Profil
Ahmad Chozin, ayahnya bernama Abdul
Mu’iz bin Kiyai Nasuha bin Kiyai Zayadi. Ibunya bernama Sa’diyah binti Kiyai Sayuthi
bin Kiyai Jahari, bin Kiyai Adzra’i, bin Kiyai Nawawi. Tokoh yang disebut akhir
ini, pendiri Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon. Lembaga ini
masih hidup sampai sekarang.
Ayah dan Ummi (ibu) tinggal di desa
kelahiran Ummi, Kalitengah Kecamatan (dulu) Cirebon Barat Kabupaten Cirebon,
selama hampir dua tahun. Di desa itu, Ummi melahirkan anak perempuan, tetapi
meninggal waktu kecil. Ayah yang alumni Pesantren Bendakerep Desa Argasunya
Kecamatan Harjamukti Cirebon itu agak susah beradaptasi dengan lingkungan, baik
dalam bidang ekonomi atau keilmuan atau dari segi kegiatan lainnya. Ekonomi di
Kalitengah umumnya petani dan sebagian yang lain memproduksi kain batik,
pedagang, dan ada yang menjadi buruh batik. Ayah tidak memiliki keahlian dalam
bertani, mengolah kain batik atau keahlian lainnya. Di sini ada pesantren yang
dikelola oleh Kiyai Rafi’i.(Sesepuh Ummi). Tetapi Ayah juga tidak memiliki
kesesuaian kurikulum yang dikembangkan oleh Kiyai Rafi’i tadi. Maka Ayah merasa
canggung hidup di Kalitengah, dan mengajak Ummi untuk pindah ke Desa Cipeujeuh Kecamatan
Sindanglaut Kabupaten Cirebon. Ayah dan Ummi ditampung di rumah Kiyai Isma’il
ibn Kiai Zayadi, atau adiknya Kiyai Nasuha, di Kampung Kracak.Desa Cipeujeuh
itu. .Kiyai Isma’il adalah pengamal Thariqat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah, murid
Kiyai Thalhah Kalisapu Cirebon.
Di tempat itu ada sebuah peantren
yang didirikan dan dikelola oleh Kiyai Ismail sendiri, tetapi belum ada
pesantren puteri. Ummi yang alumni pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon itu membuka
pengajian al-Qur’an, dan pengajian itu subur sekali sampai ibu-ibu dan puteri-puteri
tetangga berdatangan untuk belajar dan mengaji al-Qur’an. Seandainya pengajian
itu diteruskan, maka Pesantren akan memiliki Pesantren Putri waktu itu. Tetapi apa yang menjadi pertimbangan, Ummi yang
dalam keadaan hamil mengandung saya itu, Ayah menikah lagi dengan seorang perempuan
dari Kampung Keradenan Desa Cipeujeuh. Dalam beberapa bulan, ibu ini hamil
juga, hingga dalam tahun yang berdekatan,
Ayah memiliki dua orang anak dari dua istri. Dalam satu cerita, Ayah waktu itu
sedang merintis ekonomi, dengan membuka pabrik tahu. Alhamdulillah usaha itu berhasil
dengan baik, dan Ummi melahirkan saya. Tetapi ada masalah lagi, bahwa Ayah yang
hanya berpegang teguh pada teks-eks kitab fiqh kalasik itu berfikir, bahwa suami
yang memiliki istri dua harus berlaku adil. Jika suami tidak berlaku adil
terhadap istri-istrinya, maka Allah akan melimpahkan dosa kepada lelaki itu. Maka
atas pertimbangan apa, Ayah menjatuhkan talak kepada Ummi, dan Ayah rela
membuang saya yang berumur belum satu tahun itu, untuk hidup tanpa ayah.
Akhirnya Ummi kembali ke Desa Kalitengah lagi, dan mengasuh saya sendirian
sampai dewasa. Demikian itu, bukan tidak ada masalah, tetapi Ayah sudah senang
dengan tidak ada beban istri dua, dan ekonomi mulai berkembang. Sedangkan Ummi
ketika saya sakit dan menangis terus, Ummi juga ikut menangis karena melihat
anak sakit yang tidak pernah ditimang oleh ayahnya.
Ketika berumur tujuh atau delapan
tahun, saya masuk Sekolah Rakyat (sekarang SD) tetapi baru beberapa hari, Nyai
Harmala bint Kiyai Nasuha (kakaknya Ayah) mengajak saya untuk mengaji di
Pesantren. Saat itu Ummi seperti keberatan melepaskan saya, tetapi terjadi
juga, dan saya dititipkan kepada Kiyai Ahmad Jawahir bin Kiyai Nasuha (kakak
Ayah) di Desa Cipeujuh, di rumah milik Kiyai Ismail tadi. Tetapi Kiyai Ismail
sudah wafat, maka pesantren itu dikelola oleh Kiyai Ahmad Jawahir. Pada waktu
itu, Ayah menengok saya, dan saya merasa senang karena bisa berjabatan tangan
dengan Ayah. Kasus seperti itu, saya tunggu-tunggu ketika saya dikhitan
(disunat). Tetapi apa daya, waktu itu Ayah tidak menengok saya, dan tidak
mengirim souvenir apapun.
Di pesantren Kiyai Ahmad Jawahir, saya
tidak belajar kecuali membaca al-Qur’an juz
‘Amma, dan itu pun saya tidak mengenal huruf. Setelah satu tahunan lebih,
saya diambil lagi oleh Ummi untuk hidup bersamanya di Kalitengah. Saat itu Ummi
sudah menikah lagi, dengan seorang yang masih ada kaitan famili dari keluarga
Ummi. Dari itu saya memiliki adik dari Ummi, tiga orang yang hidup, dan dari Ayah,
saya juga memiliki tiga orang saudara. Semua hidup dan berkeluarga sampai
sekarang.
Menjelang umur sepuluh tahun, Ny.
Hj. Masturah (Bibi Ummi) tidak tega melihat kehidupan saya yang terombang
ambing, lemah energi, kekurangan gizi, tidak terpelihara dengan baik jasmani,
ruhani dan pendidikannya. Maka atas persetujuan al-maghfuf lah, K.H.Abdullah Syathari, saya dipelihara baik-baik
untuk dididik di pesantren miliknya, di Desa Arjawinangun Kecamatan
Arjawinangun Kabupaten Cirebon. Mulai saat itu, saya menemukan kehidupan yang
sangat senang, sejahtera dan bahagia lahir-batin. Saya merasa bangga diasuh
oleh seorang ulama besar yang kharismatik, yang sangat dihormati oleh ulama
lain dan masyarakatnya. Di situ, setiap habis shalat Jama’ah Shubuh saya
bersama santri mengaji al-Quran kepada K.H.A. Syathari, dan pada pagi hari itu saya
belajar Sekolah Rakyat (sekarang SD), dan sorenya saya belajar di Madrasah
Wathaniyah Pesantren milik K.H.A Syathari tadi. Berkat pelajaran yang terarah,
rapih dan sistematis, maka dalam beberapa bulan saya sudah bisa menulis dan
membaca huruf Arab dan Latin, bahkan bisa menghitung dengan angka-angka. Begitulah
Allah mencurahkan rahmat yang sangat besar
sekali kepada seorang anak yang bukan yatim, tetapi dibuat yatim oleh ayahnya
sendiri.
Tampaknya, Ayah juga sudah senang,
karena usahanya maju, istrinya yang beranak tiga orang itu sehat semua.
Sementara Ummi yang oleh Ayah diperlakukan habis-manis
sepah dibuang juga tidak berbuat sesuatu, kecuali berserah diri dan taqarrub kepada Allah. Begitu juga kakek
saya, Kiyai Sayuthi yang hanya memiliki satu anak dan diperlakukan seperti itu,
tetap tabah dan hanya berdoa, semoga saya selaku cucunya menjadi anak yang
memiliki panjang umur, murah rizki, menjadi anak yang sejahtera, dan manfaat di
dunia dan akhirat. Dalam sela-sela do’a dan menimang-nimang saya, ia berkata :
Nanti kalau Embah wafat Kacung yang menggotong.
Setelah tiga tahun lebih di Pesantren
Arjawinangun, saya dijemput oleh keluarga dari Cipeujeuh, bahwa Ayah meninggal
dunia karena sakit. Mayat Ayah belum dikuburkan oleh masyarakat, sebelum saya
datang. Setelah saya melihat wajah Ayah, mayat itu dikuburkan di Desa Asem, di dekat
kompleks kuburan Kiyai Isma’il.
Dalam catatannya, Ayah memiliki rumah tinggal dan
bangunan pabrik tahu yang produktif waktu itu, di Kampung Keradenan. Ayah juga
memiliki benda-benda yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari.dan
pabrik tahu yang prouktif waktu itu. Setelah harta Ayah diwaris, semua
benda-benda yang ada di Keradenan itu diwariskan kepada satu anak lelaki, dua
anak perempuan, dan seorang ibu. Sedangkan saya diberi warisan tanah kosong
yang ada di pesantren Jatisari, Desa Weru Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon, warisan
Ayah dari Kiyai Nasuha. Setelah berjalan lama, dan pabrik tahu di Keradenan mulai
merosot, sementara penyakit mata ibu tiri semakin rapuh, maka pabrik tahu itu dijual
lepas untuk mengobati mata itu. Secara pembagian, pabrik itu warisan untuk
anak-anak yang ada dalam asuhannya. Karena itu, akhirnya tiga anak dan ibu tiri
hanya memiliki satu rumah tinggal saja. Pabrik tahu dan benda-benda lainnya habis
terjual. Berangkat dari keadaan itu, anak lelaki Ayah dari Keradenan ketika
ingin membangun rumah, dia mengambil tanah milik saya di Jatisari itu. Mulanya
dia minta izin kepada saya, untuk membangun rumah di atas tanah itu, tetapi
saya tidak memberikan izin sama sekali. Dia memaksa karena didukung oleh satu-satunya
seorang famili dari ayah yang jika berbicara ingin menang sendiri, memiliki
istri tidak satu, dan berganti-ganti dan begitulah seterusnya..Sebenarnya penolakan
saya juga didukung oleh Kiyai Muhyiddin bin Ny. Halimah bint Kiyai Nasuha (Kang
Muhyi). Tetapi karena Kang Muhyi tidak bisa bertindak, dan saya tinggal di
Arjawinangun, sementara tanah itu berada di Jatisari, maka oleh anak lelaki
tadi warisan saya diambil begitu saja, dan akhirnya dia mengaku bahwa tanah itu
adalah ‘miliknya sendiri’..
P e n d i d i k a n
Selama hidup, saya mengikuti
pendidikan dua model yaitu pesantren dan madrasah. Pendidikan pesantren ditempuh
di pesantren milik K.H. Abdullah Syathari dari tahun 1950-1963 di Arjawinangun
Kabupaten Cirebon. Mengikuti pendidikan di sini efektif sekali, sehingga ilmu
agama dari tingkat ibtidaiyah sampai aliyah dapat dikuasai dari madrasah, dan
Kitab Kuning dapat dipelajari dari pesantren. Sebagai tambahan pelajaran, Kitab Kuning juga saya mengaji pasaran selama
satu bulan puasa di pesantren Al-Hidayah
Lasem asuhan K.H. Embah Maksum, murid K.H. Muhammad Khalil Bangkalan.Madura. Begitu
juga saya pernah ngaji pasaran Shahih al-Bukhari satu bulan Jumadilakhir, dan
pada bulan Jumadilakhir berikutnya, saya ngaji Kitab Shahih Muslim. di
pesantren Poncol Bringin Salatiga. Pengajian itu diasuh oleh K.H. Ahmad
Asy’ari, salah satu murid K.H. Hasyim Asy’ari Jombang,. Setelah keluar pertama dari
Pesantren Arjawinangun (1963), saya masuk Pesantren Krapyak Yogykarta selama
satu tahun, dan mengaji al-Qur’an kepada K.H. Ahmad ibn Munawwir, sambil kuliah
di semester I Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta.
Setelah memasuki semester berikut sampai selesai kuliah, saya tinggal di
Asrama Mahasiswa Wisma Sarjana, sebuah asrama yang dibangun oleh Gabungan
Koperasi Batik Indonesia (GKBI) di Demangan Baru Yogyakarta. Pada masa itu,
saya mendapat kiriman dana setiap bulan, dari pamanda K.H.A. Makki Rafi’i MA.
Keluarga dekat Ummi ini alumni Universitas Al-Azhar Kairo, yang menjadi Dosen IAIN
Raden Fatah Palembang. Berkat bantuan dari berbagai pihak itu, alhadulillah saya
lulus Sarjana Muda tahun 1966, dan Sarjana Lengkap awal tahun 1971. Pada tahun
itu juga saya diangkat menjadi dosen tetap di Fakultas Syariah IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung. Dalam kehidupan itu, saya kembali ke pesantren
Atjawinangun lagi. Masih dalam tugas sebagai dosen, saya lulus test untuk melanjutkan
studi Strata Dua (S2) tahun 1984-1986 dan Strata Tiga (S3) tahun 1986-1990 di Program
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari
studi itu, saya mendapat gelar doktor dalam Ilmu Tafsir al-Qur’an, dan pada
tahun 2004 diangkat menjadi Guru Besar dengan gelar Profesor.
Ilmu-ilmu yang dipelajari
Pelajaran
yang pertama kali ditempuh adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an, dari K.H. A.
Syathari, dimulai dari bacaan peshalatan,
kemudian juz ‘Amma sampai khatam
al-Qur’an. Selain itu, sambil kuliah di IAIN, saya menghafalkan Juz ‘Amma, dari K.H.
Ahmad Munawwir di Pesantren Krapyak Ygyakarta tetapi tidak sepurna.
Pelajaran Tafsir al-Qur’an, saya
mengikuti pengajian Tafsir al-Jalalain,
dari K.H.A. Syathari di Pesantren Arjawinangun, ditambah khatam.Tafsir al-Jalalain dari Embah Ma’shum
Lasem (tabarruk) selama Bulan Puasa.
Setelah kuliah di IAIN, tafsir al-Qu’an diajarkan oleh Kiyai Basyir, dan Tafsir
Ahkam oleh Drs. Sanusi Latif, dan ujian tafsir al-Qur’an Sarjana Muda oleh K.H.
Ali Maksum. Kuliah tafsir al-Qur’an Sarjana Lengkap Jurusan Tafsir Al-Qur’an
diasuh oleh Prof. Muchtar Yahya. Sedangkan studi tafsir al-Qur’an di Strata Dua
dan Strata Tiga, dibawakan oleh Prof. Dr. HM. Quraisy Shihab.
Ulum al-Qur’an, tidak diajarkan di Pondok
Pesantren waktu itu, dan baru dikenal pada kuliah Pengantar Ilmu Tafsir di
Fakultas Syari’ah, dan kuliah Ulum al-Qur’an di Sarjana Lengkap Jurusan Tafsir
al-Qur’an, dari Prof. Dr. T.M. Hasbi al-Shdidiqi. Kuliah Ulum al-Qur’an dikuliahkan
juga oleh Prof. Dr. H.M. Quraisy Shihab di S2 dan S3 Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta..
Ilmu Hadits Riwayah, pertama saya
mendapat pengajian dengan metoda bandongan dari K.H.A. Syathari di Pesantren
Arjawinangun. Antara lain Al-Arba’in
al-Nawawiyah, Riyadl al-Shalihin,
Bulugh al-Maram, Al-Jami’ al-Shaghir, dan Shahih al-Bukhari. Kitab yang
disebut akhir ini, saya mengkhatamkan juga di Pesantren Poncol Bringin Salatiga
dari KH Amdad Asy’ari, sebagaimana disebutkan di atas. Ketika kuliah di IAIN,
Hadits Ahkam diasuh oleh Prof. Dr. H.M. Hasbi al-Shiddiqi, dengan asisten,
antara lain Drs. Husen Yusuf.. Setelah kuliah di S2 dan S3, Hadits Riwayah
diasuh oleh Prof. Dr. H.M. Quraisy Shihab.
Tradisi ilmuan klasik, biasanya memiliki sanad
hadits dan sanad kitab-kitab lain, yang diriwayatkan dari guru-gurunya dan
bersambung (muttashil) sampai kepada nama
Rasulullah Saw. atau bersambung kepada nama pengarang kitab-kitab tertentu. Sanad
Hadits dan sanad kitab-kitab itu, pertama kali saya dapatkan dari K.H.A.
Syathari, ketika beliau sakit beberapa hari menjelang wafat. Pada malam itu,
beliau memegang sebuah kitab sanad, Kifayat
al-Asanid yang ditulis di Makkah oleh Syaikh Mahfuzh ibn Abdillah Termas
Pacitan. Malam itu K.H.A. Syathari membaca beberapa bait Nazham Burdah dan setelah itu beliau
memberikan kitab sanad itu kepada
saya. Saya tidak mengerti apa arti fenomena itu. Saya masih sangat mengharapkan
agar guru utama saya ini sembuh dari sakitnya, dan mengasuh pesntrennya lebih
lama lagi. Tetapi apa daya, beliau wafat pada hari Kamis tanggal 19
Dzulkaidah 1390 H. Dengan pemberian sanad itu, berarti saya
diakui sebagai murid K.H.A. Syathari, dan dapat dikembangkan seperti kaitan
antara guru dan murid.
Selain itu, saya mendapatkan Ijazah ‘Ammah wa Muthlaqah Tammah semua kitab-kitab
hadits Nabi Saw. dari guru kami, Prof. K.H. Anwar Musaddad. Tokoh yang mukim di
Makkah belasan tahun itu mengambil sanad hadits
dari ulama yang memiliki otoritas di Masjid al-Haram, Makkah, antara lain dari
Syaikh Amin al-Kutbi, Sayyid ‘Alawi ibn ‘Abbas al-Maliki, Syaikh Hasan
al-Masysyath, Syaikh Ali al-Maliki, Syaikh Umar Hamdan al-Mahrasi, dan
lain-lain, melalui sanad Syaikh Amir
al-Kabir yang diberi ta’liq oleh
Syaikh Yasin ibn Isa, seorang ulama kelahiran Padang, yang mukim di Makkah dan
produktif menulis kitab-kitab klasik.
Bentuk Ijazah itu sebagai berikut :
الإجازة الحديثية من فضيلة الشيخ الحاج أنوار مسدد
سمعت
منه جملة كثيرة من الأحاديث النبوية وشتى العلوم وحضرت مجالسه العلمية وطلبت منه اجازة
عامة في الجامعة المسددية بجاروت، تحريرا في 22 ذي الحجة سنة 1420 الموافق 28 مارس سنة 2000م
فهذه اجازته
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي أجاز من عليه اعتمد، والصلاة والسلام على سيدنا محمد
خير السند، وعلى آله وصحبه ذوى السدد، وبعد
فإن الأخ في الله الدكتور أحمد خازن ابن نصوحا الشربوني. قد أحسن
ظنه بي فطلبنى أن أجيزه في الحديث المسلسل بالأولية والمسلسل بالمصافحة والكتب الحديثية الستة وسنن الدارمي
وموطاء الإمام مالك وغيرها من مروياتى عن مشايخى منهم السيد علـو ي بن عباس المالكي
عن أبيه عن محمد عابدالمكي عن السيد أحمد زيني دحلان عن الشيخ عثمان الدمياطي عن محمد
الأمير الكبير، ومنهم الشيخ امين الكتبي والشيخ حسن المشـاط كلاهما عن السيد ابي
بكر بن محمـدشـطا الدمياطي عن السيد احمد
زيني دحلان عن الشيخ عثمان الدمياطي عن
محمد الامير الكبير. ومنهم الشيخ عمر بن حمدان
المحرسى عن السيد محمد علي بن طاهر الوترى عن أحمد منة الله العدوى عن محمد الأمير
الكبير بسنده إلى رسول الله صلي الله عليه
وسلم، فأقول إني قد أجزت الأخ المذكور في كل ما تجوز لي روايته من معقول ومنقول وفروع
وأصول كما أجازني بذلك أشياخي الفحول.
وأوصيه ونفسي بتقوى الله في السر والعلن فإنها مفتاح العلم وطريق
السعادة.
وفقنا الله لما يحبه ويرضاه والحمد لله رب العالمين.
كتبه
أنوار
مسدد
Studi Ilmu Hadits Dirayah,
pertama kali saya mendapatkan Nazham
Al-Baiquni tentang Mushthalah
al-Hadits dari K.H.A. Syathari di Psantren Arjawinangun. Kemudian saya
mendapatkan kuliah Pengantar Ilmu Hadits di Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakata
dari Prof. Dr. Hasbi al-Shiddiqi. Kemudian ilmu ini saya dapatkan di S2 dari
Prof. Dr. H.M. Quraisy Shihab. Tetapi sebelum itu ilmu ini saya belajar intens sekali, ketika
saya mempelajari kitab Nuzhat al-Nazhar
Fi Syarh Nukhbar al-Fikar karya Ibn
Hajar al-Asqallani. Kitab itu saya jadikan sebagai dasar bacaan, yang uraiannya
saya kutip dari beberapa kitab Ulum
al-Hadits yang banyak. Atas dasar itu, saya puas sekali dalam menguasai
substansi ilmu ini.
Studi Ilmu Fiqh, pertama saya dapatkan
melalui kurikulum Madrasah Wathaniyah di Pesantren Arjawinangun, kemudian
mempelajari kitab-kitab kuning dari K.H. Syathari dengan metoda bandongan,
antara lain Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in,
Tahrir dan Fath al-Wahhab. Kitab
yang disebut akhir ini, saya mendengar juga dari K.H. Embah Maksum Lasem (tabarruk) pada tahun 1961. Setelah masuk
Fakultas Syari’ah, saya mengikuti kuliah Fiqh Ibadah, Fiqh Mu’amalat, Fiqh Munakahat,
Fiqh Jinayat, dan Fiqh Siyasah Syar’iyah. Semua itu diasuh oleh Prof. Dr. T.M.
Hasbi al-Shiddiqi, tetapi dilaksanakan oleh asisten bidangnya masing-masing,
kecuali Fiqh Siyasah diasuh oleh Pak Hasbi sendiri.
Studi Ilmu Ushul Fiqh, saya dapatkan
melalui kajian dari K.H. Syathari di Pesantren Arjawinangun. Kitab-kitab yang
dibaca antara lain, Lathaif al-Isyarat,
Al-Luma’ dan Ghayat al-Wushul.
Kitab ini saya pernah mendengar juga selama bulan puasa dari Syaikh Mashduqi
Lasem, tetapi tidak sampai khatam Tabarruk
juga kitab Jam’ul Jawami’ dari
Embah Makshum Lasem. Setelah kuliah di Fakultas Syari’ah, ilmu ini saya
dapatkan dari A. Hanafi M.A., dan di S2 saya mendapatkan kuliah dari Dr. Satria Efendi M. Zain, dan kuliah lepas di
Pascasarjana dari Prof. K.H. Ibrahim Husain.
Ilmu Tawhid dan Ilmu Kalam, saya mendapatkannya
dari Madrasah Wathaniyah, dan dari K.H.
A.Syathari. Studi dimulai dari kitab-kitab yang kecil, ditambah Nazhan ‘Aqidah al-‘Awam, Kharidah al-Bahiyah, Hushun al-Hamidiyah, Kifayah al-‘Awam, dan kitab-kitab
pesantren lainnya. Di Fakultas Syari’ah, kuliah ini sederhana sekali, tetapi S2,
kuliah ilmu ini didiskusikan mendalam sekali diasuh oleh Prof. Dr. Harun
Nasution.
Falsafat dan Mistisisne, tidak saya
dapatkan dari Madrasah dan pesantren, karena KH.A. Syathari hanya mengaji Nazham Adzkiya. Guru utama saya ini
lebih senang mengajarkan Sirah Nabawiyah
seperti Nazham Burdah, Dalail al-Khairat,
Kitab Syifa, karya Qadli Iyadl, dan
lain-lain, dari pada mengajarkan filsafat atau tasawuf. Ilmu Manthiq saya
dapatkan dari Fakultas Syari’ah, sedangkan Falsafat dan Mistisisme saya
dapatkan di S2 dari Prof. Dr. Harun Nasution.
Filsafat Islam juga diajarkan dua
semester oleh Prof. Dr. Nurcholis Madjid, yang membahas kitab Al-Radd ‘al
al-Manthiqiyyin karya Ibn Taymiyah, dan kitab Tahafut al-Tahafut karya
Ibn Rusyd.
Ilmu Bahasa Arab, saya mendapatkan pertama
kali dari Madrasah Wathaniyah di Arjawinangun, diteruskan dengan belajar ilmu-ilmu
alat dari K.H. Syathari, dengan kitab-kitab Al-Ajrumiyah,
Nazham al- Imrithi, Milhat al-I’rab dan Nazham Alfiyah Ibn Malik. Sedangkan studi sharaf dan Nazham Maqshud saya dapatkan dari
Madrasah. Studi diteruskan dengan mempelajari Ilmu Balaghah, yaitu Nazham al-Jauhar al-Maknun, dan Uqud al-Juman,.dibawakan oleh K.H. Syathari.
Setelah masuk Fakultas Syari’ah, ilmu ini diajarkan oleh Shalih al-Haidarah,
dan Ilmu Balaghah diajarkan antara lain, oleh Abdurahim Samin dari Mesir, dan Di S2 studi ini dibawakan oleh Prof, Dr.
Busthami Abdul Ghani.
Studi Sejarah Islam pertama saya
mendapatkan dari Madrasah Wathaniyah, tetapi hanya studi tentang Sirah Nabawiyah dan perjalanan Khalifah al-Rasyidin. Begitu juga studi
sejarah di Fakultas Syari’ah yang dibawakan oleh Drs. Mu’in Umar (Prof) hanya memperluas tentang ekspansi Islam
selama Khalifah Rasyidin. Setelah memasuki S2, pelajaran sejarah Islam luas
sekali, dan didiskusikan secara intensif dibawah asuhan Prof. Dr. Harun
Nasution.. Sejarah Islam di Indonesia, diajarkan oleh Dr. Karl A. Stembrink
dari Negeri Belanda, Prof. Dr. Deliar Noor, dan Prof. Dr. Muarif Anbari.
Studi ilmu-ilmu hukum, ilmu sosial
dan ilmu budaya, saya juga berkenalan dengan ilmu-ilmu itu, antara lain
Antroplogi di Fakultas Syari’ah dibawakan oleh KRT. Hertog Joyonegoro, Ilmu
Hukum Perdata, Pidana dan Hukum Tatanegara, dibawakan oleh Prof. Dr. Santoso
Pujosubroto SH, dan Prof. Dr. H.M Tolchah Mansur SH. Setelah S-2, studi
Falsafat Ilmu oleh Dr. Jujun Suryasumantri, Ilmu Budaya oleh Prof. Dr. Takdir
Alisyahbana, Ilmu Sosial (Dasar-dasar Antropologi dan Sosiologi) oleh Prof. Dr.
Parsudi Suparlan, Astronomi dan dasar-dasar ilmu eksakta oleh Prof. Dr.
Baiquni, Falsafat Barat oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Metodologi Penelitian oleh
Prof. Dr. Muljanto Sumardi MA, dan Dasar Ilmu Pendidikan dari Prof. Dr. Hasan
Langgulung, (Dosen dari Universitas Kebangsaan Malaysia) Semua itu diajarkan ada yang satu semester dan
ada yang dua semester. Semua ilmu-ilmu itu dapat dibuat sebagai penunjang bagi
studi S2 dan S3 di Pascasarjana tadi.
Sebagai tambahan, saya pernah
mengikuti Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) tingkat
Propinsi di Bandung dua kali, dan tingkat Nasional satu kali di Pelabuhan Ratu,
Sukabumi. Saya juga sering menatar P-4, di kampus, terutama kepada mahasiswa
baru.
Selain itu, saya mengikuti Progran Latihan
Penelitian Agama (PLPA) di Ciputat Jakarta. Program ini diajarakan dasar-dasar teori
ilmu sosial, ilmu budaya, filologi dan metoda penelitian di dalam kelas selama
empat bulan, dan latihan penelitian di lapangan selama tiga bulan. Pelajaran di
kelas dibawakan oleh ilmuan besar yang sesuai dengan keahliannya, seperti
tokoh-tokoh sosiolog, antropolog, psycholog, sejarawan, politikus, budayawan,
filologis, ilmu agama dan lain-lain. Antara lain; Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar,
Prof. Dr. Kuntjaraningrat, Prof. Dr. Taufiq Abdullah, Dr. Alfiyan, Dr Kamanto,
Prof. Dr. Harun Nasution, Prof. Dr. Zakiyah Darajat, Prof. Dr. Haryati Subadyo,
Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Dr. Panuti Sujiman dan
lain-lain. Setelah selesai studi di kelas, semua peserta mengajukan proposal
penelitian, dan didiskusikan dengan bimbingan Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar di
rumahnya. Setelah itu mereka dilepas untuk meneliti sesuai dengan proposal
penelitiannya masing-masing. Semua peserta diberi pembimbing dosen yang sesuai
dengan proposal yang diusulkan. Proposal saya dikelompokkan dalam penelitian
agama dengan pendekatan antropologi, maka saya dieri pembimbing .Prof. Dr.
Subur Budi Santoso. Setelah selesai di lapangan, semua peserta PLPA diundang
lagi di Jakarta untuk melaporkan dan mendiskusikan hasil penelitiannya.
Latihan ini terarah dan intensip
sekali. Seandainya hasil latihan itu dikembangkan oleh peserta, dan mereka
melaksanakan penelitian berkali-kali baik penelitian kolektif atau individual, insya
Allah peserta itu bisa menjadi peneliti, bahkan lama-lama, dia bisa menjadi
peneliti mandiri. Akan tetapi, sampai akhir latihan, saya masih bingung belum
dapat membedakan antara laporan penelitian dengan laporan wartawan, dan atau
dengan tulisan karangan, dan belum mengerti apa yang dimaksud penelitian
perpustakaan.
Pada tahun berikutnya, (1984), saya
lulus test masuk S2 di IAIN Jakarta, dan mengikuti dasar keilmuan yang
dikembangkan oleh Pascasarjana waktu itu, yaitu ilmu-ilmu sejarah, falsafat dan
mistisisme, pemikiran dan pembaharuan dalam Islam, dan memiliki dasar-dasar
bahasa Arab dan Inggris. Berangkat dari landasan itu, Tafsir al-Qur’an, Hadits,
Fiqh, Pendidikan, Bahasa Arab, dan lain-lain tetap dikembangkan, dan setiap
mahasiswa S3 diberi kesempatan untuk menulis disertasi yang sesuai dengan
jurusan dan keahlian masing-masing. Untuk melengkapi S3, saya menulis disertasi
tentang Tafsir al-Qur’an, dibimbing oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dan Prof.
Dr. Mulyanto Sumardi. Waktu itu saya masih belum dapat membedakan antara penelitian
dan karangan. Karena itu disertasi saya berisi karangan, dan bukan hasil
penelitian, yang betul-betul penelitian. Begitu itu, hampir semua disertasi
yang dilakukan oleh penulis disertasi, mirip seperti itu. Dengan demikian, ide
yang ingin menciptakan doktor sebagai peneliti mandiri, semenjak saya lulus S3 sampai
sekarang berjalan lambat sekali.
Saya mengetahui dan faham tentang
penelitian, setelah Drs.H.Cik Hasan Bisri (Kepala Pusat Penelitian IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung) melaksanakan Latihan Penelitian Tenaga Edukatif IAIN SGD
Bandung, Latihan Tingkat Dasar dan Latihan Tingkat Menengah itu (1997). Saya
ditunjuk sebagai Instruktur untuk membimbing Penelitian al-Qur’an, bagi
dosen-dosen tafsir al-Qur’an IAIN SGD Bandung. Saya masih beranggapan bahwa
meneliti ya menulis buku. Tetapi karena saya banyak belajar dan diskusi dengan
Cik Hasan Bisri tadi, akhirnya alhamdulillah saya faham sekali, bahwa
penelitian al-Qur’an berbeda dengan membuat buku atau artikel tentang tafsir
al-Qur’an. Untuk itu Cik Hasan Bisri sendiri menulis makalah tentang penelitain
Al-Qur’an untuk saya, selaku Ketua Kosentrasi Studi al-Qur’an, dan Dosen
Pascasarjana UIN Bandung. Makalah itu dipergunakan sebagai pedoman Penelitian
al-Qur’an, bagi mahasiswa Studi al-Qur’an. Setiap mahasiswa semester dua selalu
mempelajari dan mempraktekan metoda itu. Dilihat dari bentuknya tipis sekali,
tetapi isinya mendasar, sehingga hampir setiap mahasiswa yang mempraktekannya, merasa
harus mengerahkan pemikiran, sementara mata kuliah yang harus ditempuh tidak
hanya itu, tetapi banyak lagi. Karena itu wajar kalau penelitian al-Quran mahasiswa
cuma menguasai tiga puluh sampai empat puluh persen saja. Mudah-mudahan semakin
lama, penelitian al-Quran semakin maju. Amin.
Profil
Reviewed by Dewa Rubungan
on
01.28
Rating:
Tidak ada komentar: