai setelah membaca Nazham Burdah kok langsung memberikan sanad yang ditulis oleh KH Mahfuz Termas itu kepada penulis. Kebingungungan penulis menerima kitab yang sangat tipis itu bertanya-tanya: Apa maksud Kiyai menyerahkan kitab itu. Penulis adalah salah satu dari jutaan manusia yang selalu berharap agar Kiyai tetap menyebarkan agama, alias umur Kiyai lebih panjang lagi. Dalam kaitan itu Kiyai sendiri dalam sakitnya yang sangat sadar itu, pernah berkata : Saya masih ingin mengembangkan agama. Penulis pun menerima buku sanad itu, tetapi cuma menduga bahwa Kiyai sudah percaya pada diri penulis untuk mengembangkan sebagian ilmunya, sekemampuan mungkin.             
             Mushthalah al-Hadits, yang diajarkan oleh Kiyai kepada penulis, hanya Nazham al-Baiquni dan tidak ada tambahan lain. Itu pun pada waktu Kiyai membacakan kitab Bulugh al-Maram. Dengan demikian, penulis belum banyak mengetahui Ulum al-Hadits. Meskipun begitu, ketika penulis sempat tiggal di rumah Kiyai beberapa bulan sebelum direnovasi, penulis menemukan kitab Nuzhat al-Nazhar Syarh Nukhbat al-Fikar karya Ibn Hajar al-Asqallani. Kitab itu kecil tetapi lengkap dan menyajikan permasalahan secara sistematis. Berangkat dari buku itu, penulis membaca kitab yang berkaitan dengan ilmu itu, antara lain Muqaddimah Irsyad al-Sari karya al-Qasthallani, al-Taqrib karya Al-Nawawi, dan syarahnya, Tadrib al-Rawi karya Al-Sayuthi, Manhaj Dzawi al-Nazhar karya Syaikh Mahfudz Termas, dan Qawaíd al-Tahdits karya Jamaluddin al-Qasimi. Berkat bimbingan dari kitab-kitab itu, penulis mulai mengenal ilmu hadits..
          Ilmu Tawhid, yang Kiyai ajarkan kepada santri antara lain, Nazham Aqidah al-Awam, Nazham Kharidat al-Bahiyah, Kifayat al-Awam, dan Al-Dasuqi. Itu semua penulis ikuti, dan kitab-kitab lain penulis dapatkan dari madrasahnya seperti Sanusiyah, al-Hushun al-Hamidiyah dan lain-lain. Melihat kitab-kitab itu, para santri baru bisa mempelajari dasar-dasar tauhid terapan, dan belum mempelajari Ilmu Kalam. Meskipun begitu, Kiyai banyak cerita tentang kitab-kitab yang ditulis oleh al-Asyári seperti Maqalat al-Islamiyyin, Al-Ibanah dan lain-lain. Lebih dari itu, Kiyai juga mengenalkan beberapa pemikiran al-Maturidzi, al-Juwaini, al-Baqillani dan lain-lain. Cuma sayang kitab-kitabnya tidak dipasarkan di beberapa toko kitab waktu itu. Yang menarik di sini adalah, Kiyai tidak senang pada pemikiran Mu’tazilah, Syiáh, dan Salafi yang ekstrim. Tetapi anehnya, Kiyai tidak mau menyalahkan pemikiran mereka, dan tidak mau mengkafirkan, atau menilai bid’ah, khurafat dan sebagainya. Barangkali itulah benih-benih sikap plularis yang dikembangkan oleh beberapa tokoh Pesantren Dar al-Tawhid Arjawinangun sekarang.             
          Ilmu Fiqh yang Kiyai ajarkan kepada santri, antara lain Fath al-Qarib, Iqna’, Fath al-Muín, Tahrir, Fath al-Wahhab dan Nazham Zubad. Tetapi kitab yang disebut akhir ini penulis tidak mengikuti. Penulis mengamati bahwa pesantren Kiyai Syathari dan madrasahnya adalah lembaga pendidikan yang paling banyak mengajarkan kirab-kitab fiqh, terutama kitab yang mudah dijangkau oleh masyarakat.
          Dalam suatu kajian’, Kiyai pernah menerangkan bahwa ulama fiqh dan ulama hadits itu terbagi menjadi dua keompok, yaitu mutaqaddimin dan mutaakhkhirin. Batasan mutaqaddimin dalam hadits adalah ulama yang hidup sejak zaman tabiín, sampai ulama yang hidup pada tahun tiga ratusan Hijriyah. Sisanya disebut ulama mutakhirin. Sedangkan mutaqaddimin dalam ilmu fiqh adalah ulama yang hidup sejak zaman tabiín (fuqaha sabáh) sampai ulama yang hidup di awal abad lima. Kiyai bercerita bahwa Al-Ghazali (w 505 H) adalah penutup ulama fiqh mutaqaddimin, dan sekaligus sebagai pemula ulama fiqh mutaakhirin. Dalam kaitan itu, Kiyai Syathari adalah tokoh yang paling banyak mengajarkan kitab-kitab ulama mutaakhirin, kecuali Shahih al-Bukhari. Kitab ini pun ulasan Kiyai selalu mengambil materi dari tulisan ulama mutakhirin, terutama Ibn Hajar al-Asqallani dan al-Qasthallani. Dengan demikian, Kiyai Syathari adalah tokoh yang senang membaca kitab-kitab ulama mutakhirin.
        Ketika mulai membaca kitab Fath al-Wahhab, Kiyai mengatakan bahwa ulama (Syafiíyah) pada pintar (alim) karena mempelajari kitab-kitab fiqh yang terjadi dalam satu rumpun. Yang dimaksud rumpun itu ialah sekelompok karangan yang materi dan kerangka berfikirnya, satu sama lain sama. Tentu saja kitab yang pertama dikutip dan diulas oleh ulama yang muncul berikutnya. Dalam sejarah, tercatat bahwa kitab Al-Muharrar karya Al-Rafií adalah kitab yang pertama kali dikutip dan ditulis ulang oleh Al-Nawawi dengan kitabnya, Minhaj al-Thalibin. Kitab ini amat laris karena menyajikan ulasan yang kini dianggap lebih cocok dengan ulama pesantren. Kemudian kitab al-Nawawi itu dikutip lagi oleh banyak ulama, dan ditulis ulang dengan judul kitab yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh itu antara lain, (a) Al-Mahalli mengutip kitab al-Nawawi itu dan diulas dalam kitab tulisannya, Kanz al-Raghibin, kemudian kitab ini diberinya hasyiyah dengan nama yang populer, Qalyubi. (b) Zakaria al-Ansori, mengulas kitab al-Nawawi itu dengan nama Manhaj al-Thullab, kemudian kitab ini diringkas sendiri dan ringkasan itu diberi nama kitab Fath al-Wahhab. (c) Ibn Hajar al-Haitami mengolah kitab al-Nawawi itu dan ditulis ulang dengan nama Tuhfat al-Muhtaj. (d) Al-Ramli mengutip kitab al-Nawawi tadi dan ditulis ulang dengan nama Nihayat al-Muhtaj. (e) Al-Syarbini mengutip kitab Nawawi itu, dan ditulis ulang dengan nama Mughni al-Muhtaj. Melihat keadaan seperti itu, maka para ilmuan mengatakan bahwa itu adalah kitab satu rumpun.
         Sebenarnya, rumpun kitab semacam itu, tidak terjadi pada ulama mutaakhirin saja, tetapi ulama mutaqaddimin juga pernah membuat rumpun semacam itu. Hanya saja bentuknya berbeda. Ulama mutaakhirin disebut satu rumpun karena mengandal-kan tulisan (kutipan), sedangkan ulama mutaqaddimin disebut serumpun berdasarkan paradigma atau kerangka berfikir yang sama, sekalipun kesimpulan berbeda. Rumpun semacam itu, oleh para ilmuan disebut taqlid manhaji. Suatu contoh, Kitab al-Umm karya al-Syafií, yang masuk Indonesia setelah negara ini merdeka lama. Kitab al-Umm tidak ditulis oleh al-Imam al-Syafi’í sendiri tetapi didiktekan kepada murid-muridnya. Karena itu, Al-Umm yang ditulis oleh Al-Muzani, berbeda dengan Al-Umm yang ditulis oleh al-Buwaithi. Al-Umm yang ditulis oleh keduanya, berbeda lagi dengan Al-Umm yang ditulis oleh al-Qaffal, dan begitulah seterusnya. Meskipun begitu, ulama bersepakat bahwa Al-Umm yang catatannya lengkap adalah tulisan Rabi’ibn Sulaiman al-Muradi. Atas dasar itu, kitab inilah yang sekarang dicetak .                         
            Ushul Fiqh yang diajarkan oleh Kiyai sangat sedikit dibandingkan dengan kitab-kitab fiqh. Penulis belajar Ushul Fiqh dari Kiyai Syathari hanya dua kitab, yaitu Lathaif al-Isyarat Syarh Waraqat al-Juwaini karya Hamid ibn Ali al-Qudsi, dan Ghayat al-Wushul Syarh Lubb al-Ushul karya Zakaria al-Anshori. Meskipun begitu, uraian perdebatan yang sering terjadi dalam kitab ini, Kiyai Syathari sering menye-butkan kitab Al-Mustashfa karya Al-Ghazali dan Al-Muwafaqat karya Al-Syathibi. Dulu penulis tidak mengerti apa maksud Kiyai menyebutkan dua kitab itu. Sekarang mengerti bahwa dua kitab itu memiliki aliran yang berbeda. Mustashfa al-Ghazali mengambil Ushul Fiqh aliran mutakallimin (semacam deduktif), sedangkan Al-Muwafaqat Al-Syathibi mengambil Ushul Fiqh aliran rakyu (semacam induktif). Dengan demikian, perdebatan fiqhiyah akan sangat menarik apabila kerangka berfikirnya dituangkan.
           Sebenarnya Kiyai Syathari juga mengajarkan Al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syairazi, dan Al-Asybah wa al-Nazhair karya al-Sayuthi. Tetapi dua kitab itu diajarkan di pengajian mingguan. Pengajian yang diselenggarakan setiap hari Minggu itu, umumnya diikuti oleh santri-santri senior yang sudah tinggal di daerahnya masing-masing, sebagaimana sudah disebutkan di atas. Pengajian yang menelan waktu empat jam itu, dibacalah kitab-kitab Tafsir al-Jalalain, Siraj al-Qari karya al-Syathibi, Shahih al-Bukhari, Al-Iqna’ karya al-Syarbini, dan setelah khatam, Kiyai Syathari mengajarkan kitab Kifayat al-Akhyar karya al-Dimasyqi, dan entah apa lagi. Penulis tidak mengamati terus pengajian itu, karena penulis pindah belajar. Diduga Jamú al-Jawami’ karya Al-Subki dan al-Mizan al-Kubra karya al-Sya’rani pernah diajarkan dalam pengajian itu.
             Nahwu dan Sharaf yang diajarkan oleh Kiyai Syathari kepada santri adalah Al-Ajrumi-yah, Al-Awamil, Nazham Durrat al-Yatimah, Minhat al-I’rab, dan Matan Alfiyah. Kitab-kitab lain seperti Nazham al-Syabrawi, Nazham al-Maqshud dan Nazham al-Imrithi penulis pelajari dari Madrasah Wathaniyah. Penulis pernah mendengar, Kiyai Syathari mengajarkan kitab Lamiyyat al-Afál karya Ibn Malik, kepada santri senior yang sudah mengkhatamkan Alfiyah. Penulis belum mengikuti, dan pada tahun berikutnya, kitab itu tidak diajarkan lagi. Penulis berpendapat, bahwa pelajaran ilmu Nahwu dalam pesantren ini cukup tinggi terutama pada masa Kiyai Syathari yang madrasahnya sangat dinamis. Madrasah itu banyak dikelola oleh santri senior. Sarana madrasah waktu itu sederhana karena semua siswa harus duduk di atas lantai. Ruang kelas yang dimiliki oleh pesantren hanya tujuh lokal, santri harus masuk bergantian dari siang sampai sore. Itu pun tempat belajar masih kurang, maka serambi tajug dan ruang pondok dipakai untuk sekolah.
           Balaghah yang diajarkan oleh Kiyai kepada santri adalah Nazham Jauhar al- Maknun karya Abdurrahman al-Ahdlari, dan Uqud al-Juman karya al-Sayuthi. Kitab pertama saya dapatkan ketika Kiyai mengajarkan kitab-kitab Bulugh al-Maram, Al-Tahrir, dan Al-Arudl. Sedangkan kitab kedua, saya mengaji bersama santri senior setiap malam Minggu, yang pagi harinya mereka mengikuti pengajian mingguan. Pengajian  dua kitab itu, sampai sekarang penulis belum bisa mengembangkan.
         Sealin kitab-kitab tersebut di atas, Kiyai Syathari juga mengajarkan beberapa kitab maui-zhah untuk santri, seperti Kitab al-Syifa, Nazham al-Burdah, Dalail al-Khairat, Al-Adzkiya, Syuáb al-Iman, dan syaír Munfarijah. Yang jelas Kiyai Syathari belum pernah mengajarkan kitab-kitab tasawwuf seperti Al-Hikam, Minhaj al-Abidin, Ihya Ulum al-Din. Al-Futuhat al-Makkiyah, Fushush al-Hikam dan entah apa lagi. Penulis tidak mengerti apakah Kiyai segan untuk mengajarkan kitab-kitab itu, atau tidak ada usul dari santri, atau karena penulis sendiri tidak tahu. Wallahu a’lam.
          Selain Kiyai Syathari, para Qariín di pesantren itu banyak juga yang mengajarkan beberapa kitab seperti Irsyad al-Ibad, Risalat al-Muáwanah, Nashaih a-Diniyah, Durrat al-Nashihin, Madarij al-Suúd, Úqud al-Lujjain, dan kitab-kitab fiqh seperti Bafadlal, Riyadl al-Badiáh, Isád al-Rafiq dan lain-lain.

F. Komentar tentang Kitab Kuning
            Ada  tiga kelompok yang memberikan komentar tentang KK, yaitu :
           (1) Kelompok yang mengatakan bahwa KK adalah dokumentasi agama yang sudah final, dan harus diterima tanpa reserve. Demikian ini tampak pada penganut mazhab fiqh tertentu terhadap teks-teks fiqhnya. Atau penganut mazhab kalami tertentu terhadap pemikiran aqidah imamnya. Fanatisme mereka terhadap teks-teks itu sangat kuat dan tidak mau dikritik. Ketika disebut bahwa teks-teks itu pemikiran, dan bukan dalail qathí, mereka menjawab bahwa teks-teks itu disusun oleh imam-imam panutan dan jika diikuti, mereka tidak akan menyesatkan umat. Kalau teks-teks itu mau dirubah, silakan bikin teks-teks tandingan, dan pasarkan kepada masyarakat.
           Panatisme seperti itu, muncul karena tiga hal, yaitu (a) Orientasi pemikiran mereka hanya menitik beratkan pada ilmu-ilmu terapan, terutama pada fiqh, tawhid, dan ilmu agama lainnya. Mereka berkata bahwa mempelajari ilmu itu untuk dimalkan dan difatwakan, bukan untuk didiskusikan. Akibat keyakinan seperti itu lemahlah kreatifitas mereka dalam menerapkan fiqh dan ilmu agama, terutama ketika mereka harus berhadapan dengan realitas sosial. (b). Metoda pengajaran yang mereka dapatkan, tidak diprogramkan sesuai kebutuhan, tetapi ditentukan oleh suatu kitab tertentu, dengan makna utawi, iku, apa, siapa, apane, drapon, dan sebagainya, yang  suatu ketika cocok dengan perkembangan masyarakat dan suatu ketika tidak cocok. Semua itu dilakukan dalam rangka menacari barakah. Metoda pengajaran seperti itu diterapkan kepada semua lapisan anak didik, dari pelajar yang paling kecil, sampai pelajar senior yang sudah dididik belasan tahun. Selain itu, semua ilmu agama yang ditawarkan kepada pelajar, selalu menggunakan metoda seperti itu, dan tidak membedakan antara ilmu syariát, thariqat, akhlak, ilmu-ilmu metodologi, mauízhah, wirid dan atau ilmu lainnya. Dengan kata lain, semua ilmu yang diajarkan, tidak digambarkan mabda yang dalam perkembangan sekarang, disebut falsafat ilmu (ontologi, epistemologi dan aksiolog). (c). Materi pelajaran mereka dibatasi pada kitab-kitab yang oleh kelompok tertentu disebut al-kutub al-mu’tabarah. Dengan kata lain, mereka mengkotak-kotak ilmu, berdasarkan pemikiran teologis, mazhab fiqh, dan pemikiran keagamaan yang berkaitan dengan tajdid, gerakan feminisme dan lain sebagainya. Berdasarkan tiga pemikiran itulah KK harus dipertahankan sampai kiamat shughro.
(2)      Kelompok yang menolak KK secara apriori, dan mengatakan bahwa KK itu berisi pemikiran yang jarang diberi dalil Qurán atau Hadits. Materi yang termaktub di dalam setiap lembaran (korasan), sudah ketinggalan zaman karena disusun pada masa lalu yang sangat klasik. Selain itu, konsep kehidupan yang disajikan KK tidak mampu mengantarkan manusia muslim menuju hidup yang layak di abad modern ini. Sebenarnya, mereka masih membutuhkan isi dan materi KK tetapi mereka tidak mampu menguasai, maka serta-merta mereka mencari pemecahan paling mudah, yaitu memodernkan KK dengan mencari karya terjemahan dan penguasaan inti kandungannya saja. Ironisnya, sikap itu dilatarbelakangi oleh ketidak tahuan mereka terhadap isi KK secara keseluruhan. Mereka tidak mau tahu bahwa Muhammad Abduh, yang terkenal di Indonesia sebagai mujaddid abad dua puluh itu menganjurkan murid-muridnya agar mendalami kitab Al-Muwafaqat karya Al-Syathibi. Begitu pula Rasyid Ridla yang Wahhabi itu, ketika menulis Tafsir Al-Manar banyaklah mengutip ulasan Tafsir Ibn Katsir. Buya Hamka, ketika menulis Tasawwuf Modern banyak mengutip pemikiran al-Ghazali yang ditulis dalam Kitab Kuning, dan lain-lainnya. Kalau tindakan kelompok kedua ini dibenarkan, maka akan berujung pada pendangkalan pengetahuan agama kaum muslimin.
(3)      Kelompok yang berusaha untuk mencari pemecahan KK lebih kompleks, karena persoalannya rumit dan menyentuh banyak sisi, sehingga tidak mudah untuk dijawab dengan serba gampang. Salah satu usaha beberapa cendekiawan santri, adalah kontekstualisai KK. Tetapi apa kontekstualisasi itu, dan bagaimana metodanya, masih memerlukan usaha yang lebih ulet lagi. Secara singkat, KK harus dikaji dari segi teks dan dari segi konteks. Pendekatan yang bisa dipakai untuk studi teks adalah berfikir teologis, filosofis, yuridis, dan logis. Sedangkan pendekatan yang dipakai untuk studi konteks adalah pemikiran historis, antropologis, dan sosiologis. Keberhasilan kelompok ketiga ini memerlukan studi yang lebih tinggi lagi.

G. P e n u t u p
          Semua santri mengakui bahwa Kiyai Syathari dengan pesantrennya telah banyak berperan dalam memelihara keilmuan Agama dari generasi ke generasi, dan menjaga kesinambungan dalam memasuki babak baru. Di samping itu, Kiyai Syathari juga berperan sebagai tokoh keilmuan yang berhasil menyeleksi orang-orang berbakat untuk menjadi manusia muslim yang berprestasi. Peran tersebut sampai sekarang, belum tergantikan oleh tokoh-tokoh penerus, terutama dalam kharisma, ma’únah, istiqamah, dan ketekunannya dalam membina ilmu dan umat..
           Untuk mempertahankan eksistensi kelembagaannya, beberapa tahun sesudah Kiyai Syathari wafat, penulis bersama teman-teman luar pesantren mencoba membuka Madrasah Aliyah yang sejajar dengan Aliyah Negeri. Tetapi sekarang, lembaga ang diberi nama Madrasah Aliyah Nusantara ini belum maju sekali, baik dari segi kwalitas atau dari segi kwantitas. Tetapi manfaatnya besar sekali, karena putera-puteri keluarga kiyai sekarang pada ikut ujian negara liwat madrasah ini, sehingga mereka dapat meneruskan sekolah ke Timur Tengah. Dalam Majalah Istiqro terbitan Kementerian Agama RI, pernah ditulis, bahwa pesantren ini telah membuka Ma’had Ali. Tetapi lembaga yang megah itu belum pernah berhasil, yang bisa dibanggakan oleh masyarakat. Karena itu, apa yang harus dikembangkan oleh pesantren itu tadi? Wallahu a’lam bi al-shawab.-                                   



(4)  GAMBARAN PESANTREN BABAKAN CIWARINGIN
                                                      
.
A. Pembukaan
            Membuka Google dengan key word Pesantren Babakan Ciwaringin, banyak sekali tulisan tentang sejarah tokoh dan perjalanan pesantrennya. Dari uraian itu, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) mencoba mengaitkan tulisan itu dengan anjuran Kiyai Amin sepuh: “Jika keluarga Babakan mendapat kesusahan, hadiahkanlah Al-fatihah kepada lima orang tokoh, antara lain “Kiyai Abdul Lathif, dan Kiyai Nur Shamad.” Tokoh pertama orang tua Kiyai Nawawi sepuh yang dikuburkan di Desa Pemijahan Kecamatan Plumbon. Sedang tokoh kedua adalah ayah Nyai Maryam.(istri Kiyai Nawawi). Dari segi lain, Fuad Amin sering cerita tentang Syaikh Maulana Ibrahim (Faqih Ibrahim) yang dikuburkan di Desa Cipager Telaga Majalengka. Dua cerita itu tidak pernah ditelusuri oleh para petulis, termasuk oleh Zamzami Amin ketika menulis buku berjudul “Kaban Kana”. Tampaknya tulisan mereka amat sedikit mengaitkan dengan ilmu sejarah. Sejarah yang paling masuk akal adalah penyusunan uraian yang kronologis dalam priodesasi waktu (tahun). Dalam uraian tentang objektivitas waktu, sering terjadi manipulasi data, yang sering muncul dari keinginan seorang penulis untuk menceritakan legenda atau untuk meng-ambil legitimasi dari seorang tokoh yang populer.
          .
B. Pendirian Pesantren Babakan Ciwaringin.
          Berangkat dari tulisan Munif Alaska, bahwa Pesantren Babakan Ciwaringin diba-ngun oleh Kiyai Jatira pada tahun 1127 H./1705 M. atau tulisan Satria Muda bahwa pesantren Kiyai Jatira dibangun pada tahun 1715 M. Kedua tulisan itu mungkin dikuutip dari dongeng lisan ke lisan. Dalam buku; Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII  Azyumardi Azra, menulis tentang Abdul Muhyi (w. 1728 M.) Tokoh ini berpendidikan Gresik Jawa Timur kemudian berguru kepada Abdul Rauf al-Sinkili (w. 1693 M) di Aceh.  Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Abdul Muhyi mengembara ke berbagai tempat di Jawa Barat dan kemudian dia menetap di Pamijahan Tasikmalaya.
            Dalam pengembaraan itu, mula-mula Abdul Muhyi (w. 1149 H atau 1728 M) mengunjungi kaum muslimin di Darma Kuningan, kemudian ke Pamengpek Garut dan akhirnya dia menetap di Pamijahan Tasikmalaya, seperti uraian tersebut di atas. Tokoh ini memiliki delapan belas putera-puteri dari empat istri. Salah satu keturuanan tokoh ini adalah Maulana Ibrahim (Faqih Ibrahim) yang sering diceritakan oleh K.H. Fuad Amin.
          Untuk memperluas informasi, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) bersama NU Kabupaten dan Kotamadya Cirebon mengundang Martin van Bruinessen untuk diskusi tentang sejarah pesantren. Guru Besar Universitas Utrecht Negeri Belanda ini banyak mengadakan pengamatan budaya keagamaan di Indonsia, dan ditulis untuk disebarkan. Dalam buku ‘Kitab Kuning, Pesantren, dan Thariqat’. Martin menulis, bahwa pesantren awal paling terkenal adalah pesantren di Banten yang ada di lereng Gunung Karang. Dia mengutip tulisan G.W.J. Drewes bahwa salah satu dari teks Islam awal berbahasa Jawa adalah disusun oleh kiyai dari pesantren itu. Tokoh utamanya Jayengresmi belajar pada tahun 1630 atau awal 1640 an, pada seorang guru keturunan Arab, Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar. Pernyataan orientalis Belanda ini membingunkan, karena pesantren pertama kok muncul di Banten. Padahal dia juga menulis; adanya teks Islam berbahasa Jawa dari pesantren itu. Pernyataan semacam itu menggambarkan bahwa pelajaran di pesantren itu menggunakan bahasa Jawa. Pesantren di mana pun memberikan makna terhadap Kitab Kuning memakai bahasa Jawa (utawi, iku, apa, siapa, ing, dan sebagainya). Dari sini jelas bahwa pesantren yang pertama di Indonesia adalah dari Jawa, meskipun Kesultanan Banten lebih giat mengembangkan pesantren, sebagaimana uraian Martin. Tarik menarik (mana yang benar) antara tulisan orientalis tadi atau sejarah pesantren yang ditulis oleh sarjana lain. Dengan kata lain, kapan sebenarnya pesantren di Nusantara itu muncul dan berkembang?.Martin dalam tulisannya bisa difahami bahwa pesantren berkembang di Jawa Barat itu sesudah Belanda menjajah Nusantara, tahun 1596 M. Sedangkan buku Syaikh Haji Abdul Muhyi (Mengembangkan Agama Islam di Sekitar Jawa Barat) menulis, bahwa tahun 1527 (sebelum Belanda mejajah Indonesia), Islam sudah berkembang di Darma Kuningan, dibawakan oleh Sunan Gunung Jati. Lebih awal dari itu, Syaikh Datuk Kahfi, sudah mengembangkan Islam dengan membangun pesantren di sebelah utara kota Cirebon, dan pembukaan pesantren di Kabupaten Krawang oleh Syekh Qurra tahun 1416 M. Uraian ini sejalan dengan uraian Prof. Dr. Mulyanto Sumardi MA, yang menulis bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia.          
           Kembali kepada Kiyai Jatira, bahwa pelajaran pesantren Babakan waktu itu, bersifat reriungan (halqah) baik dalam bentuk amalan wirid atau thariqat atau pelajaran shalat jama’ah dan sebagainya. Suasana itu belum memiliki kurikulum model pesantren yang mempelajari Kitab Kuning.

C. Perjalanan Pesantren Babakan
         Pesantren Babakan dalam perjalanannya dapat dibagi menjadi tiga priode, yaitu  (1) Priode pengamalan thariqat dan tasawuf yang dikembangkan dengan budaya dan kultur Jawa seperti dibawakan oleh Kiyai Jatira. Priode ini tidak banyak diceritakan oleh orang-orang tua, sampai priode Kiyai Kiyai Nawawi sepuh. Meskipun begitu, ada tulisan yang mengulas kegiatan Kiyai Jatira, sebagaimana ditulis oleh Ade Fauzi (Santri IKA 1999-2005). Tetapi tulisan itu perlu dibantu informasi dan analisa yang lebih jeli lagi.
          Kiyai Nawawi sepuh setelah menikah dengan Ny. Maryam (w. 1800 H) mulai menglola pesantren Babakan dengan bentuk pendidikan, karena beberapa pemuda banyak yang mulai belajar ilmu agama (santri). Pada masa itu, Belanda mendekati kiyai dengan propokasi dan mengajak agar kiyai penglola pesantren, sebaiknya pasip dan tidak ambisi untuk memiliki kekayaan dan pemerintahan Indonesia. Mengembang kan ilmu agama itu lebih penting dari segalanya.
       (2) Priode pengembangan ilmu agama klasik, dari zaman Kiyai Nawawi sepuh (belum nikah) sekitar tahun 1720 an sampai Kiyai Amin sepuh wafat. (1392 H-1972 M). Dalam tempat lain, priode ini muncul sejak pemberontakan bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda, seperti pemberontakan kiyai dan santri Cirebon dan sekitarnya, pada Perang Kedongdong 1802-1806, Perang Diponegoro di Jawa 1825-1830, Perang Padri di Sumatera Barat 1821-1835, Perang Tengku Umar di Aceh, 1873-1908, dan banyak lagi para kiyai dan santri yang berjuang melawan penjajah Belanda di tempat-tempat lain. Pertempuran semacam ini oleh sejarah disebut Perang Lokal. Peperangan para kiyai dan santri yang akhir adalah Perang 10 November 1945 di Surabaya. Perang itu, bangsa kita melawan Inggris, Belanda dan sekutu-sekutunya. Peperangan ini dinilai sangat berat, karena menghadapi sekutu Barat pemenang Perang Dunia ke Dua. Tetapi semangat kiyai dan santri untuk berperang kuat sekali karena didorong oleh isi Resolusi Juhad K.H. Hasyim Asy’ari, dan isi Resolusi Jihad NU., 22 Oktober 1945. Dengan kata lain perang itu bukan didorong oleh strategi militer atau dorongan senjata yang dianggap sepadan dengan senjata sekutu, tetapi hanya karena semangat kiyai dan santri yang yakin akan dapat mengusir penjajah. Senjata kiyai dan santri diawali dengan semangat takbir ‘Allahu Akbar’. Berkat perjuangan santri yang menggelorakan takbir itulah Allah mencurahkan rahmat yang besar sekali, sehingga Alhamdulillah bangsa Indonesia mendapat kemenangan dalam pertempuran itu. (Buka google dengan key word: Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy’ar, goodle dengan key word Perang 10 November 1945) dan beberapa artikel yang ada dalam internet. Baca juga pidato Bung Tomo yang menggugah semangat santri dalam perang tadi. Belanda dan sekutu menerima kekalahan, dan mereka angkat kaki dari bumi Indonsia. Langkah berikutnya Belanda masuk lagi ke Indonesia dengan harapan dapat menjajah kembali. Kasus ini berjalan terus sampai berakhir di tahun 1949. Setelah itu, Indonesia aman dan demokrasi mulai berkembang dengan pimpinan Presiden Soekarno. Bersamaan dengan itu, lembaga-lembaga pesantren di mana-mana mulai difokuskan pada pengembangan keagamaan umat Islam seperti meningkatkan ibadah kepada Allah, meningkatkan akhlak mulia, mengembangkan pergaulan masyarakat dengan rasa aman dan sejahtera, gotong-royong menghilangkan kebodohan dengan mempelajari Kitab Kuning..  
           (3) Priode peningkatan kehidupan pribadi dan keinginan sejahtera bagi pemuda melalui pelajaran ilmu di pesantren. Gagasan seperti itu dikembangkan terus oleh Orde Baru dimulai dari tahun 1966 dan dikuatkan dengan hasil Pemilu 1971, sampai tahun 1998. Ketika Prof. Dr. H.A. Mukti Ali menjadi Menteri Agama RI, (1972), dia membangkitkan pesantren agar tidak hanya mempelajari Kitab Kuning saja, tetapi ditambah mempelajari keterampilan. Pendidikan pesantren tidak hanya memproduksi ilmuan klasik, tetapi santri juga mampu mensejahterakan dirinya, dan mensejahterah-kan masyarakat umum. Dia menganjurkan studi di pesantren ditambah dengan mengajarkan keterampilan seperti pertanian, peternakan dan lain-lain. Tetapi sampai akhir jabatannya, Mukti Ali tidak ada satu pesantren pun yang tertarik melaksanakan gagasan itu. Dalam kaitan ini Mahbub Junaidi berkata bahwa Mukti Ali adalah Mentri Agama R.I. yang memproduksi telur, tetapi semua gabug, alias tidak ada yang  berbuah.
          Langkah berikutnya, banyak pesantren yang membuka sekolah formal seperti Tsanawiyah, Aliyah, SLTP, SLTA, SMK, dan Sekolah Tinggi. Pesantren Babakan yang jauh dari jalan raya itu, pernah memdirikan beberapa perguruan tinggi. Pada tahun 1972 an K.H. Fuad Amin membuka Perguruan Tinggi Agama Islam al-Ghazali, tetapi punah. Pada tahun yang berdekatan, K.H. Hariri Sanusi membuka Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan, tetapi juga punah. Kemudian tahun-tahun berikutnya, KH. Yahya Masduqi yang dibantu oleh orang luar membuka perguruan tinggi bernama ‘Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Ali’ (STAIMA) disusul oleh Dr. Afandi Mukhtar membangun Sekolah Tinggi Agama Islam al-Biruni. Ditambah pada tahun 2012-2014, Direktirat Pesantren Kementerian Agama RI, membuka Ma’had Ali yang setingkat dengan Strata Dua tentang Ilmu Ushul Fiqh. Penglolaannya diserahkan kepada pesantren Babakan, dengan pengarahan IAIN Syaikh Nur Jati Cirebon.  .
         Pesantren model ini justru banyak dibanjiri oleh santri, sementara pesantren yang hanya mengandalkan kharisma kiyai menjadi surut, bahkan banyak yang bubar alias gulung tikar, setelah kiyai itu wafat. Contohnya seperti pesantren Kiyai Shalih nDarat di Semarang, pesantren Kiyai Nur Qiyam di Banada Leuwimunding, atau pesantren Kiyai Nasuha (Jadd Chozin min Abih) di Jatisari Plered (yang dalam tempat lain ditulis Sukunsari) dan lain-lain. Pesantren Babakan sekarang mengambil model pengembangan sekolah formal seperti itu. Desa Babakan yang penuh dengan barakah dan sinaran ilmu agama itu tetap didatangi oleh putera-puteri dari berbagai penjuru. Insya Allah keadaan seperti itu akan berjalan terus sampai ratusan generasi. Allahumma, Amin.  .
      

D. Keluarga Kiyai Pesantren Babakan
           Untuk mengambil barakah, tulisan ini menjelaskan bahwa Kiyai Nawawi sepuh menikah dengan Nyai Maryam (w. 1800 M.) binti Kiyai Nur Shamad ibn Faqih Ibrahim ibn Abdul Muhyi Pamijahan (w.1728 M.). Kiyai Nur Shamad yang dikubur di sisi masjid Leuwimunding itu, banyak dikirim bacaan Al-fatihah oleh Kiyai Amin sepuh, ketika ada mushibah, seperti tersebut di atas. Kiyai Nur Shamad selain melahirkan Ny. Maryam, dia  juga berputra Kiyai Nur Qiyam yang mendirikan pesantren di Banada Leuwimunding, dan Kiyai Thuba (Thuban) yang dikuburkan di Sukamenak, Parungjaya, Leuwimunding.
          Pernikahan Kiyai Nawawi sepuh dengan Nyai Maryam bint Nur Shamad itu memiliki putera-puteri lima orang, yaitu Nyai Khalifah, Nyai Mutimmah I, Kiyai Adzra’i I (sepuh) Nyai Halimah I (sepuh), dan Nyai Syarifah. Semua putra-putri itu juga berketurunan, maka Kiyai Nawawi sepuh memiliki putera, cucu, buyut, dan seterusnya banyak sekali. Tetapi di antara mereka, banyak anak cucu yang keluar dari Babakan, untuk mencari ma’isyah. Atas dasar itu, banyak sekali orang yang cerita bahwa dirinya adalah keturunan Pesantren Babakan. Tulisan ini hanya menyajikan beberapa tokoh saja, antara lain :
           1, Nyai Khalifah. Tokoh ini memiliki dua putera, yaitu Kiyai Syarqawi dan Nyai Khadijah. Kiyai Syarqawi mempunyai beberapa putera, antara lain Kiyai Muhammad Nawawi II yang biasa disebut Ki Glembo, dan Ny. Khadijah. Ki Glembo memiliki banyak putera. Antara lain: a). Adzra’i II, berputera dua orang, yaitu Ny. Mu’inah, isyri Kiyai Sayuthi ibn Jahari ibn Adzra’i I, dan Ny. Masturah, istri KHA Syathari pendiri Pesantren Arjawinangun. b). Rafi’i pembangun Pesantren Dalail al-Khairat di Desa Kalitengah. Tokoh ini memliki putera Anwar Rafi’i, Amin, Makki Rafi’i, dan Aminah. c) Kiyai Syafi’i hidup di Gegesik, dan beberapa putera lagi tidak dapat diuraikan di sini. Kiyai Syarqawi juga memiliki adik kandung bernama Khadijah. Tokoh ini juga banyak memiliki putera-puteri, antara lain Ny. Fathimah, Ki Arsyad, Ki Nur (Budur) dan  beberapa tokoh lagi, yang tidak dapat diuraikan di sini. Begitu juga Ki Gelembo ibn Kiyai Syarqawi juga memiliki adik kandung yang namanya tidak banyak diuraikan. Tokoh ini memiliki dua orang putri, yaitu Nyai Mutimmah II (istri Kiyai Harun Pesantren Kempek) dan Ny. Hasanah istri Ki Dawud. Tokoh ini adalah orang pertama yang membangun pesantren putri di Babakan.     
         2. Nyai Mutimmah I bint Kiyai Nawawi sepuh mempunyai lima putera-puteri, antara lain a). Nyai Barmawi, tinggal di Parakan Urang. b). Kiyai Abdullah Lontangjaya. Tokoh ini mempunyai banyak putera, antara lain Kiyai Syanawi (ayah K.H.A. Syathari), Nyai Aliyah istri K.H. Amin sepuh, dan ada yang nikah dengan putra Buntet Pesantren. c) Abdurrahman ayah Aqib Lontangjaya dan beberapa tokoh lain yang susah dilacak. d).   Nyai Mukminah, berputera antara lain Kiyai Munawi, Ny. Hafshah, Ny. Muthi’ah, dan lain-lain. Semua bertekurunan, tetapi tidak mampu diuraikan dalam tulisan ini.
        3  Kiyai Adzra’i bin Kiyai Nawawi sepuh memiliki dua istri, yaitu A). Nyai Halimah II (istri tua) dan  B). Ratu Murtaja (istri muda). Nyai Halimah II ( istri A) memiliki empat putera, yaitu a). Kiyai Jahari, b). Kiyai Ibrahim c). Kiyai Abdul Rasyid, dan d). Nyai Maryam II. Ad. a) Kiyai Jauhari memiliki lima putera, yaitu Thaha di Gempol, Suqimah (Jaddah Fuad Sya’ban min abih), Sayuthi Sukamenak Leuwimunding (Jadd Chozin min ummih), Abdul Mu’thi, dan Abdullah. Ad. b) Kiyai Ibrahim di Panjalin, Ad. c) Kiyai Abdul Rasyid melahirkan putra antara lain Marfu’, Ma’ruf’, Marwa, dan Maria (Ibu Kiyai Amin Sepuh). Dari sederet itu banyak sekali tokoh yang tidak bisa diceritakan. Ad. d). Ny. Maryam II sendiri tidak dapat ditelusuri.    
        Pernikahan Kiyai Adzra’i I (sepuh) dengan Nyai Ratu Murtaja (istri muda) memiliki lima putera, yaitu Kiyai Ismail, Nyai Murli’ah, Kiyai Abdulah al-Fannan, Nyai Saimah dan Nyai Marinah. Lima putera itu adalah b1) Kiyai Ismail. Tokoh ini tidak miliki putera /puteri, b2) Ny Murli’ah memiliki banyak putera/puteri antara lain Ny. Maimunah, Ky. Munajat, Ny. Shafiyah, Ny. Asiyah, dan Ny. Muthi’ah. Semua tokoh-tokoh tersebut memiliki putera/puteri yang banyak, yang tidak mampu diuraikan di sini. b3) Abdullah al-Fannan memiliki dua istri. Istri kesatu diambil dari Ranjeng, melahirkan beberapa putera/puteri antara lani Nyai Ummi Kaltsum (Istri Ki Muhammad Amin, benih lahirnya Pesantren Babakan Kidul). Istri kedua bernama Ratu Maria melahirkan beberapa orang, antara lain bernama Muhammad Nawawi III.  b4)  Ny. Saimah memiliki dua putera/puteri yaitu Ny. Murtasih dan Ky. Mudlar. b5) Ny. Marinah memiliki banyak putra/puteri antara lain, Ny Juwairiyah, Ny. Raihanah, Ny. Saudah (Istri Ky. Kamali yang melahirkan antara lain Ky. Idris Kamali, Ky. Duri, Ky. Nur al-Zhalam, Ky. Ali Kamali), Selain itu Ky. Tarmidzi Galagamba, dan Ky. Syaubari, juga keturunan dari rumpun ini. Sayang tulisan ini tidak dapat merinci secara detail. 
          4. Ny. Halimah I bint Kiyai Nawawi sepuh. Tokoh ini tinggal di Galagamba dan memiliki banyak putera/puteri yang tersebar. Antara lain Ny. Khairiyah di Gempol, Ky. Hasan di Cemeti, Ny. Kafiyah di Tegalgubug, dan Ny. Hanifah yang melahirkan Kiyai Muhammad Amin. Tokoh ini menikah dengan Ny. Kultsum bint Abdulah al-Fannan ibn Adzra’i sepuh, melalui istri muda, Yaitu Ny. Murtaja. Pernikahan Ky.Muhammad Amin (Ki Madamin) dengan Ny. Kultsum melahirkan Ny. Shulaha, Ky.Shalihin, Ny. Munjiyah, Ny Afini, Ny. Sujinah dan  Ky. Bulqin. Semua berkeluarga tetapi tidak bisa diuraikan di sini lebih lanjut.
       5. Nyai Syarifah. Tokoh ini mempunyai tiga putera, yaitu a).Nyai Aminah, b). Nyai Saimah, dan c). Kiyai Umar Madra’i. Nyai Syarifah bint Nawawi sepuh bertempat tinggal sampai wafat di Penjalin. KH. Syarif Utsman Yahya Kempek, yang menitipkan kuburan ayah ibunya kepada orang Penjalin, itu diduga berasal dari tokoh ini. Kalau Ayip Utsman berkata bahwa embahnya bernama Kiyai Said, maka Kiyai Said adalah putera Nyai Hanifah bint Nyi Halimah I bint Kiyai Nawawi sepuh. Demikian karena Kiyai Jauhari yang menikah dengan Nyai Lamirah, yang wafat dan dikuburkan di Sukamenak itu tidak memiliki putera yang bernama Kiyai Said.  .
           Demikian kutipan informasi dari silsilah yang ditulis dengan huruf Arab dan diberi harakat model pesantren. Kalau informasi itu benar, berarti keluarga yang berketurunan Pesantren Babakan, dapat dilacak melalui nama-nama tersebut, sementara banyak lagi nama-nama yang tidak tercatat dalam tulisan itu. Tulisan ini bisa dianggap sebagai informasi 20 atau 30 persen dari cerita tentang keluarga Pesantren Babakan Ciwaringin.    
          Kalau urutan pengasuh pesatren Babakan ditulis, maka pengasuh pertama adalah Kiyai Nawawi sepuh dengan Nyai Maryam bint Nur Shamad. Setelah wafat, pesantren diasuh oleh Kiyai Adzra’i sepuh ibn Nawawi sepuh dengan dua istri, Nyai Halimah II dan Nyai Murtaja. Setelah wafat, pesantren diasuh oleh Kiyai Isma’il ibn Adzra’i I dari istri muda. Demikian karena Kiyai Jahari ibn Adzra’i I dari istri tua, meninggalkan Babakan untuk ikut pada adik Nyai Maryam, yaitu Kiyai Thuban ibn Kyai Nur Shamad di Sukamenak. Kiyai Ismail tidak memiliki putera, tetapi memelihara Ny. Aliyah bint Abdullah Lontangjaya. Setelah Kiyai Isma’il wafat, pesantren diasuh oleh Ky. Amin sepuh karena pernikahannya dengan Ny. Aliyah tadi. Setelah Kiyai Amin sepuh wafat, pesangtren dikelola oleh K.H. Fathoni Amin. Pada masa ini, pesantren Babakan mulai membuka pendidikan formal, antara lain Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri yang difasilitasi oleh K.H. Hariri Sanusi. Setelah Kementerian Agama R.I. menegerikan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, maka pesantren Babakan mulai membuka sekolah-sekolah formal seperti itu. Bahkan K.H. Fuad Amin membuka Sekolah Persiapan IAIN (SPIAIN) yang ijazahnya setingkat dengan Madrasah Aliyah. Tetapi sekolah ini ditarik dari Babakan untuk dikembangkan di Indramayu.  Setelah K.H. Fathoni wafat, para kiyai di Babakan banyak sekali dan mulai bermunculan dengan membuka pesantren tersendiri, dengan model penglolaan yang berbeda-beda. Berkat keadaan itu, santri putera dan puteri di Pesantren Babakan sekarang mencapai jumlah lebih dari seribu lima ratus santri.   
 
E. Perkembangan Pesantren
          Pesantren Babakan dan pesantren lain yang dibangun oleh keluarga (sanak-famili) banyak yang berkembang dan banyak yang punah. Di antara pesatren yang berkembang adalah
(1)   Pesantren Babakan sendiri yang klimaksnya dipimpin oleh Kiyai Amin sepuh, terutama pada tahun 1948 sampai tahun 1972. Kitab-kitab yang diajarkan oleh Kiyai Amin antara lain Fatul Muin, Fathul-Qarib, Sullam Taufiq, dan Safinah al-Najat. Sedang kitab-kitab tauhid adalah Qathr al-Ghaits, Tijan al-Darari, Kifayat al-Awam dan Al-Dasuqi. Pelajaran pesantren ditambah Kiyai Sanusi mengajarkan kitab Al-Ajrumiyah yang diberi penjelasan dengan mengutip materi dari kitab Nahwu yang besar-besar. Menurut K.H. Abdullah Amin, bahwa ayahnya selalu mengajarkan sembilan kitab, antara lain kitab yang disebutkan tadi. Jika salah satu kitab itu khatam, maka pada waktu lain kitab itu diulang lagi dengan santri yang berbeda. Sementara kitab-kitab besar seperti Jam’ul Jawami’, Ihya Ulum al-Din, atau Shahih al-Bukhari waktu itu belum dikhatamkan di pesantren ini. Meskipun begitu, perkembangan pesantren besar sekali, jauh melebihi pesantren Kiyai Shalih nDarat di Semarang, pesantren Kiyai Nasuha di Jatisari Plered., dan lain-lain, yang sekarang sudah bubar alias gulung tikar. Pada masa klimaksnya,  (1947-1975) pesantren Babakan sudah dibanjiri oleh santri lebih dari 600 (enam ratus) an dalam satu tempat. Lebih besar lagi setelah pesantren Babakan membuka sekolah yang berbeda-beda, negeri atau swasta, dan berjalan sampai sekarang.     
(2)   Pesantren Kempek Palimanan. Pesantren ini dibangun oleh Kiyai Harun ibn Nyai Hafshah binti Nyai Khadijah bint Nyai Khalifah bint Kiyai Nawawi sepuh. Ayah Kiyai Harun adalah Kiyai Abdul Jalil yang wafat di Kedongdong Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon. Tokoh ini deret sesepuhnya adalah penyebar agama Islam dari Pekalongan, yang jasadnya dikubur di Desa Wonobodro Batang Pekalongan. Pesantren ini diteruskan oleh K.H. Umar putera Ky. Harun, dan dikembangkan juga oleh mematu Ky Harun, terutama KH. Nashir dan  K.H. Aqil Siraj, dan diteruskan oleh para puteranya.
(3)   Pesantren Dar al-Tawhid Arjawinangun. Pesantren ini dibangun oleh K.H.A. Syathari ibn Muhammad Syanawi, ibn Kiyai Abdullah ibn Nyai Mutimmah binti Kiyai Nawawi sepuh. Sedangkan Ummu Syathari adalah Nyai Arbiyah bint Kiyai Abdul Aziz ibn Kiyai Arjaen dan seterusnya, berderet sampai pada Sultan Banten. Pesantren ini, kecil jika dibandingkan dengan Pesantren Babakan. Akan tetapi kitab-kitab yang diajarkan di pesantren ini lebih komprehensip dan bervariasi. Pada tahun 1960 an pesantren ini sudah mengajarkan Fath al-Wahhab, Ghayat al-Wushul, Shahih al-Bukhari, Alfiyah Ibn Malik, Uqud al-Juman, Al-Syifa, Siraj al-Qari dan lain-lain. Semua itu dibawakan oleh KHA. Syathari sendiri dalam waktu dan tahun yang berbeda-beda. Lebih dari itu, sejak tahun 1931 Pesantren ini sudah membuka studi klasikal dalam bentuk madrasah, bernama Madrasah Wathaniyah.        .
(4)    Pesantren Winong Gempol. Pesantren ini dikelola oleh Kiyai Mustahdi, tetapi awalnya dirintis oleh ayahnya, Kiyai Hasbullah ibn Nyai Hafshah, sama seperti silsilah Kiyai Harun Kempek tersebut.
(5)    Beberapa pesantren di Tegalgubung, Ujungsemi, dan sekitarnya termasuk beberapa pesantren di Susukan, Candangpinggan dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan di sini. Ahmad Khairul Fahmi menyajikan informasi tambahan adanya pesantren di Ajibarang. Hal itu wajar, karena banyak putera-puteri Babakan yang nikah dengan beberapa orang yang terpencar di beberapa tempat.       
                 Sedangkan pesantren yang punah yang dapat disajikan di sini, antara lain (1) Pesantren Kiyai Abbullah ibn Nyai Mutimmah bint Kiyai Nawawi sepuh di Lontangjaya. (2) Pesantren Penjalin yang terakhir dikelola oleh Kiyai Sya’ban ibn Nyai Suqimah, binti Kiyai Jahari ibn Kiyai Adzra’i ibn Kiyai Nawawi sepuh. (3) Pesantren Dalail al-Khairat di Desa Kalitengah yang dibangun oleh Kiyai Adzra’i II dan Kiyai Rafi’i putra-putra Kiyai Muhammad Nawawi Glembo, ibn Kiyai Syarqawi ibn Nyai Khalifah bint Kiyai Nawawi sepuh. (4) Pesantren Gombang yang pernah dikelola oleh Kiyai Ali Kamali ibn Nyai Saodah bint Nyai Marinah bint Kiyai Adzra’i ibn Kiyai Nawawi sepuh. Sedang ayah Kiyai Kamali adalah sama seperti ayah pendiri pesantren Kempek, dan banyak lagi beberapa pesantren lain, baik yang berkembang atau yang sudah punah. Semua tidak mumpu diceritakan dalam tulisan ini, termasuk kisah yang menarik tentang Pesantren Balerante Palimanan.
           Secara historis, munculnya pesantren dapat dilacak dengan masuknya tasawuf dan thariqat di Nusantara. Tetapi sebelum thariqat berkembang, sudah banyak orang Islam di Nusantara menjelang abad 10 Masihi, dengan adanya kerajaan kecil Perlak, dilanjutkan abad ke 13 M., oleh Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Mulai saat itu tasawuf mulai berkembang  bahkan selama  abad 14 dan 15 M. Islam secara berangsur-angsur menyebar ke pantai utara Jawa sampai ke Maluku. Dalam sejarah, Islam yang masuk Pulau Jawa mengambil corak pemikiran shufistik, terutama al-Ghazali dan Ibn Arabi. Corak amalan Islam yang dipengaruhi tasawuf al-Ghazali selanjutnya, berkembang menjadi thariqat.
         Thariqat yang muncul pertama adalah Thariqat Qadiriyah yang dibangun oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (1078-1168 M) di Asia Tengah, yaitu Thibristan, tempat kelahiran dan pembukaan praktek awal thariqatnya, terus berkembang di Baghdad, Turki, Saudi Arabia sampai Indonesia. Selain itu bermunculan juga berbagai thariqat, seperti Thariqat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair, Thariqat Syahrawardiyah di Afrika Utara, Sudan, dan Negeria, Thariqat Sanusiyah di Aljazair dan Tunisia, Thariqat Syazaliyah di Sudan, Thariqat Syathariyah di India, Indonesia dan lain-lain. Semua thariqat itu berkembang terus dengan pesat sekali melalui murid-murid yang biasa disebut khalifah. Perkembangan itu diharapkan untuk menyebarkan beberapa thariqat ke berbagai pelosok yang jauh-jauh. Dalam sejarah Islam juga disebutkan, bahwa setelah khalifah Abbasiyah runtuh oleh bangsa Mongol tahun 1258 M., tugas memelihara kesatuan Islam dan penyebarannya, itu beralih ke tangan kaum shufi, dengan gerakan thariqat, termasuk pengembangan Islam di Indonesia.
         Kembali kepada persoalan pesantren, bahwa pengamalan thariqat pada awalnya dilakukan bersama-sama dalam bentuk halqah. Sebuah thariqat terdiri atas mursyid, atau khalifahnya, yang dikerumuni oleh pengikut thariqat, dan berkumpul di suatu tempat yang disebut ribath (zawiyah). Lembaga ini merupakan tempat latihan, atau amalan tasawuf, yang disebut mujahadah sambil mempelajari Kitab-kitab Kuning.
         Zawiyah, dulu disebut sanggar, padepokan, atau pertapaan, atau surau dan lain-lain, yang pernah dikembangkan oleh Kiyai Jatira di Babakan. Hampir semuanya berbasis agama, baik Hindu, Budha, dan lain-lain. Ketika masuk dalam Islam, lembaga semacam itu dipergunakan sebagai sarana pendidikan. Di situ mulai muncul istilah mushalla, langgar, maunasah, tajug, surau dan lain-lain, dan dalam langkah berikutnya lembaga itu berkembang menjadi pesantren.
         Dengan demikian, pesantren pada awalnya tidak mengajarkan Islam yang akademik dengan mengajarkan Quran-Hadits secara tektual dan kontekstual, tetapi berangkat dari ajaran Islam yang berjalan dengan penuh pergumulan dengan budaya Arab sendiri, dicampur dengan kebudayaan Persia, termasuk kebudayaan Hindu-Budha India. Dengan adanya pengamalan sosiologis dan kultur antar bangsa seperti itu kultur pesantren terbentuk.
          Ketika sarjana Belanda, Pegeaul dan de Graaf mengadakan penelitian di Indonesia, dia menulis bahwa pesantren merupakan jenis pusat Islam penting kedua di samping masjid. Mereka menduga bahwa pesantren ialah sebuah komunitas independen yang tempatnya di kampung-kampung, dan berasal dari lembaga sejenis zaman pra Islam, mandala, dan asyrama.
          Metode dan model pengembangannya, pesantren melihat kuatnya pelajaran sastra yang tinggi dalam tradisi Hindu-Budha, yang disertai dengan suluk yang indah dan merdu. Pesantren mengadopsi budaya seperti itu, sehingga banyak mengajarkan ilmu dengan metoda syair dan nazhaman. Nazham Aqidatul Awam atau Kharidatul Bahiyah disampaikan untuk mengajarkan aqidah, Nazam al-Zubad untuk ilmu fiqh, nazham Hidayatus Shibyan atau Jazariyah untuk ilmu tajwid, nazham Imrithi atau Alfiyah untuk ilmu nahwu, nazham al-Jauhar al-Maknun atau Uqudul Juman untuk balaghah, nazham Burdah untuk menambah kecintaan kepada Rasulullah, nazham al-Baiquni untuk ilmu Dirayah Hadits, nazham Siraj al-Qari untuk qiraat sab’ah. Bahkan tidak hanya itu, tetapi banyak contoh nahwiyah atau balaghah, mengutip Syair-syair Jahili seperti karya Imri al-Qais, karya ‘Antarah, karya Umayyah ibn Abi Shalt, karya Zuhair dan lain-lain  Lebih asyik lagi ketika terdengar suara tarhiman sebelum waktu shubuh, tersentuhlah jiwa Ki Dalang  bagaikan tersentuh oleh suluk Pandawa Lima, menjelang kedatangan Dwarawati.
         Kultur pesantren seperti itu menggambarkan tidak terjadi diskontuinitas masyarakat dengan masa lalunya. Lepas dari apa namanya, yang jelas pesantren tetap hidup sejak dari beberapa abad yang lalu, sampai sekarang. Kaum tani dan berbagai kelompok lain tetap tertarik mengirimkan putera-puteri untuk dididik di pesantren.

F. Tantangan perkembangan Pesantren.
          Kultur keilmuan pesantren yang santun dan berkembang selama berabad-abad itu mulai ditentang dan dijadikan musuh oleh berbagai kelompok. Antara lain (1) Kelompok yang mengembangkan budaya keagamaan yang berbeda dengan budaya keagamaan pesantren. (2) Kelompok penjajah Indonesia yang ingin melestarikan jajahannya. (3) Kelompok intelek yang mengklaim bahwa dirinya tokoh modernis yang menentang pesantren yang dianggap tidak modern. Tokoh semacam itu tidak senang pada pesantren, dan membantai kaum muslimin yang berfikir pluralis (mushawwibah).             .         
         Ad.1. Penantang pertama tentang perkembangan Islam model pesantren adalah ke-lompok padri (kelompok pemuda) Minangkabau yang diawali oleh Haji Miskin, Haji Abdurrahman, Haji Muhammad Arif, dan beberapa pemuda sepulangan mereka dari Makkah tahun 1802 M. Klompok ini dipengaruhi oleh pemikiran dan gerakan Wahhabi, yang doktrinnya kembali kpada Qur’an Hadits, dan boleh menganiaya umat Islam yang berbeda dengan pikirannya. Kemudian gerakan yang dikelola oleh delapan orang itu diorganisir dengan ketua Nan Ranceh. Kelompok ini berusaha memaksa orang Islam lain, agar berbudaya seperti mereka. Dalam usaha awalnya, mereka mengajak Tuanku Nan Tuo yang banyak dikerumuni oleh santri, agar ikut pemikiran dan gerakan mereka. Tetapi ajakan itu tidak disetujui. Tokoh besar ini menyajikan nasehat bahwa pemikiran keagamaan yang bersifat pemikiran (zhanniyat) itu tidak boleh dipaksakan kepada orang Islam lain. Semua amalan manusia baik amal shalih atau amal buruk itu dicatat oleh Allah dan akan dibuka di akhirat nanti. Semua amal kita adalah ikhtiyariyah yang pada dasarnya tidak menyimpang dari akidah (sunnah) Rasulullah Saw. dan para shahabatnya. Karena Tuanku Nan Tuo berfikir seperti itu, maka oleh mereka tokoh ini disebut Rahib Tuo. Sejak saat itu dikotomi kelompok tua dan muda mulai diciptakan dan disebarkan dengan teror ke mana-mana. Peristiwa yang paling tragis adalah ketika mereka mengajak musyawarah keagamaan dengan para pangeran Kerajaan Pagaruyung yang bermazhab Syafi’i dan pengamal thariqat. Ketika kelompok ini tidak mendukung keinginan gerakan puritan padri, maka seluruh anggauta kerajaan dianiaya dan tempat permusyawaratan itu dibakar, hanya beberapa bangsawan yang dapat meloloskan diri dari kekejaman mereka.
         Amalan keislaman masyarakat Minangkabau waktu itu, suka membaca barzabji bersama-sama, dan ketika sampai pada “ asyraqal badru” mereka berdiri. Jika memasuki bulan Ramadlan, mereka melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat. Jika ada umat Islam yang wafat, mereka melaksanakan tahlil bersama-sama, dan banyak lagi amalan umat Islam yang oleh mereka dianggap tidak sejalan dengan Quran-Hadits. Semua itu oleh puritan padri dihukumi bid’ah, khurafat, bahkan sesat dan menyesatkan (dlal dan mudlil). Puritan padri tidak hanya melaksanakan da’wah dan pendidikan, tetapi juga menyusun kekuatan seperti tentara, untuk menyerang orang-orang Islam yang amalnya berbeda dengan budaya keagamaan mereka. Ulama yang banyak menjadi korban kekejaman mereka adalah keluarga Kerajaan Pagaruyung seperti trersebut tadi. Para pemuda Pagaruyung siap membalas serangan puritan padri yang sombong dan sadis itu, tetapi para ulama kerajaan ini melarang, jangan sampai ada orang yang membunuh orang Islam lain yang secara lahiriyah membaca syahadat..
         Sementara di Yogyakarta, Kiyai Haji Ahmad Dahlan pada tahun 1912 memebentuk organisasi Muhammadiyah. Gerakan ini tidak hanya terpengaruh oleh Wahhabi, tetapi juga ingin mengembangkan pemikiran Muhammad Abduh. Tetapi tokoh yang berfikir Islam pluralis dan berakidah mendekati Mu’tazilah itu, oleh Muhamadiyah harus difilter dan disaring melalui pemikiran Rasyid Ridla. Murid Muhammad Abduh ini memakai pembaharuan Wahhabi. Dengan demikian organisasi yang memproklamirkan diri sebagai mujaddid atau pembaharu Islam, itu bisa dipertanyakan. Lebih dari itu, pada tahun 1925 puritan Minangkabau yang dipimpin oleh K.H. Abdulkarim Amrullah bergabung dengan puritan yang ada di Yogyakarta. Tidak hanya itu, tetapi pada tahun 1930 di Palembang kedatangan Haji Ridwan dari Kota Gede Yogyakarta yang menuduh bid’ah dan khurafat terhadap amalan umat Islam di Palembang.. Ulama dan kaum muslimin di kota Sriwijaya ini dipenuhi oleh amalan zikir, tahlil, mauludan, thariqat, dan semacamnya.
          Gerakan itu ditunjang oleh pemerintahan Orde Baru yang mengolah negara dengan paradigma modernisasi. Rezim yang menguasai semua lapisan pemerintahan itu meng-himpun orang-orang pinter agar menyusun program kerja yang rasional, sistematis, dan menarik. Kelompok itu umumnya bukan santri yang orang-orang tuanya memiliki andil besar pada kemerdekaan Indonesia, tetapi mengambil orang-orang yang sejalan dengan keinginan mereka. Kemudian program ini mereka sosialisasikan melalui sebuah partai yang dibangunnya. Semua pejabat negara, dan semua pegawai negeri diharuskan masuk organisasi ini, dan mereka diwajibkan untuk mengajak semua penduduk Indonesia memuja-muja partai ini. Waktu itu, Majlis Ulama diserahkan kepada Buya HAMKA, Menterti Agama diserahkan kepada Prof. Dr. H.A. Mukti Ali. Dengan langkah itu ulama di daerah-daerah dicurigai jika tidak mendukung partai ini. Semua pejabat termasuk penglola perguruan tinggi Islam, yang dianggap tidak modernis seperti Rektor, Dekan, dan beberapa dosen akan diganti oleh orang-orang lain yang dianggap modernis. Ketika partai itu ditawarkan kepada masyarakat pada Pemilihan Umum tahun 1971 dan tahun 1977 diduga masyarakat tidak akan memilih partai itu, maka pemerintah melakukan intimidasi dengan mengerahkan berbagai lapisan masyarakat untuk  memenangkan partai itu.
         Ad. 2. Kelompok yang menginginkan agar mayoritas umat Islam di kawasan Nusantara itu bersatu dengan Belanda, dan penjajah tetap menguasai Nusantara.Untuk itu Belanda menumbuhkan politik ‘adu domba’. Ketika melihat puritan padri Minangkabau mau membantai umat Islam yang berbeda dengan kultur keagamaannya (khilafiyah) maka Belanda membuka langkah berkooperasi terang-terangan dengan kelompok ini. Snouck Hurgronye adalah indolog paling menonjol dalam soal ini. Ketika dia ditugaskan di Aceh agar berbuat sesuatu yang menguntungkan Belanda, dia pura-pura mengeritik penelitian der Keinderen, dan LWC van den Berg yang tidak menulis pertentangan antara dua umat Islam yang berbeda mazhab, dengan sebutan: “Pertentangan antara kaum adat dan umat Islam”. Menurut Hurgronye banyak sekali pertentangan antara adat dan Islam. Dia menulis dalam bukunya De Atjehers (terbit 1893) bahwa para Sultan Kerajaan Islam di Aceh sama sekali tidak menguasai hukum Islam. Tindakan mereka banyak yang bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan Hurgronye ini, kemudian banyak dikutip oleh penulis-penulis berikutnya.
          BJO. Scherike seorang ilmuan yang ditugaskan oleh Belanda untuk studi lapangan saat perang padri selesai, banyak sejalan dengan pemikiran Hurgronye. Begitu juga Van der Kroep, keduanya melihat Islam, walaupun secara umum orang Indonesia disebut penganut agama Islam, tetapi dalam kenyataannya mereka jauh berbeda dengan ajaran Nabi Muhammad. Karena itu, Islamisasi di Indonesia dapat disebut berjalan setengah hati. Akibatnya, Islam di Indonesia bercampur dengan kepercayaan lokal. Begitu juga Harry J. Benda menulis bahwa ketika Islam masuk Indonesia, dipaksa untuk menye-suaikan diri dengan tradisi yang sudah berabad-abad umurnya, baik tradisi penduduk asli atau tradisi Hindu-Budha, sehingga Islam kehilangan kemurnian doktrinnya. Selain itu, banyak lagi tulisan-tulisan orientalis dan ilmuan Belanda yang menceritakan kultur mayoritas kaum muslimin di Indonesia, dengan uraian seperti itu.
           Mengingat buku-buku yang menguraikan seperti itu banyak sekali, bahkan bisa dijadikan sebagai rujukan bagi ilmuan yang mempelajari sejarah, atau politik, atau kebudayaan, dan atau studi Islam di Indonesia. Pandangan stereo type yang penuh bias semacam itu berkembang terus sehingga menjadi teori-teori akademis di Indonesia. Teori itu kemudian dikutip oleh ilmuan, untuk artikel, skripsi, tesis, disrtasi dan sebagainya. Mereka mengutip tulisan apa adanya, karena mereka tidak mampu mengadakan penelitian; Mengapa kaum santri tidak mau berkooperation dengan penjajah Belanda?.

           Ad 3. Sebenarnya, banyak sekali kritikan terhadap pandangan orientalis dan Indonesianis tentang berbagai uraian yang bias. Tetapi banyak juga ilmuan Indonesia yang mengangkat organisasinya sebagai ideologi keagamaan, sehingga tidak menerima adanya perbedaan pemikiran dalam Islam (khilafiyah). Ketika IAIN Jakarta membuka Pascasarjana tahun 1982, dan Harun Nasution sebagai penglolanya, banyak ilmuan yang diundang untuk menjadi dosen. Antara lain Prof  Dr. H.M. Rasyidi dan Prof Dr. Deliar Noor. Tokoh yang disebut pertama banyak membantai keilmuan dalam Islam yang berbeda dengan pendapat dirinya, terutama pemikiran Harun Nasution dan Nurcholis Madjid. Sebenarnya, pemikiran Deliar Noor juga sama seperti pemikiran Rasyidi tadi, tetapi disajikan dengan hati-hati. Dia berkata bahwa tulisan Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jangan diajarkan pada mahasiswa tingkat satu.
            Dalam buku Gerakan Modern Islam di Indonesia, Deliar Noor menulis bahwa Islam di Indonesia berwatak shufistik yang kuat mempertalikan hubungan Tuhan dengan para guru, dengan paham shufi panteis (wahdat al-wujud). Dia merasa paham sekali, bahwa wahdal al-wujud Ibn Arabi itu sama seperti panteisme. Pemikiran ini kata Deliar sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Namun ajaran itu mendapat lahan yang subur di tengah Islam Nusantara sejak Islam datang ke sini, disebarkan oleh tabeat alam pemikiran masyarakat Nusantara yang telah terpengaruh Hindu-Budha selama berabad-abad. Kedudukan kiyai atau guru terhormat menurut Deliar Noor berasal dari warisan agama Hindu-Budha, bahkan kelanjutan dari zaman animisme yaitu berkaitan posisi seorang dukun, sementara selalu saja kiyai adalah seorang dukun. Percampuran antara peribadatan Islam dengan adat dan tradisi itu mewarnai Islam Indonesia selama ini. Terhadap orang-orang yang berziarah ke makam Syaikh Burhanuddin Ulakan Minangkabau, Deliar Noor menilai bahwa pembacaan shalawat, pujian kepada Rasulullah Saw, tahlil, dan membaca Dalail al-Khairat itu merupakan kelanjutan tradisi para dukun yang tersebar di Sumatera zaman sebelum Islam, yang melakukan pujian terhadap dewa-dewa agama Hindu. Ketidak murnian Islam Masyarakat Nusantara ini menjadi sorotan studi mereka, akibatnya mereka perlu diislamkan secara benar.    
 
G. Pemikiran Institut Studi Islam Fahmina (ISIF)
          Perguruan Tinggi Islam yang bercorak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini mempunyai visi dan misi ke-Islaman Indonesiawi yang tidak diuraikan di sini. Tulisan ini hanya melihat diskusi bangsa Indonesia tahun 1935 antara guru saya, Takdir Alisyahbana yang berfikir beda dengan Ki Hajar Dewantara dan Dr. Soetomo. Guru saya berpendapat bahwa kultur Islam Nusantara harus diganti dengan kebudayaan Barat, agar bangsa Indonesia menjadi maju. Sementara Ki Hajar Dewantara dan Soetomo menghendaki agar kebudayaan Timur, terutama sistem nilai dan pendidikan pesantren dibuat sebagai basis pendidikan Indonesia meredeka. Kedua pemikir ekstrimis itu mewarnai perkembangan kebudayaan Indonesia sampai sekarang.
         Perkembangan berikutnya, setelah kekuasaan Orde Baru berakhir, dan cengkeraman militer terhadap rakyat Indonesia mulai longgar, muncul gerakan ekstrimis baru yang tidak senang pada nilai-nilai Pancasila, karena melestarikan Bhineka tunggal Ika. Kelompok ini menolak keragaman sosial-budaya dalam Islam dan menganggap bahwa konsep pemahaman dalam Islam itu cuma satu (tunggal). Mereka menolak Pancasila sebagai ideolgi negara, dengan keinginannya mendirikan negara Islam dengan sebutan “khalifah”.
          Gerakan semacam itu berbeda dengan pemikiran yang memilah-milah persoalan dalam Islam. Kitab Kuning ada yang menulis bahwa kehidupan manusia di dunia ini terdiri dari hak dan kebebasan, atas tiga bidang (1) Bidang hak dan otoritas manusia sesama manusia untuk menentukan segalanya, seperti memilih tempat tinggal, mengatur lalu lintas dan sebagainya (2) Bidang hak dan otoritas Allah seluruhnya yang harus dilakukan oleh manusia, seperti ibadah shalat, puasa dan ibadah mahdlah lainnya (3) Bidang hak dan otoritas manusia digabungkan dengan hak dan otoritas Allah, untuk menentukan tindakan manusia. Contohnya seperti pernikahan atau jual beli dan sebagainya. Pernikahan dari satu segi adalah hak manusia, karenanya dia bebas memilih pasangan dan teknis lainnya. Tetapi dari segi lain, dalam pernikahan itu ada hak Allah, karena di dalamnya ada syariat halal dan haram. Bidang hak dan otoritas yang nomer tiga ini adalah pembidangan model yang paling banyak..
         Pengkelompokkan tiga bidang tadi tidak dapat dirumuskan secara kwantitatif karena bentuknya berkebang sesuai perkembangan komunikasi dan teknologi. Terkadang perkembangan semacam itu dapat mewarnai ijtihad fiqhiyah.
         Dalam ilmu sosial, Driyarkara membagi nilai menjadi empat, yaitu nilai kultural, nilai kesosialan, nilai kesucian dan nilai keagamaan. Kalau itu diterapkan pada persoalan fiqhiyah, maka (1) nilai kultural adalah nilai yang paling profan dan sangat longgar toleransinya, seperti pemakaian mode, kesenian, olahraga dan semacamnya. (2) nilai kesosi-alan yang umunya bernilai profan, tetapi ada sekelompok umat yang menilainya  sakral, seperti politik kenegaraan, pendidikan, da’wah, dan pergaulan kemanusiaan lainnya. (3) nilai kesucian, yang disebut ibadah. Bidang ini paling tidak terbagi menjadi dua, yaitu a) ibadah fi’liyah seperti shalat, puasa, atau hajji, baik fardu atau sunnah. Ibadah model ini sakral maka harus dilaksanakan seperti amalan Rasulullah saw. b) ibadah qauliyah seperti perintah Allah agar kaum muslimin membaca shalawat Nabi, (Surat al-Ahzab ayat 56), membaca dzikir (Surat Thaha ayat 124) membaca tahlil (Ali Imran 191), membaca tasbih (Thaha 130), dan banyak sekali anjuran dalam al-Quran, agar umat Islam mempebanyak zikir, tasbih, dan shalawat kepada Rasulullah. Anjuran itu oleh Rasulullah saw. dikuatkan dengan hadits-hadits Nabi, agar diamalkan sebanyak-banyaknya. Tetapi Rasulullah saw. sendiri tidak mengatur cara membacanya. Karena itu umat Islam dibenarkan membaca shalawat, zikir, dan tasbih sebanyak-banyaknya, dengan duduk, dengan berdiri, atau terlentang, dan atau dengan duduk dulu terus berdiri seperti ‘baca barzanji’, atau membacanya dengan kolektif seperti upacara tahlil, thariqat dan sebagainya. (4) nilai keagamaan, yang dalam Islam disebut akidah Islamiyah. Nilai ini dirumuskan dalam rukum iman yang enam, dan rukun Islam yang lima. Akidah semacam itu sangat sakral, maka inti-inti yang tertanam dalam hak asasi dan emosi keagamaan itu, tidak dibenarkan adanya toleransi atau campur tangan orang lain.             
              
H. Penutup
         Pesantren Babakan bukan pesantren tertua atau termuda. Diduga pesantren ini sudah diteliti oleh banyak orang, tetapi informasi yang dipublikasikan sangat terbatas. Dulu pesantren tidak diperhitungkan sama sekali oleh ilmuan di berbagai kota, bahkan jasa pemuda-pemuda pesantren yang gugur dalam perjuaangan kemerdekaan Indonesia pun, seperti tidak dihargai. Suatu contoh nama-nama jalan di kota-kota tidak ada yang bernama pesantren, atau nama santri yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Nama-nama yang terpasang di berbagai kota itu adalah nama pejabat tertentu, yang sebenarnya tidak ikut memberantas Belanda. Memang ada nama-nama pejuang seperti Husni Tamrin di Jakarta, Mohammad. Thoha, Mohammad Ramadlan di Bandung, dan nama-nama lain, tetapi hanya bersifat lokal, dibandingkan dengan nama-nama tentara misalnya. Padahal semua orang tahu bahwa tentara dibentuk oleh Presiden RI tahun 1947 yaitu setelah Belanda terusir dari bumi Indonesia.
          Ketika terjadi perang Kedongdong, perang di Garut atau perang melawan Belanda di tempat lain, itu banyak para kiyai dan santri yang berperang, dan tidak sedikit mereka yang gugur dalam pertempuran itu. Tetapi tidak ada ilmuan yang tertarik untuk mengangkat penelitian sejarahnya.. Kalau kita membuka arsip nasional di Jakarta, banyak sekali informasi yang dapat dibuat tulisan, dengan menyebut nama-nama kiyai, dan atau santri. Tetapi informasi (arsip) yang ditulis oleh Belanda itu hanya menguntungkan dirinya, dan atau orang yang kooperation dengan Belanda waktu itu.. Ilmuan kita belum tertarik meneliti sejarah seperti itu dengan teori keilmuan yang memadai. Mereka lebih senang mengutip tulisan orang-orang Belanda yang sebenarnya semua itu bias secara keilmuan.
          Demikian tulisan ini bukan sejarah atau kronologi pesantren Babakan Ciwaringin, tetapi cuma informasi keilmuan dan komentar yang dapat dipergunakan untuk meneliti pesantren itu, atau  untuk meneliti pesantren pada umumnya.
           Wallaahu a’lam bi al-shawaab.



       .             
(5) K.H. NASHUHA PESANTREN JATISARI PLERED CIREBON


 Na

    KH. Nasuha dalam keluarga
         Berangkat dari sosok Kiyai Ta’rif di Pamijen Desa Sampih Sindanglaut memiliki putera-puteri, antara lain Masrifah dan Maisarah. Masrifah nikah dengan Kiyai Zayadi (ayah Kiyai Nasuha) dan Nyai Maisarah nikah dengan Kiyai Shalih ibn Muta’ad (Pendiri Pesantren Benda Kerep). Kultur dua tokoh itu sama yaitu bersikap non cooperation dengan penjajah Belanda. Mereka lebih senang hidup di kampung untuk membina umat, dari pada hidup di kota yang selalu diawasi oleh penjajah Belanda. Pernikahan Kiyai Zayadi dengan Nyai Masrifah melahirkan lima orang anak, yaitu Maimunah, Nashuha, Isma’il, Abdul Mannan dan Bunyamin. Semua tidak diketahui tanggal lahirannya, tetapi ada informasi bahwa umur Nasuha kurang dari enam puluh tiga tahun dan adik-adiknya berumur lebih dari enam puluh tiga tahun, bahkan Abdul Manan (putera ke empat) berumur lebih dari tujuh puluh tahun. Nasuha wafat sebelum tahun 1930 M. Isma’il wafat sesudah tahun 1930, Bunyamin wafat tahun1942 dan  Abdul Manan wafat tahun 1950 an M.
          Setelah putera-puteri itu dewasa, Kiyai Zayadi menikah lagi dengan Nyai Asri dari Losari dan tinggal di Losari. Setelah wafat Kiyai Zayadi dimakamkan di Desa Asem Sindanglaut. Dari pernikahan itu lahir lima orang putera-puteri lagi yaitu Maulani, Syarif, Fathimah, Madinah, dan Rouhilah. Dengan demikian Nasuha bersaudara lima orang, dan saudara seayah saja lima orang lagi.           
      Putera-puteri Kiyai Zayadi juga berkeluarga. Maimunah menikah dengan Sufya (Yusuf Yahya, seorang habib dari Majalengka). Pernikahan itu melahirkan tujuh putera-puteri, yaitu Muhammad, Karimah, Hanifah (Gelang), Hasanah, Zainah (Jikeng), Junaidi dan Kufah.
     Nashuha menikah dengan Aminah, dan dari pernikahan itu lahir tiga putera dan tiga puteri, yaitu Halimah (Istri Kiyai Muhammad ibn Yusuf Yahya), Salamah, Khalil, Abdul Hafizh, Zuhrah, Raudlah dan Abdurrasyid (w). Nasuha nikah juga dengan Muri’ah bint Abdul-Qahhar, tetapi masih muda, maka istri yang melahirkan pertama adalah Aminah. Kemudian Muri’ah melahirkan empat orang anak, yaitu Ahmad Jawahir, Harmalah, Muslimah, dan Abdul-Muiz (ayah Ahmad Chozin /penulis artikel ini). Setelah usia lima puluhan tahun, Kiyai Nasuha menikah lagi dengan Nyai Sa’idah dari Kalitengah, tetapi dia wafat mendahului Kiyai Nasuha, dan tidak memiliki putera/puteri. Dengan demikian Kiyai Nasuha memiliki putera-puteri sebelas orang dari dua istri saja.
          Isma’il menikah dengan Rahmah bint Buyut Talang (KH.Abdullah Faqih) berputera dua orang puteri, yaitu Qana’ah dan Hannah. Qanaah menikah dengan Junaidi ibn Yusuf Yahya (tidak punya putera) dan Hannah menikah dengan Ahmad Jawahir ibn Nasuha. Dari pernikahan itu Kiyai Isma’il memiliki banyak cucu yang sekarang menjadi penerus pesantren Kiyai Isma’il.
      Abdul Mannan menikah dengan Ny. Sa’diyah bint K.H. Ilyas dan tidak berketurunan, tetapi dia memelihara Abdul-Hafizh ibn Nashuha yang kemudian dinikahkan dengan keponakan Ny. Sa’diyah.
      Bunyamin beristri pertama Ny. Jauharah bint Amin ibn Yusuf Wotbogor Indramayu. Amin adalah menantu Kiyai Shalih Benda Kerep. Pernikahan Bunyamin dengan Jauharah memiliki lima putera yaitu Amnah, Fanani, Abdul-Hannan, Abdullah dan Abdul Mughni. Setelah Nyai Jauharah wafat Bunyamin nikah lagi dengan adik istri (turun ranjang) bernama Sumaimah bint Amin Yusuf, dan tinggal di Penggung dekat lapangan udata Cirebon. Dari pernikahan itu lahir Qanaah, Maziyah (Fathimah), Abdul Karim, Abdul Aziz (w), Abdurrahman (w) Anah, dan Fathurrahman.

Nashuha dalam perkembangan
       Kehidupan Nashuha bersama saudara-saudaranya sangat sederhana terutama setelah Kiyai Zayadi menikah lagi dan bertempat tinggal di Losari. Tidak lama kemudian Nashuha pergi belajar di Pesantren di Pekalongan, ada yang bercerita di Kenayagan ada yang cerita di Kertijayan. Kehidupan di Pesantren itu, Nashuha banyak dibantu oleh Abdul-Qahhar (calon mertua) dari Desa Panembahan Weru, seorang pedagang yang memiliki kekayaan di Bandung. Tidak ada penjelasan bahwa Nasuha belajar lagi di pesantren lain. Informasi yang ada hanya cerita bahwa Nasuha belajar di pesantren selama belasan tahun.
        Nashuha menikah dengan Muri’ah bint Abdul-Qahar yang waktu itu masih kecil, sehingga Nasuha sempat menjalankan ibadah haji dan tinggal di Makkah beberapa bulan. Sepulangnya dari Makkah-Madinah, Nasuha mendapat nama Haji Anwar. Tetapi sampai wafat, nama itu tidak dikenal. Berbeda dengan adiknya, Isma’il ibn Zayadi yang beberapa bulan di Makkah sempat berguru kepada al-Sayyid Abu Bakar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathi al-Makki. Setelah pulang dan mukim di daerah Cirebon, K.H. Nasuha dan K.H/ Ismail bergumul akrab dengan Kiyai Thalhah Kalisapu, pengembang Thariqat Qadiriyah Naqsayabandiyah. Dulu thariqat yang berkembang di Cirebon cuma Syathariyah, kemudian disusul Thariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah sehingga akhirnya thariqat mu’tabarah di Cirebon mulai banyak dan bervariasi.
        Dalam sejarahnya, Kiyai Nasuha (kakak) mengembangkan pesantren di Jatisari Plered hanya mengajarkan al-Quran dan kitab klasik saja, sedangkan Kiyai Ismail (adik) di Cipeujuh di samping mengajarkan kitab klasik, juga mengembangkan thariqat Qadiriyah-Naqsyabadiah. Berangkat dari itu, pesantren Kiyai Nasuha menjadi besar dengan warna Kitab Klasik saja, sedang pesantren Kiyai Ismail menjadi besar di samping mengajarkan al-Quran dan kitab klasik, juga mengembangkan Thariqat Qadiriyah dan wirid shalawat yang dilembagakan. Karena tambahan itu Kiyai Isma’il dapat disebut mursyid sebuah thariqat. Berangkat dari itu, pesantren Kiyai Ismail dikerumuni oleh kaum muslimin dari berbagai daerah. Mereka bukan santri pelajar al-Quran dan kitab kuning saja, tetapi untuk ijazah thariqat dan membaca shalawat. Sejak itu Kiyai Ismail menerima tamu yang berbeda-beda, dan dilayani oleh orang yang berbeda-beda pula. Pelajaran al-Quran diasuh oleh Kiyah Ahmad Jawahir ibn Nasuha (menantu) pelajaran kitab klasik diasuh oleh Kiyai Ubaid, suami Nyai Anah bint Maimunah Yusuf Yahya, dan ijazah thariqat dilayani oleh Kiyai Isma’il sendiri.         

Profil Kiyai Nashuha
       Kiyai Nasuha berbadan kurus, lemah fisik, dan tidak berbadan seperti olahragawan. Dilihat dari sudut lain, badan itu tampak sederhana seperti orang yang selalu melakukan riyadlah. Meskipun begitu, badan Kiyai Nasuha bersih, wajah bersinar dan kelihatan seperti orang yang tenang penuh optimis dan tidak mengeluh. Menurut pembantu Kiyai Nasuha yang hidup sampai tahun enam puluhan berkata, bahwa: Jika hendak gilir ke istri ketiga, Kiyai Nasuha berjalan kaki dari Jatisari ke Kalitengah sekitar satu setengah kilo meter, lambat dan melangkah sabar sekali.
           Jika menjadi imam shalat jum’at atau shalat maktubah pada umumnya, Kiyai Nasuha tampak berwibawa. Ketika shalat jum’ah atau shalat jama’ah bersama santri, Kiyai Nasuha membaca surat al-Quran yang pendek-pendek. Surat yang sering dibaca dalam shalat Jumu’ah, sesudah surat al-Fatihah, adalah Surat al-Dhuha dan Surat al-Syarh. Begitu juga jika shalat maktubah, Kiyai Nasuha membaca surat al-Falaq dan al-Nas atau surat al-Ma’un dan al-Kautsar untuk shalat Maghrib. Tetapi jika melaksanakan shalat sendiri terutama di waktu malam, shalat Kiyai Nasuha panjang sekali dan waktunya tidak bisa ditunggu.
            Dilihat dari profesinya, Kiyai Nasuha menekuni pekerjaan yang didasarkan pada beberapa keahlian antara lain mahir membaca dan menguasai isi kitab-kitab klasik. Begitu itu menimbulkan kharisma tersendiri yang siap memasuki lapangan profesi sebagai pengasuh pesantren. Dengan kata lain Kiyai Nasuha dapat dinilai sebagai kiyai profesional, yaitu tokoh yang menekuni suatu pekerjaan berdasarkan kemampuan, keahlian, dan teknik pengajaran kitab-kitab klasik.
         Secara keilmuan, Kiyai Nasuha adalah guru (al-ustaz atau al-syaikh) yang mampu mengelola kitab klasik yang diterapkan pada anak didik (santri). Penerapan kitab-kitab tadi dilakukan melalui tahapan yang sejalan dengan usia dan kemampuan santri, baik mereka itu sudah mengkhatamkan al-Quran, atau sedang mempelajari untuk dikhatamkan. Banyak santri yang belajar membaca al-Quran digabung dengan mempelajari kitab-kitab klasik. Kitab-kitab yang diajarkan waktu itu, antara lain tentang akidah, fiqih, dan sentuhan ilmu tasawuf. Semua kitab-kitab itu sudah dikuasai oleh Kiyai Nasuha dan disiapkan untuk dituangkan pada santri secara korikuler.
       Secara ekonomis, Kiyai Nasuha adalah petani yang penuh tawakkal pada Allah, dan bukan petani profesional. Kehidupan umat waktu itu sangat sederhana dan tidak banyak keperluan seperti kehidupan sekarang. Sawah milik, sebagai hasil warisan dari Nyai Sa’idah Kalitengah juga banyak dikelola oleh orang lain dengan cara bagi hasil. Tanah Jatisari yang ditempati bersama keluarga dan pondok pesantren adalah tanah pemberian dari Haji Abdul Ghani Kanggraksan melalui Haji Ali. Dengan kata lain Kiyai Nasuha adalah tokoh yang menjalani kehidupan yang sangat sederhana.  
        Dari segi profil, Kiyai Nasuha memiliki kepribadian yang mantap, stabil, arif dan berwibawa, serta berakhlak karimah, sehingga wajar ia menjadi teladan bagi santri. Berangkat dari konsep itu, Kiyai Nasuha memiliki sikap kepribadian yang mantap dan meyakinkan, sehingga dibuatnya sebagai sumber inspirasi bagi santri, terutama mereka yang belajar bertahun-tahun di tempat itu. Dari segi lain, Kiyai Nasuha menguasai materi yang ada dalam kitab-kitab yang diajarkan kepada santri. Kitab-kitab tentang akidah antara lain Qathr al-Ghats, Tijan al-Darari, Syarah al-Sanusiah dan Kifayat al-Awam. Kitab-kitab fiqh yang diajarkan antara lain Safinat al-Najat, Sullam al-Taufiq, Fath al-Qarib dan Fath al-Mi’in. Di belakang kitab Fathul Mu’in ada qashidah tentang tasawuf bernama Azkiya, yang ditulis oleh Zainuddin ibn Abdul Aziz kakek penulis Fathul Mu’in. Qashidah itu membahas thariqat yang menyentuh tasawwuf. Dengan demikian, inti belajar kitab di pesantren Kiyai Nasuha adalah akidah, fiqh dan dasar tasawuf. Dalam tempat lain, ada santri yang mengajukan sorogan kitab al-Ajurumiyah, dan oleh Kiyai Nasuha juga dilayani. Secara keilmuan, kitab-kitab yang diajarkan oleh Kiyai Nasuha waktu itu, sederhana sekali jika dibandingkan dengan pesantren yang berkembang setelah Indonesia merdeka. Pengajian kitab-kitab yang sederhana itu kemudian diamalkan oleh K.H. Amin sepuh di pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Bedanya, kalau Kiyai Nasuha (guru) mengajarkan kitab-kitab itu dengan metoda sorogan, sedangkan Kiyai Amin (murid) mengajarkan kitab-kitab itu dengan metoda bandongan.
       Metoda sorogan atau talaqqi (istilah yang biasa dipergunakan oleh beberapa ulama di masjid Al-Azhar Kairo) adalah cara belajar santri (murid) menghadap guru satu persatu untuk menerima pelajaran dari satu kitab tertentu. Metoda sorogan di pesantren, biasanya santri membaca ulang satu materi kitab yang sudah dibacakan oleh kiyai lengkap dengan lafaz makna sesuai kemapuan santri. Bagi santri yang rajin, cepat selesai menguasai isi kitab itu, sementara santri yang tidak rajin agak lama mengkhatamkan satu kitab. Kitab yang dipelajari oleh santri lelaki biasanya menggunakan kitab klasik yang belum diberi makna (kitab kosong). Sedangkan kitab klasik yang diajarkan kepada santri puteri memakai kitab yang sudah diberi makna dengan bahasa jawa, yang ditulis dengan huruf Arab pegon. Kitab-kitab itu antara lain Safinat al-Najat, Sullam al-Taufiq dan Bafadlal (Minhaj al-Qawim). Selain itu santri puteri ada yang mempelajari kitab-kitab fiqh bahasa Jawa yang ditulis oleh Kiyai Shalih ibn Umar (Ndarat) Semarang.   
      Metoda bandongan banyak dilakukan oleh ulama yang mengajarkan ilmu di Masjid al-Haram di Makkah-Madinah, dan dipergunakan juga oleh sebagian ulama di pesantren di Jawa. Tekniknya sama, yaitu kajian satu kitab dengan cara; santri atau sekelompok santri menyimak pembacaan kitab dari guru (Kiyai atau al-Syaikh). Kemudian santri mencatat makna kalimat yang diajarkan oleh kiyai tadi. Bedanya kalau metoda bandongan di Makkah, santri mencatat makna dengan bahasa Arab, sehingga bentuknya seperti hasyiyah atau ta’liqat. Sedang santri di Jawa mencatat makna dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon. Penerapan makna seperti itu sudah banyak dilakukan oleh para ulama sejak dari Syaikh Datuk Kahfi di Cirebon, Sunan Ampel, Sunan Giri dan murid-muridnya. Struktur bahasa yang dipergunakan tadi adalah pengambilan makna dari bahasa Arab menjadi bahasa Jawa. Bentuk makna tadi tidak melepaskan struktur nahwu dan sharaf, dengan bantuan kata-kata: utawi, iku, apa, siapa, ing, hale, apane dan sebagainya. 
            Kitab-kitab yang dipelajari di pesantren, biasanya terdiri atas kitab-kitab berbahasa Arab, yang ditulis dengan tidak memakai syakal (fathah, kasrah dlammah, tasydid, sukun dan sebagainya), serta tidak memakai titik, koma, dan semua tanda baca. Kitab itu umumnya dicetak dalam kertas kuning. Kitab-kitab yang dipelajari oleh santri biasanya kitab kosong (tidak ada makna) dan oleh kiyai diberi makna bahasa jawa tadi. Studi model inilah salah satunya dilakukan oleh Kiyai Nasuha di pesantren Jatisari, dan oleh beberapa kiyai pada umumnya.
      Selain pengasuh pesantren, Kiyai Nasuha juga memiliki kemampuan berkomunikasi dan bergaul dengan masyarakat. Kiyai Nasuha juga menghadiri undangan dan hajatan masyarakat terutama famili, tetangga, wali murid, dan masyarakat di sekitar pesantren. Dalam hajatan itu, banyak terjadi jika Kiyai Nasuha belum hadir, hajatan tidak berani dimulai. Fenomena itu dianggap sebagai dasar barakah, dan Kiyai Nasuha serta pesantrennya dipandang sebagai sumber barakah untuk hajatan itu.
       Kembali kepada kitab-kitab klasik yang diajarkan oleh Kiyai Nasuha, itu semua berisi akidah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Begitu juga kitab-kitab fiqh yang diajarkan itu semua membahas permasalahan fiqhiyah mazhab Syafi’i yang praktis, yang siap dipraktekkan oleh masyarakat.
             Pelajaran akidah yang dibawakan oleh kitab-kitab itu adalah pemikiran Al-Asy’ari dan Al-Maturidzi yang menjelaskan sifat-sifat Allah yang wajib diketahui oleh setiap orang. Sifat-sifat itu ada dua puluh, yaitu wujud, qidam, baqa dan seterusnya. Begitu juga sifat-sifat yang mustahil bagi Allah seperti Allah tidak ada, tidak qadim, tidak kekal dan seterusnya. Semua sifat-sifat Allah baik yang wajib atau yang mustahil bahkan sifat Allah yang jaiz itu semua diuraikan dalam kitab-kitab itu dengan argumentasi yang filosofis. Pelajaran seperti itu menimbulkan keyakinan (akidah) bagi santri yang mempelajari kitab. Sehubungan konsep itu menjadi akidah bagi umat Islam Indonesia, maka sifat dua puluh banyak dibuat nazham yang indah, dan dilagukan oleh santri untuk menunggu imam menjelang shalat berjamaah. Lebih dari itu, banyak juga ibu-ibu yang melagukan nazham itu untuk merayu dan menenangkan anak asuhannya.      
             Selain akidah, Kiyai Nasuha juga mengajarkan syari’at Islam yang mengatur peribadatan umat, melalui kitab-kitab yang diprogramkan. Uraian yang terpenting dari kitab-kitab itu adalah tentang rukun Islam yang lima, yaitu tentang shalat, zakat, puasa dan ibadah haji. Pelajaran shalat, kitab itu menguraikan definisi shalat, syarat-syarat yang perlu disiapkan untuk shalat, rukun dan model-model shalat, seperti wajib, sunnah dan lain sebagainya. Begitu juga pembahasan tentang zakat, tentang puasa dan tentang ibadah haji. Demikian itulah isi yang diuraikan oleh Safinat al-Najat dan Bafadlal, serta kitab-kitab fiqh lainnya. Kajian itu disebut fiqih ibadah yang mengatur peribadatan (ubudiyat) kaum muslimin. Kalau studi itu diteruskan mengkaji Fathul Qarib atau Fathul Muin, maka uraian fiqh ditambah lagi tentang hukum jual-beli (perdagangan) dan hal-hal yang bertalian dengan hukum ekonomi (mu’amalat), diteruskan dengan membahas pernikahan (munakahat) dan terakhir dua kitab itu membahas tentang jenis-jenis pidana Islam (jinayat).       
      Setelah pelajaran akidah dan syariat itu selesai, santri mulai mempelajari dasar-dasar thariqat dan tasawuf. Studi ini dimulai oleh tuntunan kitab Sullam al-Taufiq, dan diteruskan dengan mempelajari Nazham Adzkiya. Pelajaran itu belum menyentuh dasar-dasar tasawuf dan belum mengajarkan suatu thariqat secara praktis. Atas dasar itu, pengajian Kiyai Nasuha ditekankan pada pemantapan akidah Islamiyah, dan tuntunan fiqh praktis untuk menjalankan syari’at Islam, berdasarkan Mazhab al-Syafi’i. Kajian itu disebut dasar-dasar Islam yang fardlu ‘ain atau ajaran dasar yang wajib diketahui oleh setiap umat Islam di Indonesia.

Pesantren Kiyai Nashuha
       Belum ada uraian lengkap tentang berdiri, kegiatan dan kelanjutan pesantren Kiayi Nasuha. Informasi yang tercatat sebagai dasar tulisan ini, antara lain Haul Buntet Pesantren Cirebon yang selalu menceritakan riwayat K.H. Abbas (sesepuh Buntet). Tokoh ini belajar pada Kiyai Nasuha di Jatisari Plered Cirebon. Selain itu, sejarah K.H. Dimyahti Pesantren Cidahu Pandegelang, yang ditulis oleh puteranya sendiri, bahwa tokoh kharismatik ini waktu mudanya berguru kepada K.H. Nasuha di Jatisari Plered Cirebon, dan K.H. Hasan di Sukunsari. Ketika penulis berada di Desa Mangir Indramayu, ada cerita bahwa tokoh yang membina keagamaan masyarakat di sini adalah murid K.H. Nasuha dari pesantren Jatisai. Sementara cerita lisan yang terdengar pada tahun 1960-1980 adalah beberapa nenek dan kakek dari desa-desa Kalitengah, Panembahan, Setu dan Weru, bercerita bahwa pada masa mudanya mereka berguru (ngjaji) di pesantren Jatisari.
              Fenomena yang ditemukan di Jatisari sekarang adalah sebuah tajug (mushalla) yang tidak besar dan tidak kecil, yang diduga bisa dipadatkan untuk shalat jamaah sampai 150 an orang. Di sebelah selatan tajug itu ada rumah Kiyai Nasuha bersama Nyia Muri’ah, dan di sebelah selatan timur, ada rumah Kiyai Nasuha bersama Nyai Aminah. Di tengah dua rumah itu ada rumah besar yang dibelakangnya ada beberapa kamar. Rumah itu, dulu ditempati oleh Nyai Halimah bint Kiyai Nasuha dan dibuatnya sebagai pesantren puteri. Sedangkan di sebelah utara tajug, ada tanah luas yang dulu ditempati untuk pondok pesantren putera. Bangunannya terdiri dari gubug-gubug pagar dengan atap welit yang dibangun oleh santri sendiri, dan sekarang sudah habis semua. Bangunan pondok tiga kamar yang ada sekarang, itu dibangun oleh keluarga sesudah Kiyai Nasuha wafat.
       Secara keilmuan, pesantren adalah lembaga pendidikan tradisonal yang ada di Indonesia, yang hidup sampai sekarang. Pendidikan itu memiliki tradisi lisan yang kuat (sorogan atau bandongan), juga memiliki tradisi keilmuan yang tertulis dalam Kitab Klasik (Kitab Kuning). Dari segi lain, pesantren adalah lembaga pembinaan kepribadian yang tumbuh dengan disertai akhlak yang mulia. Kegiatan itu membentuk kepribadian yang memiliki niali-nilai keislaman yang tampil dalam pola pikir, pola sikap dan perilaku yang semuanya anti penjajah Belanda. Tokoh yang memiliki predikat seperti itu disebut kiyai yang biasa diikuti oleh santri. Seorang kiyai lebih menonjol setelah tokoh itu sudah melaksanakan ibadah haji, atau mukim di Makkah. Tokoh-tokoh semacam itu kehidupan dan kegiatannya selalu dicurigai oleh pemerintah Belanda. Kecuali orang Islam yang menyatakan dirinya kooperasi (pro) dengan penjajah Belanda, atau beberapa penghulu yang kehidupannya dibantu oleh administrasi Belanda, untuk mengatur keagamaan masyarakat.  
             Pada tahun 1810 Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan aturan agar para kiyai yang akan melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain supaya membawa surat semacam paspor. Peraturan ini dimaksudkan agar Belanda dapat mengawasi mereka untuk tidak berbuat kegiatan yang dianggap merugikan kepentingan penjajah Belanda.
      Dari segi lain, Raffles mengakui bahwa setiap kiyai di nusantara ini oleh penduduk dianggap sebagai orang pinter yang memiliki kharisma yang kuat dan bernilai tinggi. Kharisma semacam itu amat mudah dipergunakan untuk mengadakan gerakan kemasyarakatan dan dapat mengganggu kepentingan penjajah. Pengalaman Raffles ini menunjukkan bahwa kiyai terutama penglola pesantren pada dasarnya aktif dalam berbagai pemberontakan, yang terkenal dengan sebutan ‘anti penjajah’.
                Pada tahun 1825 Belanda mengeluarkan resolusi yang membatasi jumlah jamaah haji dengan mengeluarkan paspor haji yang harganya mahal sekali. Kemudian pada tahun 1852, Duymaer van Twist mencabut resolusi itu tetapi memerintahkan semua aparat Belanda dan semua pimpinan daerah jajahan agar mengawasi secara ketat terhadap semua kiyai, baik sudah menjalankan ibadah haji atau akan menjalankan ibadah haji. Pada masa kondisi semacam itulah Nasuha menuntut ilmu di luar daerah Cirebon dan mengembangkan amal shalih. Kemudian pada tahun berikutnya, sekitar tahun 1870 an K.H. Nasuha membangun pengajian yang sangat sederhana, dan langkah berikutnya, pengajian itu berkembang menjadi pesantren yang didatangi oleh pemuda-pemudi dari daerah-daerah Brebes, Cirebon, Indramayu, Krawang dan sebagainya.
      Dasar keinginan pendidikan pesantren adalah santri dapat menguasai akidah Islamiyah dan dapat melaksanakan Syariat Islam, sebagaimana sudah diuraikan di atas. Ucapan semacam itu kelihatan sederhana tetapi memiliki dasar filosofi yang tinggi. Apalagi jika filosofis itu ditunjang oleh pembentukan kultur masyarakat yang dinilai sopan, jujur, taat beragama, tidak rakus, dan hidup ber-akhlak dalam suasana yang aman dan sejahtera. Filosofi semacam itu, dulu disebut budaya santri.
              Pesantren Kiyai Nasuha, secara keilmuan tidak mencantumkan tujuan dan tidak menyajikan program kerja yang tertulis jelas yang dipublikasikan pada masyarakat. Tetapi secara kemanusiaan Kiyai Nasuha memiliki keinginan besar agar santrinya kelak menjadi pengembang agama Islam pada masyarakat yang lebih luas. Keinginan yang secara adminstratif tidak dipublikasikan itu bisa disebut sebagai tujuan akhir dari pesantren Kiyai Nasuha. Karena itu segala bentuk kegiatan yang diadakan di pesantren Jatisari sejak dari shalat maktubah berjama’ah, mengaji al-Quran, mengaji kitab kuing, baca Barzanji, atau Burdah dan lain-lain untuk marhabanan setiap malam jumat, itu semua diadakan di pesantren itu. Semua itu diprogramkan seperti kurikulum pesantren, sehingga semua kegiatan itu diamalkan oleh semua santri di pesantren itu.
        Kiyai Nasuha disebut pengasuh pesantren, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan dengan bentuk pengajaran, pendidikan, dan bimbingan, terhadap anak didik (santri) di pesantren itu. Pengajaran dianggap sebagai usaha yang menjadikan anak didik (santri) dari tidak mengetahui sesuatu menjadi tahu. Berangkat dari rumah, santri belum dapat membaca al-Quran, atau membaca dan memahami isi Kitab Kuning. Tetapi dengan pengajaran itu santri dapat membaca al-Quran dan dapat mengetahui beberapa masalah agama yang dibutuhkan.
       Pendidikan Kiyai Nasuha adalah pengarahan atau penunjukkan terhadap anak didik (santri) berangkat dari kegelapan akidah Islamiyah dan kebodohan syari’at Islamiyah, menuju kecerahan dan pengertahuan. Pendidikan ini meliputi beberapa hal yang memperluas pengetahuan anak didik, baik untuk dirinya sendiri atau untuk memperluas cakrawala yang dikembangkan pada masyarakat.
               Bimbingan Kiyai Nasuha sering berbentuk nasihat dan suatu ketika berbentuk tuntunan tingkah laku. Maksudnya untuk membantu kehidupan santri agar dapat menjalankan ibadah kepada Allah, dan melakukan akhlak yang mulia untuk bergaul dengan sesama dan masyarakat. Meskipun begitu bimbingan di pesantren memerlukan keahlian tersendiri, karena menghadapi anak didik bervariasi dari santri pemula yang belajar membaca al-Quran, sampai mereka yang sudah lama belajar kitab. Prinsip dasarnya adalah sama yaitu kasih sayang kepada anak didik, menghargai kepribadian, dan memonitor perkembangan anak didik menuju cita-cita.
       Kiyai Nasuha memahami penampilan santri yang datang untuk mencari ilmu di pesantren itu. Kebanyakan mereka adalah putera-puteri petani yang orang tuanya penglola sawah. Para santri banyak yang datang pada musim panen, dan banyak yang pulang pada musim hujan. Sawah pada masa itu hanya ditaman padi satu kali, dan sebagian petani ada yang menanam palawija. Pertanian waktu itu sangat subur sehingga kehidupan petani makmur dan sejahtera. Meskipun begitu, budaya petani tidak bisa dilupakan oleh masyarakat, yaitu bergembira di musim panen dan bekerja keras di musim hujan.
      Kiyai Nasuha memperhatikan santri yang datang kebanyakan berumur 13 tahun keatas sampai ada yang berumur 25 tahun. Mereka belajar di pesantren itu sampai ada yang mukim 6 atau 7 tahun bahkan ada yang betah sampai lebih dari tahun itu, terutama mereka yang datang sejak umur muda. Melihat fenomena itu, Kiyai Nasuha memahami tingkah laku dan cara berfikir mereka, sehingga penerapan pelajaran pun disesuaikan pula dengan keadaan mereka. Model ini hampir sama dengan penglolaan pesantren di Pekalongan, ketika Kiyai Nasuha menjadi santri.
             Pada dasarnya, semua santri secara kodrati memerlukan pendidikan dan bimbingan dari Kiyai dan dari santri senior bagi santri pemula. Semua itu memiliki potensi yang satu sama lain berbeda, sehingga perlu dikembangkan dengan cara yang berbeda-beda pula. Meskipun begitu semua santri memiliki watak yang sama, yaitu menghendaki kehidupan bermasyarakat mejadi baik. Dalam kehidupan itu semua santri memerlukan pengembangan yang timbul dari hubungan timbal balik antar sesama santri dan saling mempengaruhi satu pengalaman dengan pengalaman yang lain. Dengan demikian, pesantren adalah salah satu model upaya transformasi dan transmisi nilai sosial dengan budaya masyarakat pada generasi berikutnya. 
                Kurikulum dan metodologi yang diterapkan di pesantren K.H. Nasuha Jatisari sangat sederhana, sebagaimana sudah diceritakan di atas. Akan tetapi daya keberhasilan belajar di pesantren Jatisari tadi cukup baik karena ditunjang oleh beberapa faktor, terutama lingkungan. Jatisari adalah kampung sederhana yang terletak di sebelah utara jalan raya (Cirebon-Bandung) sekitar 300 meter. Di antara jalan raya dan kampung itu ada beberapa kebun dan perumahan masyarakat. Pesantren dibangun di atas tanah itu, yang keadaanya subur dan lingkungan penduduknya rukun, damai, dan familier. Di sebelah barat pesantren adalah perumahan masyarakat, di sebelah utara pesantren adalah kebun dan dulu banyak tanah kosong, di sebelah timur pesantren dulu sawah, dan di sebelah selatan adalah perumahan kiyai. Masyarakat yang ada di sekitar pesantren umumnya orang awam yang sangat menghargai kehidupan santri. Berkat itu banyak santri yang merasa betah belajar di pesantren itu. Selain itu, keamanan di pesantren baik sekali, sehingga jika santri melaksanakan shalat jum’ah di masjid yang jaraknya sekitar 300 meter, semua kekayaan santri ditinggalkan di gubug-gubug pesantren, tetapi  keadaan aman meskipun itu ditinggalkan sampai beberapa jam.  
               Kesuburan tanah Jatisari waktu itu iklimnya menyenangkan dan udaranya bagus. Kesuburan tanahnya membuat sumur yang digali untuk santri dan masyarakat subur sekali dan tidak pernah kering meskipun pada musim kemarau. Pohon-pohon di sekitar pesantren subur dan hijau royo-royo, menjadikan santri betah hidup di daerah itu. Begitulah gambaran singkat tentang pesantren Jatisari yang dibangun oleh Kiyai Nasuha, dengan bantuan masyarakat.

P e n u t u p   
                Pesantren Jatisari subur dan populer di kalangan masyarakat, selama empat puluh tahunan, sebelum dan sesulah Kiyai Nasuha wafat, yaitu tahun 1910-1930 dan beberapa tahun sesudahnya. Pada waktu pesantren Jatisari diasuh oleh Kiyai Muhamad (menantu Kiyai Nasuha), dan pesantren puteri diasuh oleh Nyai Halimah bint Kiyai Nasuha, suasana pesantren masih ramai. Waktu itu kewibawaan pesantren masih besar tergambar jika bulan puasa, masyarakat di Jatisari dan sekitarnya tidak berani membuka puasa sebelum kentongan Jatisari berbunyi. Meskipun begitu pesantren Jatisari yang diasuh oleh Kiyai Muhammad mulai berkurang, dan banyak santri putera yang meninggalkan Jatisari untuk belajar di tempat lain. Setelah Kiyai Muhammad wafat, pesantren Jatisari diasuh oleh Kiyai Khalil ibn Nasuha, dan keadaan pesantren lebih sepi lagi, sehingga dapat disebut bahwa itu “awal gulung tikar”. Sementara santri puteri yang diasuh oleh Nyai Zainah bint Muhammad masih  ramai, tetapi setelah Nyai Zainah wafat santri puteri juga mulai bubar. Dengan demikian pesantren Jatisari sekarang hanya dikenal nama dalam suatu sejarah kecil, dan tidak bisa disebut sebagai pondok pesantren idola bagi umat. Penghuni rumah-rumah Kiyai Nasuha sekarang hanya ada cucu dan cicit Kiyai Nasuha dari anak-anak perempuan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina, Cirebon). 
       Wallahu a’lam bi al-shawab.

   
                       (6)  SEJARAH SINGKAT BUNTET PESANTREN CIREBON

        
                Raden Abdul Hadi seorang pemuda keturunan sultan Cirebon menikah dengan Ratu Randulawang Anjasmoro dari Kerangkeng. Pernikahan itu menurunkan empat orang putera, yaitu Muqayyim, Ismail, Yahya, dan Nyai Alfan. Mereka semua ulama kharismatik dan aktif mengembangkan ilmu Agama Islam. Kiyai Muqayyim kelak mendirikan Pesantren di Buntet Mertapada, Kiyai Ismail mendirikan Pesantren di Pesawahan Sindanglaut, dan Nyai Alfan dinikah oleh Kiyai Ardi Sela. Tokoh ini terkenal digjaya yang banyak membantu aktifitas Kiyai Muqayyim, dan keturunannya banyak yang mengelola pesantren Buntet. Sedang Yahya tidak banyak diceritakan.
                Dalam satu  cerita, Muqayyim lahir tahun 1770 dan dididik oleh ayahanya sampai menjadi pemuda yang menguasai ilmu agama. Di samping itu, dia banyak membaca                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    kitab-kitab Arab pegon tulisan para wali yang ada di Keraton, sehingga dia menjadi ilmuan agama dan menguasai teknik pengembangan Agama. Karena kepinteran itulah Kiyai Muqayyim diangkat menjadi penasehat ilmu agama bagi Sultan Khairuddin I (Sultan Kanoman). Kiyai Muqayyim sangat berpihak pada kepentingan rakyat, dan tidak berfikir untuk membantu penjajah Belanda (non cooperation). Melihat gelagat seperti itu Belanda curiga atas aktifitas Kiyai Muqayyim. Maka melihat kecurigaan itu Kiyai Muqayyim keluar dari istana dan mencari tempat untuk membangun pesantren, dan Buntet itulah tempatnya.    
               Setelah Belanda mengetahui Kiyai Muqayyim menghimpun pemuda (santri) dan dibina di Buntet, Belanda berusaha untuk membubarkan himpunan itu dengan senjata, sehingga beberapa santri meninggal.Sebelum itu Kiyai Muqayyim dan beberapa santri sudah meninggalkan Buntet menuju Pesawahan Sindanglaut. Di Pesawahan itulah Kiyai Ismail ibn Abdul Hadi (adik Kiyai Muqayyim) sedang merintis pesantren, dan perencanaan itu didukung oleh Kiyai Ardi Sela. Rencana itu kemudian diketahui juga oleh Belanda sehingga tiga tokoh bersaudara itu harus bertahan dan membela diri. Alhamdulillah, Allah melindungi mereka selamat dari rekayasa Belanda dan mereka berhasil membangun sebuah pesantren.
               Langkah berikutnya, Kiyai Ismail tetap di Pesawahan, Kiyai Muqayyim dan Kiyai Ardi Sela berangkat ke Tuk Sindanglaut dan mengadakan aktifitas seperti biasa. Belanda juga mengetahui aktifitas Kiyai Muqayyim di Tuk, maka atas anjuran Kiyai Ardi Sela agar Kiyai Muqayyim pindah tempat dan menyamar sebagai rakyat biasa, dengan meninggalkan daerah Cirebon. Kiyai Muqayyim berangkat ke Pemalang dan tinggal di rumah Kiyai Abdussalam, seorang Lebe di Desa Beji. Tokoh ini kelak akan menjadi penggerak pemuda (santri) di daerah Pemalang untuk mengikuti perang Diponegoro tahun 1825-1830. Sebelum terjadinya perang itu Kiyai Muqayyim sudah banyak cerita kepada Kiyai Abdussalam tentang kekejaman Belanda di Cirebon, terutama kepada ulama dan santri.                  Kiyai Muqayyim tinggal di Pemalang beberapa tahun, sampai masyarakat tahu bahwa Kiyai Muqayyim adalah seorang ulama yang memiliki kharisma yang besar. Dalam waktu yang tidak lama, penguasa Belanda di Cirebon mengambil langkah yang lunak dan memasang startegi yang seolah-olah Belanda bersahabat dengan kiyai. Atas dasar itu Belanda mempersilahkan Pangeran Santri alias Pengeran Muhammad ibn Pangeran Khairuddin untuk pulang dari pengasingannya di Ambon. Begitu juga Kiyai Muqayyim bisa pulang dari Pemalang, ketika penyakit tha’un melanda masyarakat Cirebon. Waktu itu Kiyai Muqayyim mengajarkan dua buah syair penolak penyakit tha’un (kolera) dan akhirnya dua syair itu banyak dibaca oleh santri menjelang shalat berjama’ah. Mendengar akan kedatangan Kiyai Muqayyim di Cirebon lagi, santri dan pengamal thariqat Syathariyah semakin senang. Sesampainya di Buntet Pesantren, Kiyai Muqayyim banyak mengadakan riyadlah mengamalkan Thariqat Syathariyah bersama masyarakat. Ibadah Kiyai Muqayyim tekun sekali dan banyak taqarrub ilaa Allah. Dalam waktu yang tidak lama, yaitu di tahun 1802-1806 Kiyai Muqayyim mendengar pemberontakan santri yang disebut Perang Kedongdong. Medan perang itu berlokasi di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan sebelah barat-utara Pesantren Babakan Ciwaringin. Para santri yang ada di pesantren daerah Cirebon, Majalengka, Indramayu dan sekitarnya ikut bertempur dalam perang itu. Kadang-kadang perang pada siang hari dan kadang-kadang malam. Dalam pertempuran itu, hizib, wirid dan semua kedigjayaan santri dikerahkan. Dalam pertempuran yang dahsyat itu, pihak Belanda mengalami kekalahan dan kerugian besar sekali, banyak tentara Belanda yang mati terutama ketika diserang oleh santri di malam hari. Selain banyak kematian, pabrik-pabrik gula Belanda di daerah-daerah Cirebon sebelah timur sampai Kadipaten juga berhenti dan tidak berproduksi. Usia Kiyai Muqayyim waktu itu sudah 62-66 tahun. Akan tetapi semangatnya besar sekali sehingga semua santri dan pengamal thariqat yang dibimbingnya dikerahkan untuk memenangkan santri dalam perang itu. Secara realitas, kemenangan dalam perang lokal itu ada di pihak santri. Tetapi di belakang kemenangan itu santri tidak menindak lanjuti, dan para kiyai kembali ke kegiatan semula. Melihat keadaan itu semua administrasi pemerintahan kita tetap dipegang oleh penjajah Belanda. Tidak lama kemudian Kiyai Muqayyim wafat dan dikuburkan di Desa Tuk Sindanglaut, berdekatan dengan kuburan Kiyai Ardi Sela.
             Kiyai Muqayyim meninggalkan lima orang putera-puteri, yaitu Kiyai Muhajir, Nyai Sungeb, Nyi Raisah, Nyai Thayyibah, dan Nyai Khalifah. Semua tidak dapat diceritakan dengan leluasa tetapi ada riwayat singkat, bahwa Nyai Khalifah memiliki puteri bernama Nyai Aisyah. Tokoh ini awalnya dinikah oleh Kiyai Jalalain ibn Muhammad Imam ibn Ardi Sela. (pernikahan tunggal buyut). Tetapi tidak memiliki putera. Kiyai Jalalain menikah lagi dengan Nyai Sharfiyah, dan dari pernikahan itu, lahir Kiyai Anwaruddin (Ki Kriyan), Kiyai Kilir, Kiyai Abror, dan Kiyai Muntaha.
       Aisyah bint Khalifah bint Muqayyim nikah lagi dengan Raden Muta’ad  (1785-1852) ibn Raden Muhammad Muridin ibn Nashruddin, ibn Ali Pasya (Sultan Gebang) keturunan Sunan Gunung Jati. Dari perniakahan itu lahir sepuluh putera puteri, antara lain Nyai Rohilah (istri Ki Kriyan), Kiyai Shalih Zamzami (pendiri Pesantren Benda-kerep), dan Kiyai Abdul Jamil (penerus kiyai Buntet Pesantren). Tiga tokoh besar itu memiliki aktifitas yang berbeda, tetapi memiliki maksud yang sama yaitu membina masyarakat dan mengembangkan agama Islam. Cerita singkat tiga tokoh itu adalah :
      1. Kiyai Kriyan. Tokoh menantu Kiyai Muta’ad ini masa kecilnya mengaji al-Quran dan belajar agama dari orang-orang tuanya. Setelah dewasa dia pergi ke pesan-tren di Kaliwungu Semarang, belajar ilmu kepada Kiyai Asy’ari. Setelah pulang, Kiyai Kriyan diangkat menjadi penghulu kesultanan Cirebon dan bersama keluarga tinggal di Keraton. Kiyai Kriyan bukan hanya ilmuan besar, tetapi juga seorang shufi pengamal Thariqat Syatahriyah. Meskipun dia tinggal di Keraton yang mewah tetapi dia seorang zahid, wira’i, tawakkal, ridla, tekun beribadah dan banyak riyadlah untuk taqarrub ila Allah. Melihat fenomena itu, beberapa santri berpendapat bahwa Kiyai Kriyan adalah wali. Ma’unat yang dimiliki terkadang oleh santri disebut karamah. Antara lain, Belanda tidak menaruh curiga pada aktifitas Kiyai Kriyan, tidak seperti  kecurigaan mereka pada Kiyai Muqayyim dulu. Keadaan itu menjadikan Kiyai Kriyan bebas keluar-masuk Buntet Pesantren dan memberikan bimbingan sepuas-puasnya.  
      2. Kiyai Shalih. Ulama dan pendiri pesantren Bendakerep ini adalah tokoh yang berfikir simpel, menuntun santri agar berakhlak karimah, dan mengajarkan ilmu agama yang sangat sederhana. Selain mengajarkan bacaan al-Quran, pesantren ini  mengajarkan juga beberapa kitab kuning yang kecil-kecil, dan oleh gurunya agar isi kitab itu diamalkan. Sejak dulu sampai sekarang pesantren ini tidak mau membuka madrasah atau sekolah. Selain itu beberapa tokoh mereka, melarang mengamalkan agama dicampur dengan teknologi ciptaan manusia.Atas dasar itu banyak sekali tokoh mereka yang melarang menggunakan ‘pengeras suara’ untuk khutbah Jum’at. Dalam satu riwayat tokoh ini pengamal Thariqat Syathariyah seperti Kiyai Muqayyim Kiyai Muta’ad, Kiyai Kriyan, dan ulama besar lainnya. Dalam satu riwayat, thariqat itu diturunkan kepada anak cucu. Ketika mendengar keturunan saudara kandungnya ada yang mengamalkan Thariqat Tijaniyah, maka pesantren Bendakerep berreaksi keras menolak thariqat itu, sampai terjadi gondok-gontokan, terutama dibawakan oleh Yai Zaini bin Muslim bin Shalih. Dari segi lain, Pesantren Bendakerep meskipun letaknya dekat dengan kota Cirebon, tetapi dulu lokasinya susah ditempuh oleh kendaraan. Kampung itu sunyi sekali, tetapi tenang bagi santri yang mencari ilmu. Belanda juga mengetahui kegiatan di pesantren itu, dan ingin membubarkan. Tetapi strategi mereka berubah menghadapi kiyai dengan cara sopan santun, tetapi menipu dan menerapkan adu domba. Pembesar Belanda, antara lain Residen Cirebon bernama Van der Plas sering bertemu Kiyai Shalih dan bicara untuk membujuk, agar Kiyai tidak perlu menghimpun dunia, karena dunia adalah bagaikan bangkai yang diburu oleh anjing. Ulama yang sukses adalah mereka yang hidup di lereng gunung, dan kampung yang jauh dari komunitas umat. Kiyai pasti teringat bahwa Nabi Musa AS. bermunajat dan mendengar kalam Allah di atas gunung Sinai. Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu dari Allah di Guwa Hira di atas gunung, dan banyak lagi model cerita-cerita keagamaan, yang sasarannya adalah tipu muslihat agar kiyai pasif dan tidak mengarahkan santri untuk menyerang penjajah. Maksud mereka agar tokoh bangsa kita tidak tertarik untuk mengelola negerinya sendiri. Kalau ada kiyai yang hendak bergerak, dan menampakkan kebenciannya kepada Belanda, maka mereka didatangi dengan sopan santun, untuk dilunakkan hatinya.              
       3. Kiyai Abdul Jamil. Tokoh ini lahir tahun 1842 di Buntet Pesantren. Adik kandung Kiyai Shalih Bendakerep ini pada masa kecil belajar ilmu agama pada ulama yang ada di Buntet. Setelah dewasa dia belajar ilmu fiqih pada Kiyai Murtadlo di Pesantren Mayong Jepara, dan belajar ilmu tauhid pada Kiyai Ubaidah di Tegal. Setelah menjadi pemuda, Abdul Jamil berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan mencari ilmu. Waktu itu, perjalanan dari nusantara ke Makkah dan sebaliknya sudah mudah, karena mulai tahun 1869 terusan Suez dibuka. Kapal Api milik Belanda yang membawa hasil bumi, gula, dan rempah-rempah dari kepulauan nusantara ke Eropa berjalan terus, paling tidak tiga atau empat kali dalam satu tahun. Perjalanan kapal selalu mampir di Pulabuhan Jeddah untuk mengisi air dan keperluan lain. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan beberapa pemuda untuk ibadah haji atau untuk muqim mencari ilmu di Makkah/Madinah atau di Mesir. Ada dugaan keras bahwa Abdul Jamil muqim di Makkah beberapa bulan atau beberapa tahun itu, bertemu dan bergaul dengan Nasuha ibn Zayadi (pendiri pesantren Jatisari Plered) dan adiknya, Isma’il ibn Zayadi (pendiri pesantren Cipeujeuh Sindanglaut). Pada waktu itu halaqah di Masjid al-Haram yang banyak dikerumuni oleh muqimin dari Jawa adalah pengajian Sayyid Abu Bakar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathi.                
         Setelah pulang, K.H.Abdul Jamil yang berusia 30 an dinikahkan dengan putri  Kiyai Kriyan yang bernama Sa’diyah, dan tinggal di kompleks Kraton. Karena puteri ini masih kecil, maka K.H. Abdul Jamil dinikahkan lagi dengan Qari’ah bint K.H. Syathari (penghulu landrat Cirebon). Pernikahan K.H. Abdul Jamil dengan Qariah melahirkan 4 putera, yaitu Abbas, Akyas, Anas dan Ilyas, dan 4 puteri yaitu Yaqut, Mu’minah, Nadlrah, dan Zamrud. Sedang pernikahannya dengan Sa’diyah bint Kiyai Kriyan, K.H. Abdul Jamil melahirkan 5 putra, yaitu Syakirah, Mundah, Ahmad Zahid (ayah K.H. Izzuddin Buntet), Nyai Enci dan Halimah.
        Dalam sejarahnya, Buntet Pesantren mengalami perkembangan yang berliku-liku dari zaman Kiyai Muqayyim sampai zaman kemerekaan. Kiyai Muqayyim adalah pendiri pesantren, tetapi tidak selamanya tinggal di Buntet, karena dikejar-kejar oleh Belanda. Meskipun Kiyai Muqayyim wafat di Buntet, tetapi lembaga ini mengalami fatrah yang lama. Apalagi putera pertama Kiyai Muqayyim sendiri yang bernama Raden Muhajir tidak diketahui ceritanya. Maka Buntet Pesantren perkembangannya ditata ulang oleh Kiyai Muta’ad (w. 1852) ibn Muridin ibn Ali Basya (Pangeran Gebang). Sehubungan Raden Muta’ad menikah dengan Nyai Aisyah bint Khalifah bint Muqayyim, maka dia termasuk keluarga besar Buntet Pesantren. Program Kiyai Muta’ad selain pengamalan Thariqat Syatahriyah juga membentuk majlis ta’lim. Dalam majlis itu Kiyai Muta’ad mengajarkan membaca al-Quran, dan mempelajari beberapa masalah fiqhiyah. Pada waktu itu, baik ayat al-Quran atau masalah-masalah fiqhiyah selalu diajarkan dengan memakai tulisan tangan. Begitu itu karena cetakan al-Quran atau kitab agama belum banyak beredar di Cirebon. Padahal dalam catatan sejarah, Ibrahim Mutafarriqa di Turki sudah mencetak al-Quran dan beberapa kitab klasik (kitab kuning) sekitar tahun 1720 an. Begitu juga pemerintahan Muhammad Ali di Mesir (1769-1849 M) sudah mencetak beberapa judul Kitab Kuning. Tetapi pemerintah Belanda tidak mengimport barang-barang semacam itu. Karena itu, keperluan belajar al-Quran atau kitab kuning di Buntet dan sekitarnya harus ditulis tangan. Dalam penglolaan Buntet Pesantren seperti itu Kiyai Muta’ad bersama jamaahnya selalu mengamalkan Thariqat Syathariyah untuk wirid sesudah shalat jama’ah maktubah. Berkat amalan itu, Buntet Pesantren mulai hidup lagi, setelah tertata ulang. Kiyai Muta’ad wafat dalam usia 67 tahun dan dikuburkan di Tuk Sindanglaut, berdekatan dengan kuburan Kiyai Muqayyim dan Kiyai Ardi Sela.          
      Sesudah Kiyai Muta’ad wafat, Buntet Pesantren dikelola oleh Kiyai Abdul Jamil ibn Muta’ad. Pesantren pada masa itu berkembang lebih pesat, didukung oleh Haji Ali dari Kanggraksan Cirebon mewaqafkan tanah dan dibangunkannya sebuah masjid di atasnya. Tidak hanya itu tetapi di sekitar masjid, disediakan tanah yang disiapkan untuk dibangun pondok pesantren. Maka pada langkah berikutnya Kiyai Abdul Jamil yang dibantu oleh sanak saudara dan masyarakat itu mulai membangun pondok untuk menampung santri yang berdatangan dari luar daerah. Masyarakat tahu bahwa K.H. Abdul Jamil memiliki suara yang bagus dalam membaca al-Quran, maka santri Buntet waktu itu sering disebut ahli qiraat (al-Quran). Pengajian di Buntet Pesantren bukan hanya Qiraat al-Quran, tetapi juga kitab yang membahas ilmu agama. Tokoh-tokoh yang membantu pengajian itu, antara lain K.H. Abdul Mun’im, K.H. Abdul Mu’thi, Kiyai Tarmidzi dan lain-lain. Tidak hanya itu, Kiyai Abdul Jamil bersama masyarakat membangun jalan dan jembatan yang menghubungkan pondok pesantren dengan masyarakat. Pembangunan jalan itu disingkronkan dengan program Belanda yang membangun kali (saluran air) untuk keperluan pertanian, dan penanaman tebu di sekitar pesantren untuk mengisi pabrik gula.
       Dalam buku berjudul “Perlawanan dari Tanah Pengasingan” yang ditulis oleh H. Ahmad Zaini Hasan dicertakan bahwa Kiyai Abdul Jamil sepulangnya dari Makkah dipanggil Haji Den Jamil (Raden Abdul Jamil) dan berhasil menghimpun para kiyai di lingkungan keluarganya, haji, saudagar/pedagang dan lain-lain untuk membangun dan menata kembali sarana fisik serta aktivitas pesantren. Pada masa itu, santri Buntet Pesantren putera-puteri mencapai 700 yang datang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Sulawesi, dan Singapore, kata buku itu. Setiap bulan puasa, Pesantren Buntet dikerumuni para santri dari tanah Jawa dan luar Jawa yang mengaji pasaran. Dengan demikian masyhurlah nama Syaikh Abdul Jamil dan Pesantren di Buntet Astanajapura Cirebon.
       Dalam buku itu ditulis pula bahwa pada tahun 1882 Belanda membentuk lembaga bernama ‘Presterraden’ yang diharapkan bisa mengawasi gerakan dan perkembangan aksi yang dilakukan oleh santri/pesantren. Untuk mengantisipasi aktifitas lembaga itu K,H. Abdul Jamil bersama ulama lain mengambil beberapa langkah, yaitu (1) Fatwa Ciremai yang isinya a). Mengharamkan para santri menjadi pegawai Belanda, b). Mengharamkan bangsa kita berperilaku dan berpakaian seperti Belanda dan bergaya priyayi seperti orang Islam yang bersikap cooperation dengan penjajah Belanda. c) Pembentukan budaya santri yang diisi dengan amalan thariqat, (2) Mengadakan pengajian di beberapa tempat untuk menumbuhkan perasaan jihad fi sabilillah. (3) Memutuskan a) Membentuk santri agar bersikap mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, b). Menumbuhkan pesaraan nasionalis dengan doktrin hubb al-wathan min al-iman. c). Mengadakan latihan fisik, bela diri. (4) Mengadakan shilaturrahmi kepada kiyai/ulama terutama mereka yang pejuang kemeredekaan. (5) Gerakan Riyadlah, dan (6) Mengorganisir pengamal thariqat, untuk ikut berjuang dan membantu berdirinya negara di nusantara ini. (Diringkas dari halaman 41-51).
        Meskipun Buntet Pesantren banyak didatangi oleh santri dari berbagai daerah, sebagaimana diceritakan di atas tetapi putera-putera K.H. Abdul Jamil diberangkatkan juga untuk belajar di pesantren lain, baik sebelum K.H., Abdul Jamil wafat, maupun sesudahnya. K.H. Abdul Jamil wafat pada pagi Shubuh hari Selasa tanggal 23 Rabi’ul Tsani 1339 H. Atau tahun 1919 M, dan dikuburkan di Pesarean Buntet Pesantren.    
       Setelah K.H. Abdul Jamil wafat, Buntet Pesantren diasuh oleh para putera yang dipimpin oleh Raden Abbas ibn Abdul Jamil. Pada masa kecil, Raden Abbas bersama adik-adiknya diasuh dan dididik oleh ayahnya. Setelah menjelang dewasa, Den Abbas dikirimkan ke Pesantren di Jatisari Weru Plered yang diasuh oleh K.H. Nasuha ibn Zayadi. (Ulama ini ditulis dalam artikel tersendiri). Dalam pesantren ini Raden Abbas mengkhatamkan kitab fiqh dan tawhid, antara lain Fathul Mu’in. Dalam tahun itu pula Raden Abbas belajar juga pada K.H. Hasan di Sukunsari Weru Plered. Kemudian Den Abbas pindah ke pesantren Giren Tegal untuk pelajar ilmu tauhid pada ulama sepuh, K.H. Ubaidah. Kemudian Den Abbas meneruskan belajar ilmu hadits dan ilmu tafsir al-Quran pada K.H. Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang.
          Sepulangnya dari tafaqquh fi al-diin, Raden Abbas mulai mengelola Pesantren Buntet dan menikah pertama dengan Nyai Hafizhoh. Setelah lahir putera pertama, Raden Abbas berangkat ke Makkah untuk ibadah haji dan mencari ilmu. Dalam kisah ini, Raden Abbas bersama Gus Abdul Wahhab Hasbullah dari Jombang berjumpa dan mengambil barakah dari ulama kharismatik, K.H. Mahfuzh ibn Abdillah ibn Abdul Mannan dari Pesantren Termas Pacitan yang mukim di Makkah. Setelah pulang dan menetap di Buntet, K.H. Abbas pernikahannya dengan Nyai Hafizhoh melahirkan 4 orang putera, yaitu Kiyai Mustahdi, Kiyai Abdul Razak, Kiyai Mustamid, dan Nyai Sumaryam. Sedang pernikahannya dengan Nyai Lanah, K.H. Abbas melahirkan enam orang lagi, yaitu Raden Abdullah ibn Abbas, Nyai Qismatul Maula, Nyai Sukaenah, Nyai Maimunah, Raden Nahdluddin, dan Nyai Munawwarah.            
       Profil K.H. Abbas adalah ulama yang tampak sederhana berakhlak mulia dan sangat dermawan. Meskipun dia termasuk keturunan Syarif Hidayatullah, tetapi dia tetap hormat pada habib-habib (habaib) yang ada di Jawa. Ketika mereka bertamu kepada K.H. Abbas, mereka dihormati seperti tamu istimewa. Begitu itu, karena K.H. Abbas adalah tokoh yang sangat cinta kepada Rasulullah Saw. Kalau yang datang itu habib palsu misalnya, K.H. Abbas tetap menghormati dengan niat yang suci, sambil mencurahkan rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Akhlak seperti itu banyak dilakukan oleh ulama pencinta Rasulullah, pengamal Nazam Burdah seperti Yai Khalil Madura, Mbah Ma’shum Lasem, atau Mbah Yai Syathari Arjawinangun dan lain-lain.
       Meskipun penampilan K.H. Abbas sopan santun, lemah lembut, dan berakhlak mulia, tetapi sikapnya terhadap Belanda keras sekali dan tidak mau kompromi. Semua santri dididik dengan tekun agar mereka anti penjajah, dan berusaha agar Belanda, Jepang, dan semua penjajah bubar dari tanah nusantara tercinta ini. K.H. Abbas juga mambentuk dan memimpin Hizbullah di daerah Cirebon bagian timur. Dia sering melatih santri untuk bela diri, dan mereka disiapkan untuk melawan penjajah jika terjadi pertempuran. Beberapa cerita tentang K.H. Abbas yang bersikap anti penjajah itu luas sekali tetapi andil yang besar bagi kemerdekaan Indonesia adalah dia bersama beberapa tokoh dari Cirebon mengikuti Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy’ari. Pada tanggal 22 Oktober 1945 para ulama dan santri se Jawa-Madura kumpul di Surabaya untuk merumuskan Resoluis Jihad. Waktu itu para kiyai dan santri sudah berkumpul, maka utusan dari Termas Pacitan usul agar rapat segera dimulai. K.H. Hasyim Asy’ari menjawab : Nanti sebentar lagi teman-teman dari Cirebon akan datang. Mereka adalah K.H. Abbas Buntet, KH. Amin Babakan Ciwaringin, K.H.A. Syathari Arjawinangun, K.H. Syamsuri Walantara, dan empat orang lagi yang penulis belum dapatkan nama-namanya. Apa isi Resolusi Jihad itu? (Buka Google dengan key word Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy’ari) dan baca semua artikel yang mengiringi tulisan INSISTS itu. Inti Resolusi Jihad adalah kesepakatan para kiyai dan santri untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan segalanya diatur oleh bangsa Indonesia sendiri. Sementara Belanda dan sekutu Barat tidak senang munculnya kemerdekaan negara-negara jajahan seperti itu. Mereka menggalakkan perang dengan mengerahkan pasukan tempur yang kuat sekali untuk menghabisi kekuatan bangsa Indonesia. Maka terjadilah perang 10 November 1945 itu. (Buka Google dengan key word  Perang 10 November 1945). Menurut cerita sejarah, bahwa perang ini meskipun waktunya tidak lama, tetapi beban santri dan komunitas ahli thariqat menilai lebih berat dari pada Perang Kedongdong (1802-1806), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Imam Bonjol (1831-1838), Perang Tengku Umar di Aceh (1873-1908), dan perang-perang lokal lainnya. Semua perang-perang tadi, santri dan bangsa kita hanya menghadapi Belanda, sedang perang 10 November 1945 santri dan pemuda lain harus perang menghadapi sekutu Inggris pemenang Perang Dunia Kedua, Netherland Indies Cifil Adminitration (NICA). Tidak hanya itu, mereka mengerahkan tentara juga dari negara jajahannya (India/Pakistan). Semua diberi persenjataan yang lengkap dan canggih, serta dibantu oleh pesawat terbang yang memutahkan bom dari udara di atas kota medan pertempuran. Pada waktu itu, penduduk Surabaya dan santri pejuang banyak yang mati syahid, bahkan puluhan ribu. Mereka dalam sejarah itu sering disebut ‘Arek-arek Surabaya’. Padahal kebanyakan mereka adalah santri yang datang dari beberapa pesantren dari Jawa-Madura. Buka Google dengan key word: Peristiwa 10 November 1945, dan baca juga pidato Bung Tomo selaku pimpinan perang waktu itu.
      Secara perhitungan akal, santri dan bangsa kita tidak akan menang menghadapi musuh yang sangat kuat itu. Tetapi berkat bacaan ‘takbir’ yang disuarakan berkali-kali oleh santri, serta niat mereka sangat ikhlas dan bersedia mati untuk mengangkat agama Allah di bumi nusantara ini, maka alhamdulillah pertempuran itu dimenangkan oleh bangsa kita, sehingga semua penjajah angkat kaki dari bumi yang indah dan penuh barakah ini.          
        Dalam artikel ‘Sejarah Perjuangan dan Sejarah Terbentuknya TNI’ diceritakan bahwa: Negara Indonesia pada awal berdirinya sama sekali tidak mempunyai kesatuan tentara. (Buka Google dengan key ward: Pembentukan TIN 1945-1947). Dengan demikian perhitungan Perang 10 November 1945 itu bukan didasarkan atas perhitungan militer, tetapi hanya didorong oleh ‘Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asyari dan Resolusi Jihad NU’. Ada cerita lisan bahwa pada pertempuran itu Ziya’ al-Haq dari Pakistan bersama teman-temannya ditugaskan oleh sekutu untuk menghabiskan musuh mereka di Jawa. Tetapi setelah menghadapi musuh yang selalu menteriakkan ‘Allahu Akbar’ Ziya’ al-Haq dan kawan-kawannya diam, tidak mau meneruskan peperangan lebih lanjut. Barangkali itulah salah satu rahmat Allah yang tampak kelihatan, yang dicurahkan kepada santri dan bangsa kita. Karena itu wajar kalau dalam Pembukaan UUD 1945 dicantumkan kata-kata:‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’ dan seterusnya, untuk mengenang perjuangan kiyai dan santri.
       Mempelajari sejarah Indonesia seperti itu, berarti andil para kiyai dan santri pada kemerdekaan Indonesia sangat besar.Apa lagi waktu itu beberapa tokoh Islam modern banyak yang menyatakan dirinya cooperation dengan penjajah Belanda. Atas dasar itu wajar kalau ada ulama yang usul kepada Presiden pilihan rakyat, agar menjadikan tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional. Tetapi perjuangan santri dengan usul yang simpatik itu, dunilai oleh pembesar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bahwa itu sinting.
        Begitulah kegiatan K.H. Abbas dan santri untuk kemerdekaan Indonesia. Tokoh ini di samping pejuang kemerdekaan juga seorang pendidik santri yang kreatif. Pada tahun 1928 K.H. Abbas membuka marasah untuk santri yang inspirasinya diambil dari Pesantren Tebuireng Jombang. Madrasah itu disebut Madrasah Abna al-Wathan yang terdiri dari enam kelas, dengan kurikulum berjenjang. Enam kelas itu terdiri atas kelas-kelas Tahdiri, Shifir Awwal, Shifir Thani, Qismul Awwal, Qismul Tsani, dan Qismul Tsalis. Dengan munculnya madrasah itu, Buntet Pesantren semakin besar dan bersemarak. Semua kelas di awal jam pelajaran sambil menunggu guru, semua murid secara bersama-sama membaca nazham yang sudah diajarkan. Satu kelas membaca Nazham Aqidatul Awam, kelas lain membacakan Nazham Kharidatul Bahiyah, kelas lain lagi membacakan Nazham Jazariyah, kelas lainnya lagi membacakan Nazham ‘Imrithi dan lain sebagainya. Setelah 28 tahun madrasah hidup di Buntet Pesantren, maka di tahun 1946 K.H. Abbas Abdul Jamil wafat, dan dikuburkan di Pemakaman Buntet Pesantren.
      Kembali akan kehadiran madrasah di pesantren, Buntet 1928, dan Arjawinangun 1931 itu banyak sekali ulama di beberapa daerah yang tidak setuju. Studi di madrasah memakai papan tulis, ditulis dengan kapur dan sebagainya, itu sama seperti model studinya Belanda. Dalam madrasah itu beberapa ayat-ayat al-Quran ditulis dengan memakai kapur. Setelah papan tulis itu dihapus, remukan kapur tadi diinjak-injak oleh orang yang berjalan kaki di lantai madrasah. Maka berarti ayat-ayat al-Quran diinjak-injak oleh orang. Demikian salah satu alasan orang yang tidak setuju adanya model pendidikan madrasah di pesantren.
       Untuk melayani kaum muslimin yang berfikir seperti itu, K.H. Anas ibn Abdul Jamil membangun pesantren di Blok Kilapat Desa Mertapada Kulon yang diberi nama Pesantren Sidamuliya. Pesantren ini tidak membuka madrasah, tetapi hanya pengajian kitab kuning dengan metoda sorogan atau metoda bandongan. Kompleks Pesantren Sidamuliya ini kelihatan sederhana karena hanya ada bangunan masjid, rumah kiyai dan bangunan pondok tiga kamar untuk santri.
      Begitulah cerita singkat tentang sejarah Buntet Pesantren dari kelahiran, sampai Indonesia merdeka (Yaitu tahun 1740 an sampai 1945). Berikutnya perlu ada artikel lagi tentang Sejarah Buntet Pesantren, dari tahun 1946 sampai 2014. Artikel itu menguraikan posisi dan kegiatan Buntet Pesantren dari tahun ke tahun. Antara lain tentang (1) Sesudah Indonesia merdeka, Belanda masuk ke Indonesia lagi untuk menjajah kembali sampai berakhir tahun 1949. (2) Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno dengan model demokrasi ‘terpimpin’ yang membuka partai berdiskusi dan bergerak bebas, sampai berakhir  munculnya G 30 S (PKI). (3) Kekuasaan Orde Baru, yang diawali oleh demonstrasi mahasiswa KAMI/KAPI yang menuntut pembubaran PKI serta ormas-ormasnya, dan seterusnya. (Buka juga Google dengan key ward: Sejarah Indonesia (1966-1998). (4) Pemerintahan tokoh-tokoh besar B.J. Habibi, Gus Dur, Megawati dan SBY, (1998-2014). Semua itu mempunyai model penglolaan negara dari segi-segi sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya, yang dapat dikaitkan dengan sejarah perkembangan Buntet Pesantren.                            
       Sementara tokoh Buntet yang perlu diuraikan dalam sejarah itu antara lain K.H. Mustahdi, K.H. Mustamid, K.H. Abdullah, K.H. Ahmad Zahid, dan beberapa ulama senior yang sudah wafat. Tokoh junior Buntet Pesantren yang sudah wafat juga dapat diuraikan seperlunya. Tokoh junior yang sudah wafat dan kenal penulis antara lain K.H. Izzuddin, K.H. Fuad Hasyim, dan K.H. Fahim Royandi. Sedangkan tokoh junior yang masih hidup lebih banyak lagi, di antara yang akrab dengan penulis adalah Drs. K.H. Hasanuddin Kriyani, dan Ny. Hj. Ani Yuliani bint Abdullah ibn Abbas. Tokoh ini akrab dengan istri penulis, Hj. Azzah Zumrud. Wallahu a’lam bi al-shawab.   
        (Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Fahmina, Cirebon).-

           
      





[1] Stoik adalah kepercayaan yang mengatakan bahwa akal yang meresapi alam semesta, dan orang-orang yang bijaksana harus melakukan disiplin terhadap dirinya (ikhtiar) dan menerima nasibnya.  
Abstrak Buku Diskursus Kitab Kuning Reviewed by Dewa Rubungan on 21.54 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by Chozin Nasuha Official Web © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by Sweetheme

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.